Aku mengusap lengan kananku. Masih terasa hangat meski teraliri air pancuran. Kuusap perlahan kulit yang berwarna kemerahan. Ahhh … Sepertinya benturan tadi membuat pembuluh darahku meradang dan aku kesulitan menggerakkan tanganku lebih jauh.
Air pancuran mengguyur pucuk kepala dan membasahi seluruh tubuhku secara perlahan. Aku mengusap-usap wajahku yang tersiram air, menyamarkan tetesan air mata yang sejak tadi tak dapat aku bendung.
Sakit masih terasa di lengan, tetapi rasanya tak menyamai rasa sakit di hati ini. Nyeri, serasa tertusuk sembilu. Ulu hati tercabik-cabik hingga tak berbentuk. Aku mati rasa.
Terasa sepasang tangan menyentuh pundakku. Awww … aku mengaduh. Deguban jantung terasa semakin cepat. Belum habis rasa terkejutku, kini Vian telah berada di belakangku lagi. Aku merasakan posisiku yang lemah, tak dapat bertahan jika ia tiba-tiba menyerang.
Selama beberapa detik, aku membiarkannya dan menunggu, ingin tahu apa yang akan ia perbuat selanjutnya. Ia ternyata merengkuhku, mendekap erat tubuh ini dalam guyuran air. “Maafkan aku, Anya,” lirihnya dengan nada memelas.
Ini sudah kesekian kalinya ia berlaku kasar dan meminta maaf. Sepersekian detik otakku mencoba mencerna situasi. Gurauan apa ini? Apakah ini nyata atau hanya mimpi belaka?
Tangannya mencoba membalikkan tubuhku. Ia menatap dengan lembut. “Maafkan aku, please. Aku terlalu mencintai kamu, Anya. Aku takut kehilangan kamu.” Ia menggenggam lalu mengangkat kedua tanganku dan mengecupnya. Aku hanya bisa tergugu di tempatku, entah harus berbuat apa.
Melihatku terdiam, Vian mematikan kran air dan mengambilkan handuk yang tergantung di pengait baju. Tangannya membalutkan handuk di tubuhku yang sedari tadi mematung tanpa busana. “Ayo, pakai baju. Nanti kamu kedinginan dan masuk angin. Aku gak tega liat kamu sakit nanti.”
Huff. Pernyataan apa tadi. Apa dia hilang ingatan, lupa apa yang dia lakukan kepadaku tadi, gerutuku dalam hati. Mana mungkin aku berani berucap seperti itu kepadanya, kalaupun iya, siap-siap aku disiksanya.
Aku melangkahkan kaki keluar kamar mandi, meninggalkan Vian yang mungkin hendak membilas badannya. Tak sedikitpun aku menoleh kepadanya. Kuarahkan langkahku menuju lemari. Mataku tertarik pada sebuah baju tidur yang tergeletak di atas ranjang, berwarna merah, cantik dan seksi.
Tanganku mengusap lembut baju yang terbuat dari sutra. Aku dapat menebaknya dari bahan yang terasa lembut di kulit. Belum lagi habis rasa terkejutku, mata teralihkan oleh sebuah buket bunga yang tersimpan di meja rias. Sebuket bunga mawar merah diikat cantik oleh pita dengan warna yang senada.
Aku mendekatinya dan duduk di kursi rias. Terlihat, secarik kertas di atasnya bertuliskan “I Love You” tertanda Vian Aaric. Hatiku berdesir halus mengingat romantisme yang kerap kali ia lakukan kepadaku. Sebagai seorang perempuan, rayuan-rayuan maut itu mampu memutar-balikkan logika, dan aku terhipnotis karenanya.
Suara bariton memudarkan konsentrasiku. Vian ternyata telah selesai membersihkan badannya. Sehelai handuk masih menempel di pinggangnya. Aku memalingkan wajah. Meskipun telah tinggal bersamanya selama seminggu, tetapi rasa canggung dan malu itu masih tetap ada.
Ia menghampiriku. “Bagaimana bajunya, suka?” Ia tersenyum, manja sekali. Jika melihatnya seperti itu, sikap beringasnya tak tampak sama sekali.
