Bab 26: Reward
Malam harinya..,
Semua tulang-tulangku rasanya seperti hendak patah. Nyeri dan ngilu kurasakan di hampir semua bagian tubuhku.
Mungkin rasa sakit itu yang membuatku tidak bisa tidur malam ini. Jika aku menggerakkan tubuh, menggeliat misalnya, seolah ada beberapa bagian tubuhku yang akan tanggal.
Pertandingan melawan Bombi tadi siang benar-benar membuatku babak belur. Setelah pertarungan itu usai, baru aku tahu bahwa Bombi itu bukan nama sebenarnya. Itu adalah julukan, diambil dari kata Bomber.
Benar saja, julukan itu sesuai dengan gaya bertarungnya. Serangannya bertubi-tubi. Kombinasi pukulan dan tendangannya nyaris tanpa jeda.
Semua itu didukung pula dengan kecepatan dan kegesitan tubuhnya. Hampir semua serangan Bombi mendarat sempurna di seluruh bagian tubuhku. Hanya sebagian kecil saja yang berhasil kuhindari atau kutangkis.
Sepertinya Bombi mengan
Bab 27:Kemarahan Leony “Fat!” Panggil seseorang.Aku berbalik. Irham menghampiriku tergopoh-gopoh. Teman seprofesi sekaligus leader di bagian maintenance ini menyampaikan berita yang langsung membuat hatiku berdebar-debar.“Kamu dipanggil Bu Rose.”Bu Rose? Manajer HRD? Itu artinya aku akan mendapat teguran. Syukur-syukur bukan pemecatan.Aku segara naik ke lantai dua. Sembari berjalan aku mencari alasan yang logis untuk keterlambatanku beberapa hari ini. Tapi aku sulit menemukan itu, karena pikiranku kembali tersita oleh SMS Leony kemarin.Surat apa yang ia maksud? Apa kaitannya dengan Faisal? Mungkinkah itu memang surat teguran untukku? Atau mungkin surat resmi untuk ‘merumahkan’ aku? Tapi jawaban Leony yang terakhir kemarin semakin membuatku bingung.Harap-harap cemas kuketuk pintu Bu Rose.
Bab 28:Syarat Untuk Jihan Begitu kubuka pintu..,“Ya Tuhan, wajah Abang kenapa?” Tanya Jihan sontak cemas.“Mmm, tidak apa-apa, kok. Cuma kecelakaan kerja.”“Kecelakaan kerja? Cleaning service kecelakaan kerja? Gimana caranya menyapu, ngepel atau ngelap kaca bisa kecelakaan??”Jihan langsung masuk dan meletakkan kotak kue di meja kecil. Tanpa permisi ia langsung memegang dan memperhatikan wajahku.Tiba-tiba, aku merasa ada yang aneh dengan Jihan.Jika kemarin malam aku melihatnya dengan rok jins pendek dan berkaus ketat, sekarang memang masih sama. Mungkin itu mode yang ia suka.Tapi, ah, ya! rambutnya dipotong pendek menyerupai lelaki dan.., pirang!Rambutnya dicat meniru bule dan ia menanggalkan identitasnya sebagai wanita Melayu yang berambut hitam. Pesona Putri Junjung Buih yang pernah kulihat darinya s
Bab 29: Mencari Diri Yang Hilang“Kamu di rumah, Con?”“Yup, aku di rumah.”“Aku datang.”“Silahkan.” Setelah Ucon membalas SMS-ku itu, aku bergegas keluar. Aku akan ke rumahnya, mengembalikan uang yang dulu pernah aku pinjam dan mengelakkan diri dari Mira yang mulai ‘menggatal’ lagi.SMS dari Mira belakangan ini seperti jadwal minum obat, tepat waktu; pagi, siang dan malam, bahkan terkadang over dosis.Itu berarti sejak seminggu lalu Bang Rony belum pulang dari Jakarta. Aku khawatir Mira datang lagi, menawarkan madu dan racun sekaligus. Aku khawatir tak sanggup bertahan lagi mendengarnya berkata ‘pliiiiss’.Setelah dua kali menaiki oplet, aku pun sampai di kediaman Ucon yang masih terletak di suatu komplek perbengkelan.“Ya amplop! Kenapa wajahmu, Fat?” Tanya
Bab 30: TerminalWaktu adalah sesuatu yang misterius!Ketika pertama kali bertemu dulu, Joni pernah berkata padaku, bahwa kemarin adalah sejarah, esok adalah misteri, dan hari ini adalah anugerah.Anugerah, sebuah kata yang ia alamatkan padaku.Ketika itu aku sedang jenuh. Aku keluar menikmati udara malam, menyusuri jalan Subrantas hingga hampir ke Simpang Tabek Gadang.Pada salah satu warung tenda tepi jalan, aku melihat mereka berdua sedang mengamen. Mereka sedang melayani request dari seorang pengunjung di warung itu. Mulanya aku tak acuh.Tapi selanjutnya aku tertarik dengan lagu yang mereka bawakan; Bengawan Solo. Mereka membawakan lagu itu dengan rambas dan petikan gitar yang diadaptasikan ke gaya keroncong. Luar biasa!Aku terpesona. Vokal Johan yang halus mendayu menarik-ulur kerinduanku pada kampung halaman. Bengawan Solo adalah lagu yang selalu disenandungkan oleh Ibu sa
