“Lepaskan aku, Vian! Aku gak mau! Lepas!” Sekuat tenaga aku mencoba melepaskan cekalan tangan kanan Vian yang telah membuatku meringis. Cekalan tangannya meninggalkan bekas merah di lengan kiriku.
“Aku hanya meminta kamu melepaskan baju itu dan menari! Aku tidak suka melihat kamu mengenakan sweater bututmu itu. Cepat lepaskan!” Ia membelalakkan matanya, menatapku sinis.
“Aku gak mau, Vian! Lepaskan!” Aku berteriak pada pria yang menikahiku beberapa waktu yang lalu. Bukan tanpa alasan aku menolak Vian. Imajinasinya akan percintaan, kerap kali membuat badanku remuk redam.
Melihat perlawanku, Vian akhirnya melepaskan cekalan. Ia mundur dua langkah dan menjaga jarak dariku. Sorot matanya tajam, rahangnya mengeras. Kedua tangan mengepal dengan napas yang tersengal. Ia berlalu pergi menuju ruang dapur. Sesaat, ia berdiri mematung di depan nakas kemudian mengambil kunci mobil yang berada di atasnya.
Vian pergi. Terdengar suara mesin mobil menyala dan semakin menjauh dari garasi. Aku mengejarnya hingga ke jendela ruang tamu. Terlihat ia pergi menggunakan mobil minivan berwarna putih pemberian ibunya.
Aku menghela napas. Kejadian tadi benar-benar membuat kepalaku pening. Cekalan tangan Vian membuatku terus merasakan nyeri di lengan. Kesedihan yang mendera beberapa hari terakhir, membuatku enggan berlama-lama bersamanya. Kebekuan hati melanda jiwa, seakan tak lagi punya rasa. Rasa hormat kepadanya hilang terkubur seiring sikap kasarnya. Sejak dulu, aku ingin segera pergi dari rumah ini. Rasanya sudah tidak sanggup lagi untuk berada di neraka berbentuk rumah ini, tetapi Vian masih belum juga mau berpisah denganku.
Aku melirik jam di dinding. Pukul delapan malam. Detaknya terdengar jelas di antara senyapnya kegelapan. Dingin. Sedingin perasaanku saat ini tanpa sentuhan dan senyuman tulus dari Vian. Kemesraan kami berdua adalah topeng pernikahan.
Mengingatnya membuat perutku terasa mual. Ah … aku benci momen ini. Kudaratkan pantat di sofa cokelat, memandang foto pernikahan yang dipajang di atas meja hias. Senyuman kami mengembang di antara dekorasi pernikahan. Sempurna.
Lamunanku tertuju pada beberapa bulan yang lalu.
“Anya, sini.” Terdengar suara Ibu memanggilku yang tengah asyik menulis. Aku mengintip dari celah pintu. Rupanya ibu sudah berada di depan kamar.
“Ayo, kita jamu tamu,” ajaknya.
“Kenapa Anya harus ikut, Bu?” Aku mengernyitkan dahi.
“Itu Bu Marta dan keluarganya ingin bersilaturahmi dengan kita, juga ingin bertemu kamu.” Ibu mengenggam tangan kiri dan mengajakku kembali masuk ke kamar tidur.
“Kalo gitu, Anya ganti baju dulu ya. Malu pake baju beginian,” keluhku seraya menatap baju tidur yang masih menempel di tubuhku.
Hari ini adalah hari Minggu. Seperti biasa, aku akan bermalas-malasan di rumah dan total menulis. Sesekali keluar hanya untuk menghirup udara segar di taman kecil dekat rumah. Suasananya cukup menghentikan writer’s block yang terjadi padaku saat itu.
“Gapapa, Anya. Kata Bu Marta, ia senang melihat calon menantu apa adanya. Gak perlu banyak riasan.”
Deggg.
Ibu mengajakku duduk di tepian ranjang. Sesaat aku merasa tak bisa bernapas. Oksigen yang ada di sekelilingku tiba-tiba menipis, habis dan entah kemana.