“Su-suka,” jawabku terbata-bata.
“Ayo dipakai.” Ia mengambil baju dan menyodorkannya kepadaku. “Pakailah. Kamu pasti terlihat cantik dengan pakaian ini,” ujarnya lagi.
“Hmm … oke.”
Tanganku sigap mengambil baju yang terulur dari tangannya. Aku menyetujui permintaan Vian bukan karena menyukai pemberiannya, tetapi karena takut ia marah akan penolakanku. Lambat laun aku mengetahui tabiatnya. Sedikitpun, aku tak boleh membuatnya tersinggung. Jika itu terjadi, siap-siap wajahku ditamparnya.
Selesai memakai baju, Vian menyuruhku berputar. “Cantik,” gumamnya.
Tangan kanannya terulur mencoba menggapai wajahku. Spontan, aku melangkah mundur darinya. “Jangan takut,” ucapnya lembut seraya tangannya terus berusaha mencapai wajahku. Ia mengelus pipi yang pernah ditamparnya, terus menyusup ke arah tengkuk dan membelai lembut rambutku.
Ia mendekatkan wajahnya ke arahku. Kini, kami hampir tak berjarak. Kali ini, aku tahu apa yang akan ia lakukan selanjutnya dan aku memilih untuk diam.
Jantungku berdetak tak karuan. Rasa was-was mulai menguasai pikiran hingga aku mendorongnya perlahan. Namun, ia sigap merengkuh tubuhku dan menguncinya dengan pelukan. Embusan napasnya begitu terasa dekat. Sangat dekat. Kurasakan sentuhan lembut di bibir. Aku mengikuti permainannya dan memejamkan mata.
Bukankah seorang istri harus melayani suaminya.
***
Suara mesin kendaraan membangunkanku. Aku menggosok-gosok mata dan mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar dan menghentikannya tepat pada jam weker yang berada di atas meja. Sudah pukul sebelas malam. Aku membalikkan tubuh dan tak menemukan Vian di sampingku.
Kemana dia pergi?
Aku meraih kimono yang tergeletak di sisi ranjang kemudian menuju ke luar kamar. Hampir seisi ruangan aku susuri. Akan tetapi, aku tak menemukan Vian dimanapun. Pencarianku berakhir di dapur. Aku tercengang melihat suasana dapur yang begitu rapi. Pecahan bekas gelas sore tadi sudah tak terlihat. Sementara itu, di atas meja makan tersedia sebuah cangkir dan teko. Aku menuangkan teh yang terlihat masih mengepul ke dalam cangkir.
Rupanya Vian membuatkan teh sebelum ia pergi. Tapi … kemana ia pergi malam-malam begini?
Gelap merajai malam. Suara binatang malam menemaniku saat ini. Tak bisa kembali tertidur, aku menuju ruang kerja untuk membaca sebuah buku. Aku berjalan menyusuri lemari buku. Di antara deretan buku terselip sebuah album foto berwarna merah marun. Spontan rasa penasaran muncul dan tanganku meraihnya. Kubuka perlahan setiap halaman album dan mengamati beberapa foto di dalamnya. Terlihat sosok anak laki-laki imut berusia lima tahunan berdiri tegak yang aku perkirakan adalah Vian. Namun, kedua orangtua yang berada di sebelahnya tidak aku kenali sama sekali. Wajah ibunya tidak tampak persis seperti Bu Martha. Wajah wanita yang berada di dalam foto terlihat seperti seorang blesteran, berbeda dengan Bu Martha yang memiliki wajah melayu.
Pikiranku terganggu oleh suara derit pintu garasi. Suara mesin motor terdengar keras mendekati ruang garasi. Sepertinya Vian telah kembali. Bergegas aku simpan album foto ke tempatnya dan melupakan beberapa pertanyaanku tadi.
Aku segera menghambur ke arah ruang tamu bersamaan dengan ia yang tengah membuka pintu.
“Habis cari angin?” tanyaku seraya membukakan jaketnya.
