Tepat pukul sembilan malam. Bel depan vila berbunyi, memecah keheningan rumah besar yang sunyi. Zayyad yang baru saja meminum segelas air putih dari dapur, mengkerut kan kening.Siapa yang datang di malam hari seperti ini?
Ponsel di saku jubah tidurnya bergetar. Zayyad mengambil nya. Ada sebuah pesan dari security vila nya.
'Pak, Tuan Irsyad ada di depan!'
Pesan singkat itu membuat sepasang alis Zayyad terjalin rumit. Perasaan nya buruk.Untuk apa kakek kemari larut malam seperti ini?
Memasukkan kembali ponselnya di saku jubah tidurnya. Zayyad bergegas ke pintu depan. Tepat ketika pintu di buka, seorang pria tua sudah berdiri di sana dengan seulas senyum.
"Untuk apa kakek kembali lagi?" Selama ia tinggal seorang diri di vila nya. Pria tua itu sangat jarang menginap di tempatnya. Ia mengatakan bahwa tempat tinggal nya sendiri adalah yang terbaik.kakek kembali bukan untuk menginap kan?
"Ada pemadaman listrik di tempat kakek, jadi malam ini kakek menginap di di sini"
Zayyad melongo sesaat. Entah kenapa ia sulit mempercayai hal itu.Pemadaman listrik?
"Kalau begitu kakek tidur di kamar ku malam ini" Tukas Zayyad, mempersilahkan pria tua itu masuk kedalam.
Vila besarnya hanya memiliki dua kamar tamu. Dan itu sudah digunakan oleh Alina dan neneknya.
"Kau yang benar saja! Aku kemari bukan untuk mengganggu malam pertama kalian"
Deg!
Zayyad yang baru saja menutup pintu. Menegang. Malam pertama?
"Kami sepakat untuk tidak tidur bersama dulu" Zayyad mencoba untuk tetap tenang. Ia mengunci pintu dan berbalik menghadap kakeknya. "Kami masih merasa asing satu sama lain, jadi lebih baik untuk sementara kami pisah kamar"
"Bukan karena kau takut padanya?" Irsyad jelas tau jalan pikir cucunya itu.
"Kakek kemari bukan untuk mendesak kami agar tidur bersama kan?" Pada akhirnya Zayyad menangkap niat buruk kakeknya.
"Bukan sudah kakek katakan sebelumnya? ada pemadaman listrik di tempat kakek, karena itu kakek kemari"
Zayyad menahan senyum tertekan. Itu hanya alasan kan?
"Sekarang suruh Alina untuk pindah ke kamar mu, aku akan tidur di kamar tamu"
"Tapi kek-"
"Tidak ada tapi-tapi-an!" Tegas Irsyad.
"Kek!" Desak Zayyad yang masih belum menyerah.
Irsyad terus menggeleng. Menolak dengan keras. Melangkah lebih jauh kedalam. Alina baru saja keluar dari kamar neneknya. Langkahnya seketika terhenti melihat dua orang itu.
"Alina" Sapa Irsyad. Wajah tuanya tersenyum ramah.
Alina hanya melirik sesaat, sama sekali tidak meresponnya. Ia mempersepsikan senyum pria tua itu suatu hal yang menjijikkan. Dasar mesum! Batinnya. Senyum di wajah tua itu mengingatkan nya akan pria tua dalam salah satu memori terburuk nya.
Irsyad yang melihat sikap dingin Alina. Sudah maklum akan hal itu.
"Alina kamu pindah ke kamar Zayyad ya! Besok barang-barang mu akan di pindahkan ke sana. Mulai sekarang kamar Zayyad adalah kamar mu juga"
Mendengar hal itu Alina sedikit terkejut. Seketika ia menoleh pada Zayyad. Menemukan pria yang seharian ini bersikap acuh tak acuh padanya. Memasang tampang tertekan dengan mata coklatnya yang seperti memohon... tolong jangan terima!
Melihat Alina yang diam. Zayyad terus berbicara. "Kakek lihat! Bahkan keputusan kakek ini sangat mengejutkan Alina. Jadi untuk sementara waktu biarlah kami pisah kamar seperti ini"
"Sementara waktu itu sampai kapan, hm?" Jelas Irsyad tidak mau berkompromi sama sekali.
