Setelah terdiam cukup lama, Grace akhirnya menjawab pelan, “Aku… tidak tahu, tapi sepertinya tidak.”
Aska menatapnya tajam. “Jawaban macam apa itu? Kamu harus memastikannya sendiri. Berhenti menghindari Rain!”
Grace mengangguk pelan. Dia tahu Aska benar. Selama ini, dia terlalu banyak menghindar. Padahal sekarang Rain sudah menjadi tunangan Alina.
Aska memperhatikan wajah Grace yang tampak resah.
“Grace, jangan terlalu dipikirkan. Kalau ternyata kamu masih punya perasaan pada Rain… itu tidak apa-apa.”
“Apanya yang tidak apa-apa?” potong Grace cepat. “Rain itu tunangannya Alina.”
Aska tersenyum menatap Grace dengan lekat. “You know nothing,” gumamnya kemudian.
Grace memilih diam. Dia menyesap sisa minumannya tanpa berniat menanggapi Aska lagi.
“Jadi, kamu akan datang ke pernikahanku, kan?” tanya Aska memastikan.
“Iya,” jawab Grace singkat. “Boleh aku membawa temanku?”
Aska mengangkat alis. “Teman? Teman yang mana?”
“Rania, dia asistenku.”
Aska mengangguk. “Boleh. Aku akan siapkan satu kamar lagi untuknya.”
“Kamar?” tanya Grace bingung.
“Apa aku belum bilang?” Aska menyandarkan punggungnya. “Aku akan menikah di Bali. Kita akan menginap tiga hari di sana.”
Mendengarnya, mata Grace berbinar. “Bali? Aku jadi nggak sabar. Sepertinya akan menyenangkan.”
Aska ikut tersenyum. “Sekalian liburan. Tidak baik kerja terus.”
Grace mengangguk setuju. Jika diadakan di Bali, Rania pasti bersedia ikut. Dia lalu melirik jam di tangannya. Sudah hampir pukul dua.
“Aska, aku harus pergi. Jam dua aku ada rapat,” katanya sambil berdiri. “Aku naik taksi saja, tidak usah dianter,” tambahnya cepat lalu berbalik dan pergi meninggalkan Aska.
“Grace, tunggu sebentar,” tahan Aska.
Grace menoleh. “Kenapa?”
“Jangan menghindari Rain. Temui dia dan pastikan perasaanmu.” Aska menatapnya serius. “Kalau kamu masih menyukainya… aku akan bantu. Jangan takut, kamu tidak akan berakhir seperti ibu dan kakak-kakakmu karena kamu bukan mereka,” kata Aska tenang.
Grace terpaku. Perkataan Aska membuat dadanya terasa sesak. Kenapa Aska berkata seperti itu? Apa yang sebenarnya dipikirkan Aska?
Rain dan Alina sudah bertunangan. Tidak mungkin hanya karena Grace menyukai Rain, lalu Aska akan membantunya merusak pertunangan itu—pertunangan sahabat dan adik kandungnya sendiri!
“Anggap saja aku tidak pernah dengar apa yang barusan kamu bilang,” ucap Grace dingin. Dia lalu berbalik dan berjalan keluar.
Aska menatap punggung Grace yang menjauh. Grace, you really know nothing...
Begitu keluar dari kafe, Grace langsung naik taksi yang melintas. Kata-kata Aska masih mengganggu pikirannya dan ini bukan pertama kalinya Aska berkata seperti itu.
Grace teringat masa lalu, saat dia meninggalkan Rain di taman labirin setelah mendengar pengakuan cinta dari Rain. Tanpa sengaja dia bertemu Aska dan tangisnya pecah di hadapan Aska. Dari situlah Aska mengetahui semuanya.
Aska juga yang membantu Grace menjauh dari Rain. Dengan bantuan Aska, Grace berhasil mendapatkan izin untuk kembali ke Bandung dan memulai hidup baru. Itu adalah langkah awal yang dipilih Grace untuk belajar berdamai dengan masa lalunya.
Sesekali paman, bibi, dan Aska atau Alina datang menjenguk. Tapi Aska yang paling sering, karena dia kuliah di Bandung. Sementara Alina melanjutkan kuliah ke Paris. Mungkin itu juga alasan kenapa Alina dan Rain bertunangan.
