Bab 65: Di Bawah Kotak Kue
**
“~Manusia macam apa aku ini yang tak tahu berterima kasih~”
“~Terima kasih, Ifat, karena telah menolong mengobati jariku yang terluka~”
Hatiku sontak berdebar keras membaca pesan pada secarik kertaas ini. Sebentar aku menarik nafas, lalu teruskan membaca.
“~Manusia macam apa aku ini yang telah menuduhmu mencuri~”
“~Mohon maaf, Ifat, aku tidak menuduhmu. Tapi aku memvonismu, karena aku punya bukti; hatiku hilang dan kini sedang kau pegang!~”
Aku terkesiap. Cepat aku mengangkat wajah, menoleh kanan kiri depan dan belakang.
Ini pasti Anggun!
Aku ingat dia seorang pramugari, tapi aku tak pernah tahu dia bekerja di maskapai yang pesawatnya sedang aku tumpangi ini!
Dua orang pramugari pertama tadi aku tahu, dan aku ingat wajahnya. Tapi, ah, ya, ada seorang pramugari lagi yang..,
********
Bab 66: Flash!**++ Ditulis oleh: ANGGUN AULIA RASYID.++ Di Sayap Garuda, Mei 2010.~Ya Tuhan, mimpi apa aku semalam? Misteri apa ini yang sedang berlaku?~ Begitu mudah Engkau mengabulkan keinginanku. Dia datang padaku, Ya Allah, dia datang padaku. Dia naik di pesawatku! Apa yang harus aku lakukan??~ Sepersekian detik aku terperangah saat melihat dia masuk. Aku terpaku dan seakan degup jantungku berhenti.~ Oh, nyaris saja aku pingsan. Untung ada penumpang lain yang meminta bantuan, dan untung saja dia selalu menunduk sehingga tidak melihatku saat berlalu-lalang.~ Ifat, kamu tidak melihatku, kan? Tapi aku bisa melihatmu dari balik tirai di kabin depan. Aduhai, kamu kenapa, Ifat? Mengapa wajahmu tampak sedih.~ Aku melihatmu Ifat, saat kamu bertegur sapa dengan penumpang lain di sebelahmu. Engkau tersenyum, Ifat, engkau tersenyum! Hatiku bergetar, Fat! Aku harap ini bisa menjadi pengobat rin
Bab 67: Eroto Romantik**Matahari sore begitu garang, merah terang di langit Jakarta. Semua ruas jalan di ibukota ini dipenuhi aneka macam kendaraan. Berebut ruang, macet, padat merayap.Suara klakson menyalak tak henti-henti. Di salah satu sudut kota, seorang preman berambut gimbal berjalan pongah, meninggalkan seorang korban di samping boks sampah.Preman gimbal itu akan berpesta malam ini. Karena dengan hunusan belati, sang korban sudah memberikan segala miliknya pada bromocorah kelas teri itu.Nasib, juga waktu, memang sesuatu yang mistrius. Aku tak mengetahui bahwa preman gimbal itu adalah preman yang berhasil melarikan diri ketika aku menyelamatkan penumpang saat masih menjadi kondektur bus metromini dulu.Aku juga tak mengetahui, preman itu pula yang kemudian bersama gerombolannya menyayat wajah Joni dan Johan, tepat satu jam setelah ia melarikan diri dariku.Sementara di tempat lain yang sunyi dan tenang, di halaman belakang
Bab 68: Sang Maestro**Jum’at, 21 Mei 2010, pagi, pukul 07.00 WIB.Aku sedang melakukan jogging di atas treadmill sembari menonton televisi. Lebih kurang sudah setengah jam aku berlari-lari dengan tetap menjaga tempo nafas untuk melatih staminaku.Tidak terlalu cepat, juga tidak terlalu lambat, namun di setiap lima menit aku menghirup nafas lewat hidung sebanyak yang aku dapat, menahannya di dada selama yang aku bisa, dan melepaskannya lewat mulut selambat yang aku sanggup.Begitu terus aku ulangi berkali-kali sambil tetap berlari. Ini merupakan salah satu metode yang dulu pernah diajarkan guru silatku. Akan lebih bagus lagi jika aku melakukan ini sambil berlari di pegunungan atau dataran tinggi.Sembari terus berlari, aku menyimak berita di televisi. Beberapa kali mengganti channel dengan remote, hingga kemudian ada sebuah berita yang membuatku terkejut.Refleks aku
Bab 69: Underground**Akhirnya, tibalah pertarungan itu!Josep, Bondan, dan Wisnu menjemput aku pukul sembilan malam. Mereka membawa dua mobil.Josep, Bondan, aku dan Kassandra di dalam mobil pertama. Wisnu, Reynold, dan dua sparring partner itu di mobil lainnya, mengawal kami.“Kamu sudah nonton CD yang aku beri, Fat?” Tanya Josep dari jok depan.“Terlambat.” Jawabku sedikit acuh.“Seharusnya sejak jauh-jauh hari aku menontonnya, agar persiapanku lebih matang. Jujur saja, aku bertanding ini hanya mengharapkan nasib baik.”“Ah, aku minta maaf, Fat. Sayang memang, kita berkenalan terlalu singkat. Tapi aku mohon padamu, kamu harus menang di pertarungan ini.”“Supaya apa? Supaya kamu memenangkan taruhan? Supaya kamu bisa membolak-balik permainan?”“Itu nomor sembilan, Fat. Satu yang terpenting adalah kamu selamat, tidak terluka.”
