Share

Bab 4 Mencari Bahagia

Aku mengusap lengan kananku. Masih terasa hangat meski teraliri air pancuran. Kuusap perlahan kulit yang berwarna kemerahan. Ahhh … Sepertinya benturan tadi membuat  pembuluh darahku meradang dan aku kesulitan menggerakkan tanganku lebih jauh.

Air pancuran mengguyur pucuk kepala dan membasahi seluruh tubuhku secara perlahan. Aku mengusap-usap wajahku yang tersiram air, menyamarkan tetesan air mata yang sejak tadi tak dapat aku bendung.

Sakit masih terasa di lengan, tetapi rasanya tak menyamai rasa sakit di hati ini. Nyeri, serasa tertusuk sembilu. Ulu hati tercabik-cabik hingga tak berbentuk. Aku mati rasa.

Terasa sepasang tangan menyentuh pundakku. Awww … aku mengaduh. Deguban jantung terasa semakin cepat. Belum habis rasa terkejutku, kini Vian telah berada di belakangku lagi. Aku merasakan posisiku yang lemah, tak dapat bertahan jika ia tiba-tiba menyerang.

Selama beberapa detik, aku membiarkannya dan menunggu, ingin tahu apa yang akan ia perbuat selanjutnya. Ia ternyata merengkuhku, mendekap erat tubuh ini dalam guyuran air. “Maafkan aku, Anya,” lirihnya dengan nada memelas.

Ini sudah kesekian kalinya ia berlaku kasar dan meminta maaf. Sepersekian detik otakku mencoba mencerna situasi. Gurauan apa ini? Apakah ini nyata atau hanya mimpi belaka?

Tangannya mencoba membalikkan tubuhku. Ia menatap dengan lembut. “Maafkan aku, please. Aku terlalu mencintai kamu, Anya. Aku takut kehilangan kamu.” Ia menggenggam lalu mengangkat kedua tanganku dan mengecupnya. Aku hanya bisa tergugu di tempatku, entah harus berbuat apa.

Melihatku terdiam, Vian mematikan kran air dan mengambilkan handuk yang tergantung di pengait baju. Tangannya membalutkan handuk di tubuhku yang sedari tadi mematung tanpa busana. “Ayo, pakai baju. Nanti kamu kedinginan dan masuk angin. Aku gak tega liat kamu sakit nanti.”

Huff. Pernyataan apa tadi. Apa dia hilang ingatan, lupa apa yang dia lakukan kepadaku tadi, gerutuku dalam hati. Mana mungkin aku berani berucap seperti itu kepadanya, kalaupun iya, siap-siap aku disiksanya.

Aku melangkahkan kaki keluar kamar mandi, meninggalkan Vian yang mungkin hendak membilas badannya. Tak sedikitpun aku menoleh kepadanya. Kuarahkan langkahku menuju lemari. Mataku tertarik pada sebuah baju tidur yang tergeletak di atas ranjang, berwarna merah, cantik dan seksi.

Tanganku mengusap lembut baju yang terbuat dari sutra. Aku dapat menebaknya dari bahan yang terasa lembut di kulit. Belum lagi habis rasa terkejutku, mata teralihkan oleh sebuah buket bunga yang tersimpan di meja rias. Sebuket bunga mawar merah diikat cantik oleh pita  dengan warna yang senada.

Aku mendekatinya dan duduk di kursi rias. Terlihat, secarik kertas di atasnya bertuliskan “I Love You” tertanda Vian Aaric. Hatiku berdesir halus mengingat romantisme yang kerap kali ia lakukan kepadaku. Sebagai seorang perempuan, rayuan-rayuan maut itu mampu memutar-balikkan logika, dan aku terhipnotis karenanya.

Suara bariton memudarkan konsentrasiku. Vian ternyata telah selesai membersihkan badannya. Sehelai handuk masih menempel di pinggangnya. Aku memalingkan wajah. Meskipun telah tinggal bersamanya selama seminggu, tetapi rasa canggung dan malu itu masih tetap ada.

Ia menghampiriku. “Bagaimana bajunya, suka?” Ia tersenyum, manja sekali. Jika melihatnya seperti itu, sikap beringasnya tak tampak sama sekali.

“Su-suka,” jawabku terbata-bata.

“Ayo dipakai.” Ia mengambil baju dan menyodorkannya kepadaku. “Pakailah. Kamu pasti terlihat cantik dengan pakaian ini,” ujarnya lagi.

