Ahad pagi, Tanisha sibuk merapikan rak buku yang terletak di sudut kamar. Ia baru saja membeli beberapa buku mengenai kepenulisan untuknya belajar agar tulisannya lebih baik. Ia pun memisahkan beberapa buku yang ia lahirkan sendiri di rak bagian paling atas. Tanisha tersenyum senang saat menatap buku-buku novel yang ia tulis sendiri itu. Ia juga terharu dan tak menyangka, salah satu novelnya berjudul "Toxic Relationship", bisa meledak saat terbit satu tahun lalu. Tangannya bergerak untuk meletakkan buku-buku itu kecuali satu novel yang judulnya disebut di atas tadi. Ia melangkahkan kaki menuju meja belajar lalu duduk di atas kursi. Perlahan tangannya membuka lembar demi lembar buku novel itu. Matanya bergerak pertanda ia sedang membaca kata demi kata di novel itu. Pikirannya tiba-tiba melayang ke pengalaman hidupnya di masa SMA. Tanisha sadar, kisah yang ia tulis di novel itu sebenarnya adalah kisahnya. Mengisahkan tentang cinta pertamanya yang tak indah, justru begitu menyakitka
Tanisha menatap pantulan dirinya di depan cermin. Sesekali ia tersenyum manis seolah sedang ada seorang photografer yang tengah memotretnya. Tampilannya sangat cantik, gamis pink yang dipadu dengan jilbab segi empat berwarna lavender pink, serta sneacker putih yang menutupi kakinya. Tanisha kemudian mengambil ponselnya lalu melakukan mirror selfie—gaya selfie andalan perempuan. Perempuan itu melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Merasa masih banyak waktu, ia memutuskan untuk men-scroll akun sosial medianya dahulu. Sementara itu, ada Aqlan yang tengah menatap sang istri dari balik pintu kamar. Wajahnya nampak cemberut. Hatinya pun serasa dipenuhi oleh rasa cemburu. Pasalnya, hari ini Tanisha akan melakukan pertemuan dengan produser film itu setelah pembicaraan cukup panjang di room chat. Laki-laki itu membuka pintu perlahan lalu berpura-pura berjalan menuju lemari bajunya. Tangannya bergerak seolah tengah mencari bajunya, padahal ia hanya ingin mencari perhatian dari
Keheningan tercipta antara Rezvan dan Tanisha sejak beberapa menit lalu. Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing, tak ada seorang pun yang berani mengangkat suara. Tanisha memainkan jari-jarinya di atas meja dengan kepala menunduk. Sementara itu, Rezvan tak juga mengalihkan tatapan matanya dari perempuan yang ada di depannya itu. "Cha." Akhirnya Rezvan mengangkat suara hingga memecahkan keheningan di antara mereka berdua untuk sejenak. Tak ada jawaban dari perempuan itu. Ia masih setia menunduk tanpa berani mengangkat kepalanya barang sekejap saja. "Cha." Lagi-lagi Rezvan memanggil nama perempuan itu, berharap panggilannya diindahkan. "Kenapa diem aja? Lo gak mau bilang apa-apa gitu sama gue? Udah lama, loh, kita gak ketemu," ujar laki-laki tanpa mengalihkan pandangannya. Tanisha menggelengkan kepalanya pelan. "Aku bahkan gak pernah berharap bisa ketemu kamu lagi."Kalimat yang dilontarkan Tanisha cukup membuat hati Rezvan seperti digores. Sakit. Itulah yang ia rasakan.
