Sebuah notifikasi pesan masuk dari aplikasi berwarna biru. Terlihat nama Leo sebagai pengirim pesan. Aku mulai tertarik kepadanya. Ia terlihat begitu jujur. Sikap yang tampak terbuka dan apa adanya membuatku tertarik untuk lebih dekat dengannya.
Sedikit demi sedikit, aku pun mulai berani terbuka dan menceritakan tentang Vian padahal aku baru mengenalnya tiga minggu yang lalu. Ia selalu siap mendengarkan ketika aku berkeluh kesah tentang perlakuan Vian yang terkadang aneh. Setiap kali aku memanggilnya, ia langsung terlihat online.
[Kamu dipukul lagi?] tanyanya.
[Iya]
Kali ini ceritaku tanpa tangis. Aku sudah lupa jika aku masih memiliki airmata.
[Ada bekas memarnya? Coba lihat?] pintanya.
Aku menunjukkan beberapa bekas memar dengan memfotonya. Kali ini memar yang kudapatkan di tangan dan area lengan. Area tulang kering kaki juga tak luput dari warna biru kemerahan. Aku mengangkat rok berwarna cokelat dan memperlihatkan memar di kaki.
[Masih sakit?] tanyanya lagi ditambah emot sedih.
[Lumayan]
[Selain tangan dan kaki, bekas luka kamu ada di sebelah mana lagi? Bagaimana dengan di area dada?]
[Ada juga, tapi bagaimana mungkin aku memperlihatkannya kepada orang lain] jawabku disertai emot meledek.
[Kasihan. Kamu seharusnya lapor polisi]
[Aku gak berani, Le. Aku takut ibuku menjadi sedih, karena dulu
Ibu yang minta aku menikahi Vian]
[Ya sudah. Itu pilihan kamu. Aku hanya bisa mendukung dengan mendengarkan kamu saja]
[Makasih, Le]
[Owh iya ... besok aku sampai stasiun Bukhara jam 9 pagi. Aku janji bertemu dengan teman di hotel Panama. Mungkin kita bisa ketemu di sana sekalian]
Rasa bahagia tiba-tiba menyeruak.
[Mau bertemu lobi hotel? Jam berapa? besok aku usahakan ya. Semoga Vian mengizinkan aku pergi keluar.]
[Ok. Besok aku kabari lagi. Sekarang aku pergi dulu ya]
Aku menarik lengkung garis di bibir. Tak sabar rasanya bertemu dengan Leo. Rasa kesepian membuatku sangat antusias untuk bertemu orang baru.
Ah … teringat semasa kecil dulu saat masih di bangku sekolah kelas tiga. Siang itu teman satu mejaku mengajak bermain ke rumahnya bersama teman yang lain. Aku sempat merasa enggan karena belum meminta izin kepada Ibu, tetapi temanku memaksa dan akhirnya aku mengiyakan. Pada awalnya, aku hanya akan berada di rumahnya untuk satu jam.
Namun, keseruan hari itu membuatku lupa waktu. Aku tersadar bahwa hari sudah mulai sore. Pada akhirnya, aku pamit pulang. Sesampainya di rumah, Ayah memarahiku habis-habisan karena ia bingung mencari hingga menelepon guru-guruku. Mengingat ekspresi wajah Ibu yang tampak khawatir saat itu, membuatku merasa bersalah hingga kini.
Setelah hari itu, aku sering terlambat pulang. Bukan sekadar untuk bermain, tetapi aku memilih untuk mengikuti kegiatan di luar jam sekolah. Entah mengapa, rasanya bosan berada di rumah terlalu lama. Bagiku bertemu banyak orang akan menambah banyak pengalaman.
Aku mengakhiri percakapan dengan Leo lalu menutup laptop. Selanjutnya, aku harus mencari cara agar besok bisa keluar rumah.
Tapi bagaimana caranya agar Vian tidak curiga aku bertemu orang lain.
Mataku memindai meja kerja untuk mencari ponsel, tapi tak kutemukan. Owh iya … aku terakhir menggunakannya di ruang kerja Vian. Bergegas aku menuju ruangannya. Terlihat ponsel biru itu berada di atas meja kerja lelaki yang kunikahi sebulan yang lalu.
Kutekan angka-angka pada layar ponsel yang sudah kuhapal di luar kepala. Tak berapa lama, suara Vian terdengar di seberang sana.
“Halo … iya?”
“Hmm … halo, Vian. Besok kamu berangkat kerja pukul berapa?” tanyaku sungkan.
“Besok aku berangkat seperti biasa. Kenapa?” Ia balik bertanya.
“Besok aku mau ke rumah Ibu, kamu bisa antar aku? Sudah lama aku tidak bertemu Ibu,” ucapku seraya mengamati sekeliling ruangan kemudian mataku berhenti pada rak lemari buku berwarna putih.
“Oke. Besok aku antar.”
