Sudah berulang kali Tommy dan Raya menghubungiku, tapi aku menolak panggilan mereka. Vian memintaku untuk memblokir nomor mereka dan aku menuruti permintaannya sebagai bakti seorang istri.
"Kalau kamu ketahuan berhubungan dengan teman-temanmu lagi, lihat sendiri nanti," ancamnya.
Aku menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah. Hobiku dulu tak pernah kusentuh lagi. Entah mengapa, rasanya aku tak punya minat apapun. Duniaku rasanya hanya seisi rumah ini dan Vian.
Sesekali, aku menelepon Ibu sebagai pengusir rasa sepi. Meski tetap saja, itu bukan satu-satunya obat. Sebagai makhluk sosial, aku perlu berinteraksi dengan orang lain. Kehidupan berumah tangga yang monoton membuatku hampir tak waras. Selain melakukan tugas-tugas rumah, pekerjaanku hanya melamun saja. Pikiranku hanya diisi oleh Vian. Apalagi dengan sikap Vian yang terkadang aneh dan marah tanpa sebab yang jelas.
Aku memutar-mutar cangkir putih berisikan kopi yang tinggal setengah. Di kala bosan, hanya secangkir kopi yang menemani hari-hariku.
Teman. Ya … aku perlu kesibukkan dan teman baru untuk menjaga kewarasanku. Baiklah, Vian melarangku berkomunikasi dengan Tommy tapi aku harus punya kehidupan yang lain juga. Mungkin satu-satunya cara untuk bisa berkomunikasi dengan orang lain adalah melalui media sosial online. Aku bisa bertemu dan berbicara dengan banyak orang.
Lantas, bagaimana jika Vian menemukan akunku? Ahh iya, aku bisa menggunakan nama dan foto profil palsu, toh hanya sekadar untuk mencari teman bercakap-cakap.
Aku membuka laptop yang terletak di meja kerja, satu-satunya tempat kesukaanku di rumah ini. Letaknya di salah satu sudut ruang TV. Selain laptop, meja itu dipenuhi buku-buku tentang menulis dan teknik merajut. Dulu, aku pernah memiliki hobi merajut, tapi sekarang aku tak bergairah lagi dalam melakukan apapun.
Laptop menyala dan wifi sudah terpasang. Aku mulai berselancar di media online berwarna biru dengan menggunakan nama akun Senja. Foto profilku pun hanya menampakkan suasana senja di sebuah pantai. Penyamaranku dimulai.
Untuk memudahkan pencarian teman baru, aku bergabung dengan sebuah grup pecinta kucing. Aku memang tidak terlalu tahu cara mengurus kucing, tapi setidaknya, aku menyukai binatang berbulu lembut itu.
Tiba-tiba sebuah akun bernama Leo dengan profil singa mengajukan pertemanan kepadaku. Tanpa pikir panjang, aku menekan pilihan menerima pertemanan. Tak berselang lama, muncul notifikasi balon percakapan di layar monitor.
[Hai]
[Hai juga]
[Terima kasih pertemanannya] ucapnya ditambah emot tersenyum.
[Sama-sama] jawabku sekenanya.
[Kamu tinggal di mana?] tanyanya.
Aku tahu pertanyaannya hanyalah basa-basi.
[Bukhara] jawabku singkat.
[Owh ya? Nenekku juga orang Bukhara. Waktu kecil, aku sering main ke sana]
Obrolan kami berlanjut. Ia tampak orang yang hangat dan ramah. Pada awalnya ia hanya menceritakan tentang kehidupannya bersama sang nenek. Lambat laun, ia mulai bersikap terbuka dan menceritakan segala hal tentang hidupnya, keluarga, hobi, termasuk pengalamannya pernah terjerat narkoba.
Aku menghargai kejujurannya. Sikap yang terbuka dan apa adanya membuatku merasa nyaman. Ia juga seorang pendengar yang baik. Meskipun baru beberapa jam mengenal, tetapi rasa canggung itu hilang.
