Bab 55: Terperangkap
**
Tadi pagi, sebelum aku berangkat ke hotel, pegawai rumah sakit mengingatkan biaya yang harus segera dibayar. Jumlahnya,
“Dua belas juta rupiah, Pak,” kata sang pegawai itu.
Dua belas juta, itu uang semua, tak boleh bercampur daun akasia, selembar pun. Mendengar itu Johan tertunduk, dan aku hanya bisa menelan ludah. Pahit, pahit sekali.
Di dalam oplet menuju hotel, Josep kembali meneleponku. Sebelum ia sampai kepada kalimat ancaman, segera kusembur dia dengan makianku. Serentak saja penumpang seisi oplet memandang ke arahku.
Kepalaku hampir meledak rasanya saat kulangkahkan kaki memasuki areal hotel. Dengan suasana hati yang kisruh itu pula aku bekerja.
Kacau, pekerjaanku tidak ada yang beres. Ditambah dengan tanganku yang masih nyeri dan ngilu, bahkan ketika aku memaksakan diri untuk mengangkat seember air, malah terjatuh dan tumpah.
Pada jam istirahat, kulangkahkan
Bab 56: Dua Kosong Telak**“Ifaaaaat..!” Teriak Mira menahanku.Aku hentikan langkagh di tengah lorong hotel. Seraya mengancingkan baju aku melangkah kembali pada Mira yang berlutut di ambang pintu. Sebelah tangannya menangkupkan baju ke dadanya yang terbuka.“Pliiss..,” Ia merengek. Suaranya bergetar, serak dan nestapa.“Maaf Mira, aku tidak bisa.”“Kenapa, Fat? Kenapa tidak bisa??”Aku teringat kata-kata Ucon saat menceritakan dahsyatnya perang Badar, dan dahsyatnya pertarungan melawan nafsu yang jauh lebih besar.Aku juga teringat Ucon yang pernah berkata bahwa kehebatan seseorang itu bukan terletak pada kemampuannya mengalahkan lawan, tapi pada kemampuannya mengalahkan hawa nafsunya sendiri.Kutarik nafas, lalu..“Karena.. aku ingin jadi petarung!”********Walaupun tidak ada kebaikan pada keduanya, tapi kupi
Bab 57: Jangan Pergi!**Pramono dan Dewa melepaskan aku, membiarkan aku terisak-isak di lantai. Josep masih tersenyum untuk kemenangannya atasku, dan ia merayakan itu dengan cara bertepuk tangan. Plok! Plok!Perlahan aku bangkit, dan menghampiri Josep. Dia menyambutku dengan anggukan kepala dan jabat tangan yang erat.Tanpa banyak cincong Josep menerima syaratku. Bahwa, ia akan melepaskan Idah setelah aku menjalani dua belas pertarungan yang dimintanya.Josep sedikit berbaik hati karena kemenangan atau kekalahanku di pertarungan itu tidak akan membawa konsekuensi apa-apa bagi Idah.Ia hanya berkepentingan dengan dua belas pertarungan. Akan hal Joni, Josep juga bersedia menanggung biaya perobatannya, dengan catatan biaya itu diambil dari fee-ku di setiap pertarungan.“Satu kali tanding, kau mendapat bayaran sepuluh juta. Nah, jika menang maka kau akan mendapat bonus dua persen dari jumlah taruhan pemenangnya. Itu artiny
Bab 58: Janji Seorang Laki-laki**“Aku harus pergi, Jo. Lagi pula, aku tidak bisa membiarkan Idah dalam penyanderaan Josep.”“Idah? Idah disandera..??” Johan terbelalak.“Iya, sekarang Idah berada di Jakarta, sebagai jaminan atasku.”Johan melepas kunciannya padaku. Aku pun melepas kuncianku padanya. Kami kemudian duduk menggelosoh di lantai, berselonjor kaki dan bersandar di dinding.Masing-masing kami masih berlinangan airmata, tapi sekuat tenaga pula kami menahan hingga yang keluar kemudian hanyalah suara isakan.“Pukul tiga dini hari tadi Idah diculik anak buah Josep, dan langsung diterbangkan ke Jakarta..,""Aku tidak sanggup membayangkannya, Jo. Mereka pasti telah membuat dokumen palsu untuk Idah. Mereka pasti telah membiusnya supaya Idah tidak meronta-ronta di dalam pesawat.""Aku minta maaf, Jo. Sungguh, aku minta maaf. Karena akulah kalian semua harus mengalami ini.&rdq