“Owh iya … tempo hari aku membersihkan ruangan kerja dan tidak sengaja aku menemukan album foto. Aku melihat foto itu seperti waktu kamu masih kecil, tapi siapa wa-?”
“Kamu mau bilang apa Anya! Kamu tahu kan, aku tidak suka ditanyai dan diselidiki!” Vian memotong pembicaraanku Aku lebih baik memilih diam.
Hening selama beberapa saat.
“Maafkan aku, Anya. Sampai bertemu nanti malam,” ucapnya lagi. Setelahnya ia mengakhiri panggilan.
***
Perjalanan rumah menuju tempat Ibu hanya sekitar satu jam. Aku dan Vian tiba di sana lebih siang, sekitar pukul sepuluh. Entah mengapa Vian berangkat menjadi lebih siang. padahal biasanya pukul delapan sudah berangkat dari kantor. Ia hanya mengatakan bahwa tiba-tiba ada meeting di luar kantor jadi dia bisa berangkat lebih siang. Ini tidak menjadi masalah besar bagiku.
Kami berjalan beriringan menuju rumah Ibu. Setelah dering bel kedua, Ibu muncul di balik pintu.
“Hai … Anya, apa kabar? Ibu rindu sekali.” Ibu langsung memelukku dengan erat. Wajahnya tampak bahagia sekali dengan kedatanganku.
Setelah beberapa detik, ia mengurai pelukannya dan menyapa Vian. “Vian … apa kabar?”
“Kabar baik, Bu.” Vian membalas senyuman Ibu.”Ah iya, saya pamit dulu, mau ada meeting.” Lanjutnya lagi. Ia membungkukkan badan seraya memegang dada dengan tangan kanan sebagai bentuk penghormatan lazimnya yang dilakukan seorang pria pada wanita di sini.
Ibu mengangguk. “Hati-hati di jalan.” Kemudian ia melambaikan tangan.
Setelah Vian masuk mobil dan berlalu, kemudian kami memasuki rumah. Aku memilih untuk duduk di meja makan. Terasa lebih santai. Sementara itu, Ibu langsung membuatkanku teh hijau, minuman khas Uzbekistan.
“Bagaimana kabarnya? Kamu terlihat lebih kurus.” Ibu meletakkan secangkir teh di hadapanku.
“Hmm … baik, Bu.” Aku menggapai cangkir dan menyesap isinya. Terasa hangat di tenggorokan. Teh buatan Ibu selalu terasa nikmat.
“Apakah perlakuan vian baik kepadamu?” tanyanya lagi. Matanya menatapku dengan teduh kemudian pada akhirnya berubah menjadi tatapan penuh selidik.
“B-baik, Bu.” Aku menurunkan pandangan terfokus pada gelas. Tak sanggup menatap netra Ibu.
Aku tak mau Ibu terus bertanya tentang Vian, bagaimanapun aku tak sanggup untuk membohonginya. “Owh iya, Bu. Aku ada temu janji dengan seorang teman. Nanti aku mampir lagi ke sini kapan-kapan.”
Ibu terlihat terkejut mendengar ucapanku. “Cepat sekali,” ujarnya seraya melihatku yang sibuk mengambil coat. Aku memutuskan untuk memakainya karena udara di Bukhara saat ini sudah mulai memasuki musim dingin.
“Iya, Bu.” Aku bergegas mencium pipi Ibu dan berlalu menuju pintu. Ibu mengantarku menuju ambang pintu kemudian berhenti. “Semoga kamu baik-baik saja.”
Entah mengapa Ibu mengatakan itu. Aku hanya tersenyum kemudian berlalu meninggalkan teras rumah dan menghentikan taksi yang kebetulan melintas. Taksi itu berhenti tepat di depanku. Aku segera naik setelah sebelumnya sempat melambaikan tangan sebagai salam perpisahan.
Rasanya tak sabar ingin segera bertemu Leo. Ia yang begitu perhatian dan selalu mendengarkan segala keluh kesahku.
Tak terasa, taksi sudah mendekati pelataran hotel. Sopir menghentikan mobilnya tepat di depan ruang lobi. Setelah membayar ongkos, aku bergegas menuju ke dalam lobi. Mataku menjelajah sekeliling ruangan hingga tatapanku tertuju pada seorang pria berkacamata hitam yang tengah menghampiriku. Aku yakin dia Leo.
“Selamat siang, ehmm … Nona Anya,” Ia meletakkan tangan kanannya di dada kemudian membungkuk. Senyum lebarnya terlihat jelas di antara rahangnya yang kokoh.
Dadaku berdebar. Aku tak menyangka ia setampan itu. Hampir sama dengan Vian, hanya saja ketampanan Vian terkikis oleh sikap kasarnya. Rasa gugup mulai menjalar ke seluruh tubuh. Aku berusaha mengendalikannya dengan berpura-pura membetulkan tas.
