Rain… Grace menyebut nama lelaki itu dalam hati.
Setelah delapan tahun mereka akhirnya bertemu lagi. Sosok Rain yang ada di depannya ini tampak familiar sekaligus asing. Mata birunya masih sama, sedangkan fitur wajahnya semakin kokoh memberikan kesan maskulin yang dewasa.
Grace mencoba untuk tersenyum. Ada banyak mata yang memperhatikannya saat ini, jadi dia harus berhati-hati dalam bersikap. Grace harus meyakinkan dirinya bahwa Rain tidak akan bisa membuat hatinya goyah.
“Melihatmu tersenyum begini, sepertinya suasana hatimu sedang baik, ya.” Alina menatap Grace dengan lekat lalu melanjutkan perkataannya, “Aku jadi penasaran, apa kamu melihat sesuatu yang menarik? Atau mungkin… seseorang?” tanyanya penuh arti.
Grace tertawa kecil. “Suasana hatiku sedang baik karena ini adalah hari bahagia Aska dan Aruna, tidak ada alasan lain.”
Situasi macam apa ini? Rania tampak bingung dengan atmosfer yang tercipta antara Grace dan Alina.
Alina berdecak kesal. “Bullshit! seorang Grace Kannelite yang egois dan tidak pernah peduli pada perasaan orang lain tidak mungkin bis—"
“Alina, cukup!” Aska menegur Alina yang mulai melewati batas.
Aska lalu menatap Rain, tatapannya seolah meminta bantuan untuk mencegah Alina berbuat lebih jauh.
Rain yang memahami arti tatapan Aska langsung bertindak cepat, “Duduk dulu kamu lelah, kan?” katanya pada Alina.
Alina menurut, dia duduk lalu melemparkan tatapan tajam ke arah Aska. “Aku kadang binggung. Yang kamu anggap saudara kandung itu aku atau Grace?” tanyanya tak habis pikir.
“Alina.” Rain memanggil nama Alina dengan lembut, mencoba meredahkan amarah wanita itu.
Perlakuan Rain yang lembut dan penuh pengertian terhadap Alina tidak luput dari pandangan Grace.
Sepertinya Rain sangat mencintai Alina, dia memperlakukan Alina dengan baik. Perlahan semuannya tampak jelas bagi Grace. Dia harusnya merasa lega, tapi entah kenapa ada yang masih mengganjal di hatinya.
“Grace, apa kamu tidak ingin menyapa Rain? Seingatku kalian dulu cukup dekat.” Alina berkata dengan nada ringan, tapi matanya menatap Grace penuh selidik.
Deg! Grace tertegun mendengar pertanyaan Alina. Dadanya tiba-tiba terasa sesak. Tangannya terulur mengambil gelas wine milik Rania yang masih tersisa sentengah, lalu meneguknya sampai tak bersisa. Berharap dapat mengurangi rasa sesak yang muncul tiba-tiba.
Tapi sayangnya rasa sesak itu tidak mau pergi. “Aku permisi ke toilet sebentar,” ucapnya lalu berdiri dan berjalan cepat pergi menjauh.
Grace tidak mempedulikan teriakan protes dari Alina yang terdengar jelas. Kakinya terus melangkah tanpa tujuan, dia hanya ingin pergi menjauh kalau bisa sejauh mungkin.
Setelah berjalan beberapa saat, Grace berhenti dan duduk di atas hamparan pasir putih yang terasa halus. Kepalanya menengadah ke atas, menatap langit yang tadinya dihiasi semburat jingga yang indah, namun kini telah lenyap berganti dengan gelapnya malam.
Dia tidak bisa berpikir jernih saat ini. Perasaannya campur aduk dan dia butuh waktu sendiri untuk menenangkan diri.
Grace duduk termenung cukup lama sampai akhirnya dia merasa sudah lebih tenang. Grace lalu berdiri dan membersihkan sisa-sisa pasir yang menempel di gaunnya. Setelah selesai, dia berbalik hendak berjalan kembali ke tempat acara resepsi.
Namun, tubuhnya bergeming begitu melihat sosok yang sedang berdiri di bawah lampu jalan.
“Rain,” ucapnya tanpa sadar.
Rain berjalan mendekat dengan mata birunya yang mentap Grace dengan pandangan yang sulit dimengerti.