Ia hanya terdiam dan lebih fokus pada sepuntung rokok yang berada di antara jepitan telunjuk dan jari tengah. Vian memasukkan rokok di antara kedua bibir dan menyesapnya, kemudian mengembuskan perlahan.
Aku cukup terkejut karena baru kali ini melihatnya merokok. Ia bahkan tidak pernah mengatakan jika ia adalah seorang perokok. Penampilannya malam ini juga begitu berbeda, terlihat begitu maskulin. Ada pancaran aura yang tak aku mengerti. Sorot mata yang tak bisa aku maknai.
Sudah berulang kali Tommy dan Raya menghubungiku, tapi aku menolak panggilan mereka. Vian memintaku untuk memblokir nomor mereka dan aku menuruti permintaannya sebagai bakti seorang istri. "Kalau kamu ketahuan berhubungan dengan teman-temanmu lagi, lihat sendiri nanti," ancamnya. Aku menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah. Hobiku dulu tak pernah kusentuh lagi. Entah mengapa, rasanya aku tak punya minat apapun. Duniaku rasanya hanya seisi rumah ini dan Vian. Sesekali, aku menelepon Ibu sebagai pengusir rasa sepi. Meski tetap saja, itu bukan satu-satunya obat. Sebagai makhluk sosial, aku perlu berinteraksi dengan orang lain. Kehidupan berumah tangga yang monoton membuatku hampir tak waras. Selain melakukan tugas-tugas rumah, pekerjaanku hanya melamun saja. Pikiranku hanya diisi oleh Vian. Apalagi dengan sika
Aku hanya mendengar suara isakan dari diri sendiri. Entah kemana Vian. Aku tak peduli, Cukup lama aku menangis sendiri di dapur, hingga pada akhirnya aku memutuskan untuk merapikan diri dan menuju toilet.Kumulai melepaskan dekapan di lutut dan memindai sekeliling dapur. Vian tidak ada di sini. Lantas segera kurapikan kembali serpihan mangkok dengan cepat sambil membungkuk. Aku tak ingin Vian datang dalam keadaan dapur masih berantakan. Aku mengemas pecahan ke dalam kantong plastik, kemudian beranjak menuju tempat sampah yang berada di pojok meja dan menekan pijakan tempat sampah dengan kaki, lalu membuangnya.Dengan tertatih aku berjalan menuju toilet kamar. Namun, langkahku terhenti seketika melihat Vian tengah terduduk di pinggiran ranjang dan menatap ke arahku. Aku tertegun, melanjutkan langkah menuju toilet atau berbalik arah. Aku hanya bisa be
Sebuah notifikasi pesan masuk dari aplikasi berwarna biru. Terlihat nama Leo sebagai pengirim pesan. Aku mulai tertarik kepadanya. Ia terlihat begitu jujur. Sikap yang tampak terbuka dan apa adanya membuatku tertarik untuk lebih dekat dengannya.Sedikit demi sedikit, aku pun mulai berani terbuka dan menceritakan tentang Vian padahal aku baru mengenalnya tiga minggu yang lalu. Ia selalu siap mendengarkan ketika aku berkeluh kesah tentang perlakuan Vian yang terkadang aneh. Setiap kali aku memanggilnya, ia langsung terlihat online.[Kamu dipukul lagi?] tanyanya.[Iya]Kali ini ceritaku tanpa tangis. Aku sudah lupa jika aku masih memiliki airmata.