"Yah sampai kami si-"
"Baik, saya akan pindah ke kamar Zayyad" Sela Alina. Memotong pembicaraan Zayyad begitu saja.
"Apa?" Pekik Zayyad. Mata coklatnya nyaris hampir melompat keluar.
"Jadi Alina setuju?" Irsyad jelas sangat bersemangat mendengar hal itu.
"Em!" Alina mengangguk.
"Nah, kau lihat! Alina bahkan tidak masalah. Ia setuju"
"Itu karena Alina merasa tidak enak pada kakek, karena itu ia menyetujui nya" Zayyad masih bersikeras untuk menolak keputusan kakeknya.
"Tidak!" Bantahan Alina membuat Zayyad tercengang. "Aku hanya berpikir ini normal, pasangan suami-istri berbagi kamar yang sama"
Prok..prok..
Irsyad terus bertepuk tangan mendengar apa yang di katakan Alina. Walau sebenarnya ia sama sekali tidak menduga Alina akan sangat setuju dengan keputusan nya.
"Bagus!" Puji Irsyad kemudian sambil mengacungkan jempol. "Kau seharusnya juga berpikir demikian" Katanya kemudian pada Zayyad.
Zayyad mengepalkan kedua tangannya, merasa sangat tertekan. Sesaat ia menoleh pada Alina. Sekilas ia menangkap wanita itu menahan senyum. Menelisik jauh kedalam matanya, ia tau itu bukanlah hal yang baik. Itu licik dan penuh sesuatu.
Dia sengaja melakukannya?"Kalau begitu saya permisi untuk mengambil beberapa barang" Alina baru saja hendak pergi.
"Alina" Tapi panggilan dari Irsyad menghentikan langkahnya. Ia menoleh dengan ekspresi bertanya.
"Lain kali tidak perlu begitu formal dengan ku"
Alina menatap beberapa saat pada pria tua itu, kemudian mengangguk. Irsyad yang melihat respon positif itu, meskipun hanya mengangguk saja. Ia tersenyum, merasa itu sudah lebih dari cukup. Setidaknya Alina sudah mau meresponnya.
Dan Alina terus pergi begitu saja.
"Kakek" Lirih Zayyad. Kali ini ia tak hanya tertekan. Tapi merasa sangat tidak baik.
"Kakek mengerti ini berat untuk mu! Tapi kau harus mencoba nya. Siapa tau dengan keberadaan Alina, dapat menjadi langkah awal untuk menghilangkan rasa takut mu pada wanita"
"Kakek berpikir begitu?" Bagaimana jika yang terjadi sebaliknya? Jika Alina sungguh seorang misandris, ini adalah awal neraka baginya.
"Kakek sangat berharap akan begitu. Bukankah kau sudah sangat lama mendambakan kehidupan yang normal seperti ini? Berkeluarga, memiliki keturunan dan menjalani hidup seperti kebanyakan orang pada umumnya"
Zayyad termenung. Kakek benar! Aku sudah lama mendambakan hal itu.
"Ingat, dalam diri kalian ini memiliki luka masa lalu yang tak jauh berbeda! Ini akan membuat kalian lebih memahami keadaan satu sama lain. Siapa tau dengan kalian bersatu seperti ini, kalian dapat menjadi penyembuh bagi satu dan yang lainnya"
Zayyad masih bergeming. Menjadi penyembuh bagi satu dan yang lainnya?
___
Alina meletakkan botol lotion nya yang baru saja ia gunakan di atas meja rias. Ia terbiasa mengenakan lotion sebelum tidur. Saat ini ia sudah berada di kamar Zayyad yang luar biasa luas.
Tidak sulit menemukan kamar pria itu. Karena di lantai dua hanya ada satu kamar. Jelas terlihat sekali lantai dua ini sangat privasi untuk Zayyad.
Alina memperhatikan cermin, ia hendak melepaskan kerudungnya. Hanya saja pergerakannya terhenti. Ia merasa enggan. Ia tidak suka setiap kali ada pria yang melihat rambutnya. Itulah alasan kuat nya yang memutuskan untuk berhijab.
Ceklek!