Suara wanita itu tampak kaget. "Benarkah? Anak itu memang sedikit aneh, mungkin karena ia pernah menderita sewaktu kecil, tapi aku belum mengetahui penyebabnya. Yang aku tahu, ibunya meninggal sewaktu ia berusia 6 tahun.""Jika ibunya meninggal, siapa wanita yang bersamanya saat ini?" Pekikku kaget."Entahlah ... yang pasti ia meninggalkan panti karena seorang wanita mengadopsinya. Aku tidak tahu persis, karena saat itu kepala panti yang mengurusi semuanya.""Apakah ibunya seorang blesteran? Selain itu, sikap apa lagi yang sering Vian tunjukkan ketika tinggal di panti?""Tidak, tidak. Ibunya seorang lokal, bukan keturunan." Wanita tua itu terdiam sesaat. Sementara itu, aku terus menyimak."Hmm ... anak itu ramah dan baik tapi
“Mereka anak-anak yatim piatu. Anak yang berbaju biru itu,” telunjuknya mengarah ke salah satu anak. “Kami menemukan ketika bayi dan tengah menangis di depan pintu panti,” ujarnya lagi.“Kasihan sekali. Hmm … mungkinkah aku bisa mengadopsi salah satu dari mereka?’ tanyaku dengan hati-hati.Entah mengapa tiba-tiba aku berhasrat untuk memiliki satu dari mereka.“Kami senang sekali. Mereka pasti berbahagia jika memiliki orangtua baru.” Bibir wanita tua itu melengkung. Wajahnya berbinar-binar.Tiba-tiba terdengar nyaring suara klakson dari arah jalan. Sebuah mobil terparkir tak jauh dari panti asuhan. Perlahan sang sopir menurunkan kaca mobilnya.Ah tidak! Apa yan
“Jangan ganggu dia!” Entah mengapa, Vian malah berbalik membelaku. “Pergi kau dari sini wanita murahan. Aku sudah tak butuh kau lagi. Tinggalkan rumahku!” Deg! Rumahku kata Vian. Maksudnya rumah yang ditinggali Sisilia sekarang adalah rumah Vian? “Vian!” hardikku. “Rumah siapa maksudmu?” Vian tampak tercengang dan salah tingkah. “Katakan saja dengan jujur,” ucap Sisilia. “Percuma kau berbohong terus menerus.” Sisilia bangkit dari posisinya yang sempat terjatuh. Tangan kanan merapikan rambutnya yang berantakan sembari menyeringai. “Atau … aku saja yang mengatakannya.”
Aku memutar langkah. Namun, desahan lain terdengar sebelum kaki pertama bergerak. Suara yang tak asing di telinga ini, membuat kaki mendadak kaku. Jantungku berdegub dengan cepat. Debaran di dada berubah menjadi gemuruh bara cemburu. Mengapa aku sebodoh ini? Benarkah Sisilia tengah bersama dengan Vian? Rasa berani tiba-tiba muncul ke permukaan. Dengan napas tersenggal, aku mengintip dari celah kamar. Tanganku terkepal, aliran darah memanas dengan mata membulat sempurna menyaksikan dua manusia yang tampak tengah melepaskan hasrat. Sisilia yang mengenakan pakaian ketat berwarna hitam terlihat meliuk-liukkan tubuhnya dengan membawa sebuah tongkat. Benda panjang itu ia main-mainkan dengan menyentuh kulit Vian. Laki-laki yang beberapa bulan telah sah menjadi s
“Entah apa yang dia inginkan tentang Sisilia.” Terdengar suara wanita itu berbicara.Suasana hening sesaat.“Mengapa kau biarkan dia masuk?” Terdengar suara lain yang sedikit berbeda.Aku mengunci pendengaran dan memperhatikannya baik-baik. Suara itu mirip milik Bibi Sisilia tetapi dengan logat yang berbeda.Perlahan kuputar kenop pintu dan berjalan kembali menuju ruang tamu. Tiba-tiba hidungku terasa gatal.Hatsyiii!Bibi Sisilia tampak terperanjat dan bangkit dari kursinya seraya mengendong kucing.“Owh, maafkan aku telah datang dengan tiba-tiba.”
“Di mana Sisilia?”“Entah. Sewaktu aku turun, dia sudah menghilang. Kemudian aku kembali menemanimu tidur.”Aku hanya terdiam. Apa benar itu hanya sebuah mimpi. Aku tak bisa membuktikan penglihatanku."Aku siap-siap ke kantor dulu." Vian beranjak dari ranjang lalu mengambil baju setelan dari dalam lemari.Pagi itu Vian berangkat kerja seperti biasa. Sikapnya sekarang tampak jauh membaik dan terlihat lebih tenang. Apapun itu, aku bersyukur karena tak perlu lagi merasakan denyutan di kepala.Sebisa mungkin, aku menghindari penyebab ia marah. Tidak ada kotoran di meja, sup kacang merah setiap hari, dan lainnya.Kini, aku bahkan bisa ber