LOGIN“Ini, gendong Bian. Mama mau pergi. Duh, udah telat.” Nyonya Bimantara–Rosa menyerahkan begitu saja bayi berusia enam bulan ke dalam dekapan putra bungsunya–yang tentu dengan sigap Adrian terima.
Bayi, loh!Mamanya seenaknya menyerahkan Bian–mereka memanggilnya begitu, karena rasanya Abian terlalu panjang–tanpa pandang kiri-kanan kemudian berlalu sembari menggumam jika sudah terlambat. Argh! Kenapa mesti Adrian yang menggendong atau menjaga si bayi ketika mamanya ingin pergi?“Ma! Aku ngambil libur hari ini bukan buat jadi pengasuh Bian!” jerit Adrian tak terima. Hah! Dia sengaja libur memang karena ingin istirahat, bukan menjaga si gembul yang tak protes atau rewel diserahi pada ayahnya.Abian memang bayi yang ceria dan hyperactive, tapi tidak menyusahkan. Bayi lucu itu cenderung suka digendong, jadi siapa pun yang menggendong dia hanya akan tertawa tanpa suara dan tenang. Hmph, gampang sekali untuk diculik.Rosa berbalik setelah mendengar ucapan putra bungsunya, “Trus siapa yang jaga Bian? Para asisten rumah tangga sibuk. Papa kamu ada meeting, Adnan juga ada pertemuan dengan client trus mama pun harus ketemu client sekarang!”“Tapi ....”“Nggak ada tapi-tapi, jaga Bian. Jangan lupa buatin susu dan ganti popoknya!” peringat sang Nyonya yang lalu melanjutkan langkah.Aku mana bisa lakuin itu semua! Itu pekerjaan para ibu! Adrian mendumel dalam hati. Astaga~ mengapa hari ini jadi begini? Niatnya ingin bersantai malah di repotkan menjaga bayi. Meski Abian anteng saja dalam gendongannya.Keluarga Bimantara memang keluarga yang sibuk. Masing-masing memiliki pekerjaan. Adnan dan Adrian bekerja di perusahaan yang dirintis oleh sang Ayah; Agam Bimantara. Perusahaan apa itu tanya saja pada yang bersangkutan. Pun Rosan mempunyai usaha sendiri; membuka galery wedding organizer. Jika ada client, dia bisa sibuk sampai hari H–atau bisa beberapa minggu.Memperkerjakan tiga asisten rumah tangga yang tinggal di dalam rumah dan beberapa yang pulang hari mempunyai pekerjaan masing-masing–yang tak mungkin direpotkan lagi mengurus bayi. Beberapa hari kemarin Rosa tak sibuk, jadi bisa mengawasi Bian. Lain ceritanya hari ini saat dia dihubungi bila ada client yang ingin menggunakan jasa WOnya.“Aku cari babysitter untuk Bian ya,” sebuah ide tercetus dari mulut si bungsu Bimantara.Membuat langkah sang Mama terhenti sekali lagi. Membalik badan dan memandang Adrian dengan bintang-bintang di mata. “Good job! Ide bagus. Tapi, mama yang bakal wawancara calonnya nanti ya. Dah~” dan meninggalkan Adrian.Si bungsu menghela. Dia berjalan ke ruang keluarga atau tengah dan mendudukkan diri di sofa. Menyandarkan punggung. Si bayi berpindah ke pangkuannya di posisikan duduk menyandar ke perut Adrian. Bian kan belum bisa duduk sendiri.“Okeh ...,” Adrian mengeluarkan ponselnya dari saku dan mulai menyalakan layar. Cahaya dari ponsel menarik perhatian Bian sehingga matanya terus mengarah pada benda hitam di tangan sang Ayah. “Kita buat iklan mencari babysitter untuk kamu.” Katanya.Baby Bian hanya diam. Fokus penglihatannya mengarah pada layar ponsel sang Ayah yang tampak menarik. Mengikuti kemana pun ponsel itu digerakkan oleh Adrian. Sesekali tangan Bian menepuk-nepuk sendiri kakinya dan tertawa karena melihat hal baru.Si bungsu membuka salah satu aplikasi job yang baru di unduh di ponsel; memiliki fitur membuat iklan dan mengjsi tiap-tiap kolom–spesifikasi untuk calon pelamar dan nomor telepon yang dihubungi. Berhubung mamanya yang mau wawancara, jadi dia memasukkan kontak sang Mama. Tapi, Adrian tidak menyertakan alamat kediaman Bimantara–takut jika yang datang atau menghubungi mamanya