“Calon menantu!” Aku tak mampu menahan suara hingga rasa terkejutku menarik perhatian para tamu. Terdengar suara gumaman dari ruangan depan.
Ia mengusap punggungku halus dan aku hanya memfokuskan diri memilin-milin ujung baju. Ujung baju ini terlihat lebih menarik perhatianku.
“Ayah dan Ibu sepakat untuk menerima pinangan Bu Marta,” ucap Ibu seolah mengerti pertanyaan yang ada di dalam otakku. “Ibu sedih lihat kamu mengurung diri terus di rumah. Kamu berhak untuk bahagia, Anya.”
Aku mengangkat dagu dan menoleh kemudian menatap netra Ibu. Terlihat binar yang tampak tulus dari matanya, kasih seorang ibu tetap akan sama hingga anak dewasa, bahkan menua.
“Ta-Tapi … aku masih selalu teringat Aldo, Bu.” Netraku tiba-tiba berembun, dadaku terasa sesak bak diremas-remas.
“Lupakan almarhum Aldo. Bagaimanapun ... yang tertinggal hanyalah kenangan. Kamu harus maju, Anya. Jangan hidup dalam kenangan terus. Cobalah membuka hati.” Ibu membalikkan badannya ke arahku dan menggenggam kedua tanganku.
“A-Aku-“
“Terima pinangan Vian. Bahagiakan Ibu dengan menikahinya. Cobalah mencintai orang lain. Kamu tidak akan pernah tahu jika kamu tidak pernah mencoba.”
Aku terdiam sesaat, menyerap kata-kata ibu yang penuh makna. Rasanya tak tega melihatnya bersedih karena keadaanku. Aku menarik napas panjang.
Bismillah, semoga bisa membahagiakannya.
Setelah selesai mengganti baju dengan yang pantas, aku menuju ke luar kamar. Ibu mengamit lenganku menuju ruang tamu. Bu Marta beserta keluarganya tersenyum melihat kami memasuki ruangan, hanya laki-laki berkemeja biru yang masih tertunduk, tampaknya ia enggan menatapku atau mungkin malu-malu. Aku tidak tahu..
Aku duduk berhadapan langsung dengan Bu Marta dan laki-laki berkemeja biru itu duduk di sebelahnya. Ibu sesekali mengusap punggung, mungkin berusaha untuk menenangkanku. Sementara itu, aku hanya mampu menatap lantai keramik, menutupi rasa gugup yang sedari tadi terasa. Perutku mulai terasa mual. Semoga diri ini mau berdamai dari rasa gugup
“Jadi Anya ….” Suara wanita tua itu menarik perhatianku, “maksud kedatangan kami kemari adalah untuk meminang Nak Anya menjadi istri Vian, anak semata wayang Ibu. Sebelumnya, saya dan Ibu serta Bapak sudah membicarakan masalah ini dan setuju untuk berbesan, tapi kami sepakat untuk menanyakan hal ini kepada kamu terlebih dahulu.”
Aku bergeming. Tetap menatap ke arah lantai berwarna krem. Kemudian, Ibu menjawil pahaku. Seketika, aku menaikkan dagu.
“Betul. Saya selaku orangtua Anya, menerima dengan senang hati pinangan dari Bu Marta, tetapi alangkah lebih baiknya, jika kita mendengar langsung jawaban dari yang bersangkutan.” Ayah yang sedari tadi duduk di kursi sudut ruangan mengalihkan pandangannya ke arahku.
Perutku semakin terasa mual. Aku melemparkan pandangan pada Ibu, tatapan kami beradu. Lalu Ibu melengkungkan segaris senyum di bibirnya seraya mengangguk perlahan.
“Sa-saya … bersedia,” ucapku dengan suara tercekat.
“Puji syukur … saya senang mendengarkan. Kalau begitu, kita akan melakukan prosesi tunangan terlebih dahulu atau langsung ke perayaan pernikahan?”
Bu Marta terdengar sangat antusias sekali, sedangkan aku hanya diam seribu bahasa.
Tak berselang lama, Ibu menimpali “Bagaimana jika langsung prosesi pernikahan saja? Tak perlu acara pertunangan. Toh, sudah tidak perlu diikat-ikat lagi kan? Kalau semuanya setuju, tidak perlu ada yang dikhawatirkan lagi.”