"Kenapa, Kal?" tanya Aqlan sambil mengambil sepotong kue di atas meja. Kalandra yang semula tengah melamun sontak mengerjapkan matanya lalu menoleh pada Aqlan. "Hah? Nggak, nggak papa, kok." Aqlan hanya menganggukkan kepalanya mendengar jawaban dari Kalandra. "Dia produser film yang terkenal beberapa tahun lalu itu, kan?" Laki-laki berkoko biru itu kembali bertanya."True," jawab Aqlan setelah menelan makanannya. Kalandra nampak sedang memikirkan sesuatu. Tatapannya seolah menyiratkan kekhawatiran. Tentu hal itu membuat Aqlan terheran-heran. "Andra, ada apa, sih? Kok, pas gue jawab pertanyaan lo, keliatannya muka lo jadi beda gitu?"Kalandra kembali menatap sahabatnya itu. Lidahnya tiba-tiba terasa kelu untuk sekadar mengucapkan satu kata saja. Yang ada di pikirannya kini justru tentang Aqlan, Tanisha, dan Rezvan. Ya, Kalandra sudah mengetahui identitas asli dari seorang Evan Reshal Fatih. "Gue ... gue perlu ingetin lo, Lan.""Ingetin apa?" Raut wajah Aqlan berubah serius. Pera
Tanisha termenung sendirian di balkon kamar. Sebuah buku motivasi berada di tangannya, tetapi perempuan itu tak juga membacanya. Minuman cokelat yang ia buat dalam keadaan panas pun kini sudah mulai dingin, sedingin malam yang memeluk tubuh hangatnya. Aqlan belum pulang. Sore tadi laki-laki itu menghubungi Tanisha dan mengatakan kalau ia akan pulang sehabis Maghrib karena ada urusan penting di pesantren. Namun, hingga pukul 9 kini, laki-laki itu belum juga pulang, tapi Tanisha tak terlalu memedulikan hal tersebut. Sepinya suasana membuat pikirannya begitu gencar berlari mengajak Tanisha ke kenangan di masa lalunya. Seolah menyuruhnya untuk kembali mengulang semua rasa sakit yang pernah ia rasakan dahulu. Tanisha masih tak menyangka kalau ia akan kembali bertemu dengan laki-laki yang paling ia benci itu. Hidupnya yang sudah bebas dan bahagia selama beberapa tahun ini seolah kembali menghilang. Hadirnya laki-laki itu ke dalam hidupnya lagi, membuat Tanisha merasa was-was mengenai nas
Senin pagi, seisi rumah mulai sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada yang sibuk menyiapkan peralatan sekolah, sibuk menyetrika pakaian, sibuk memasak, bahkan ada yang sekadar sibuk menyiram tanaman di depan rumah. Senin, hari yang katanya paling dibenci oleh semua orang. Hari di mana semua kesibukan dimulai. Hari di mana rasa lelah akan menerpa. Namun, tidak bagi Tanisha. Entah itu hari Senin, Selasa, maupun seterusnya terasa sama saja, tak ada bedanya. Sama-sama membosankan. Pagi ini, perempuan itu hanya duduk-duduk santai di ruang keluarga sambil menonton televisi. Kegiatan beres-beres rumah dan memasaknya sudah selesai sedari tadi. Yang belum hanyalah mencuci piring dan mencuci baju. Terlihat Aqlan yang mengenakan baju koko berwarna ungu, dan celana relaxed-legged, serta peci hitam yang menjadi penutup kepala andalannya saat hendak pergi mengajar. Satu tangannya nampak tengah menggandeng sebuah tas. "Bang Aqlan, sarapan dulu," ucap Tanisha saat baru menyadari kehadiran Aqla
Tanisha berjalan memasuki gerbang pesantren sambil menghentak-hentakkan kakinya. Wajahnya ditekuk, nampak sedang menahan kesal. Di tangannya, terdapat sebuah rantang berisi makanan untuk Aqlan. Bukan murni keinginan Tanisha untuk mengantarkan makan siang ke pesantren Al-Muhajirin. Jaraknya yang lumayan jauh, dan panasnya terik matahari di siang hari tentu membuatnya merasa sangat malas untuk pergi keluar rumah. Namun, permintaan dari Sa'diyah membuat Tanisha tak kuasa untuk menolak. Sebelum berangkat ke tempat ini, Tanisha sempat bertemu dengan Sa'diyah. Lebih tepatnya, Sa'diyah datang berkunjung ke rumah Aqlan. Sang Bunda bercerita banyak hal mengenai kehidupan rumah tangannya dengan ayah Tanisha sewaktu masih muda. Akhirnya, malah berujung harus mengantarkan makan siang untuk Aqlan dengan dalih agar menjadi istri yang baik. Seperti biasa, Tanisha disambut begitu baik oleh santri-santri Al-Muhajirin. Bahkan, beberapa di antara mereka ada yang menunduk hormat saat berlalu di depann
"Acha!" Aqlan menarik lengan Tanisha hingga membuat tubuh perempuan itu menjadi menghadap Aqlan. "Maafin Abang, ya? Kita pulang bareng aja, yuk!" tawarnya. Tanisha melepaskan cekalan Aqlan di lengannya. Kemudian, ia melipat kedua lengannya di depan dada. Tatapannya yang nampak sinis menatap lurus ke wajah laki-laki itu. "Janji gak ngeselin lagi?" Aqlan tak sanggup menatap wajah menggemaskan istrinya itu. Kedua tangannya terangkat untuk mencubit pipi perempuan itu. "Bang Aqlan! Baru juga dibilangin!" gerutu Tanisha sambil melepaskan cubitan Aqlan di kedua pipinya. Semua kelakuan kedua pasangan itu tak luput dari perhatian para santriwan dan santriwati yang berlalu di hadapan keduanya. Mereka nampak kagum dengan sikap romantis yang diberikan Aqlan terhadap Tanisha. Beberapa di antara mereka bahkan sampai ada yang menggigit jari seolah gemas melihat kelakuan pengantin baru yang menurut mereka terlihat uwu itu. Andai mereka semua tahu, hubungan sesungguhnya antara Aqlan dan Tanisha t