Pintu kamar terbuka. Alina terus menoleh. Menemukan seorang pria berjalan masuk kedalam. Ia mengenakan jubah tidur bewarna putih. Membawa aura pria yang halus dan tenang. Kesan yang jauh dan sulit di jangkau. Meski membenci pria, tapi Alina diam-diam memuji sisi ketampanan yang di miliki Zayyad.
Itu murni dan asing.
"Kau tidur saja di ranjang! Aku akan tidur di sofa" Awalnya Zayyad merasa sangat gugup untuk memulai. Jantungnya sejak tadi sudah berdebar sangat kencang. Dinginnya udara dari air conditioner, telah mengeringkan titik-titik keringat dingin nya yang muncul di pelipisnya.
Setelah mengumpulkan keberanian nya. Ia merasa cukup tenang karena sudah mengatakan nya dengan lancar.
"Kenapa tidak tidur bersama? Ranjang ini cukup besar untuk dua orang" Alina menyuarakan pendapatnya.
Zayyad menegang. Suara Alina meski terdengar biasa. Tapi ini adalah suatu hal yang baru untuk nya. Menemukan suara wanita di dalam kamarnya. Rasanya seperti tersengat listrik. Itu menyetrum sel sarafnya dan-
"T-tidak" Pada akhirnya ia gagal mengontrol nya dirinya untuk tetap tenang. Siapapun yang mendengar suara nya yang agak bergetar saat ini, jelas langsung tau kalau ia sedang ketakutan.
Pemandangan itu membuat Alina menemukan sisi tersembunyi Zayyad. Lebih tepatnya kelemahan pria itu yang sudah pria itu tutupi cukup baik sejauh ini.
Pria itu yang dingin seperti es diawal pertemuan mereka. Pada nyatanya hanyalah setitik embun di pagi buta. Itu dingin, hanya untuk beberapa saat. Hanya pada saat segalanya buta dan gelap.
"Tapi ini adalah malam pertama kita, apakah kau sungguh akan tidur di sofa?" Niat untuk mengusik, semakin menjadi-jadi. Alina melakukannya sambil menahan senyum.
Malam pertama? Dua kata itu membuat Zayyad terus gelagapan. Dua kakinya yang melangkah mundur, bergetar seperti hendak roboh.
"Ini adalah malam pertama kau tidur bersama bibi, apa kau ingin terus tidur begitu saja?"
"Tapi bibi, tidak bisakah aku tidur di kamar lain?"
"Tidak bisa sayang...bibi kan ingin bermain dengan mu disini"
"Bermain?"
"Ya! Kau pasti akan menyukainya"
"Zayyad!"
"Zayyad!"
"Zayyad!" Panggil Alina kesekian kalinya. Tapi pria itu terlihat tidak bergeming sama sekali. Mengkerut kan dahinya, Alina mendatangi pria itu.
"Zayyad jadi kita akan tidur di-"
Bruk!
Zayyad refleks melemparkan ponsel nya kehadapan Alina.
"Ti-dak!" Suaranya bergetar.
"Argh!" Ponsel itu tepat mengenai jidatnya. Alina mengaduh kesakitan, melirik dengan kesal kearah Zayyad.
"Kenapa kau melempar ponsel mu pada ku!" Pekik Alina kemudian.
Seketika Zayyad tersadar. Detik itu ia melihat ponselnya sudah tergeletak di lantai. Dan menemukan jidat Alina yang sudah memerah.
"Maaf, aku tidak sengaja!"
"Tidak sengaja katamu? Aku hanya bertanya kau akan tidur dimana, jika kau tidak mau, kau tidak perlu sampai melempar ponsel mu pada ku. Apa kau pikir aku sangat ingin tidur seranjang dengan mu, huh?"
"Aku sungguh tak sengaja"
Alina yang sudah merasa sangat kesal. Terus berlari kearah meja rias. Mengambil botol lotion nya, ia melempar nya kearah Zayyad.
"Kamu-" Zayyad terus menghindar. Ia tidak akan mengira Alina akan membalasnya.
Tidak menyerah begitu saja, Alina mengambil barang-barang lainnya yang ada di meja rias. Dan melempar nya kearah Zayyad. Sisir, bedak, hingga botol-botol cream miliknya semua ia lempar kearah Zayyad.
prang!
bruk!
brak!