Bab 8“Owh … hai. Leo ya.” Aku menangkupkan kedua tangan di dada sebagai salam.Kulitnya begitu putih dan halus untuk seukuran pria Uzbekistan. Hidung mancung dengan mata sipit menawan. Meski rambutnya tak biasa dengan model belah dua, tetapi tidak mengurangi ketampanannya. Aku terkesima.“Wow … aku tak menyangka kamu secantik ini.” Ia membuka percakapan. Meskipun terdengar basa-basi, tapi aku cukup senang mendengarnya.“Ah ya … sebaiknya kita mengobrol di atas saja. Di sini penuh.” Leo menggerakkan kepala memberi tanda untuk mengikutinya.Aku kembali memindai ruangan, meski ada beberapa sofa yang kosong tapi tempat ini tampak penuh. Mungkin karena jam
Vian duduk di belakang kemudi. Matanya terfokus ke jalanan yang ramai. Sesekali ia menoleh ke arahku, mungkin untuk memastikan jika aku baik-baik saja.Aku sedang tidak baik-baik saja dan gejolak di dalam perutku mulai terasa lagi. Ah tidak Tuhan … jangan di sini.Aku menutup mulut dengan tangan demi menahan rasa mual yang mulai menjalar ke arah kerongkongan. Humppp … aku menggembungkan pipi supaya mulut tak terbuka dan bersuara. Namun, rasa mual itu tak dapat aku tahan. Untuk mengalihkan perasaan tak nyaman, aku menghempaskan punggung ke sandaran kursi mobil agar perhatian teralihkan.“Kamu baik-baik saja, Anya?” Vian kembali menoleh ke arahku sepersekian detik sebelum kembali fokus ke jalanan.“Kenapa aku sebodoh itu, Vian? Bagaimana mun
Aku merapikan setelanku. Klasik, blus terusan pompa berwarna salem dengan bolero. Tak lupa sepatu dengan warna senada dan tas tangan. Jangan sampai penampilanku kacau ketika bertemu ibu mertua. Tata rambut sengaja kugerai untuk menutupi bekas tamparan Vian. Meskipun tidak terlalu terlihat, tetapi jika diperhatikan lebih detil, bekas tamparan itu masih bisa terlihat. Tak memakan waktu lama, aku sudah berada di rumah Mama. Rumah model tropikal yang berada di penghujung jalan dengan beberapa pohon palm di sekitar rumah. Jendela dan pintu yang dipilih relatif besar. Mungkin bertujuan agar rumah itu memiliki sirkulasi udara yang sehat. Mama memang selalu mengedepankan kesehatan. Mama menyongsong kedatanganku. Setelah berpelukan, Mama mengajakku masuk menuju ruang belakang. Sebuah teras yang diperuntukkan untuk tempat makan. Berbagai makanan khas Uzbekistan dan Ind
Hari pertama di rumah, aku merasakan semangat baru. Semoga ini membantu hubunganku dengan Vian semakin baik. Melihat usahanya mendekatiku, rasanya tidak adil jika aku terus menutup hati.Kupalingkan bola mataku ke arah jam di dinding kamar. Waktu masih pukul tiga sore. Aku ingin menyenangkannya dengan menyiapkan makan malam romantis besok. Ya … meskipun aku yang berulang tahun, tidak ada salahnya jika aku yang membuat orang lain bahagia. Lagipula, siapa tahu Vian akan semakin bersikap baik kepadaku. Sebaiknya aku bergegas untuk berbelanja sebelum supermarket tutup.Mesin mobil mulai terdengar meraung-raung. Aku melajukan mobil sambil mataku sesekali melirik ke arah layar ponsel untuk melihat peta. Semoga tidak tersesat di jalan. Untung Vian berangkat dengan jemputan mobil kantor, jadi aku bisa leluasa untuk bepergian.
Aku mendengus kesal mengingat kejadian tadi. Pasangan menyebalkan di supermarket benar-benar mempermalukan aku. Ingin rasanya aku membalas wanita itu, tapi untuk apa jika hanya menjadi bahan tontonan orang-orang di sekitar.Wortel yang tidak terlalu keras itu, kupotong-potong dengan kasar.Tak … Tak … Tak.Suaranya terdengar jelas di sekeliling dapur. Tentu saja terdengar jelas. Rumah ini terlalu besar dan kosong untuk ditinggali berdua. Kadang terlintas keinginan hadirnya seorang anak kecil di rumah ini, tapi cepat-cepat kutepis pikiran itu. Rasanya aku perlu melihat perkembangan sikap Vian terlebih dahulu. Perubahan sikapnya yang drastis terkadang membuatku bingung.Klik.Lampu di seluruh rumah tiba-tiba