Share

Bab 6 Makan Malam

Aku hanya mendengar suara isakan dari diri sendiri. Entah kemana Vian. Aku tak peduli, Cukup lama aku menangis sendiri di dapur, hingga pada akhirnya aku memutuskan untuk merapikan diri dan menuju toilet.

Kumulai melepaskan dekapan di lutut dan memindai sekeliling dapur. Vian tidak ada di sini. Lantas segera kurapikan kembali serpihan mangkok dengan cepat sambil membungkuk. Aku tak ingin Vian datang dalam keadaan dapur masih berantakan. Aku mengemas pecahan ke dalam kantong plastik, kemudian beranjak menuju tempat sampah yang berada di pojok meja  dan menekan pijakan tempat sampah dengan kaki, lalu membuangnya. 

Dengan tertatih aku berjalan menuju toilet kamar. Namun, langkahku terhenti seketika melihat Vian tengah terduduk di pinggiran ranjang dan menatap ke arahku. Aku tertegun, melanjutkan langkah menuju toilet atau berbalik arah. Aku hanya bisa berdiri mematung. 

Tanpa aku sangka, Vian menghambur ke arahku dan langsung menjatuhkan diri tepat di hadapan, Ia memegang kedua lututku lalu memohon “Anya, tolong maafkan aku. Aku tidak bermaksud kasar!” Vian terisak-isak.

Aku terkejut melihat sikapnya yang berubah drastis. Ia menangis layaknya seorang anak kecil yang merasa bersalah dan takut untuk dihukum. 

Ini gila. Bagaimana bisa ia berubah begitu cepat! Tanpa terlihat merasa bersalah, ia memukuliku kemudian sekarang ia meminta maaf.

“Ssshuhh ….” Aku memegang kepala Vian dan mengusap-usapnya. “Its oke, Vian. Aku tahu kamu tidak bermaksud begitu. Benar kan?” Aku mengangkat dagunya. Ia menatapku dengan tatapan memelas.

Ia berusaha bangkit dan memelukku. “Maafkan aku yaa.” Selama beberapa detik, kami saling berpelukan. 

Kemudian ia mengurai pelukannya. “Bagaimana kalau kita makan malam romantis di luar? Sudah lama aku tidak mengajakmu jalan-jalan,” ajaknya.

Aku menganggukan kepala. “Kalau begitu, aku siap-siap berganti pakaian terlebih dahulu.” Aku menatapnya meminta persetujuan untuk menjauh dari tempatku berdiri.

Vian tampaknya mengerti. Ia memberi jalan dan membiarkanku melewatinya. Sementara itu, aku menjauh darinya dan menuju wastafel. Kemudian mengambil sabun pencuci wajah yang tersimpan rapi di sudut wastafel drop-in dan mulai mencuci wajahku. Guratan mata sembab masih terlihat di kelopak mata. Aku membasuhnya lagi dengan air dingin dari kran. Terasa sejuk.

Sementara itu, dari kaca wastafel aku bisa melihat Vian sibuk berganti pakaian. Ia mengganti bajunya dengan kemeja berwarna putih, celana denim dan sepatu kets. 

“Anya.” Ia memanggilku. “Aku tunggu di ruang tamu ya,” ujarnya seraya menyambar sebuah jas berwarna cokelat dari lemari pakaian.

“Oke,” jawabku tanpa menoleh, hanya melihat dari kaca wastafel.

Aku berjalan menuju lemari baju dan membuka pintunya. Memilih satu persatu pakaian yang tergantung di dalamnya. Tanganku berhenti pada baju model off shoulder dan celana hitam panjang. 

“Anya!” Terdengar suara Vian memanggil dari arah ruang tamu.

“Oke … oke. Sebentar lagi!” seruku dari dalam kamar tidur. 

Aku bergegas mengambil setelan dan memakainya. Baju model pundak terbuka dan celana hitam dipadu padan dengan sabuk berwarna hitam bergaris putih. Tak lupa, aku memasukan ponsel dan dompet ke dalam clunch berwarna senada.

Sepatu high heels yang kukenakan membuatku tak bisa berjalan lebih cepat, hingga terdengar suara klakson yang dibunyikan oleh Vian. 