Zayyad masih dengan gesit menghindar, tangannya terus diangkat untuk melindungi kepala nya. Wanita ini sangat pendendam! Keluhnya dalam hati.
Sekarang meja rias itu sudah kosong. Hanya tersisa satu botol parfum. Alina tau itu pasti harganya sangat mahal. Tapi ia tidak peduli. Ia mengambil botol parfum itu dan melemparnya kearah Zayyad.
prang!
Botol parfum itu pecah. Isinya semua terbuang di lantai.
Zayyad mengira itu adalah serangan yang terakhir. Tapi siapa yang mengira Alina sangat bersikukuh membalas kan dendam nya.
Wanita itu berlari ke ruang kecil yang di sekat dengan rak buku.
Zayyad tercengang! Untuk kekacauan sebelumnya, ia sama sekali tidak mempermasalahkan nya. Tapi tidak dengan-
Bruk!
Brak!
Satu persatu buku-buku dari rak di lempar kearahnya.
"Alina berhenti!" Itu adalah buku-buku yang ia rawat sangat baik. Sampai ia menyisakan ruang khusus dikamar nya, untuk menjaga semua itu. Tapi wanita ini-
"Alina aku bilang berhenti!"
Bruk!
Brak!
Sekarang kamarnya yang rapi dan tertata dengan baik sebelumnya, sudah hancur berantakan persis seperti kapal pecah. Bedak bertaburan di lantai, botol-botol berseliweran di setiap sudut, parfum tumpah bahkan hingga buku-buku yang berserakan di lantai.
"ALINA" Tanpa sadar Zayyad berteriak.
"APA?" Alina menjerit lebih keras
Tiba-tiba keduanya terdiam. Alina yang merasa kelelahan setelah aksi balas dendam nya tadi, bernafas tersengal-sengal.
Dan Zayyad yang melihat rak bukunya yang sudah setengah nya kosong, buku-buku yang tergeletak di lantai, rasanya ingin sekali meluapkan amarahnya.
"Keluar!" Akhirnya ia dengan tenang menyuruh Alina keluar. Setelah mengendalikan amarahnya dengan sangat baik.
"Tidak mau!"
Alina terus melompat ke ranjang. Memeluk guling dan tenggelam di balik selimut.
Zayyad yang melihat hal itu, terperangah di tempat.
"Anggaplah kekacauan ini bentuk balas dendam ku untuk yang tadi" Alina menyingkap selimut nya, separuh bangun. Ia menyalakan lampu tidur.
"Matikan lampu kamar nya" Titah Alina kemudian. Ia tidak memberi ruang untuk Zayyad menolak.
Pada akhirnya Zayyad menghela nafas berat, menerima kekacauan malam ini. Setelah menekan saklar lampu, ia berjalan kearah ranjang untuk mengambil bantal. Tapi-
"Kau tidur tanpa bantal malam ini!" Alina merampas bantal itu sangat cepat dan menyembunyikan nya di balik selimut.
"Masih belum cukup?" Balas dendam yang barusan masih belum cukup untuk nya. Wanita ini...
"Ini untuk jidat ku yang sudah benjol karena ponsel mu tadi" Alina meraba jidat nya yang mulai muncul benjolan.
"Hah.." Zayyad menghela nafas tak percaya. Sangat tidak berbelas kasih!
Akhirnya pada malam yang berantakan itu. Zayyad tidur di atas sofa tanpa bantal dan hanya beralaskan tangan.