Bab 31: Menunggu AntreanMedan Fair Plaza, sebuah pusat perbelanjaan terbesar, termegah dan terbaru di kota Puteri Hijau, Medan. Suasananya ramai, lebih dari hari-hari biasa.Manusia tumpah ruah, penuh sesak. Umbul-umbul, plakat, spanduk, dan billbroad di sepanjang jalan raya semuanya bermuara di plaza itu.Para bapak, ibu, tulang, amang boru, pakcik, makcik, kakak atau adik, mengantarkan orang kesayangan untuk mengikuti perhelatan akbar yang beberapa bulan terakhir ini diembuskan sebuah stasiun televisi swasta; AUDISI BINTANG INDONESIA.Di lantai atas pusat perbelanjaan itu, penampilan orang-orang semakin tampak seragam. Mereka mengenakan secarik kain putih di dada bertuliskan nomor urut. Jumlahnya ratusan.Mereka adalah para peserta audisi yang duduk cemas menanti nomor dadanya dipanggil panitia untuk masuk ke ruang audisi.Di ruangan itu telah menunggu dewan ju
Bab 32: Di Mana Kamu Bersembunyi?“Nama lengkapnya?”“Joni Purba, Mas.”“Oke, Joni. Mau nyanyi lagu apa kamu?”“Kau Cantik Hari Ini, dari Lobow.”Mendengar jawaban Joni itu, Mas Irwan segera mengangkat kepalanya dari meja.“Kamu tahu, tidak? Hari ini saya sudah SEBELAS kali mendengar lagu itu! Bisa lagu yang lain?”“Bento, Iwan Fals.” Jawab Joni seketika gugup.Mas Irwan langsung menyambar. “Kamu tahu, tidak..?? Hari ini saya sudah dengar lagu Bento sebanyak SERATUS SEBELASSS kali! Yang lain bisa?”“Sebelas, sebelas.. Sebelas Januari, Gigi,” jawab Joni semakin gugup.Ia menyadari takdir dan nasibnya dipertaruhkan di ruangan tak lebih dari 10X10 meter ini, di depan dewan juri yang duduk di depannya seperti orang menderita ambeien.Mas Irwan menoleh ke Mbak
Bab 33: Orang Yang Sama“Wait, wait! Wait a second!” Anggun mengangkat kedua tangannya dan menghadapkan telapaknya ke Leony.“Tunggu sebentar, just a moment! Beri aku kesempatan untuk mencerna kata-katamu barusan.” Anggun memegangi kepalanya seperti sedang terserang migrain.Leony di depannya mengangkat pundak disusul dengan melirikkan matanya ke atas agak menyamping. Ia menjadi geregetan sendiri melihat tingkah sahabatnya ini.Anggun kemudian mencondongkan badannya ke depan, dan menumpukan kedua sikunya di meja hidang warung Ayam Penyet Solo di mana mereka duduk sekarang. Kedua bola matanya menodong Leony.“Jadi, Ifat yang selama ini kamu ceritain di telepon itu, laki-laki yang agak pendiam itu, yang cleaning service, yang pernah jatuh terpeleset waktu membersihkan dinding kaca di samping mejamu, yang pernah kesetrum waktu membetulkan kabel komputermu, yang pernah kamu lihat ke
Bab 34: PenyihirApakah aku pernah jatuh cinta? Tentu saja, aku pernah tergila-gila pada wanita. Dulu, sekali, waktu SMA. Oh, tidak, dua kali, yang kedua kalinya waktu aku bekerja di Bandung.Oh, maaf, tiga kali, karena aku pernah jatuh cinta juga ketika menjadi kondektur bus metromini di Jakarta.Ya Tuhan, kenapa aku mudah lupa. Maksudku tadi, empat kali. Yang terakhir ini adalah, di sini, di Bandar Baru ini. Kepada seorang mahasiswi bernama Ika, sahabat Jihan itu.Tunggu, yang kurasakan kepada Ika ini apakah benar cinta? Entahlah.Atau mungkin, karena sejak kecil aku terobsesi dengan seni beladiri sehingga hal-hal yang berhubungan dengan wanita tidak terlalu menarik perhatianku dan ketika dewasa mengakibatkan aku bodoh, tolol, polos atau lugu seperti kata Leony seminggu yang lalu?Hmm, perihal bodoh, mungkin ada benarnya. Namun polos atau lugu, harus dikaji ulang. Aku tiada berbeda dengan lelaki kebanyakan, yang d