“Kalau begitu, kita rayakan pernikahan mereka dua minggu lagi,” seru Bu Marta diiringi gumam tanda setuju dari beberapa tamu yang ikut hadir.
Aku hanya tersenyum tipis. Kulirik laki-laki bernama Vian yang akan menjadi calon suamiku. Entah mengapa, aku merasa ada yang aneh dalam dirinya. Sesuatu yang tak mampu kugapai dan sulit kupahami.
Entah pilihanku benar atau tidak. Aku hanya mengikuti kata hatiku. Semoga pilihan ini membawakan bahagia dalam hidupku.
Suara wanita itu tampak kaget. "Benarkah? Anak itu memang sedikit aneh, mungkin karena ia pernah menderita sewaktu kecil, tapi aku belum mengetahui penyebabnya. Yang aku tahu, ibunya meninggal sewaktu ia berusia 6 tahun.""Jika ibunya meninggal, siapa wanita yang bersamanya saat ini?" Pekikku kaget."Entahlah ... yang pasti ia meninggalkan panti karena seorang wanita mengadopsinya. Aku tidak tahu persis, karena saat itu kepala panti yang mengurusi semuanya.""Apakah ibunya seorang blesteran? Selain itu, sikap apa lagi yang sering Vian tunjukkan ketika tinggal di panti?""Tidak, tidak. Ibunya seorang lokal, bukan keturunan." Wanita tua itu terdiam sesaat. Sementara itu, aku terus menyimak."Hmm ... anak itu ramah dan baik tapi
“Mereka anak-anak yatim piatu. Anak yang berbaju biru itu,” telunjuknya mengarah ke salah satu anak. “Kami menemukan ketika bayi dan tengah menangis di depan pintu panti,” ujarnya lagi.“Kasihan sekali. Hmm … mungkinkah aku bisa mengadopsi salah satu dari mereka?’ tanyaku dengan hati-hati.Entah mengapa tiba-tiba aku berhasrat untuk memiliki satu dari mereka.“Kami senang sekali. Mereka pasti berbahagia jika memiliki orangtua baru.” Bibir wanita tua itu melengkung. Wajahnya berbinar-binar.Tiba-tiba terdengar nyaring suara klakson dari arah jalan. Sebuah mobil terparkir tak jauh dari panti asuhan. Perlahan sang sopir menurunkan kaca mobilnya.Ah tidak! Apa yan
“Jangan ganggu dia!” Entah mengapa, Vian malah berbalik membelaku. “Pergi kau dari sini wanita murahan. Aku sudah tak butuh kau lagi. Tinggalkan rumahku!” Deg! Rumahku kata Vian. Maksudnya rumah yang ditinggali Sisilia sekarang adalah rumah Vian? “Vian!” hardikku. “Rumah siapa maksudmu?” Vian tampak tercengang dan salah tingkah. “Katakan saja dengan jujur,” ucap Sisilia. “Percuma kau berbohong terus menerus.” Sisilia bangkit dari posisinya yang sempat terjatuh. Tangan kanan merapikan rambutnya yang berantakan sembari menyeringai. “Atau … aku saja yang mengatakannya.”
Aku memutar langkah. Namun, desahan lain terdengar sebelum kaki pertama bergerak. Suara yang tak asing di telinga ini, membuat kaki mendadak kaku. Jantungku berdegub dengan cepat. Debaran di dada berubah menjadi gemuruh bara cemburu. Mengapa aku sebodoh ini? Benarkah Sisilia tengah bersama dengan Vian? Rasa berani tiba-tiba muncul ke permukaan. Dengan napas tersenggal, aku mengintip dari celah kamar. Tanganku terkepal, aliran darah memanas dengan mata membulat sempurna menyaksikan dua manusia yang tampak tengah melepaskan hasrat. Sisilia yang mengenakan pakaian ketat berwarna hitam terlihat meliuk-liukkan tubuhnya dengan membawa sebuah tongkat. Benda panjang itu ia main-mainkan dengan menyentuh kulit Vian. Laki-laki yang beberapa bulan telah sah menjadi s
“Entah apa yang dia inginkan tentang Sisilia.” Terdengar suara wanita itu berbicara.Suasana hening sesaat.“Mengapa kau biarkan dia masuk?” Terdengar suara lain yang sedikit berbeda.Aku mengunci pendengaran dan memperhatikannya baik-baik. Suara itu mirip milik Bibi Sisilia tetapi dengan logat yang berbeda.Perlahan kuputar kenop pintu dan berjalan kembali menuju ruang tamu. Tiba-tiba hidungku terasa gatal.Hatsyiii!Bibi Sisilia tampak terperanjat dan bangkit dari kursinya seraya mengendong kucing.“Owh, maafkan aku telah datang dengan tiba-tiba.”