“Grace,” panggil Rain pelan. “Bagaimana kabarmu? apa kamu baik-baik saja selama ini?” tanya Rain. Tatapannya menembus ke dalam diri Grace, seolah mencoba membaca segala hal yang ingin disembunyikan Grace.
Grace memalingkan wajah, tak sanggup menatap Rain. Tatapan itu masih memberinya efek yang sama, membuatnya sulit berpaling dan tanpa sadar menjawab jujur ssemua pertanyaan Rain.
“Grace,” panggil Rain lagi.
“Rain, aku rasa mau seperti apa kehidupanku selama ini, itu tidak ada hubungannya denganmu, jadi aku tidak perlu menjelakan apapun.” Grace berbicara dengan tenang, seluas senyum tipis terlihat di bibirnya.
Rain tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Grace. Sosok Grace yang berdiri di depannya terlihat begitu sulit untuk didekati. Namun bukan berarti tidak bisa, kan? Rain kemudian melangkah mendekat, memperpendek jarak diantara mereka.
“Aku tahu kehidupanmu memang tidak ada hubungannya denganku, tapi bukankah kita teman? tidak ada yang salah kalau berbagai cerita dengan seorang teman, kan?” mata Rain mengamati Grace, membaca reaksinya.
“Teman, eh?” Grace tertawa kecil. “Sudah lama aku tidak menganggapmu teman,” ujarnya perlahan.
“Grace aku hanya—” belum sempat Rain menyelesaikan perkataannya, suara seorang wanita yang terdengar familiar tiba-tiba muncul dari arah belakang.
Rania menatap Grace dengan tatapan syok, dia sama sekali tidak berharap untuk mendengar jawaban seperti itu dari Grace. Raut wajah Grace yang tampak serius jelas-jelas menunjukkan bahwa Grace sama sekali tidak bercanda dan apa yang dia katakan barusan adalah sebuah kebenaran.Rania bisa merasakan jantungnya yang berdegup kencang penuh rasa antisipasi. Sebuah pemikiran yang konyol tiba-tiba terlintas begitu saja di benaknya. “Grace, berapa usia kandunganmu?” tanya Rania dengan ragu-ragu.Ada jeda sejenak sebelum Grace menjawab dengan suara yang mengambang seolah dia juga tidak begitu yakin dengan jawabannya sendiri. “Aku tidak tahu pasti, tapi mungkin usianya kurang dari empat minggu.”Tubuh Rania menegang kaku mendengar jawaban Grace. Dia ingin bertanya lagi, namun mulutnya malah tertutup rapat. Pemikiran yang tadinya tampak konyol sekarang tiba-tiba terasa masuk akal.“Grace, ceritakan padaku semuanya! kenapa h
Grace tapak gelisah, entah sudah berapa kali dia menarik napas panjang lalu memnghembuskannya lagi untuk menenangkan dirinya.Sudah dua hari berlalu sejak insiden mual tiba-tiba di restoran Faldi. Sampai detik ini, rasa mual itu tak kunjung hilang sepenuhnya dan pikiran buruk pun mulai memenuhi kepala Grace.Dan baru sekarang, Grace berani untuk melakukan hal yang seharusnya dia lakukan sejak rasa mual itu datang.Dengan tangan gemetar, dia membuka bungkus testpack. Matanya tak berkedip saat melihat strip putih kecil itu menyerap cairan di atasnya. Waktu seolah berjalan lambat dan Grace merasa dia seperti bisa mendengar detak jantungnya sendiri.Beberapa menit kemudian…Dua garis merah.“Ya Tuhan!” Grace sontak terduduk lemas di lantai kamar mandi. Dinding dingin menopang tubuhnya yang gemetar. Napasnya terasa berat."Aku hamil," bisiknya lirih, nyaris tanpa suara.Tiba-tiba rasa mual datang lag