___
Setelah kekacauan itu, kamar terasa hening dengan detak jam dinding memecah kesunyian. Alina yang sejak awal belum tidur, membuka matanya. Ia perlahan bersandar di kepala ranjang. Mengambil ponselnya, ia melihat bahwa sudah pukul satu pagi. Sebenarnya ia sudah sangat ingin tidur. Sudah beberapa jam ia menutup rapat matanya, tenggelam dalam selimut dan membayangkan banyak hal yang menyenangkan sampai lelah. Tapi nihil. Matanya masih saja enggan mengantuk. Insomnia yang dimilikinya ini terkadang seringkali membuat nya frustasi. Terkadang jika hari-hari mengajar, ia sengaja mengkonsumsi obat tidur di malam harinya. Agar ia punya waktu tidur yang cukup untuk tidak menganggu aktivitas nya besok. Jika tidak, mungkin ia akan mengantuk dan lesu seharian, karena kekurangan waktu tidur. Tapi karena besok ia masih cuti. Ia memilih untuk tidak mengkonsumsi nya. Karena bagaimanapun juga tidak baik jika ia selalu bergantung pada obat itu. Menoleh kearah sofa, ia me
"Karena pada nyatanya, sampai saat ini Alin masih terjerat dengan mimpi-mimpi buruk itu. Itulah kenapa sampai saat ini Alin-" Alina tak kuasa menyelesaikan kata-katanya lagi. Ia mulai merasa matanya memanas, rongga pernafasannya sesak, rasanya ia ingin menangis. "Kebencian yang Alin miliki hanya membuat Alin berjalan di tempat, enggan maju mengahadapi realita dan hanya meyakini bahwa semua pria itu sama. Terkadang kebencian itu mendorong Alin untuk balas dendam, hanya saja nurani yang ada dalam diri alin menekannya cukup baik sejauh ini. Alin tidak mampu balas dendam dan tidak tau cara melampiaskannya harus bagaimana. karenanya kebencian itu rasanya semakin menyakitkan nek!" Itulah kenapa ia memutuskan untuk menjauhi bahkan menghindari interaksi apapun dengan pria. Karena dengan melihat mereka sekali saja, kebencian itu bangkit. Dan itu membuatnya terluka setiap kali ia gagal melampiaskannya. "Sebenarnya Alin tau!" Alina memandang ke langit-langit beberapa sa
Alina akhirnya dengan terpaksa pergi keluar vila hanya untuk mengantarkan makan siang untuk Zayyad. Bahkan neneknya juga berpesan padanya untuk menunjukkan bukti bahwa ia sudah mengantarkan makanan itu kepada Zayyad. Alina sungguh ingin menghantuk kan kepalanya ke dinding. 'Sebenarnya yang menjadi cucunya itu aku atau Zayyad?' "Bu, apakah anda ingin keluar?" Alina melihat seorang pria mendekatinya, moodnya yang buruk semakin menjadi-jadi. "Ada apa?" Tanya Alina ketus. Pria tersebut menjadi gugup, menemukan sikap tidak bersahabat Alina. Ferdi yang sedang menyapu halaman, sekilas melihat pemandangan itu. Ia terus menggeleng kan kepalanya tak mengerti. 'Padahal Bu Alina terlihat sangat lembut dari luar, tapi kenapa kenyataannya tidak?' "Saya supir yang di utus pak Zayyad untuk ibu. Kemanapun ibu pergi, saya dapat mengantar" Jadi Zayyad sungguh memperkerjakan supir pribadi untuk membawanya pergi kemanapun? S
Tanpa merasa bersalah sama sekali, Alina membereskan kotak makan. Dan menyuruh Bakri yang masih menunggu di luar untuk mengambil segelas air."Ini Bu!"Bakri menyerahkan segelas air putih padanya."Em!"Alina mengambil gelas tersebut dan sama sekali tidak mengatakan terimakasih atas Bakri yang sudah membawakan nya air.Bakri tidak terlalu mempedulikan nya. Ia segera keluar lagi, menutup pintu dan memberi privasi sepenuhnya untuk dua orang itu. Tepat ketika ponselnya berdering, ia mengambil beberapa langkah menjauh untuk menjawab panggilan."Iya?""Baik, kalau begitu saya akan segera ke sana"Karena ada keperluan, Bakri pun pergi meninggalkan tempat itu.Alina yang melihat Zayyad sudah keluar dari kamar kecil masih tak sanggup menyembunyikan senyum di wajahnya.Zayyad terus memalingkan muka darinya. Wajahnya sama sekali tidak terlihat baik."Ini minumlah!"Alina dengan murah hati meletakkan gelas air
Zayyad meraba saku jasnya mencari ponsel, detik itu ia teringat ponselnya sudah rusak. Ruangan sempit ini tampak semakin menyesakkan dalam keadaan gelap. Setidaknya sedikit cahaya, mungkin dapat menenangkan Alina yang nyaris hampir mati ketakutan. Jadi Zayyad berpikir untuk mendapatkan sedikit sumber cahaya. Meraba-raba sekitar lantai, Zayyad menemukan tas tangan Alina. Zayyad membukanya dan mengambil ponsel Alina. Zayyad segera menyalakan senter dari ponsel milik Alina. Cahayanya lebih dari cukup untuk menerangi ruangan kecil ini. Saat itulah Zayyad dapat melihat jelas wanita yang jatuh pingsan di lengannya perlahan membuka mata. Detik itu...Zayyad kehilangan kontrol akan— "Ugh!" Seteguk cairan asam tumpah mengotori pundak Alina. Zayyad terkesiap, langsung meletakkan pelan Alina ke lantai. Menutup mulutnya, Zayyad berusaha keras menekan gejolak asam dari perutnya agar tidak melakukan kesalahan kedua kalinya. "Maaf!" Zayyad memasang tampang menyesal.
