Share

Identity
Identity
Penulis: UlfSanita

Bab 1 Pertemuan

“Lepaskan aku, Vian! Aku gak mau! Lepas!” Sekuat tenaga aku mencoba melepaskan cekalan tangan kanan Vian yang telah membuatku meringis. Cekalan tangannya meninggalkan bekas merah di lengan kiriku.

“Aku hanya meminta kamu melepaskan baju itu dan menari! Aku tidak suka melihat kamu mengenakan sweater bututmu itu. Cepat lepaskan!” Ia membelalakkan matanya, menatapku sinis.

“Aku gak mau, Vian! Lepaskan!” Aku berteriak pada pria yang menikahiku beberapa waktu yang lalu.  Bukan tanpa alasan aku menolak Vian. Imajinasinya akan percintaan, kerap kali membuat badanku remuk redam.

Melihat perlawanku, Vian akhirnya melepaskan cekalan. Ia mundur dua langkah dan menjaga jarak dariku. Sorot matanya tajam, rahangnya mengeras. Kedua tangan mengepal dengan napas yang tersengal. Ia berlalu pergi menuju ruang dapur. Sesaat, ia berdiri mematung di depan nakas kemudian mengambil kunci mobil yang berada di atasnya.

Vian pergi. Terdengar suara mesin mobil menyala dan semakin menjauh dari garasi. Aku mengejarnya hingga ke jendela ruang tamu. Terlihat ia pergi menggunakan mobil minivan berwarna putih pemberian ibunya.

Aku menghela napas. Kejadian tadi benar-benar membuat kepalaku pening. Cekalan tangan Vian membuatku terus merasakan nyeri di lengan. Kesedihan yang mendera beberapa hari terakhir, membuatku enggan berlama-lama bersamanya. Kebekuan hati melanda jiwa, seakan tak lagi punya rasa. Rasa hormat kepadanya hilang terkubur seiring sikap kasarnya. Sejak dulu, aku ingin segera pergi dari rumah ini. Rasanya sudah tidak sanggup lagi untuk berada di neraka berbentuk rumah ini, tetapi Vian masih belum juga mau berpisah denganku.

Aku melirik jam di dinding. Pukul delapan malam. Detaknya terdengar jelas di antara senyapnya kegelapan. Dingin. Sedingin perasaanku saat ini tanpa sentuhan dan senyuman tulus dari Vian. Kemesraan kami berdua adalah topeng pernikahan.

Mengingatnya membuat perutku terasa mual. Ah … aku benci momen ini. Kudaratkan pantat di sofa cokelat, memandang foto pernikahan yang dipajang di atas meja hias. Senyuman kami mengembang di antara dekorasi pernikahan. Sempurna.

Lamunanku tertuju pada beberapa bulan yang lalu. 

“Anya, sini.” Terdengar suara Ibu memanggilku yang tengah asyik menulis. Aku mengintip dari celah pintu. Rupanya ibu sudah berada di depan kamar.

“Ayo, kita jamu tamu,” ajaknya.

“Kenapa Anya harus ikut, Bu?” Aku mengernyitkan dahi.

“Itu Bu Marta dan keluarganya ingin bersilaturahmi dengan kita, juga ingin bertemu kamu.” Ibu mengenggam tangan kiri dan mengajakku kembali masuk ke kamar tidur. 

“Kalo gitu, Anya ganti baju dulu ya. Malu pake baju beginian,” keluhku seraya menatap baju tidur yang masih menempel di tubuhku.

Hari ini adalah hari Minggu. Seperti biasa, aku akan bermalas-malasan di rumah dan total menulis. Sesekali keluar hanya untuk menghirup udara segar di taman kecil dekat rumah. Suasananya cukup menghentikan writer’s block yang terjadi padaku saat itu.

“Gapapa, Anya. Kata Bu Marta, ia senang melihat calon menantu apa adanya. Gak perlu banyak riasan.” 

Deggg.

Ibu mengajakku duduk di tepian ranjang. Sesaat aku merasa tak bisa bernapas. Oksigen yang ada di sekelilingku tiba-tiba menipis, habis dan entah kemana. 

“Calon menantu!” Aku tak mampu menahan suara hingga rasa terkejutku menarik perhatian para tamu. Terdengar suara gumaman dari ruangan depan. 

Ia mengusap punggungku halus dan aku hanya memfokuskan diri memilin-milin ujung baju. Ujung baju ini terlihat lebih menarik perhatianku.