Faldi Arviano Salah satu teman dekat Grace yang berdarah campuran Indonesia-Thailand. Ibunya adalah orang Thailand sedangkan ayahnya adalah orang Indonesia.Grace mengenal Faldi lewat Rania saat masih menjadi mahasiswa di salah satu universitas ternama di Bandung. Kemudian mereka bertiga akhirnya menjadi teman dekat sampai detik ini. Walaupun Grace dan Faldi sering ssekali berbeda pendapat.Faldi mengambil jurusan kuliner. Sehingga begitu lulus, dia langsung terjun ke bidang kuliner dan membagun restorannya sendiri. Karena terlahir di keluarga kaya, Faldi sering sekali membeli restoran atau kafe yang sudah hampir bangkrut, kemudian dia akan mendesain ulang konsep dari restoran atau kafe tersebut sehingga lebih menarik dan bisa mendatangkan pelanggan yang lebih banyak lagi.Salah satunya adalah restoran yang didatangi Grace dan Rania saat ini. Sekitar tiga bulan lalu, restoran ini hampir tutup karena sama sekali tidak ada pelanggan yang datang. Tapi, begitu Faldi
Grace terbangun lagi dengan mimpi buruk. Lagi dan lagi, dia merasa sejak kepulangannya dari Bali satu bulan lalu, hanya kegelisahan yang menguasai hatinya. Tidak terhitung sudah berapa banyak mimpi buruk yang dia alami.Grace menghela napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Dia terus mengulang hal itu sampai merasa lebih tenang.Setelah cukup tenang, Grace memutuskan untuk segera bersiap-siap. Hari ini dia punya banyak sekali pekerjaan yang harus diselesaikan, jadi lebih baik jika dia bergegas ke kantor agar bisa mulai bekerja.Tak butuh waktu lama, Grace kini sudah duduk dengan nyaman di dalam taksi yang akan membawanya ke kantor tempat dia bekerja.Jalanan kota Bandung cukup sepi pagi ini dan hanya butuh beberapa menit, taksi yang ditumpangi oleh Grace berhenti di depan sebuah gedung tinggi yang merupakan gedung kantor Grace. Setelah membayar, Grace segera keluar dari taksi.Seperti biasa, saat Grace memasuki gedung kantor, pa
Rain terduduk di atas sofa dengan tatapan tajam yang mengarah ke pintu keluar. Sampai akhir, Grace tetap menolak pernikahan yang dia tawarkan. Wanita itu bersikeras memintanya untuk melupakan hubungan satu malam di antara mereka.Rain ingin mendesak Grace lebih jauh agar mau mempertimbangkan tawarannya tersebut, tapi melihat cara Grace menatapnya, Rain jadi tidak tahu harus berkata apa atau harus bersikap bagaimana. Sama seperti delapan tahun lalu, tatapan mata Grace membuat Rain membeku dan tidak bisa mengerakkan kakinya untuk menyusul wanita itu dan menahannya agar tidak pergi.“Grace.” Rain mengucapkan nama Grace dengan nada lirih sarat akan keputusasaan.“Kenapa sangat sulit sekali untuk mencegahmu agar tidak pergi kemana-mana,” gumam Rain.Matanya terpejam rapat dengan perasaan berkecamuk yang memenuhi hatinya.***Grace masuk ke dalam kamarnya yang berseberangan dengan kamar Rania. Dia menutup pintu dan berjalan tergesa-gesa untuk mengambil koper di samping lemari, setelah itu d
Grace bisa merasakan kepalanya mulai berdenyut sakit. Tangannya terangkat memijit pelipisnya untuk mengurangi rasa sakit. Rain benar-benar sudah tidak waras, lelaki itu seperti sakit jiwa.Bagaimana bisa Rain mengatakan bahwa dia akan menikahi Grace dengan santai tanpa beban, seolah apa yang dia katakan adalah hal wajar yang sangat biasa dan memang sudah seharusnya dilakukan.Grace menghembuskan napas panjang, harus ada yang bisa berpikir jernih di antara mereka saat ini. Jika Rain tidak bisa, maka Grace yang melakukannya.“Jangan bercanda, Rain.” Grace berkata dengan tegas, matanya menatap Rain dengan tajam.“Aku tidak bercanda Grace,” balas Rain dengan cepat. Dia melemparkan tatapan serius ke arah Grace, berharap Grace percaya bahwa saat ini dia sedang tidak main-main dan apa yang barusan dia katakan bukanlah sebuah candaan.Napas Grace mulai tidak beraturan. Dia berusaha untuk mengendalikan dirinya, membahas tentang perni