Bab 130: Sang Petarung – part 3
**
Mataku berkunang-kunang. Semua yang kulihat serba berbayang. Tapi aku tahu di luar ring sana, dekat Wisnu dan Bondan, Kassandra tengah menatapku sembari menangkupkan dua tangannya di depan bibir.
Airmatanya meleleh, dan samar dapat kulihat ia berbisik lamat-lamat; “Bangun, Mas,”
Perlahan aku bangkit. Kukerjap-kerjapkan mata dan kugoyang-goyangkan kepala untuk menarik penuh kesadaranku dari pengaruh ‘black out’. Para penonton kembali berteriak riuh.
“The Pooh..! The Pooh..! The Pooh..!!”
“Jordan.! Jordan.! Jordan..!!!”
Jordan menyeringai. Cepat ia menghampiriku. Karena masih kunang-kunang aku kurang waspada ketika ia menyergap kepalaku, bersamaan dengan lututnya bertubi-tubi menghantam wajahku.
Aku berusaha menahan serangan itu dengan kedua tangan, tak banyak berguna. Aku juga berusaha menghindar dengan menggerakkan kepala kan
Bab 131: Antara Cinta dan Sang Kekasih**Wasit masih memandangku. Jordan yang terlentang di kanvas juga masih menunggu jawabanku. Ia berusaha mati-matian mempertahankan kesadarannya.Dengan jurus dari kitab kuno yang diwariskan Aldo aku berhasil mengalahkan Jordan Smith dengan mudah. Entahlah, mengapa bisa begitu.Aku tak perlu menyerang, yang kulakukan hanyalah menari seumpama rumpun bambu dicumbu sang bayu.Dengan gerak liukan yang efisien dan kibasan balik aku hanya perlu sedikit menyentuh. Semua kekuatan Jordan aku pergunakan untuk mengalahkan dirinya sendiri. Berkali-kali aku menjatuhkan Jordan, dan berkali-kali pula ia bangkit dan kembali menyerangku. Sampai pincang kakinya, sampai patah tangannya, habis tenaganya dan di bantingan terakhir, ia tidak mampu lagi untuk bangkit.Ia tergolek tanpa daya, menyerah, dan wasit segera menyilangkan tangan di atas kepala. Aku menang, dan hatiku membuncah.Baru saja a
Bab 132: Perancang Skenario Terbaik**Aku terduduk lemas sembari terus memeluk jasad Kassandra. Aku sudah tidak punya air mata lagi untuk aku keluarkan. Aku bahkan tidak tahu lagi bagaimana caranya menangis.Hal terakhir yang bisa aku lakukan hanyalah menempelkan pipiku ke pipi Putri Ok Soo-ku, dan menimang-nimang tubuhnya yang lekat di dalam pelukanku.Tubuh kami berdua bergoyang kanan kiri seakan berada di dalam kuali. Aku menggumam-gumamkan lagu yang terbersit di dalam ingatan dari masa kecilku.Aku ingin menina-bobokan Putri Ok Soo-ku ini dengan lagu Bengawan Solo seperti dulu ibuku selalu melakukannya. Hemm, hmm, hemmm.., heem, heemm..!Hemm, hemm, hmmm, hmmm, hmmmm..!Apakah aku sudah gila?Apakah aku sudah kehilangan kewarasanku?Aku tertawa!“Hahahaha..! Huahahaha..!”Engkau lihat ini, Tuhan?? Hah?? Engkau lihat ini?? Begitu sempurnanya Engkau memberi aku kesakitan dan jug
Bab 133: Kisah yang Terungkap**Apakah Bondan dan Wisnu salah menerjemahkan perintah?Tidak! Mereka paham dan mereka tidak ingin melaksanakan. Dengan kesadaran penuh mereka sekarang berbalik menodongkan senjata di tangan mereka kepada Josep.Seketika saja bandit kemayu itu memelototkan matanya. Pipa rokok berhenti di depan bibir yang mulai gemetaran.“A..a.., apa maksud kalian?”“Aku muak jadi kesetmu, Jos!” Maki Bondan.“Dan aku muak jadi alas kakimu!” Sambung Wisnu.“Pis.., pistol di tangan kalian itu milikku..,”Bondan tak menggubris. Cepat ia merebut pipa gading di tangan Josep.“Ini milikku! Jangan kau lupa itu!”“Dan ini milikku, warisan kakekku!” Kata Wisnu pula seraya melucuti blue sapphire di jari Josep.********Beberapa saat kemudian..,Aku berlari-l
Bab 134: Revolver**Keterangan lanjutan dari Bondan dan Wisnu membuatku segera memahami apa yang terjadi di ruang ofisial.Di tengah pertandinganku dalam oktagon, Kassandra mendapat kesempatan untuk pergi ke belakang.Ia juga melihat dan mengetahui Idah ketika Bombi mempertunjukkannya kepadaku sebelum pertandingan berlangsung.Atas suruhan Bondan dan Wisnu, Kassandra pun menemui Bombi untuk mengelabuinya, dengan dalih untuk bergantian menjaga.Namun, Bombi si licik itu memang tidak mudah ditipu. Hingga akhirnya sebuah perkelahian yang sangat tidak adil terjadi antara Bombi dan Kassandra.One Two Seven, sebuah teknik maut yang kuajarkan kepada Kassandra benar-benar ia pakai untuk mengalahkan Bomi.Seven, sebuah angka yang kusebut sembarangan ketika mengajarkannya kepada Kassandra, adalah ilustrasi untuk bentuk kaki dengan lutut yang tertekuk, lutut yang menyodok selangkangan laki-laki!Bomi tak sanggup menahan rasa sesak