Bab 59: Di Balik Kacamata**Masalahnya sekarang adalah, di mana aku akan berlatih? Di mana ada tempat yang bisa aku gunakan untuk mengasah kembali semua jurus dan teknik yang dulu aku kuasai?Untuk gerakan-gerakan kecil, seperti biasa aku masih bisa melatihnya di dalam kamar. Tapi untuk gerakan besar seperti tendangan melingkar, atau tendangan disertai lompatan aku membutuhkan ruang terbuka dengan luas sedikitnya 50 meter persegi.Di rumah? Tak mungkin. Di halaman? Bahkan yang kusebut halaman hanyalah jalan kecil selebar dua meter. Tanpa menceritakan maksud sebenarnya aku membincangkan masalah itu dengan Bang Idris.“Untuk apa?”“Latihan menari, Bang. Sebentar lagi hotelku akan dipakai untuk menginap utusan kementrian olah raga untuk membahas persiapan PON. Jadi, beberapa karyawannya ditugaskan untuk menyambut kontingen itu dengan tarian adat Melayu.”Mudah-mudahan alasanku itu cukup masuk ak
Bab 60: Antara Dua Cinta**“Bagaimana, Fat?”Bagaimana? Apanya yang bagaimana?“Bagaimana menurut kamu?” Ulang Mira bertanya.“Aku tak peduli.” Sahutku dingin.Mira terhenyak.“Sudah lama kita saling kenal, dan kamu cuma bilang ‘tidak peduli’?”“Iya, aku tak peduli. Kamu urus saja masalahmu sendiri. Biar aku juga mengurus masalahku sendiri,” sahutku sedikit ketus.“Sekejam itukah kamu sekarang, Fat?”“Terserah apa katamu, Mira! Toh, kamu tidak akan memahami aku. Karena kamu hanya memikirkan dirimu, kepentinganmu, dan kebutuhanmu!""Tidak pahamkah kamu ketika aku meminjam uang padamu, betapa butuhnya aku saat itu?! Tak pahamkah kamu betapa cemasnya aku dengan Joni saudaraku yang sedang berjuang antara hidup dan mati di rumah sakit??”Mira menunduk. Aku tak mendengarnya menangis, tapi ku
Bab 61: Meminjam Rembulan**Setelah Leony pulang dari rumahku, barulah aku bisa pergi ke rumah sakit untuk menjaga Joni. Sesampaiku di rumah sakit, seketika saja aku merasa heran.Tumben, pikirku, Johan pulang cepat dari mengamen. Ketika aku tiba, ia telah lebih dulu berada di situ.Di rumah sakit aku tidak lama, dan langsung kubatalkan rencana menginap. Johan memberiku sebuah solusi.“Kamu bingung mencari tempat untuk latihan?”Aku mengangguk. Johan tersenyum lebar, menunjukkan ompong dua giginya akibat dipukul anak buah Josep.“Padahal setiap hari kamu melewatinya,”“Maksud kamu?”Johan tak menjawab. Sebelah alisnya mengisyaratkan bahwa aku harus memecahkan sendiri teka-teki “setiap hari kamu melewatinya”. “Ah, semprul kamu, Jo! Kenapa tidak bilang dari kemarin-kemarin?”Aku bergegas keluar, terus berlari menuju
Bab 62 Pot Bunga**Keesokan harinya..,Pramono berdiri di depan pintu rumahku dengan gugup, sementara Bombi masih bertolak pinggang di depan teras. Mereka berdua tak mau masuk ke dalam walaupun sudah aku persilahkan.“Hape kamu tidak aktif. Bos tidak bisa menghubungi kamu. Aku disuruh menanyakan keadaanmu. Bagaimana, Fat, kamu siap berangkat besok?” Tanya Pramono.Aku mengangguk, lalu kualihkan pandanganku pada Bombi yang berdiri uring-uringan seperti didesak hajat besar.Aku tahu, ia sedang menatapku dari balik kacamata hitamnya. Aku juga tahu ia mempunya perhitungan khusus denganku. Semacam dendam, begitu kira-kira.“Oke, besok jam sepuluh aku jemput ke sini.” Kata Pramono lagi.Masih kutatap Bombi, tak berkedip. Tiba-tiba, entah apa pasalnya ia meludah ke samping.“Kalau begitu kami pamit, terima kasih sebelumnya.”Pramono berbalik. Belum tiga langkah ber
Bab 63: Mencari Tambatan**Kumasukkan beberapa setel pakaian ke dalam tas sandangku. Beberapa perlengkapan lain juga aku masukkan; botol minum Winnie The Pooh, handuk kecil, peralatan mandi, balsem dan charger ponsel.Tidak lupa celana training warna hitam berstrip putih, dan kaos oblong yang kupotong lengannya. Aku akan memakai celana training dan kaos itu sebagai kostumku di ring nanti.Sebentar kemudian aku sudah bersiap. Kusampirkan tali tasku ke pundak, lalu berdiri di depan cermin.Aku pandangi sosok berkemeja kotak-kotak biru yang lengannya tergulung sebatas siku di dalam cermin itu. Dia memakai topi warna hitam, sangat kontras dengan wajahnya yang berwarna sawo matang nan cerah.Aku tersenyum, sosok di dalam cermin ikut tersenyum. Aku mengepalkan tangan, dia juga mengepalkan tangan.“Aku.. adalah.. petarung!” Kataku. Serentak pula, sosok di dalam cermin itu mengucapkan kalimat yang sama.