Oke … Oke. sabarlah sedikit Tuan Vian Aaric.

Aku akhirnya sampai di teras rumah. Terlihat Vian berdiri di samping mobil Chevrollet kami. Ia membukakan pintu untukku. Jika melihatnya seperti itu, aku hampir melupakan sikap kasarnya tadi. 

Setelah yakin semua pintu telah terkunci, aku menaiki mobil dan Vian menutup pintunya. Kemudian, ia berputar menuju kursi kemudi dan membawa kami menuju ke arah  pusat kota Bukhara. 

Mobil membelah jalanan yang sepi dan mulai dihujani rintik kecil. Kota Bukhara adalah kota kecil di Uzbekistan yang tidak terlalu padat penduduk. Untuk menuju restoran kami melewati deretan gang-gang kecil bak labirin dan tembok-tembok tua berwarna cokelat.

Tak memakan waktu lama, akhirnya kami sampai di restoran Chasmai-Mirob. Dua orang pelayan membukakan pintu mobil kami dan salah seorang di antaranya memarkirkan mobil Vian di tempat parkir valet.

Vian menggandeng tangan kiriku dan mengajak menuju meja di rooftop. Katanya suasana di atas lebih cantik dan romantis. Aku hanya mengikutinya tanpa banyak kata dan apa yang dikatakan Vian benar. Aku dibuat takjub karenanya.

Seorang pelayan mengarahkan kami untuk duduk di sebuah meja bulat lengkap dengan sebuah lilin. Langit dengan taburan bintang menjadi atap kami. Pemandangan dan kerlip lampu malam di kota Bukhara langsung terpampang di depan mata kami. Menara Kalyan Minaret berdiri angkuh tepat di seberang restoran. Indah sekali.

Pelayan itu menyodorkan dua buah menu. “Silakan mau pesan apa Tuan dan Nyonya?” tanyanya tak lupa menyunggingkan senyuman.

Vian terlihat membuka-buka buku menu kemudian ia berhenti di halaman tertentu.“Ah … Saya mau pesan Shaslik dan wine,” ucap Vian seraya menutup buku menu. “Kamu mau pesan apa, Anya?”

“Aku pesan fettuccini carbonara saja dan teh hijau,” pintaku pada pelayan tanpa membuka-buka buku menu. Fettuccini adalah makanan yang selalu ada di setiap restoran karenanya aku tak perlu sibuk membuka buku menu. Aku sedang tidak terlalu lapar.

“Oke.” Vian menyodorkan kembali kedua buku menu kepada pelayan.

“Baik. Silakan ditunggu.” Ia menanggukkan kepala dan berlalu pergi.

Mataku memindai kembali sekeliling. Tempat yang romantis dengan malam yang terang. Aku bisa melihat bintang-bintang dengan sangat jelas mungkin karena kandungan gas di kota kecil ini tidak terlalu banyak. 

Tatapanku terhenti pada sebuah panggung kecil di tengah-tengah restoran. Seorang wanita muda berumur dua puluh limaan tengah berdiri di sana. Tak berapa lama, terdengar suara musik menghentak, wanita itupun mulai menggerakkan tangan dan pinggulnya. Lincah sekali. 

“Aku mengajakmu ke sini karena acara ini,” ujar Vian tanpa ditanya. 

“Ah … ya.” Aku hanya menjawab pelan. Tentu saja ia suka melihat tarian seperti ini. Bukankah dulu ia juga pernah memintaku menari sebelum mengajakku bercinta. Pada akhirnya ia marah ketika mengetahui aku tidak bisa menari macam ular seperti itu. Huffff.

Kami menunggu makanan datang hampir setengah waktu tarian. Ternyata itu kekurangan tempat ini. Makanan datang cukup lama sekali, hingga rasa lapar itu kini benar-benar singgah di perutku.

Pelayan perempuan itu segera menghidangkan pesanan kami. Spageti itu kini terhidang di depanku. Tanpa melihat Vian, aku segera menyantap makanan. Setelah satu suap, aku menghentikan makan. “Aku duluan makan ya,” ucapku malu-malu.

“Ah ya, tak apa,” jawabnya. “Owh iya … minuman anggurku mana?” Terdengar suara vian bertanya pada pelayan.