Bab 135: Menunggumu di Surga**“Sadar kamu, Fat! Sadar!” Pekik Wisnu dengan suara tertahan di samping telingaku, sembari terus menindih tubuhku yang tengkurap di tepian dermaga.Aku meronta-ronta, tapi Bondan yang beberapa detik lalu juga sadar akan niatku bunuh diri segera pula menindih dan memiting bagian tubuhku yang lain.“Lepaskan aku! Lepaskaaan..!” Aku memekik dan menggelinjang-gelinjangkan tubuhku, sembari berusaha menggapai pistol di jarak tiga meter dari kami bertiga yang saling bergumul.Wisnu bangkit, lalu cepat melompat dan bergulingan di lantai dermaga untuk meraih pistol dan lantas melemparkannya jauh ke arah laut sana.Dia yang tadi pertama melihatku akan meletuskan pistol, cepat menerjang dan menampas tanganku sehingga laras pistol tercabut keluar dari mulutku.Sebuah gerakan taktis darinya juga berhasil membuat pistol terlepas dari tanganku. Bondan yang masih memiting tubuhku secepat kilat me
Bab 136: Lompat Tali**Pintu kamar terbuka. Ika Damayanti, yang sedang menonton televisi mengalihkan pandangannya pada Riska sang kakak yang baru keluar dari kamar itu.“Kakak baru bangun tidur?”Riska tak menjawab, hanya teruskan langkah ke arah dapur dengan langkah kaki yang malas-malasan, tampak berat seakan sedang memikul beban.Wajahnya sendiri masih kusut dan rambutnya baru saja dia rapihkan dengan menyanggulnya ke arah belakang.Usai meneguk air putih di dapur ia kembali ke ruang tengah, tempat Ika memencet-mencet remote televisi mencari tontonan yang asyik.“Keterlaluan, pagi-pagi sudah tidur,” kata Ika menyindir kakaknya.“Tidak sengaja.” Sahut Riska.“Tidur kok tidak sengaja. Pagi-pagi mau melawak ya?”“Iya, habis shalat subuh tadi Kakak ketiduran. Itu bisa dibilang tidak sengaja, kan?”“Iyalah, tidak sengaja. Jadi bagaimana ini, k
Bab 137: Babeh**Pak Mulkan namanya, orang Betawi tulen, tapi cukup mahir berbahasa Batak sebab pergaulannya dengan sesama sopir yang banyak berasal dari Sumatera Utara.Benar, dia adalah sopir bus metromini jurusan Cililitan-Kampung Rambutan, di mana aku pernah menjadi kondekturnya selama lebih dari setahun.Aku cukup akrab dengan Pak Mulkan mantan sopirku itu, yang jika perhitunganku tak salah, maka sekarang dia genap berusia enam puluh tahun.Ramahnya dia, beserta istri dan tiga anaknya membuat hubunganku dengannya melebihi hubungan antara sopir dengan kondektur.Dia telah menganggapku sebagai anak, dan aku sebagai ‘anaknya’ telah memanggil dia pula dengan sebutan Babeh—ayah.Sejurus, aku ragu. Namun teringat sebuah nasehat bahwa silaturahmi bisa memanjangkan umur, akhirnya aku pun memantapkan hati.Setelah membayar ongkos taksi, aku pun keluar dan mengajak Idah menyeberangi jalan. Aku memega
Bab 138: Tak Ada Yang Abadi**Tiba-tiba saja, entah apa pasalnya, Idah memekik-mekik histeris.“Berhenti..! Berhenti..!”Setelah aku membayar ongkos taksi, Idah menarik-narik tanganku. Menuju arah sebaliknya.“Ada apa, Idah?” Tanyaku penasaran.Idah tak menjawab. Ia terus menarik tanganku dengan langkah tergesa. Aku tercepuk-cepuk di belakangnya.Akhirnya, kami berhenti di depan sebuah toko besar yang menjual barang-barang elektronik.Dari balik dinding kaca, aku melihat ratusan televisi yang terpajang di rak-rak besar, tersusun rapih bertingkat-tingkat.Ratusan televisi itu semuanya sedang menyala dan menampilkan sebuah mata acara yang menarik perhatian Idah tadi, yaitu; Audisi Bintang Indonesia!Baru kusadari, ini adalah malam grand final. Ada tiga orang finalis yang akan menunjukkan penampilan terbaiknya di putaran pamungkas. Dan sejauh ini, walaupun selalu berada