Aska pernah cerita, tak lama setelah Grace pindah ke Bandung, Rain juga pindah ke Paris tinggal dengan keluarga ayahnya. Mungkin saja Rain dan Alina bertemu di sana, saling mengenal lebih dekat, dan memutuskan bertunangan.
Dering ponsel dari dalam tas membuat Grace tersadar. Nama “Rania” muncul di layar. Grace menghela napas sebelum mengangkatnya.
"Halo?"
"Grace, kamu di mana?" suara Rania terdengar sedikit tergesa.
"Di jalan. Kenapa?"
Terdengar suara hembusan napas lega sebelum Rania menjawab, "Syukurlah. Jangan lupa, kita ada meeting 30 menit lagi."
"Iya, aku tahu. Sebentar lagi sampai," kata Grace, lalu menutup teleponnya.
Grace memejamkan mata sebentar, mencoba menenangkan diri. Sudah hampir delapan tahun, ada banyak hal telah berubah antara dirinya dan Rain.
Grace yakin dia tidak punya perasaan apa-apa lagi, begitu juga dengan Rain. Semuanya akan baik-baik saja. Dia hanya perlu bertemu Rain selama tiga hari dan setelah itu, hidupnya akan kembali seperti semula.
Itulah yang dipikirkan Grace tanpa tau apa yang menunggunya di depan sana…
Rania menatap Grace dengan tatapan syok, dia sama sekali tidak berharap untuk mendengar jawaban seperti itu dari Grace. Raut wajah Grace yang tampak serius jelas-jelas menunjukkan bahwa Grace sama sekali tidak bercanda dan apa yang dia katakan barusan adalah sebuah kebenaran.Rania bisa merasakan jantungnya yang berdegup kencang penuh rasa antisipasi. Sebuah pemikiran yang konyol tiba-tiba terlintas begitu saja di benaknya. “Grace, berapa usia kandunganmu?” tanya Rania dengan ragu-ragu.Ada jeda sejenak sebelum Grace menjawab dengan suara yang mengambang seolah dia juga tidak begitu yakin dengan jawabannya sendiri. “Aku tidak tahu pasti, tapi mungkin usianya kurang dari empat minggu.”Tubuh Rania menegang kaku mendengar jawaban Grace. Dia ingin bertanya lagi, namun mulutnya malah tertutup rapat. Pemikiran yang tadinya tampak konyol sekarang tiba-tiba terasa masuk akal.“Grace, ceritakan padaku semuanya! kenapa h
Grace tapak gelisah, entah sudah berapa kali dia menarik napas panjang lalu memnghembuskannya lagi untuk menenangkan dirinya.Sudah dua hari berlalu sejak insiden mual tiba-tiba di restoran Faldi. Sampai detik ini, rasa mual itu tak kunjung hilang sepenuhnya dan pikiran buruk pun mulai memenuhi kepala Grace.Dan baru sekarang, Grace berani untuk melakukan hal yang seharusnya dia lakukan sejak rasa mual itu datang.Dengan tangan gemetar, dia membuka bungkus testpack. Matanya tak berkedip saat melihat strip putih kecil itu menyerap cairan di atasnya. Waktu seolah berjalan lambat dan Grace merasa dia seperti bisa mendengar detak jantungnya sendiri.Beberapa menit kemudian…Dua garis merah.“Ya Tuhan!” Grace sontak terduduk lemas di lantai kamar mandi. Dinding dingin menopang tubuhnya yang gemetar. Napasnya terasa berat."Aku hamil," bisiknya lirih, nyaris tanpa suara.Tiba-tiba rasa mual datang lag
Faldi Arviano Salah satu teman dekat Grace yang berdarah campuran Indonesia-Thailand. Ibunya adalah orang Thailand sedangkan ayahnya adalah orang Indonesia.Grace mengenal Faldi lewat Rania saat masih menjadi mahasiswa di salah satu universitas ternama di Bandung. Kemudian mereka bertiga akhirnya menjadi teman dekat sampai detik ini. Walaupun Grace dan Faldi sering ssekali berbeda pendapat.Faldi mengambil jurusan kuliner. Sehingga begitu lulus, dia langsung terjun ke bidang kuliner dan membagun restorannya sendiri. Karena terlahir di keluarga kaya, Faldi sering sekali membeli restoran atau kafe yang sudah hampir bangkrut, kemudian dia akan mendesain ulang konsep dari restoran atau kafe tersebut sehingga lebih menarik dan bisa mendatangkan pelanggan yang lebih banyak lagi.Salah satunya adalah restoran yang didatangi Grace dan Rania saat ini. Sekitar tiga bulan lalu, restoran ini hampir tutup karena sama sekali tidak ada pelanggan yang datang. Tapi, begitu Faldi