“Di mana Sisilia?”“Entah. Sewaktu aku turun, dia sudah menghilang. Kemudian aku kembali menemanimu tidur.”Aku hanya terdiam. Apa benar itu hanya sebuah mimpi. Aku tak bisa membuktikan penglihatanku."Aku siap-siap ke kantor dulu." Vian beranjak dari ranjang lalu mengambil baju setelan dari dalam lemari.Pagi itu Vian berangkat kerja seperti biasa. Sikapnya sekarang tampak jauh membaik dan terlihat lebih tenang. Apapun itu, aku bersyukur karena tak perlu lagi merasakan denyutan di kepala.Sebisa mungkin, aku menghindari penyebab ia marah. Tidak ada kotoran di meja, sup kacang merah setiap hari, dan lainnya.Kini, aku bahkan bisa ber
“Dengar, Anya. Tadi aku hendak mampir ke rumahmu untuk mengantarkan klapertaart dan aku melihat suamimu datang. Kukira ia sedang bersamamu, tetapi ternyata dia bersama Sisilia. Dan mereka memasuki rumah tanpa kau, Anya!”Deg.“Tidak mungkin, Ivy! Sisilia tidak seperti itu. Kurasa ia orang yang baik,” sanggahku berusaha mematahkan keyakinan Ivy.“Rupanya kau telah diracuni wanita itu, Anya. Sadarlah!” Terdengar nada suara Ivy meninggi.“Kurasa kau salah, Ivy. Dengar, aku tidak membela Sisilia, tapi kupikir ia tidak sejahat itu.”“Aku sangat menyesal sekali mendengar ini, Anya.”Ivy menutup panggilannya. Biarlah
Rumah Sisilia tidak terlalu jauh, hanya terhalang satu rumah dari kami. Rumahnya tidak sebesar rumah kami. Mungkin ia tidak perlu rumah yang luas karena tinggal sendiri.Benarkah ia masih sendiri?Aku cukup terkejut ketika melihat siapa yang melambai dari teras rumah Sisilia. Benarkah ia Sisilia. Pertanyaan-pertanyaan liar mulai muncul di kepala. Aku menahannya agar tidak terlalu mengganggu pikiranku saat ini.Vian membalas lambaian Sisilia--wanita yang malam itu menyambut kedatangan kami. Sementara itu, sebeah tangannya Vian tetap menggandeng tanganku.Sisilia tersenyum, mengulurkan tangan, mengajak berjabat tangan “Sisilia Feruza.”Aku membalasnya. “Anya Eidween,” sahutku.
Aku menatapnya lekat, mencari kebenaran dari sorot matanya. Mata yang tak pernah bisa aku baca dan pahami. “Berjanjilah, jika kau berbohong lagi, kau tak berhak mencariku lagi.” “Baik. Aku berjanji.” Vian langsung mendekap, memelukku erat. “Terima kasih,” bisiknya. Aku hanya terdiam menunggu ia melepaskan pelukannya. Apakah ia bisa dipercaya lagi? Aku bimbang. Vian memegang tanganku. “Ayo,” ajaknya. Aku menerima permintaannya dan membiarkan ia membawaku untuk menemui Mama. Untuk Mama, bukan untuknya. Kami melewati lorong panjang dengan lantai marmer berwarna abu gradasi