Bab 134: Revolver
**
Keterangan lanjutan dari Bondan dan Wisnu membuatku segera memahami apa yang terjadi di ruang ofisial.
Di tengah pertandinganku dalam oktagon, Kassandra mendapat kesempatan untuk pergi ke belakang.
Ia juga melihat dan mengetahui Idah ketika Bombi mempertunjukkannya kepadaku sebelum pertandingan berlangsung.
Atas suruhan Bondan dan Wisnu, Kassandra pun menemui Bombi untuk mengelabuinya, dengan dalih untuk bergantian menjaga.
Namun, Bombi si licik itu memang tidak mudah ditipu. Hingga akhirnya sebuah perkelahian yang sangat tidak adil terjadi antara Bombi dan Kassandra.
One Two Seven, sebuah teknik maut yang kuajarkan kepada Kassandra benar-benar ia pakai untuk mengalahkan Bomi.
Seven, sebuah angka yang kusebut sembarangan ketika mengajarkannya kepada Kassandra, adalah ilustrasi untuk bentuk kaki dengan lutut yang tertekuk, lutut yang menyodok selangkangan laki-laki!
Bomi tak sanggup menahan rasa sesak
Bab 135: Menunggumu di Surga**“Sadar kamu, Fat! Sadar!” Pekik Wisnu dengan suara tertahan di samping telingaku, sembari terus menindih tubuhku yang tengkurap di tepian dermaga.Aku meronta-ronta, tapi Bondan yang beberapa detik lalu juga sadar akan niatku bunuh diri segera pula menindih dan memiting bagian tubuhku yang lain.“Lepaskan aku! Lepaskaaan..!” Aku memekik dan menggelinjang-gelinjangkan tubuhku, sembari berusaha menggapai pistol di jarak tiga meter dari kami bertiga yang saling bergumul.Wisnu bangkit, lalu cepat melompat dan bergulingan di lantai dermaga untuk meraih pistol dan lantas melemparkannya jauh ke arah laut sana.Dia yang tadi pertama melihatku akan meletuskan pistol, cepat menerjang dan menampas tanganku sehingga laras pistol tercabut keluar dari mulutku.Sebuah gerakan taktis darinya juga berhasil membuat pistol terlepas dari tanganku. Bondan yang masih memiting tubuhku secepat kilat me
Bab 136: Lompat Tali**Pintu kamar terbuka. Ika Damayanti, yang sedang menonton televisi mengalihkan pandangannya pada Riska sang kakak yang baru keluar dari kamar itu.“Kakak baru bangun tidur?”Riska tak menjawab, hanya teruskan langkah ke arah dapur dengan langkah kaki yang malas-malasan, tampak berat seakan sedang memikul beban.Wajahnya sendiri masih kusut dan rambutnya baru saja dia rapihkan dengan menyanggulnya ke arah belakang.Usai meneguk air putih di dapur ia kembali ke ruang tengah, tempat Ika memencet-mencet remote televisi mencari tontonan yang asyik.“Keterlaluan, pagi-pagi sudah tidur,” kata Ika menyindir kakaknya.“Tidak sengaja.” Sahut Riska.“Tidur kok tidak sengaja. Pagi-pagi mau melawak ya?”“Iya, habis shalat subuh tadi Kakak ketiduran. Itu bisa dibilang tidak sengaja, kan?”“Iyalah, tidak sengaja. Jadi bagaimana ini, k
Bab 137: Babeh**Pak Mulkan namanya, orang Betawi tulen, tapi cukup mahir berbahasa Batak sebab pergaulannya dengan sesama sopir yang banyak berasal dari Sumatera Utara.Benar, dia adalah sopir bus metromini jurusan Cililitan-Kampung Rambutan, di mana aku pernah menjadi kondekturnya selama lebih dari setahun.Aku cukup akrab dengan Pak Mulkan mantan sopirku itu, yang jika perhitunganku tak salah, maka sekarang dia genap berusia enam puluh tahun.Ramahnya dia, beserta istri dan tiga anaknya membuat hubunganku dengannya melebihi hubungan antara sopir dengan kondektur.Dia telah menganggapku sebagai anak, dan aku sebagai ‘anaknya’ telah memanggil dia pula dengan sebutan Babeh—ayah.Sejurus, aku ragu. Namun teringat sebuah nasehat bahwa silaturahmi bisa memanjangkan umur, akhirnya aku pun memantapkan hati.Setelah membayar ongkos taksi, aku pun keluar dan mengajak Idah menyeberangi jalan. Aku memega
Bab 138: Tak Ada Yang Abadi**Tiba-tiba saja, entah apa pasalnya, Idah memekik-mekik histeris.“Berhenti..! Berhenti..!”Setelah aku membayar ongkos taksi, Idah menarik-narik tanganku. Menuju arah sebaliknya.“Ada apa, Idah?” Tanyaku penasaran.Idah tak menjawab. Ia terus menarik tanganku dengan langkah tergesa. Aku tercepuk-cepuk di belakangnya.Akhirnya, kami berhenti di depan sebuah toko besar yang menjual barang-barang elektronik.Dari balik dinding kaca, aku melihat ratusan televisi yang terpajang di rak-rak besar, tersusun rapih bertingkat-tingkat.Ratusan televisi itu semuanya sedang menyala dan menampilkan sebuah mata acara yang menarik perhatian Idah tadi, yaitu; Audisi Bintang Indonesia!Baru kusadari, ini adalah malam grand final. Ada tiga orang finalis yang akan menunjukkan penampilan terbaiknya di putaran pamungkas. Dan sejauh ini, walaupun selalu berada
