Share

3

Penulis: Kaeb
last update Terakhir Diperbarui: 2022-10-06 17:31:42

Suara bel yang kencang terdengar di seluruh penjuru rumah. Tak memakan waktu lama pintu utama segera terbuka dan menampakkan seorang perempuan paruh baya dari balik pintu.

“Selamat malam. Selamat datang di kediaman Bimantara.” Sapaan hormat dilontar oleh perempuan paruh baya yang terlihat seperti petugas pelayanan di kantor-kantor jasa. “Mau bertemu siapa?” tanyanya sopan.

Gadis berkuncir satu ini mengangguk kikuk, “Se-selamat malam. Sa-saya mau ketemu yang punya rumah, katanya mereka lagi cari babysitter. Jadi, saya mau calonkan diri.”

“Silahkan masuk. Saya akan panggil Tuan rumah.” Ujar perempuan paruh baya ini. Bergeser sedikit dari pintu sehingga menciptakan celah.

Perempuan yang masih kelihatan sangat muda ini mengangguk lagi lalu berjalan masuk sambil memperbaiki tali tas yang tersampir di pundak mendahului perempuan paruh baya yang mungkin adalah asisten atau maid–entahlah. Dia dipersilahkan duduk di sofa di ruang tamu, sementara perempuan tadi menghilang di lorong yang kemungkinan memanggil sang Tuan rumah.

Selagi menunggu, dia memandangi keadaan ruang tamu. Dekorasinya simple. Empat sofa berbeda ukuran mengelilingi sebuah meja persegi panjang yang dilapisi taplak bermotif bunga dan dihiasi bunga plastik. Dindingnya dihiasu lukisan pemandangan alam. Hanya begitu. Tidak ada aksen lain. Yah, begini saja sudah cukup, sih.

Seorang perempuan datang ke ruang tamu sembari menggendong bayi. Duduk di hadapan si gadis berpakaian sederhana dan memandanginya intens. Sedang si bayi tampak sibuk menggigiti mainan karet berbentuk bebek.

“Maaf ...,” suara Nyonya Bimantara mengalihkan fokus perempuan di depannya, “Kamu mau mencalonkan diri sebagai babysitter? Kamu yakin?” dia kira yang datang adalah seorang perempuan yang sudah berumur seperti kebanyakan ART yang bekerja di rumah. Tapi, ternyata masih sangat muda. Apa tahu cara merawat bayi?

Untuk merawat si gembul, Rosa tak mau memperkerjakan sembarangan orang. Nanti cucunya juga dirawat sembarangan. Apalagi banyak kasus pengasuh anak yang kasar pada anak yang diasuh. Pun, dia kira putra bungsunya menghubungi agen penyalur pembantu. Tapi, perempuan itu datang sendiri. Tanpa agen? Bagaimana bisa sampai kemari?

Si gadis berkuncir satu ini mengukir senyum kecil lalu mengangguk. “Saya punya pengalaman mengasuh bayi, saya yakin, Bu.” Katanya.

Sang Nyonya Bimantara masih belum bisa meyakinkan dirinya. Meski punya pengalaman, entah mengapa dia tak dapat percaya begitu saja. Rosa berusaha tersenyum agar perempuan di depannya tidak merasa terlalu cepat di tolak, “Um ..., saya bicarakan sama suami dan anak-anak saya dulu, ya. Sebentar ....” bangkit berdiri dan beranjak dari ruang tamu.

Malam begini, anggota keluarga Bimantara biasanya berkumpul di ruang tengah. Meski melakukan kegiatan masing-masing; pastinya mereka ada di sana. Rosa buru-buru menghampiri sang suami yang sedang menonton televisi.

“Pa ..., ada yang mau jadi babysitter untuk Bian,” ujar Rosa memberitahu.

Adnan yang sedang mengetik di laptop mendongak, “Loh, bukannya bagus, ma? Langsung ada yang datang ke sini.”

“Aku nggak masukin alamat rumah ini di iklan.”

Kalimat si bungsu membuat anggota yang lain saling pandang bertatapan–kecuali si gembul yang tidak peduli dan hanya fokus memencet-mencet mainan karetnya.

Mereka diam beberapa saat hingga semuanya bergegas meninggalkan ruang tengah menuju ruang tamu. Di sana sosok perempuan berkuncir satu dan berpakaian sederhana duduk di salah satu sofa. Menunduk sambil menautkan ke sepuluh jarinya. Agam berdeham membuat gadis itu mengangkat kepala dan melihat seluruh anggota Bimantara berdiri di dekatnya.