“Hmm … oke.”

Tanganku sigap mengambil baju yang terulur dari tangannya. Aku menyetujui permintaan Vian bukan karena menyukai pemberiannya, tetapi karena takut ia marah akan penolakanku. Lambat laun aku mengetahui tabiatnya. Sedikitpun, aku tak boleh membuatnya tersinggung. Jika itu terjadi, siap-siap wajahku ditamparnya.

Selesai memakai baju, Vian menyuruhku berputar. “Cantik,” gumamnya.

Tangan kanannya terulur mencoba menggapai wajahku. Spontan, aku melangkah mundur darinya. “Jangan takut,” ucapnya lembut seraya tangannya terus berusaha mencapai wajahku. Ia mengelus pipi yang pernah ditamparnya, terus menyusup ke arah tengkuk dan membelai lembut rambutku.

Ia mendekatkan wajahnya ke arahku. Kini, kami hampir tak berjarak. Kali ini, aku tahu apa yang akan ia lakukan selanjutnya dan aku memilih untuk diam. 

Jantungku berdetak tak karuan. Rasa was-was mulai menguasai pikiran hingga aku mendorongnya perlahan. Namun, ia sigap merengkuh tubuhku dan menguncinya dengan pelukan. Embusan napasnya begitu terasa dekat. Sangat dekat. Kurasakan sentuhan lembut di bibir. Aku mengikuti permainannya dan memejamkan mata. 

Bukankah seorang istri harus melayani suaminya.

***  

Suara mesin kendaraan membangunkanku. Aku menggosok-gosok mata dan mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar dan menghentikannya tepat pada jam weker yang berada di atas meja. Sudah pukul sebelas malam. Aku membalikkan tubuh dan tak menemukan Vian di sampingku.

Kemana dia pergi?

Aku meraih kimono yang tergeletak di sisi ranjang kemudian menuju ke luar kamar. Hampir seisi ruangan aku susuri. Akan tetapi, aku tak menemukan Vian dimanapun. Pencarianku berakhir di dapur. Aku tercengang melihat suasana dapur yang begitu rapi. Pecahan bekas gelas sore tadi sudah tak terlihat. Sementara itu, di atas meja makan tersedia sebuah cangkir dan teko. Aku menuangkan teh yang terlihat masih mengepul ke dalam cangkir. 

Rupanya Vian membuatkan teh sebelum ia pergi. Tapi … kemana ia pergi malam-malam begini?

Gelap merajai malam. Suara binatang malam menemaniku saat ini. Tak bisa kembali tertidur, aku menuju ruang kerja untuk membaca sebuah buku. Aku berjalan menyusuri lemari buku. Di antara deretan buku terselip sebuah album foto berwarna merah marun. Spontan rasa penasaran muncul dan tanganku meraihnya. Kubuka perlahan setiap halaman album dan mengamati beberapa foto di dalamnya. Terlihat sosok anak laki-laki imut berusia lima tahunan berdiri tegak yang aku perkirakan adalah Vian. Namun, kedua orangtua yang berada di sebelahnya tidak aku kenali sama sekali. Wajah ibunya tidak tampak persis seperti Bu Martha. Wajah wanita yang berada di dalam foto terlihat seperti seorang blesteran,  berbeda dengan Bu Martha yang memiliki wajah melayu.

Pikiranku terganggu oleh suara derit pintu garasi. Suara mesin motor terdengar keras mendekati ruang garasi. Sepertinya Vian telah kembali. Bergegas aku simpan album foto ke tempatnya dan melupakan beberapa pertanyaanku tadi. 

Aku segera menghambur ke arah ruang tamu bersamaan dengan ia yang tengah membuka pintu. 

“Habis cari angin?” tanyaku seraya membukakan jaketnya. 

Ia hanya terdiam dan lebih fokus pada sepuntung rokok yang berada di antara jepitan telunjuk dan jari tengah. Vian memasukkan rokok di antara kedua bibir dan menyesapnya, kemudian mengembuskan perlahan. 

Aku cukup terkejut karena baru kali ini melihatnya merokok. Ia bahkan tidak pernah mengatakan jika ia adalah seorang perokok. Penampilannya malam ini juga begitu berbeda, terlihat begitu maskulin. Ada pancaran aura yang tak aku mengerti. Sorot mata yang tak bisa aku maknai.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status