bukan karena pekerjaan yang ditawarkan, tetapi meneror keluarga mereka.Ah, pandangan Adrian terhadap prilaku orang-orang–khususnya perempuan–yang mengidolakannya adalah teror. Ahem. Karena keluarga Bimantara termasuk salah satu keluarga yang menjadi sorotan publik; anggotanya sering menjadi topik di media massa atau online. Dia tidak suka kehidupan pribadinya di kulik dan di papar menjadi berita. Apalagi dengan fisik mereka yang tampan dan cantik, tentu menjadi perhatian banyak orang. Namun, si bungsu tidak suka menjadi objek pembicaraan dalam bidang apapun.“Okay, udah selesai.” Adrian menyimpan kembali ponselnya. Tidak menyadari si bayi di pangkuan mengikuti gerakan tangannya yang memasukkan ponsel ke saku celana sehingga tubuh Bian makin lama makin miring kemudian jatuh ke sofa di sebelahnya.Huh?Bian tidak menangis. Si bayi malah tertawa tanpa suara. Dia mencoba bergerak-gerak, memiring-miringkan badan. Tapi tidak berhasil. Tubuhnya tetap seperti sewaktu jatuh, tertelungkup di sofa. “Mm! Mmm!” Bian mengeram karena tak mampu bergerak.“Ha-ha ...,” Adrian tertawa kecil, mengambil tubuh kecil itu dan kembali memangku–dengan posisi berhadapan. “Tidak bisa membalik, hm?”Bibir si gembul terbuka lebar, memperlihatkan gusinya yang belum ditumbuhi gigi. Raut wajah Bian tampak girang. Lalu menggerakkan badannya naik-turun. Melonjak-lonjak di paha sang Ayah.Senyum tipis terbit di bibir si bungsu. Dia memang belum mengakui Bian sebagai putranya; belum bisa menerima si bayi adalah keturunan Bimantara dari dirinya, namun ... bukan berarti dia akan bersikap ketus dan menjauhi Bian. Si gembul berpipi chubby minta digigit itu masih bayi, tidak mengerti apapun–tidak wajar bila dia menghindari si bayi. Jadi, setidaknya Adrian memperlihatkan sosialisasinya sebagai manusia, sebagai seseorang yang memiliki nurani, otak dan perasaan.Yah ..., tidak buruk juga menghabiskan waktu dengan si gembul yang tak rewel ini.** Menarik napas dalam lalu dihembuskan. Melakukannya beberapa kali untuk menetralkan degup jantung yang tidak beraturan sembari memandang bangunan besar di balik pagar. Meski sudah berusaha tenang, tapi tetap saja detak di dada bukannya kembali normal malah makin kencang seraya dia melihat seorang laki-laki berpakaian security terlihat di pos penjaga. Bia memejam mata sebentar. Mengucap doa di dalam hati, sekali lagi menarik napas lalu berjalan ke pos penjaga.“Pe-permisi, Pak.” Katanya memanggil laki-laki berbadan besar berseragam petugas keamanan yang biasa dilihat di rumah-rumah gedong atau orang kaya.Laki-laki tadi menundukkan kepala supaya wajahnya bisa dilihat dari jendela kecil di posnya, “Ya?”“Sa-saya mau lamar pekerjaan di sini. Katanya yang punya rumah lagi cari babysitter.” Bia menjelaskan dengan gugup. Pasalnya pekerjaan yang dia bilang cuma sekedar dengar saja. Tak tahu apakah benar-benar mencari orang atau sudah dapat atau dia salah dengar atau malah salah presepsi. Tapi, yang penting datang dulu dan mengkonfirmasi.“Oh, sebentar ya mbak. Saya tanyain dulu.” Kata si petugas keamanan kemudian berbalik.Bia melihat laki-laki besar yang kelihatan menakutkan karna posturnya yang tinggi-besar, namun nada bicaranya ramah sedang menelpon. Mungkin bermaksud bertanya kebenaran yang dia sampaikan tadi. Tak lama petugas tadi kembali ke dekat jendela dan memperlihatkan wajahnya.“Saya udah konfirmasi. Sebentar saya buka gerbangnya.” Ujar si petugas keamanan sangat santun.Gerbang besar yang berada di depan perempuan yang menguncir satu rambut panjangnya pelan-pelan terbuka sendiri. Dia menghela. Sekali lagi berusaha menenangkan diri. Terlebih saat setelah gerbang dibuka dan memperlihatkan rumah besar berhalaman luas terpampang di depannya. Bia menelan ludah. Dia sudah sampai di sini. Tinggal berjalan beberapa langkah lagi.