Sedikit demi sedikit, aku pun mulai berani terbuka dan menceritakan tentang Vian, meski tidak terlalu rinci. Aku berpikir bahwa ia hanya teman daring dan kita tidak tahu keberadaan masing-masing. Jadi, aku masih merasa aman.
Tak terasa azan Asar terdengar. Aku segera mengakhiri percakapanku dengan Leo. Ia memintaku untuk kembali online esok hari di waktu yang sama. Just fine. Hanya obrolan kecil dengan teman baru, aku pikir tidak masalah dan aku menyetujuinya.
Hanya rahasia kecil.
Aku menutup laman web aplikasi berwarna biru dan mematikan laptopku. Kemudian, menuju dapur mempersiapkan makan malam untuk Vian. Tadi pagi ia memesan untuk membuatkannya lagi sup kacang merah. Makan malam dengan menu yang sama selama hampir sebulan ini. Entah mengapa ia tidak pernah bosan. Sedangkan aku, sudah berpuluh kali berganti menu.
Terdengar suara ketukan pintu dan seseorang memasuki ruang tamu. Rupanya Vian sudah pulang. Ia sengaja memintaku untuk tidak mengunci pintu ketika ia pulang agar aku tak perlu repot-repot membukakan pintu. Terlebih, agar ia segera tahu apa yang tengah aku kerjakan di rumah.
Terdengar suara derap langkahnya memasuki ruang dapur dan sebuah pelukan singgah dari arah belakangku.
“Sedang masak apa?” tanyanya setengah berbisik. Embusan napasnya terasa dekat di cuping telinga kananku.
“Sup kacang merah,” jawabku setengah malas.
Kupikir pertanyaan macam apa itu. Bukankah tadi pagi, kemarin, lusa dan seterusnya ia selalu memintaku menyiapkan sup kacang merah.
Dasar aneh.
Aku mengurai pelukannya dan berpura-pura mengambil sendok sayur yang tak jauh dariku, kemudian mengaduk-aduk sup.
Terdengar suara Vian menarik sebuah kursi dan mendudukinya. Sementara itu, aku menyendokkan sup ke dalam mangkuk berwarna putih kesukaannya. Semua peralatan makan dan minum di dapur ini berwarna putih, sesuai dengan pilihannya.
Aku memutar tubuhku dan mulai berjalan ke arahnya. Namun, terasa ada sesuatu yang menggelikan di kaki kananku. Kuarahkan pandangan ke kedua kaki dan ternyata seekor kecoa tengah melintas di pergelangan kaki kanan. Spontan aku terkejut dan melepaskan mangkok dari genggaman. Seketika itu, mangkuk terjatuh ke lantai dan hampir mengenai kakiku. Aku menghela napas kesal, lalu berjongkok dan memunguti serpihan mangkuk yang berserakkan.
Brakkk!
“Apa yang kamu lakukan, Anya!”
Belum hilang rasa terkejut karena binatang menjijikkan itu, kini aku dikagetkan oleh suara bentakan Vian. Aku menengadahkan wajah dan melihatnya yang tengah berdiri dengan kedua tangan di meja. Wajahnya tampak merah padam.
“Kenapa harus marah sih? Kan aku tidak sengaja. Ini hanya kecelakaan konyol gara-gara binatang menjijikkan saja,” ketusku seraya kembali memunguti pecahan mangkuk.
Tiba-tiba Vian memukul tanganku dengan sebatang kayu kecil panjang hingga pecahan serpihan itu terlepas dari genggaman dan melukai tangan kananku. Namun, Vian bukannya iba melihatku meringis, melainkan semakin bernafsu untuk terus memukul tangan-tanganku.
“Dasar gak becus! Seharusnya kamu berhati-hati!” teriaknya.
“Awww! Hentikan,Vian!”
Aku beringsut mundur hingga terpojok ke tembok dapur. Namun, ia tetap memukul kedua tanganku secara bergantian.
“Lain kali lakukan pekerjaan dengan benar!” bentaknya lagi.
”Ta-tapi aku gak sengaja, Vian!” Aku membela diri.
“Diam kamu! Jangan beralasan.”
