Bab 29: Mencari Diri Yang Hilang
“Kamu di rumah, Con?”
“Yup, aku di rumah.”
“Aku datang.”
“Silahkan.”
Setelah Ucon membalas SMS-ku itu, aku bergegas keluar. Aku akan ke rumahnya, mengembalikan uang yang dulu pernah aku pinjam dan mengelakkan diri dari Mira yang mulai ‘menggatal’ lagi.
SMS dari Mira belakangan ini seperti jadwal minum obat, tepat waktu; pagi, siang dan malam, bahkan terkadang over dosis.
Itu berarti sejak seminggu lalu Bang Rony belum pulang dari Jakarta. Aku khawatir Mira datang lagi, menawarkan madu dan racun sekaligus. Aku khawatir tak sanggup bertahan lagi mendengarnya berkata ‘pliiiiss’.
Setelah dua kali menaiki oplet, aku pun sampai di kediaman Ucon yang masih terletak di suatu komplek perbengkelan.
“Ya amplop! Kenapa wajahmu, Fat?” Tanya
Bab 30: TerminalWaktu adalah sesuatu yang misterius!Ketika pertama kali bertemu dulu, Joni pernah berkata padaku, bahwa kemarin adalah sejarah, esok adalah misteri, dan hari ini adalah anugerah.Anugerah, sebuah kata yang ia alamatkan padaku.Ketika itu aku sedang jenuh. Aku keluar menikmati udara malam, menyusuri jalan Subrantas hingga hampir ke Simpang Tabek Gadang.Pada salah satu warung tenda tepi jalan, aku melihat mereka berdua sedang mengamen. Mereka sedang melayani request dari seorang pengunjung di warung itu. Mulanya aku tak acuh.Tapi selanjutnya aku tertarik dengan lagu yang mereka bawakan; Bengawan Solo. Mereka membawakan lagu itu dengan rambas dan petikan gitar yang diadaptasikan ke gaya keroncong. Luar biasa!Aku terpesona. Vokal Johan yang halus mendayu menarik-ulur kerinduanku pada kampung halaman. Bengawan Solo adalah lagu yang selalu disenandungkan oleh Ibu sa
Bab 31: Menunggu AntreanMedan Fair Plaza, sebuah pusat perbelanjaan terbesar, termegah dan terbaru di kota Puteri Hijau, Medan. Suasananya ramai, lebih dari hari-hari biasa.Manusia tumpah ruah, penuh sesak. Umbul-umbul, plakat, spanduk, dan billbroad di sepanjang jalan raya semuanya bermuara di plaza itu.Para bapak, ibu, tulang, amang boru, pakcik, makcik, kakak atau adik, mengantarkan orang kesayangan untuk mengikuti perhelatan akbar yang beberapa bulan terakhir ini diembuskan sebuah stasiun televisi swasta; AUDISI BINTANG INDONESIA.Di lantai atas pusat perbelanjaan itu, penampilan orang-orang semakin tampak seragam. Mereka mengenakan secarik kain putih di dada bertuliskan nomor urut. Jumlahnya ratusan.Mereka adalah para peserta audisi yang duduk cemas menanti nomor dadanya dipanggil panitia untuk masuk ke ruang audisi.Di ruangan itu telah menunggu dewan ju
Bab 32: Di Mana Kamu Bersembunyi?“Nama lengkapnya?”“Joni Purba, Mas.”“Oke, Joni. Mau nyanyi lagu apa kamu?”“Kau Cantik Hari Ini, dari Lobow.”Mendengar jawaban Joni itu, Mas Irwan segera mengangkat kepalanya dari meja.“Kamu tahu, tidak? Hari ini saya sudah SEBELAS kali mendengar lagu itu! Bisa lagu yang lain?”“Bento, Iwan Fals.” Jawab Joni seketika gugup.Mas Irwan langsung menyambar. “Kamu tahu, tidak..?? Hari ini saya sudah dengar lagu Bento sebanyak SERATUS SEBELASSS kali! Yang lain bisa?”“Sebelas, sebelas.. Sebelas Januari, Gigi,” jawab Joni semakin gugup.Ia menyadari takdir dan nasibnya dipertaruhkan di ruangan tak lebih dari 10X10 meter ini, di depan dewan juri yang duduk di depannya seperti orang menderita ambeien.Mas Irwan menoleh ke Mbak
Bab 33: Orang Yang Sama“Wait, wait! Wait a second!” Anggun mengangkat kedua tangannya dan menghadapkan telapaknya ke Leony.“Tunggu sebentar, just a moment! Beri aku kesempatan untuk mencerna kata-katamu barusan.” Anggun memegangi kepalanya seperti sedang terserang migrain.Leony di depannya mengangkat pundak disusul dengan melirikkan matanya ke atas agak menyamping. Ia menjadi geregetan sendiri melihat tingkah sahabatnya ini.Anggun kemudian mencondongkan badannya ke depan, dan menumpukan kedua sikunya di meja hidang warung Ayam Penyet Solo di mana mereka duduk sekarang. Kedua bola matanya menodong Leony.“Jadi, Ifat yang selama ini kamu ceritain di telepon itu, laki-laki yang agak pendiam itu, yang cleaning service, yang pernah jatuh terpeleset waktu membersihkan dinding kaca di samping mejamu, yang pernah kesetrum waktu membetulkan kabel komputermu, yang pernah kamu lihat ke