Memandangi mereka satu-persatu hingga sorotnya terhenti sewaktu bertatapan dengan si bungsu. Gadis ini cepat-cepat mengalihkan perhatian.

Sang Kepala keluarga diikuti istri serta anak-anaknya menempati semua sofa ruang tamu. Menatap perempuan yang datang ke rumah mereka mengatakan ingin menjadi babysitter.

“Bisa perkenalkan diri kamu?” sang Tuan rumah–Agam–angkat bicara.

Si gadis berkuncir satu mengangguk, “Saya Rabia Anjasari. Sembilan belas tahun. Lulus SMA tahun lalu. Saya punya pengalaman mengasuh bayi.”

Agam mengangguk. Masih sangat muda. Lulus tahun lalu pula. Mestinya bisa mencari pekerjaan lain dibanding menjadi babysitter atau pengasuh. Hm ....

“Gimana kamu tahu kalau kami yang buat iklan mencari babysitter?” Adrian bertanya. Merasa ganjil terhadap perempuan di depannyam darimana dia tahu rumah ini? Dia sama sekali tidak mencantumkan identitas apapun tentang Bimantara.

Perempuan bernama Rabia ini tidak mau memandang ke arah Adrian. Dia sedikit menunduk dan menjawab pertanyaan itu, “Ma-maaf. Saya nggak sengaja dengar waktu bantu bawain barang-barang di depan toko.”

“Toko? Toko apa?”

“Saya nggak tahu pastinya, tapi nama tokonya Rosa Galery.” Jelas Bia, tetap tak mengarahkan pandangannya pada si bungsu yang mencecar pertanyaan.

Rosa tersentak. Gerak-gerik sang Nyonya tertangkap mata oleh Agam dan Adnan. Sontak saja si sulung mendelik pada mamanya. Nah, sekarang mereka tahu siapa yang membocorkan identitas–mereka yang mencari babysitter. Adrian sendiri menghela ketika nama galeri sang Mama disebut. Berarti Rosa dan Bia secara tak sengaja bertemu lalu seakan diajak kemari untuk bekerja.

“Ya udah. Tapi, apa kamu yakin bisa jadi babysitter? Kamu masih muda, pasti bisa cari pekerjaan lain yang lebih pantas.” Usul Rosa. Rasanya tidak tega mengizinkan si gadis muda menjadi pengasuh bayi. Tidak elit sama sekali.

Kepala yang rambutnya diikat satu makin menunduk, “Saya ... semua dokumen-dokumen saya hilang karena di rampok. Saya dari desa, kalau balik lagi ... ma-maaf, kalau Tuan dan Nyonya terima saya, saya bersedia nggak dibayar. Tapi, izinin saya tinggal di sini. Saya nggak punya tempat tinggal.”

Rosa dan Agam saling berpandangan. Merasa iba pada perempuan di hadapan mereka. Sang Nyonya Bimantara mengalihkan tatapan pada kedua putranya. Berbicara dari ekspresi mereka. Adnan setuju dan tidak merasa keberatan, sedang Adrian tampak tak yakin.

“Rabia, begini ... kalaupun kami setuju, kamu harus bisa ambil hati Bian,” kata sang Nyonya lalu memposisikan si bayi di pangkuannya menyebabkan mainan karet yang sejak tadi menjadi fokus si gembul jatuh, “Dia yang nentuin apa kamu bisa jadi pengasuhnya.

“Saya ngerti, Bu.” Balas Bia pasrah.

“Nah, coba kamu panggil,” pinta Rosa.

Yah, meskipun si bayi tidak rewel dan mau saja digendong orang lain, tapi belum tentu mau begitu saia menerima orang baru di sisinya. Apalagi Rabia akan hampir dua puluh empat jam berada di dekat Bian. Bisa jadi bayi ini mulai rewel dan menolak. Tidak mau berdekatan dengan pengasuhnya. Karena Adrian sewaktu kecil juga begitu. Suka dengan siapa saja yang menggendongnya, namun menolak tiap pengasuh yang bertugas menjaganya. Alhasil Rosa tak bisa lepas mengawasi si bungsu.

Hm, apa sifat Bian akan seperti Adrian? Buah kan jatuh tidak jauh dari pohonnya.

Akhirnya kepala Bia terangkat, memandang bayi di pangkuan Rosa–yang terus melihat ke bawah dimana mainannya jatuh–dengan pandangan rindu. Tanpa diketahui siapapun, bibir gadis ini memoles senyum tipis. Ujung bibirnya naik sedikit. Dia mengangguk atas permintaan sang Nyonya, “Bian ....”