“Silahkan, mbak.” Si petugas keamanan muncul di sisi kiri dekat pos penjaga. Mempersilahkan perempuan yang memakai baju sederhana yang berdiri di depan gerbang tadi masuk.Bia mengangguk, “Terima kasih, Pak.” Katanya dan matanya kembali fokus pada rumah besar di hadapannya. Berapa kali sudah dia menghela, menghembus dan menarik napas saat tiba di sini? Di area perumahan yang ukurannya besar; perumahan orang-orang kaya. Detak jantung yang hampir normal kembali beroperasi kencang. Memperbaiki posisi tas yang ukurannya cukup besar–seperti tas yang biasa dipakai atlet–dia mempersiapkan diri.Satu langkah. Dia berhasil melakukannya. Dua langkah. Berlanjut langkah-langkah selanjutnya–tak dihitung lagi. Hingga sampai di pekarangan rumah. Dia mesti menaiki tiga anak tangga supaya tiba di teras. Kemudian berjalan sedikit dan akhirnya berada di depan pintu berwarna coklat dengan handle yang kemungkinan terbuat dari besi–entah, Bia tidak tahu dan tak mau memikirkannya. Ragu-ragu tangannya memanjang dan menekal saklar kecil yang dia tahu adalah bel. Biasanya begitu, kan? ***“Saya seorang yatim-piatu. Saya iri lihat kebersamaan orang lain dengan keluarga mereka. Sejak kecil saya punya citacita pengin punya keluarga sendiri ...,” jeda sebentar, “dan nggak disangka saya akhirnya beneran punya. Meskipun keadaan saya nggak begitu baik, saya seneng banget waktu tahu tentang kehadiran Bian. Saya janji sama diri sendiri bakal rawat dia dengan baik dan bakal besarin dia sepenuh hati.” Katanya sembari memainkan jemarinya yang saling bertaut di pangkuan.“Sayangnya ... kenyataan nggak seperti yang diharapkan. Sebagai ibu kandungnya Bian, saya nggak mau dia menderita. Bian berhak dapat kehidupan yang lebih baik daripada hidup sengsara sama saya. Saya nggak punya pilihan selain antar Bian ke rumah keluarga Bimantara. Apalagi kalian salah satu keluarga terpandang. Saya pikir, saya nggak perlu khawatir kalau Bian dirawat sama keluarga Bimantara.”Bia ingat sewaktu dirinya melihat berita tentang tanah bekas hotel terbakar–hotel di mana dia sempat bekerja part time dan m
Perjalanan dari kediaman Adam Bimantara yang berada hampir di ujung kota menuju rumah sakit memakan waktu dua jam. Bia yang duduk di sebelah kursi kemudi tidak bisa tenang. Dia terus bergerak-gerak gelisah seraya mobil terus melaju. Sedangkan si lelaki tampan yang sebenarnya terusik berusaha menahan dirinya. Memaklumi si gadis yang khawatir dan ingin segera bertemu dengan si gembul. Pun ia pasti merasakan hal yang sama jika di posisi Bia. Tanpa mengajak perempuan di sebelahnya bicara–mereka tidak dalam situasi yang menyenangkan untuk mengobrol dalam perjalanan–Adrian memusatkan penglihatannya ke jalan.Setelah tiba di rumah sakit dan memarkirkan mobil, Adrian dan Bia berjalan di koridor. Mereka melangkah dengan cepat agar segera sampai di ruang rawat inap Bian. Ah, sebelumnya si pemuda Bimantara menyempatkan diri menghubungi ayahnya; mengabari kalau ia berhasil mengajak Bia.Begitu sampai, Adrian menghentikan langkah. Dia menatap si gadis sebentar lalu meraih knop pintu dan membukanya
