Share

Bagian 4: Tawaran

"Sebelumnya, maaf dulu, saya tidak bermaksud menyinggung ...." Aris tak melanjutkan ucapannya, malah mengetuk-ngetuk meja dengan ujung jari, membuat Rukmini mengerutkan kening.

 

"Iya, Pak? Jadi, apa yang ingin di sampaikan?"

 

"Begini, saya dan istri sudah sepakat ingin memberikan tawaran untuk Surtini."

 

Aris mengatur napas sejenak. Amira mencolek lengannya karena tidak sabaran dengan tingkah sang suami yang memang suka tidak enakan. Rukmini menatap suami istri itu dengan perasaan serba salah, ingin bertanya tetapi takut dianggap tidak sopan. Namun, jika dia diam saja, obrolan akan terus  berputar-putar di tempat, tidak ada ujung pangkalnya.

 

Akhirnya, Amira angkat bicara, "Begini, Bu Rukmini, atas rasa terima kasih kami kepada Surtini, kami bermaksud untuk membantu biaya pendidikannya sampai lulus perguruan tinggi. Kebetulan, kami punya yayasan untuk bantuan pendidikan."

 

Raut wajah kebingungan Rukmini berubah semringah. Mata tuanya berbinar. Dia tentu tak menyangka kebaikan dan ketulusan hati Surtini akan berbuah manis.

 

Sebelumnya, Rukmini memang tengah resah memikirkan biaya sekolah sang anak tiri. Hastuti malah tega menyarankan agar Surtini dinikahkan saja dengan bandot tua untuk mengurangi tanggungan. Mereka sempat bertengkar karena hal itu. Kini, dia tak perlu lagi mencemaskan masalah uang sekolah Surtini.

 

"Maaf, jika tawaran kami ini menyinggung," ucap Aris hati-hati. Kadang, ada beberapa orang yang justru merasa direndahkan ketika mendapat bantuan.

 

Rukmini menggeleng.

 

"Tentu tidak, Pak. Saya justru sangat bersyukur. Surti tidak perlu menunda untuk lanjut sekolah sampai saya punya uang," sahutnya dengan suara sedikit bergetar karena haru.

 

"Syukurlah, Bu Rukmini. Tapi ... ada satu lagi, Bu. Ini terkait kebijakan dari yayasan kami."

 

"Iya, Pak?"

 

"Setiap anak yang mendapat bantuan dari yayasan akan ditempatkan di asrama khusus. Nanti di asrama, anak-anak akan mendapatkan pelatihan keterampilan lain, juga pendidikan karakter. Yayasan berharap anak-anak tidak hanya memiliki ilmu pengetahuan dari sekolah formal, tetapi juga akhlak yang baik dan soft skill," jelas Aris panjang lebar.

 

Raut wajah Rukmini sedikit berubah. Bukannya bermaksud tidak tahu diri, tetapi dia ragu Surtini mau berpisah darinya. Gadis itu bahkan tidak bisa tidur kalau tidak dikeloni dulu. Surtini memang selalu bersikap dewasa kepada anak yang lebih muda seperti Reina, tetapi sebenarnya suka bermanja-manja pada Rukmini.

 

"Maaf, Pak, Bu. Saya ragu soal asrama ...."

 

Khawatir Rukmini tidak setuju dengan tawaran mereka, Amira cepat menimpali, "Bu Rukmini tidak perlu khawatir akan ada pem-bully-an. Biasanya, orang tua takut anak asrama karena itu. Asrama di sana sangat kekeluargaan. Sebutannya saja asrama, tetapi lebih mirip rumah dengan banyak anggota keluarga. Kami saja suka menginap di sana juga." Dia berpikir sejenak. "Kalau Bu Rukmini masih ragu ... atau bagaimana kalau Surti tinggal di rumah kami saja, jadi anak asuh gitu. Reina pasti senang."

 

"Ma ... dengar dulu penjelasan Bu Rukmini," tegur Aris ketika melihat wajah Rukmini malah tampak semakin tidak nyaman setelah mendengar celotehan istrinya.

 

Amira seketika terdiam. Rukmini mengusap punggung tangannya sendiri untuk menghilangkan kecanggungan. Setelah hening beberapa saat, dia baru berbicara.

 

"Saya sangat senang Surtini bisa mendapat kesempatan sebagus ini. Saya ragu bukan karena takut ada bully atau yang lainnya. Surtini punya ilmu silat yang cukup terlatih jadi tidak akan mudah diganggu, tapi dia hampir tidak pernah pisah sama saya. Tidur pun selalu minta peluk. Jadi, menurut saya, kita juga harus mendengar pendapat Surtini sendiri, 'kan?"

 

"Dia pasti juga akan senang saya rasa. Surtini anaknya mandiri dan dewasa, pasti bisa cepat beradaptasi," sahut Amira.

 

Aris menepuk pelan bahu istrinya.

 

"Mama ... benar kata Bu Rukmini, harus ditanya dulu orangnya. Apa yang kita rasa baik, belum tentu akan membuat Surtini sendiri bahagia."