Mendengar pembelaanku, Vian bukannya menghentikan pukulan, kemarahannya bahkan semakin menjadi-jadi. Aku menyilangkan kedua tangan demi melindungi wajah dari pukulannya. Rasa panas dan nyeri mulai terasa di kedua tangan. Perih. Ringisanku tak juga menghentikan pukulannya.
“Auwww … Please, Vian. Hentikan!” Aku mengiba. “Tolong hentikan ….”
Air mata rasanya tak sanggup kubendung lagi. Rasa takut, kecewa dan sedih luruh menjadi satu dalam bulir air mata yang menyeruak dari kedua netraku. Aku tersedu-sedu menahan rasa sakit atas perlakuannya yang hingga kini tak kupahami. Aku meringkuk di sisi tembok dapur, tak peduli lagi atas sabetan tongkat Vian. Aku menyembunyikan wajah di kedua lututku.
Aku hanya mendengar suara isakan dari diri sendiri. Entah kemana Vian. Aku tak peduli, Cukup lama aku menangis sendiri di dapur, hingga pada akhirnya aku memutuskan untuk merapikan diri dan menuju toilet.Kumulai melepaskan dekapan di lutut dan memindai sekeliling dapur. Vian tidak ada di sini. Lantas segera kurapikan kembali serpihan mangkok dengan cepat sambil membungkuk. Aku tak ingin Vian datang dalam keadaan dapur masih berantakan. Aku mengemas pecahan ke dalam kantong plastik, kemudian beranjak menuju tempat sampah yang berada di pojok meja dan menekan pijakan tempat sampah dengan kaki, lalu membuangnya.Dengan tertatih aku berjalan menuju toilet kamar. Namun, langkahku terhenti seketika melihat Vian tengah terduduk di pinggiran ranjang dan menatap ke arahku. Aku tertegun, melanjutkan langkah menuju toilet atau berbalik arah. Aku hanya bisa be
Sebuah notifikasi pesan masuk dari aplikasi berwarna biru. Terlihat nama Leo sebagai pengirim pesan. Aku mulai tertarik kepadanya. Ia terlihat begitu jujur. Sikap yang tampak terbuka dan apa adanya membuatku tertarik untuk lebih dekat dengannya.Sedikit demi sedikit, aku pun mulai berani terbuka dan menceritakan tentang Vian padahal aku baru mengenalnya tiga minggu yang lalu. Ia selalu siap mendengarkan ketika aku berkeluh kesah tentang perlakuan Vian yang terkadang aneh. Setiap kali aku memanggilnya, ia langsung terlihat online.[Kamu dipukul lagi?] tanyanya.[Iya]Kali ini ceritaku tanpa tangis. Aku sudah lupa jika aku masih memiliki airmata.
Bab 8“Owh … hai. Leo ya.” Aku menangkupkan kedua tangan di dada sebagai salam.Kulitnya begitu putih dan halus untuk seukuran pria Uzbekistan. Hidung mancung dengan mata sipit menawan. Meski rambutnya tak biasa dengan model belah dua, tetapi tidak mengurangi ketampanannya. Aku terkesima.“Wow … aku tak menyangka kamu secantik ini.” Ia membuka percakapan. Meskipun terdengar basa-basi, tapi aku cukup senang mendengarnya.“Ah ya … sebaiknya kita mengobrol di atas saja. Di sini penuh.” Leo menggerakkan kepala memberi tanda untuk mengikutinya.Aku kembali memindai ruangan, meski ada beberapa sofa yang kosong tapi tempat ini tampak penuh. Mungkin karena jam
Vian duduk di belakang kemudi. Matanya terfokus ke jalanan yang ramai. Sesekali ia menoleh ke arahku, mungkin untuk memastikan jika aku baik-baik saja.Aku sedang tidak baik-baik saja dan gejolak di dalam perutku mulai terasa lagi. Ah tidak Tuhan … jangan di sini.Aku menutup mulut dengan tangan demi menahan rasa mual yang mulai menjalar ke arah kerongkongan. Humppp … aku menggembungkan pipi supaya mulut tak terbuka dan bersuara. Namun, rasa mual itu tak dapat aku tahan. Untuk mengalihkan perasaan tak nyaman, aku menghempaskan punggung ke sandaran kursi mobil agar perhatian teralihkan.“Kamu baik-baik saja, Anya?” Vian kembali menoleh ke arahku sepersekian detik sebelum kembali fokus ke jalanan.“Kenapa aku sebodoh itu, Vian? Bagaimana mun