Bayi yang tengah menunduk itu menengadah saat merasa dipanggil. Irisnya yang berbinar bertemu sorot teduh dari perempuan di depan. Abian yang memang sedang tak terlalu aktif tiba-tiba tertawa. Tangannya memanjang seakan ingin menggapai Bia bersamaan dengan tubuhnya terdorong ke depan.

“Ah! Mm! Mm! Mmm~!” si gembul mengeram. Memaksa tubuhnya maju. Ingin segera meraih orang yang ada di depannya.

Mau tak mau Rosa bangkit lalu menyerahkan Bian pada Bia. Bayi itu kegirangan, melompat-lompat di dekapan si perempuan berkuncir satu.

“Aah!” kedua tangan kecil si gembul menepuk pipi Bia, senyum tak pudar dari wajahnya. “Aaah! Mm! Mm-mm-mah! Mah!” dia terus berceloteh dengan bahasa sendiri.

Melihat itu ... tampaknya Bian menerima si perempuan yang akan menjadi pengasuhnya. Para Bimantara lain juga yang selama beberapa hari ini melihat si gembul tidak tahu jika Bian bisa selincah dan seceria itu bersama seseorang. Dia kelihatan sangat menyukai perempuan bernama Rabia tersebut.

Kamu kangen, ya? Sama. Mama juga kangen banget sama Abi. Retina cokkat milik Bia berbayang. Buliran bening menumpuk di mata. Dia pengin nangis!

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ikatan Hati   116. End

    “Saya seorang yatim-piatu. Saya iri lihat kebersamaan orang lain dengan keluarga mereka. Sejak kecil saya punya citacita pengin punya keluarga sendiri ...,” jeda sebentar, “dan nggak disangka saya akhirnya beneran punya. Meskipun keadaan saya nggak begitu baik, saya seneng banget waktu tahu tentang kehadiran Bian. Saya janji sama diri sendiri bakal rawat dia dengan baik dan bakal besarin dia sepenuh hati.” Katanya sembari memainkan jemarinya yang saling bertaut di pangkuan.“Sayangnya ... kenyataan nggak seperti yang diharapkan. Sebagai ibu kandungnya Bian, saya nggak mau dia menderita. Bian berhak dapat kehidupan yang lebih baik daripada hidup sengsara sama saya. Saya nggak punya pilihan selain antar Bian ke rumah keluarga Bimantara. Apalagi kalian salah satu keluarga terpandang. Saya pikir, saya nggak perlu khawatir kalau Bian dirawat sama keluarga Bimantara.”Bia ingat sewaktu dirinya melihat berita tentang tanah bekas hotel terbakar–hotel di mana dia sempat bekerja part time dan m

  • Ikatan Hati   115

    Perjalanan dari kediaman Adam Bimantara yang berada hampir di ujung kota menuju rumah sakit memakan waktu dua jam. Bia yang duduk di sebelah kursi kemudi tidak bisa tenang. Dia terus bergerak-gerak gelisah seraya mobil terus melaju. Sedangkan si lelaki tampan yang sebenarnya terusik berusaha menahan dirinya. Memaklumi si gadis yang khawatir dan ingin segera bertemu dengan si gembul. Pun ia pasti merasakan hal yang sama jika di posisi Bia. Tanpa mengajak perempuan di sebelahnya bicara–mereka tidak dalam situasi yang menyenangkan untuk mengobrol dalam perjalanan–Adrian memusatkan penglihatannya ke jalan.Setelah tiba di rumah sakit dan memarkirkan mobil, Adrian dan Bia berjalan di koridor. Mereka melangkah dengan cepat agar segera sampai di ruang rawat inap Bian. Ah, sebelumnya si pemuda Bimantara menyempatkan diri menghubungi ayahnya; mengabari kalau ia berhasil mengajak Bia.Begitu sampai, Adrian menghentikan langkah. Dia menatap si gadis sebentar lalu meraih knop pintu dan membukanya