“Ayah dan Ibu sepakat untuk menerima pinangan Bu Marta,” ucap Ibu seolah mengerti pertanyaan yang ada di dalam otakku. “Ibu sedih lihat kamu mengurung diri terus di rumah. Kamu berhak untuk bahagia, Anya.”

Aku mengangkat dagu dan menoleh kemudian menatap netra Ibu. Terlihat binar yang tampak tulus dari matanya, kasih seorang ibu tetap akan sama hingga anak dewasa, bahkan menua.

“Ta-Tapi … aku masih selalu teringat Aldo, Bu.” Netraku tiba-tiba berembun, dadaku terasa sesak bak diremas-remas.

“Lupakan almarhum Aldo. Bagaimanapun ... yang tertinggal hanyalah kenangan. Kamu harus maju, Anya. Jangan hidup dalam kenangan terus. Cobalah membuka hati.” Ibu membalikkan badannya ke arahku dan menggenggam kedua tanganku.

“A-Aku-“

“Terima pinangan Vian. Bahagiakan Ibu dengan menikahinya. Cobalah mencintai orang lain. Kamu tidak akan pernah tahu jika kamu tidak pernah mencoba.”

Aku terdiam sesaat, menyerap kata-kata ibu yang penuh makna. Rasanya tak tega melihatnya bersedih karena keadaanku. Aku menarik napas panjang. 

Bismillah, semoga bisa membahagiakannya.

Setelah selesai mengganti baju dengan yang pantas, aku menuju ke luar kamar. Ibu mengamit lenganku menuju ruang tamu. Bu Marta beserta keluarganya tersenyum melihat kami memasuki ruangan, hanya laki-laki berkemeja biru yang masih tertunduk, tampaknya ia enggan menatapku atau mungkin malu-malu. Aku tidak tahu.. 

Aku duduk berhadapan langsung dengan Bu Marta dan laki-laki berkemeja biru itu duduk di sebelahnya. Ibu sesekali mengusap punggung, mungkin berusaha untuk menenangkanku. Sementara itu, aku hanya mampu menatap lantai keramik, menutupi rasa gugup yang sedari tadi terasa. Perutku mulai terasa mual. Semoga diri ini mau berdamai dari rasa gugup

“Jadi Anya ….” Suara wanita tua itu menarik perhatianku, “maksud kedatangan kami kemari adalah untuk meminang Nak Anya menjadi istri Vian, anak semata wayang Ibu. Sebelumnya, saya dan Ibu serta Bapak sudah membicarakan masalah ini dan setuju untuk berbesan, tapi kami sepakat untuk menanyakan hal ini kepada kamu terlebih dahulu.”

Aku bergeming. Tetap menatap ke arah lantai berwarna krem. Kemudian, Ibu menjawil pahaku. Seketika, aku menaikkan dagu. 

“Betul. Saya selaku orangtua Anya, menerima dengan senang hati pinangan dari Bu Marta, tetapi alangkah lebih baiknya, jika kita mendengar langsung jawaban dari yang bersangkutan.” Ayah yang sedari tadi duduk di kursi sudut ruangan mengalihkan pandangannya ke arahku.

Perutku semakin terasa mual. Aku melemparkan pandangan pada Ibu, tatapan kami beradu. Lalu Ibu melengkungkan segaris senyum di bibirnya seraya mengangguk perlahan.

“Sa-saya … bersedia,” ucapku dengan suara tercekat.

“Puji syukur … saya senang mendengarkan. Kalau begitu, kita akan melakukan prosesi tunangan terlebih dahulu atau langsung ke perayaan pernikahan?” 

Bu Marta terdengar sangat antusias sekali, sedangkan aku hanya diam seribu bahasa. 

Tak berselang lama, Ibu menimpali “Bagaimana jika langsung prosesi pernikahan saja? Tak perlu acara pertunangan. Toh, sudah tidak perlu diikat-ikat lagi kan? Kalau semuanya setuju, tidak perlu ada yang dikhawatirkan lagi.”

“Kalau begitu, kita rayakan pernikahan mereka dua minggu lagi,” seru Bu Marta diiringi gumam tanda setuju dari beberapa tamu yang ikut hadir.

Aku hanya tersenyum tipis. Kulirik laki-laki bernama Vian yang akan menjadi calon suamiku. Entah mengapa, aku merasa ada yang aneh dalam dirinya. Sesuatu yang tak mampu kugapai dan sulit kupahami.

Entah pilihanku benar atau tidak. Aku hanya mengikuti kata hatiku. Semoga pilihan ini membawakan bahagia dalam hidupku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status