Aku merapikan setelanku. Klasik, blus terusan pompa berwarna salem dengan bolero. Tak lupa sepatu dengan warna senada dan tas tangan. Jangan sampai penampilanku kacau ketika bertemu ibu mertua. Tata rambut sengaja kugerai untuk menutupi bekas tamparan Vian. Meskipun tidak terlalu terlihat, tetapi jika diperhatikan lebih detil, bekas tamparan itu masih bisa terlihat. Tak memakan waktu lama, aku sudah berada di rumah Mama. Rumah model tropikal yang berada di penghujung jalan dengan beberapa pohon palm di sekitar rumah. Jendela dan pintu yang dipilih relatif besar. Mungkin bertujuan agar rumah itu memiliki sirkulasi udara yang sehat. Mama memang selalu mengedepankan kesehatan. Mama menyongsong kedatanganku. Setelah berpelukan, Mama mengajakku masuk menuju ruang belakang. Sebuah teras yang diperuntukkan untuk tempat makan. Berbagai makanan khas Uzbekistan dan Ind
Hari pertama di rumah, aku merasakan semangat baru. Semoga ini membantu hubunganku dengan Vian semakin baik. Melihat usahanya mendekatiku, rasanya tidak adil jika aku terus menutup hati.Kupalingkan bola mataku ke arah jam di dinding kamar. Waktu masih pukul tiga sore. Aku ingin menyenangkannya dengan menyiapkan makan malam romantis besok. Ya … meskipun aku yang berulang tahun, tidak ada salahnya jika aku yang membuat orang lain bahagia. Lagipula, siapa tahu Vian akan semakin bersikap baik kepadaku. Sebaiknya aku bergegas untuk berbelanja sebelum supermarket tutup.Mesin mobil mulai terdengar meraung-raung. Aku melajukan mobil sambil mataku sesekali melirik ke arah layar ponsel untuk melihat peta. Semoga tidak tersesat di jalan. Untung Vian berangkat dengan jemputan mobil kantor, jadi aku bisa leluasa untuk bepergian.
Aku mendengus kesal mengingat kejadian tadi. Pasangan menyebalkan di supermarket benar-benar mempermalukan aku. Ingin rasanya aku membalas wanita itu, tapi untuk apa jika hanya menjadi bahan tontonan orang-orang di sekitar.Wortel yang tidak terlalu keras itu, kupotong-potong dengan kasar.Tak … Tak … Tak.Suaranya terdengar jelas di sekeliling dapur. Tentu saja terdengar jelas. Rumah ini terlalu besar dan kosong untuk ditinggali berdua. Kadang terlintas keinginan hadirnya seorang anak kecil di rumah ini, tapi cepat-cepat kutepis pikiran itu. Rasanya aku perlu melihat perkembangan sikap Vian terlebih dahulu. Perubahan sikapnya yang drastis terkadang membuatku bingung.Klik.Lampu di seluruh rumah tiba-tiba
Aku mendengus kesal mengingat kejadian tadi. Pasangan menyebalkan di supermarket benar-benar mempermalukan aku. Ingin rasanya aku membalas wanita itu, tapi untuk apa jika hanya menjadi bahan tontonan orang-orang di sekitar. Wortel yang tidak terlalu keras itu, kupotong-potong dengan kasar. Tak … Tak … Tak. Suaranya terdengar jelas di sekeliling dapur. Tentu saja terdengar jelas. Rumah ini terlalu besar dan kosong untuk ditinggali berdua. Kadang terlintas keinginan hadirnya seorang anak kecil di rumah ini, tapi cepat-cepat kutepis pikiran itu. Rasanya aku perlu melihat perkembangan sikap Vian terlebih dahulu. Perubahan sikapnya yang drastis terkadang membuatku bingung. Klik. Lampu di seluruh rumah tiba-tiba mati. Ak