Bab 139: Terkenang**Masih ada beberapa jam sebelum kembali melaksanakan tugasnya sebagai flight attendant. Anggun duduk di depan sebuah meja kecil, menghadap jendela dan membuang pandangannya keluar hotel.Tangan kiri menopang dagunya, dan tangan kanan mengaduk-aduk kopi susu yang sudah mulai dingin.Di samping cangkir kopinya itu ada seporsi sarapan pagi berupa roti bakar dan beberapa irisan aneka macam buah yang sama sekali tidak disentuhnya.Herna, rekannya sesama pramugari baru saja keluar dari kamar mandi, berkimono putih dengan rambut terkemul handuk yang juga berwarna putih.Sementara Christin, rekannya yang lain baru saja masuk ke kamar mandi yang ditinggalkan Herna itu.“Hei!” Herna menegur Anggun, sembari melolosi handuk yang melingkari kepalanya.“Kok bengong?” Herna mengambil hair dryer dari dalam koper, mencucukkan colokannya ke soket listrik dan lantas mengeringkan rambutnya dengan perang
Bab 140: Drama di Ruang Tunggu**Seorang lelaki muda, berperawakan tinggi dan gagah, dengan usia sekitar dua puluh lima, berjalan memasuki ruang tunggu bandara Soekarno Hatta sembari menoleh kanan kiri.Sebelah tangannya memegang botol air mineral, sementara tangan yang lain memegang tiket pesawat.Matanya mencari bangku yang kosong, setidaknya dua tempat duduk supaya dia bisa leluasa meletakkan tas backpack-nya dan bisa membuka laptop untuk mereview laporan kerja, yang sedianya akan dia presentasikan pada meeting setelah cutinya berakhir nanti.Huh, menyebalkan, keluhnya dalam hati saat teringat hal yang satu itu. Mau pulang liburan untuk menjenguk orang tua saja, memanfaatkan jatah cuti yang sangat jarang diambilnya, dia sudah dibekali pekerjaan rumah oleh manajer tempatnya bekerja.Inginnya dia protes, tapi sebuah kebijaksanaan di dalam dirinya melarang dia melakukan itu.Pandangan mata si pemuda mendapatkan beberapa bangku yang k
Bab 14: Pulang**“Kak Cindiiiiy..!”“Kak Cindiiiiy..!”Idah melompat dari kursi dan berlari mengejar wanita yang ia panggil Kak Cindy tadi. Lalu aku, bagaikan terbangun dari mimpi cepat pula bangkit dan mengejar Idah.Kami berlarian melewati banyaknya orang-orang yang ada di ruang tunggu ini, menyusuri lorong-lorong yang dicipta barisan kursi-kursi yang dipenuhi para calon penumpang.“Idah..!” Panggilku menahan Idah.Rasa-rasanya aku tidak percaya, benarkah yang dikejar Idah itu adalah Kassandra??Nyatakah ini?? Atau mimpikah ini??Apakah ini hanya sebuah rangkaian skenario dari Tuhan untuk memberi aku kejutan??“Idaaahh..!”Beberapa tas entah milik siapa, tersambar kaki Idah. Aku hanya menyempatkan diri berkata ‘maaf’ kepada si empunya tanpa sempat membenahi tas tersebut.Idah tersandung sebuah kaki, lalu jatuh terjerembab di lantai, tapi dengan cepatnya ia bangkit lagi dan teruskan berlari.
Bab 142: Janji Yang Tunai**Mungkin, akibat pengaruh obat anti mabuk yang kuminumkan kepadanya tadi, beberapa kali Idah menguap dengan mata sayu dan berair.Dipaksanya terus membuka mata untuk melihat daratan yang kehijauan nun di bawah sana, juga lautan yang membiru serupa hamparan terpal di tengah padang.Pesawat semakin tinggi, yang tampak sekarang hanyalah awan.Idah tertidur dengan pertanyaan terakhir yang belum sempat aku jawab, sekaligus juga membuatku teringat pada cerita dia di salah satu jengukanku di rumah Menteng dulu.“Kak Cindy membelikan Idah sebuah kalung. Ini. Cantik tidak, Kak?” Idah menunjukkan kalung yang melingkar di lehernya, kalung yang terbuat dari rangkaian kerang laut dengan liontin berupa mutiara.“Cantik, cantik sekali kalungnya,” sahutku waktu itu.Aku baru saja menyadari saat membenahi kerah baju Idah. Kalung yang dibelikan Kassandra itu ternyata sedang dipakainya sekarang