“Ini, Tuan,” jawab pelayan itu. 

“Tidak … tidak. Aku tidak memesan anggur putih, aku memesan anggur merah. Red wine!” bentaknya tiba-tiba. 

Aku menghentikan kembali makanku dan menatap Vian. Keningnya mengkerut. Kedua tangan saling berpautan, tangan kirinya memain-mainkan cincin di jari kanannya. Raut wajahnya terlihat sangat kesal sekali.

“B-baiklah, Tuan. Tunggu sebentar.”

Tak berapa lama, pelayan itu kembali datang dengan sebotol anggur merah. Ia menyisihkan gelas yang tadi telah terisi anggur putih dan menggantinya dengan gelas baru. Sementara itu, Vian bersandar pada kursi. Tangan kanannya ia mainkan dengan mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja, hingga terdengar suara gemeretak. Pelayan itu berhasil dibuat gugup oleh Vian. Entah bagaimana, tiba-tiba pelayan itu memercikkan minumannya ke kemeja Vian hingga suara lantang itu jelas terdengar.

“Sialan! Apa kamu tidak bisa bekerja dengan baik, hah!” Vian memukul meja dengan tangan kanannya. Giginya terlihat gemeretak. 

“Ma-maaf, Tuan.” Perempuan itu mengambil sebuah lap yang tersampir di pinggangnya dan mencoba membersihkan noda pada baju Vian. Namun, Vian mengibaskan tangannya dengan kuat hingga perempuan itu terjengkang, hampir terjatuh. 

“Vian, tenang.” Kali ini aku mencoba menenangkannya karena sudah menyangkut orang lain. Vian terdiam.

“Tenanglah, itu kan hanya sebuah kemeja. Nanti aku cuci.” Mendengar kalimat keduaku, bukan bertambah tenang, tapi ia malah menggebrak meja.

“Aku tidak suka bajuku kotor!” teriaknya lantang.

Ya Tuhan … suara menggelegar di tengah-tengah suasana restoran. Hampir semua pasang mata kini beralih ke meja kami. Aku hanya menunduk. Ingin rasanya menyembunyikan wajahku dari tatapan mereka. Vian benar-benar merusak selera makan malamku.

Seorang berpakaian rapi yang aku taksir manajer restoran datang menghampiri kami. “Ada apa, Tuan?” tanyanya.

Vian hanya terdiam di kursinya. Wajahnya masih terlihat kesal. 

Detik kemudian, terdengar bisikan dari salah seorang pengunjung wanita di sebelah kami. “Gak seharusnya dia bersikap begitu pada wanita,” ujarnya pada salah seorang temannya.

Vian tiba-tiba bangkit dari kursinya dan menghampiri meja si pembisik. “Apa maksud kamu? Tidak ada urusan! Jangan ikut campur!”

Wanita itu tampak terkejut dan terlihat berusaha mengendalikan diri “Tapi bukankah memang tidak seharusnya kamu bersikap seperti itu pada perempuan!” ucapan wanita itu semakin memancing kekesalan Vian.

Vian tampak mengangkat tangan kanannya dan mencoba menampar si wanita tadi. Namun, tangannya dicekal, dihalangi oleh seorang pria teman si wanita. 

Melihat tangannya dihentikan orang asing, Vian tampak semakin kesal. Ia mengibaskan tangan kanannya, secepat kilat memukul dagu sebelah kiri si pria hingga ia mundur sebanyak beberapa langkah.

Aku segera bangkit, mendekati Vian dan menariknya mundur. Manajer restoran itu mencoba melerai pertikaian di antara mereka. “Tolong hentikan, Tuan-tuan. Nanti saya panggil polisi jika tidak berhenti juga!” tegasnya.

Vian berbalik arah dan menuju tangga. Aku mengekorinya yang menuju pintu keluar. 

“Ambilkan mobilku!’ serunya pada pegawai parkir valet seraya menyodorkan sebuah tiket yang diambilnya dari dompet. 

Aku hanya terdiam menatapnya. Ia terkadang berubah menjadi seseorang yang manis, tapi kadang juga berubah menjadi seseorang yang temperamen. Sungguh, aku tak mengerti.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status