"Hah...hah.." Alina menepuk dadanya yang terasa sesak tidak tertahankan. Keringat dingin sudah memenuhi pelipis hingga punggungnya. Bayang-bayang ia terkurung dalam lemari kecil, pengap, gelap serta celah udara yang kecil. Menghantuinya lagi, membuat ia kembali larut dalam perasaan sesak karena kehabisan oksigen. "H-ha...h-haaa..h" "Alina bertahan-" Bruk! Ujung dasi yang di pegang wanita itu itu jatuh mencium lantai. Zayyad tercenung. Tangannya yang perlahan bergetar juga telah menjatuhkan ujung dasi yang di pegangnya. 'Dia tidak akan mati kan?' batin Zayyad sembari memandang Alina yang sudah jatuh tak sadarkan diri lagi. Keadaannya pun jauh lebih buruk dari sebelumnya. Zayyad perlahan membungkuk, mengulurkan tangannya kebawah. Meletakkan dua jarinya tepat di depan hidung Alina, "Masih bernafas..." Tapi itu sangat pelan. Sangat halus. Dan samar-samar. Zayyad mulai panik. Bagaimana jika terlambat sedikit saja itu
Dokter pribadi Zayyad sudah tiba di perusahaan dan sedang memeriksa keadaan Alina. Zayyad pergi duduk di sofa, menunggu dan termenung. 'Aku sungguh baru saja menggendong seorang wanita?' Zayyad tak dapat mempercayai fakta itu. Merenungi kedua tangan yang baru saja mengangkat Alina, itu masih bergetar. 'Apakah ada kemajuan dari pemulihan ku?' Sudah bertahun-tahun Zayyad berusaha keras untuk menghilangkan phobia nya terhadap wanita. Bagaimana pun, ia tidak akan pernah bisa hidup sebagai pria normal pada umumnya selama memiliki ketakutan itu. "Pak Zayyad, keadaan istri anda baik-baik saja! Tidak lama lagi ia akan segera siuman" Zayyad tersentak dari lamunannya. Mendengar apa yang di katakan dokter, Zayyad mengangguk pelan. "Kalau begitu saya permisi" "Baik dok, terimakasih" Setelah mengantarkan dokter itu keluar. Zayyad kembali ke bilik kecil pribadinya. Zayyad melihat keadaan Alina yang jauh lebih baik. Wa
Alina perlahan membuka matanya. Kejadian tadi masih membuatnya mati lemas. Padahal sebenarnya ia sudah memperoleh kesadaran nya beberapa jam yang lalu. Karena masih tak sanggup mengontrol syok beratnya, ia memutuskan untuk menenangkan diri dengan tidur lebih lama. Sesaat pikirannya masih terkenang dengan kejadian di lift tadi siang.Terjebak dalam ruang persegi yang gelap. Rasanya seperti ia baru saja bangun dari mimpi buruk yang panjang.Ia mengelus dadanya pelan, mencoba mengontrol tekanan dalam dirinya. Rasa sesak dan tercekik dalam ruang sempit itu, masih membekas sampai sekarang. Dan yang paling ia benci, kenangan buruk masa lalunya kembali menghantui nya karena kejadian sialan itu!"Aku harus mandi untuk membuang semua kesialan ini!" Alina perlahan bangun, menggeser selimut kesamping dan menurunkan kakinya ke lantai. Ia melihat ada paper bag di atas nakas serta ada note kecil yang tertempel di depannya.*Maafkan aku!*Ia mengambil paper bag itu