  • Ikatan Hati   114

    Mereka tiba di ruang keluarga. Kinan melirik ke belakang untuk memastikan kondisi si gadis sebelum menggeser pintu. Sewaktu pintu terbuka, pria yang sudah berada di dalam ruangan segera berdiri. Sorot hitam bertemu dengan retina coklat yang menatap takut. Sang kepala pelayan menundukkan kepala sebagai salam hormat pada sang tuan muda. Bia yang berada di belakang ikut menundukkan kepala.“Bia ....”Si gadis berjengit mendengar namanya disebut oleh si pemuda tampan.Mendapati si gadis yang berdiri di belakang sang kepala pelayan yang berusaha menyembunyikan dirinya membuat Adrian mengingat kejadian saat dia mengusir gadis itu dari rumahnya. Gadis tersebut juga ketakutan dan berusaha agar tidak terlihat olehnya. Apa dia sangat menakutkan?“Kamu di sini untuk bujuk dia, Adrian. Bukan untuk nakutin dia!” si pemuda Bimantara bermonolog di dalam hati.Bimantara muda ini menarik napas dan menghembuskannya pelan. Dia tak mau bertindak gegabah lagi. Dia akan berhati-hati agar Bia mau mendengark

  • Ikatan Hati   113

    Adrian duduk termenung di sebelah ranjang yang ditempati seorang bayi yang tengah tertidur lelap. Gurat-gurat lelah terlihat jelas di wajah dengan pakaian yang tak lagi rapi–jas dan dasi miliknya tergeletak di atas sofa di sudut ruangan dan dua kancing kemeja bagian atas terbuka. Dia ingin melakukan sesuatu untuk putranya, tapi Adrian tidak tahu tindakan apa yang mesti dia lakukan. Setengah jam lalu Bian bangun dan kembali menangis, namun sebagai ayah si bayi, dia tak mampu membuat putranya berhenti menangis.Beberapa perawat yang memang ditugaskan untuk mengecek keadaan Bian secara berkala ikut membantu menenangkan si bayi. Hasilnya nihil. Mereka juga tak mampu meredakan rontaan kencang si gembul hingga bayi itu kelelahan dan tertidur.Ia benar-benar ditampar kenyataan.Baru beberapa hari, tetapi Adrian sama sekali tak bisa menjaga Bian dengan baik. Malah berakhir di rumah sakit. Perkiraannya kalau si gembul nantinya akan terbiasa tanpa si pengasuh salah besar. Justru dirinya yang ta

  • Ikatan Hati   112

    Sudah beberapa hari Bia berada di kediaman Adam Bimantara. Selama hari-hari itu dia tak tahu mesti melakukan apa. Biasanya dia punya kegiatan sedaru pagi, di mulai dari membangunkan si gembul, memandikan, memberi makan dan mengantarkan si bayi pada keluarga Bimantara. Setelah itu melakukan pekerjaan rumah. Tetapi, sejak berara di sini, Bia tidak punya aktivitas apa-apa. Sang tuan paling besar memperlakukannya dengan baik, sangat baik malah. Hanya saja ... dia tidak diperkenankan melakukan pekerjaan rumah.Pernah si gadis ingin membantu Jelita dan Rita yang sedang mempersiapkan makan malam, tetapi Adam memintanya untuk lebih banyak beristirahat. Dua perempuan yang merupakan asisten rumah tangga di kediaman Tetua Bimantara diberi perintah agar tak membiarkan si gadis melakukan pekerjaan rumah. Oleh sebab itu, Bia lebih banyak diam di ruangan yang diberikan Adam padanya.Sebuah kamar yang luas–untuk ditempati seorang diri.Ya, bukan kamar yang mestinya ditempati oleh asisten rumah tangga

  • Ikatan Hati   111

    Adnan mengamati gelas kaca berisi air mineral di atas meja yang tak disentuh sejak disediakan oleh seorang gadis bersurai panjang yang digulung tinggi. Pikirannya melayang jauh. Banyak hal yang terjadi yang belum mampu dia cerna. Ditambah mendnegar pernyataan kalau keponakannya mengalami stres membuat sulung Bimantara ini makin merasa tak karuan.Bayi kecil begitu mesti mengalami stres yang tidak seharusnya. Adnan tak dapat membayangkan bagaimana perasaan tak nyaman menggerogoti si bayi hingga membuatnya tak berhenti menangis. Bayi yang belum mengerti apa-apa, tetapi tahu kalau ia telah kehilangan sesuatu yang penting. Bayi yang belum bisa mengatakan protesnya terhadap keadaan. Namun, orang-orang dewasa di sekitarnya malah tidak membantu dan malah memperburuk keadaan. Termasuk dirinya yang sempat mengabaikan si gembul.Hah ... ia adalah seorang paman yang egois, kan?Rasanya semakin buruk setelah ia mencoba lebih memikirkan keadaan si bayi. Bian harus menjadi korban dari kejadian ini.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status