Mereka tiba di ruang keluarga. Kinan melirik ke belakang untuk memastikan kondisi si gadis sebelum menggeser pintu. Sewaktu pintu terbuka, pria yang sudah berada di dalam ruangan segera berdiri. Sorot hitam bertemu dengan retina coklat yang menatap takut. Sang kepala pelayan menundukkan kepala sebagai salam hormat pada sang tuan muda. Bia yang berada di belakang ikut menundukkan kepala.“Bia ....”Si gadis berjengit mendengar namanya disebut oleh si pemuda tampan.Mendapati si gadis yang berdiri di belakang sang kepala pelayan yang berusaha menyembunyikan dirinya membuat Adrian mengingat kejadian saat dia mengusir gadis itu dari rumahnya. Gadis tersebut juga ketakutan dan berusaha agar tidak terlihat olehnya. Apa dia sangat menakutkan?“Kamu di sini untuk bujuk dia, Adrian. Bukan untuk nakutin dia!” si pemuda Bimantara bermonolog di dalam hati.Bimantara muda ini menarik napas dan menghembuskannya pelan. Dia tak mau bertindak gegabah lagi. Dia akan berhati-hati agar Bia mau mendengark
Adrian duduk termenung di sebelah ranjang yang ditempati seorang bayi yang tengah tertidur lelap. Gurat-gurat lelah terlihat jelas di wajah dengan pakaian yang tak lagi rapi–jas dan dasi miliknya tergeletak di atas sofa di sudut ruangan dan dua kancing kemeja bagian atas terbuka. Dia ingin melakukan sesuatu untuk putranya, tapi Adrian tidak tahu tindakan apa yang mesti dia lakukan. Setengah jam lalu Bian bangun dan kembali menangis, namun sebagai ayah si bayi, dia tak mampu membuat putranya berhenti menangis.Beberapa perawat yang memang ditugaskan untuk mengecek keadaan Bian secara berkala ikut membantu menenangkan si bayi. Hasilnya nihil. Mereka juga tak mampu meredakan rontaan kencang si gembul hingga bayi itu kelelahan dan tertidur.Ia benar-benar ditampar kenyataan.Baru beberapa hari, tetapi Adrian sama sekali tak bisa menjaga Bian dengan baik. Malah berakhir di rumah sakit. Perkiraannya kalau si gembul nantinya akan terbiasa tanpa si pengasuh salah besar. Justru dirinya yang ta
Sudah beberapa hari Bia berada di kediaman Adam Bimantara. Selama hari-hari itu dia tak tahu mesti melakukan apa. Biasanya dia punya kegiatan sedaru pagi, di mulai dari membangunkan si gembul, memandikan, memberi makan dan mengantarkan si bayi pada keluarga Bimantara. Setelah itu melakukan pekerjaan rumah. Tetapi, sejak berara di sini, Bia tidak punya aktivitas apa-apa. Sang tuan paling besar memperlakukannya dengan baik, sangat baik malah. Hanya saja ... dia tidak diperkenankan melakukan pekerjaan rumah.Pernah si gadis ingin membantu Jelita dan Rita yang sedang mempersiapkan makan malam, tetapi Adam memintanya untuk lebih banyak beristirahat. Dua perempuan yang merupakan asisten rumah tangga di kediaman Tetua Bimantara diberi perintah agar tak membiarkan si gadis melakukan pekerjaan rumah. Oleh sebab itu, Bia lebih banyak diam di ruangan yang diberikan Adam padanya.Sebuah kamar yang luas–untuk ditempati seorang diri.Ya, bukan kamar yang mestinya ditempati oleh asisten rumah tangga
Adnan mengamati gelas kaca berisi air mineral di atas meja yang tak disentuh sejak disediakan oleh seorang gadis bersurai panjang yang digulung tinggi. Pikirannya melayang jauh. Banyak hal yang terjadi yang belum mampu dia cerna. Ditambah mendnegar pernyataan kalau keponakannya mengalami stres membuat sulung Bimantara ini makin merasa tak karuan.Bayi kecil begitu mesti mengalami stres yang tidak seharusnya. Adnan tak dapat membayangkan bagaimana perasaan tak nyaman menggerogoti si bayi hingga membuatnya tak berhenti menangis. Bayi yang belum mengerti apa-apa, tetapi tahu kalau ia telah kehilangan sesuatu yang penting. Bayi yang belum bisa mengatakan protesnya terhadap keadaan. Namun, orang-orang dewasa di sekitarnya malah tidak membantu dan malah memperburuk keadaan. Termasuk dirinya yang sempat mengabaikan si gembul.Hah ... ia adalah seorang paman yang egois, kan?Rasanya semakin buruk setelah ia mencoba lebih memikirkan keadaan si bayi. Bian harus menjadi korban dari kejadian ini.