Grace terbangun lagi dengan mimpi buruk. Lagi dan lagi, dia merasa sejak kepulangannya dari Bali satu bulan lalu, hanya kegelisahan yang menguasai hatinya. Tidak terhitung sudah berapa banyak mimpi buruk yang dia alami.Grace menghela napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Dia terus mengulang hal itu sampai merasa lebih tenang.Setelah cukup tenang, Grace memutuskan untuk segera bersiap-siap. Hari ini dia punya banyak sekali pekerjaan yang harus diselesaikan, jadi lebih baik jika dia bergegas ke kantor agar bisa mulai bekerja.Tak butuh waktu lama, Grace kini sudah duduk dengan nyaman di dalam taksi yang akan membawanya ke kantor tempat dia bekerja.Jalanan kota Bandung cukup sepi pagi ini dan hanya butuh beberapa menit, taksi yang ditumpangi oleh Grace berhenti di depan sebuah gedung tinggi yang merupakan gedung kantor Grace. Setelah membayar, Grace segera keluar dari taksi.Seperti biasa, saat Grace memasuki gedung kantor, pa
Rain terduduk di atas sofa dengan tatapan tajam yang mengarah ke pintu keluar. Sampai akhir, Grace tetap menolak pernikahan yang dia tawarkan. Wanita itu bersikeras memintanya untuk melupakan hubungan satu malam di antara mereka.Rain ingin mendesak Grace lebih jauh agar mau mempertimbangkan tawarannya tersebut, tapi melihat cara Grace menatapnya, Rain jadi tidak tahu harus berkata apa atau harus bersikap bagaimana. Sama seperti delapan tahun lalu, tatapan mata Grace membuat Rain membeku dan tidak bisa mengerakkan kakinya untuk menyusul wanita itu dan menahannya agar tidak pergi.“Grace.” Rain mengucapkan nama Grace dengan nada lirih sarat akan keputusasaan.“Kenapa sangat sulit sekali untuk mencegahmu agar tidak pergi kemana-mana,” gumam Rain.Matanya terpejam rapat dengan perasaan berkecamuk yang memenuhi hatinya.***Grace masuk ke dalam kamarnya yang berseberangan dengan kamar Rania. Dia menutup pintu dan berjalan tergesa-gesa untuk mengambil koper di samping lemari, setelah itu d
Grace bisa merasakan kepalanya mulai berdenyut sakit. Tangannya terangkat memijit pelipisnya untuk mengurangi rasa sakit. Rain benar-benar sudah tidak waras, lelaki itu seperti sakit jiwa.Bagaimana bisa Rain mengatakan bahwa dia akan menikahi Grace dengan santai tanpa beban, seolah apa yang dia katakan adalah hal wajar yang sangat biasa dan memang sudah seharusnya dilakukan.Grace menghembuskan napas panjang, harus ada yang bisa berpikir jernih di antara mereka saat ini. Jika Rain tidak bisa, maka Grace yang melakukannya.“Jangan bercanda, Rain.” Grace berkata dengan tegas, matanya menatap Rain dengan tajam.“Aku tidak bercanda Grace,” balas Rain dengan cepat. Dia melemparkan tatapan serius ke arah Grace, berharap Grace percaya bahwa saat ini dia sedang tidak main-main dan apa yang barusan dia katakan bukanlah sebuah candaan.Napas Grace mulai tidak beraturan. Dia berusaha untuk mengendalikan dirinya, membahas tentang perni