Bab 70: Bidadari Melepaskan Sayapnya**“Haah?? Bang Ifat ke mari??” Jihan sampai menegakkan tubuhnya di kursi. Ia lalu merapatkan tubuhnya pada meja yang ada di beranda depan rumah Ika ini.“Kapan itu? Urusan apa?” Ada nada cemburu di dalam pertanyaannya itu.Ika tersenyum. “Sekitar seminggu yang lalu. Eh, lebih, ding. Sepuluh harian begitu lah.”“Ada urusan apa?” Ulang Jihan lagi bertanya.Ika tersenyum lagi, menyadari kecemburuan Jihan itu.“Tidak ada urusan apa-apa kok. Dia hanya menemani Bang Irham mengantar buku untuk Kak Riska.”“Bang Irham ini siapa?”“Teman kerja Bang Ifat.”“Kamu kenal dia?”“Tidak.”“Kamu bilang mengantar buku?”“Iya, buku materi ekskul, punya Kak Riska. Bang Irham bilang, besok istrinya tidak bisa masuk mengajar, jadi dia disuruh istrinya un
Bab 71: Pertaruhan**Suasana gedung hingar binger. Musik berdentuman dan beberapa puluh lelaki bersorak sorai. Namun, semua bahana suara itu tidak sampai menjalar keluar, karena teredam sempurna dengan karpet yang melapisi semua lantai, dinding dan langit-langit gedung ini.Di keempat dinding gedung terdapat delapan billboard, atau poster besar yang terpampang dengan jelas. Sorot lampu halogen menyinari kedelapan poster yang ditempelkan berpasang-pasangan itu. Poster itu berisi foto berikut nama petarung yang akan bertanding malam ini.Di bagian tengah gedung, dan rupanya dari situlah pemicu sorak sorai sebagian pengunjung, sebuah bidang berbentuk segi enam dengan tinggi satu meter dari lantai diisi oleh tiga wanita berbusana minim.Mereka berlenggak-lenggok, menari erotis, menikmati semua pelototan lelaki pemuja birahi dengan bangga.Temaram lampu-lampu, juga kelap-kelip warna-warni menjadikan pesona surga dunia di lekuk-lekuk tubuh mereka
Bab 72: Seirama Langkah Pertama**Dalam sebuah ruangan di bagian belakang gedung, aku menunggu suara seseorang di seberang telepon. Aku menghubungi Bang Idris dan meminta tolong padanya untuk memberikan ponsel pada Pak Latif.“As.., assalamu’alaikum.. ini Ifat?” Suara Pak Latif di seberang sana terdengar.Aku tersenyum.“Walaikumsalam.” Jawabku di sini.“Bapak sendiri? Maksudku, Bang Idris masih berada di situ?”“Tidak, saya sekarang sendiri, Fat. Bang Idris langsung kembali ke rumahnya. Jadi, bagaimana Idah, Fat?” Tanya Pak Latif cemas.“Alhamdulillah, baik-baik saja Pak. Saya sudah bertemu dengannya kemarin. Dia sehat dan..,”Tidak akan kukatakan padanya bahwa Idah sangat tertekan dan menderita, agar ia bisa sedikit tenang dan tidak bertambah buruk penyakitnya.“Dan..? Dan apa, Fat?”“Semakin gemuk dan cantik, Pak.&
Bab 73: Delapan Tungkai**Semua keterangan Aldo tentang ring yang lebih menyerupai kandang sirkus ini benar adanya. Namun tak kuduga, begitu aku memasuki ring, sontak aku bergidik.Lantai ring yang terbuat dari kanvas berwarna putih, telah berwarna merah, darah! Darah para petarung sebelumnya yang diseka ala kadarnya. Bau amis segera meruap di hidungku. Nafasku sesak.Benar, aku pernah mempelajari silat, taekwondo, gulat dan kickboxing. Benar, aku pernah meraih medali di ajang pekan olah raga daerah pada salah satu cabang beladiri yang aku ikuti.Tapi itu dulu, dulu sekali. Kemenanganku pun hanya sebatas akumulasi dari poin-poin yang aku dapatkan di setiap babak pertandingan, dan juga di bawah aturan keselamatan yang ketat.Maka kemudian, dari dalam ring yang disebut oktagon ini, di dalam todongan seribuan pasang mata juga kamera-kamera yang menyorotku, aku bisa melihat diriku sendiri..,Yang kerdil ini, yang