Bab 34: PenyihirApakah aku pernah jatuh cinta? Tentu saja, aku pernah tergila-gila pada wanita. Dulu, sekali, waktu SMA. Oh, tidak, dua kali, yang kedua kalinya waktu aku bekerja di Bandung.Oh, maaf, tiga kali, karena aku pernah jatuh cinta juga ketika menjadi kondektur bus metromini di Jakarta.Ya Tuhan, kenapa aku mudah lupa. Maksudku tadi, empat kali. Yang terakhir ini adalah, di sini, di Bandar Baru ini. Kepada seorang mahasiswi bernama Ika, sahabat Jihan itu.Tunggu, yang kurasakan kepada Ika ini apakah benar cinta? Entahlah.Atau mungkin, karena sejak kecil aku terobsesi dengan seni beladiri sehingga hal-hal yang berhubungan dengan wanita tidak terlalu menarik perhatianku dan ketika dewasa mengakibatkan aku bodoh, tolol, polos atau lugu seperti kata Leony seminggu yang lalu?Hmm, perihal bodoh, mungkin ada benarnya. Namun polos atau lugu, harus dikaji ulang. Aku tiada berbeda dengan lelaki kebanyakan, yang d
Bab 35: Antiklimaks“Fat, pliiis..!”Duh, langsung keram perutku. Entah karena geli, entah juga karena merasa sial, aku memaksa diri untuk tersenyum.Jika aku tidak salah, ini adalah senyumku yang paling lebar sejak aku duduk di sini. Bersamaan dengan itu terdengar pula suara.. kraakk..! Anggun memecahkan capit kepiting.Apa yang terjadi? Anggun menatapku dengan sorot yang semakin aneh. Seakan-akan ia mendapati sesuatu yang salah pada…, wajahku? Atau senyumku?Aku ingin menoleh lagi padanya tapi tidak berani. Oh, ternyata Anggun melakukan kecerobohan kecil yang tidak disadarinya. Jari telunjuknya ikut terjepit pemecah cangkang, dan ia tidak sadar itu!Ia baru ‘ngeh’ setelah merasakan rasa asin darah dari jarinya yang terluka! Begitu melihat tangannya sendiri yang berdarah, sontak Anggun melenguh kesakitan.“Aduuuh..! Ssshh..!”“Kenapa?” Leony menoleh pada Angg
Bab 36: Surat PeringatanAku jadi bingung sendiri, karena tidak menemukan tempat yang sedikit lapang untuk melatih fisik dan mengasah kemampuan beladiriku.Sebagai persiapan tes kedua dari Josep itu, aku hanya bisa berlatih dengan gerakan-gerakan kecil di dalam kamarku. Ruang tengah tak bisa kupakai, bahkan lebih sempit dari kamar.Saat-saat berlatih itu kuupayakan sedapat mungkin aku tidak mengeluarkan suara. Aku khawatir, itu mengundang auman Uni Fitri. Menggunakan kamar Joni dan Johan yang kedap suara, aku segan, juga takut bisa membuat kamar mereka berantakan. Secara rutin, pagi dan sore aku melatih kelenturan tubuh. Split dan kayang menjadi fokus utama, karena di latihan itulah keluwesan kaki dalam melakukan tendangan bisa didapat.Setelah itu aku melakukan push up, pull uap, sit up, dan jump up untuk memperkuat otot-ototku. Gerakan jurus dasar semacam pukulan, tangkisan, tendangan dan beberapa kombinasi
Bab 37: Kopi TubrukBegitu kutatap wajah sang pengemudi, serentak darahku mendesir. Sebab sebuah senyum yang teramat manis sedang terulas di sana.Mira! “Oh.” Aku terkesiap, dan serentak dengan perlahan aku mundur ke belakang.“Hei, Fat! Tunggu!”“Maaf, Mira, aku kira siapa tadi. Hampir saja aku marah. Maaf ya?”“Baru pulang kerja?” Tanya Mira.“Iya.”“Mau aku antar pulang?” Apa nanti kata tetangga? Cetusku dalam hati.“Terima kasih sebelumnya, tapi maaf, aku naik oplet saja.”Mira terkekeh sebentar.“Maaf juga ya, aku cuma basa-basi, kok.”Ih, mulai jengkel aku dibuatnya. Seperti tak ingat dia, yang tempo hari blingsatan mengendusi punggungku seperti induk kucing membaui ikan asin. Aku tak ingin berpanjang cerita. Se