 

"Iya, Pa, iya."

 

"Saya setuju dengan Bu Rukmini, kita tanya dulu, Surti maunya bagaimana. Tentunya, kami berharap Surti mau mengambil tawaran ini," timpal Aris cepat sebelum istrinya sempat berkomentar apa-apa lagi.

 

Amira sedikit cemberut. Namun, dia cepat-cepat tersenyum saat Rukmini menoleh dan menawarkan kue-kue yang tersaji di meja.

 

Selain penganan yang dibawa Keluarga Pratama, Rukmini memang juga menjamu para tamu dengan kue buatan sendiri. Aris mengambil sepotong risoles. Dia seketika terperanjat saat mencicipinya.

 

"Enak sekali ini, Bu Rukmini!" komentarnya.

 

Amira yang mendengar testimoni sang suami, ikut mencomot salah satu kue di piring. Bolu kukus menjadi pilihannya.

 

"Iya, Pa. Enak banget! Ini, sih, selevel di toko kue langganan kita."

 

"Terima kasih pujiannya, Pak, Bu. Kue buatan saya rasanya biasa-biasa saja, kok."

 

"Kami serius, Bu. Ibu bisa jadi bisnis kue lho," cetus Aris.

 

"Saya, kan, memang jualan kue. Biasanya, si Surti yang bantu nitipkan di warung-warung."

 

"Hanya dititip di warung?" Amira tampak kecewa.

 

"Iya, Bu."

 

Aris mengelus dagu, lalu bergumam, "Ini peluang bisnis yang cukup menjanjikan untuk Bu Rukmini. Jika Ibu bersedia, saya mungkin bisa membantu."

 

Selanjutnya, mereka hanya membicarakan tentang peluang bisnis dari keterampilan Rukmini. Aris berjanji untuk memberikan suntikan modal. Sementara Amira menawarkan Rukmini untuk mengikuti pelatihan-pelatihan agar bisa mendapatkan sertifikat khusus, sehingga kue buatannya bisa bernilai lebih tinggi. Suami istri itu menyayangkan kue Rukmini memiliki harga jual yang cukup rendah. Ketiganya pun larut dalam obrolan.

 

***

Tawa riang Reina membuat Surtini tersenyum. Gadis kecil yang selalu memanggilnya kakak peri itu tengah berlarian dengan telanjang kaki, mengejar Bagus. Beberapa kali dia terjatuh di hamparan rumput yang lembut, lalu bangkit lagi.

 

Mereka memang sedang bermain kejar-kejaran. Reina kena giliran jaga. Surtini dan Rehan sudah tertangkap. Surtini karena sengaja mengalah, sedangkan Rehan memang tidak lari ke mana-mana dan sibuk bermain ponsel. Akhirnya, hanya tersisa Bagus yang selalu berhasil meloloskan diri dari kejaran si gadis kecil.

 

"Awas, ya, Kak Bagus! Reina pasti nangkap Kakak!"

 

"Ayo coba sini! Ha ha ha! Kaki kamu pendek makanya lambat."

 

"Ih, Kak Bagus!"

 

Kejar-kejaran terus berlanjut, hingga Bagus yang terlalu meledek Reina tak sengaja menendang batu. Tak ayal, dia tersandung, lalu jatuh terguling-guling. Surtini refleks menjerit panik dan menghampir iBagus, memastikan anak laki-laki itu tidak terluka parah. Wajahnya tampak sangat khawatir.

 

Rehan seketika berhenti bermain ponsel. Ada rasa panas menjalar di dadanya. Sekali lihat, bisa dipastikan Surtini menyimpan perasaan khusus terhadap Bagus.

 

Sementara itu, Reina berlari kecil menghampiri Bagus dan Surtini. Dia menepuk pelan bahu Bagus dan berseru, "Akhirnya, Kak Bagus ketangkep! Horeee!"

 

Bagus terkekeh. Dia mengacak-acak rambut Reina.

 

"Iya, iya. Reina menang. Reina hebat! Sebagai hadiah kemenangan Reina, Kakak punya sesuatu."

 

"Hadiah?"

 

Mata Reina membulat lebar. Bagus kembali terkekeh. Dia tiba-tiba mencabuti beberapa tangkai bunga liar, lalu merangkainya menjadi mahkota cantik. Bagus memakaikan mahkota bunga di kepala Reina. Keakraban yang terjalin tanpa sengaja di antara keduanya, membuat Surtini perlahan mundur.

 

"Ini cantik sekali, Kak!" seru Reina dengan mata berbinar.

 

"Iya cantik sekali," lirih Bagus sembari menatap Reina dengan pipi bersemu.

 

 

Surtini menyentuh pelan dadanya. Ada sedikit perih menyelinap di sana saat melihat sorot mata Bagus yang terus terpaku kepada Reina. Dia menghela napas berat. Cinta pertamanya ternyata tak seindah kisah-kisah romantis di buku cerita. Sementara itu di bawah pohon akasia,

Rehan tanpa sadar mengepalkan tangan ketika melihat luka di mata Surtini.

 

***

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status