"Kakak Peri! Kakak Peri! Coba liat, sekarang Reina jadi tuan putri!"Seruan Reina membuat Surtini gelagapan. Namun, dia cepat-cepat tersenyum hangat, tak ingin gadis kecil itu khawatir. Surtini mencubit pelan ujung hidung Reina."Ada apa, Anak Manis?""Ini lho, Kak, mahkota bunga buatan Kak Bagus, cantik banget, bikin aku jadi kayak putri-putri Disny gitu," celoteh Reina sambil berputar-putar, membuat roknya mengembang ala-ala tuan putri.Meskipun sedikit cemburu, Surtini tak ingin rasa itu meracuni hati. Dia menyengir lebar sembari mengacungkan jempol."Iya, Reina jadi cantiiik sekaliii, seperti Putri Salju yang ada dalam dongeng," komentarnya.Surtini memang menjadi teringat Dongeng Putri Salju saat melihat Reina. Rambut berkucir kuda yang hitam pekat seperti kayu eboni, kulit putih cerah, juga bibir mungil kemerahan milik si gadis kecil cocok sekali dengan deskripsi sang putri. Seandainya, ada live action dongeng tersebut versi Indo
Ruang tamu rumah Rukmini kembali dipenuhi gelak tawa anak-anak. Reina terus berceloteh riang. Berkali-kali dia mengungkapkan keinginannya agar Surtini mau tinggal bersama keluarga mereka. Sementara Rehan hanya melirik diam-diam dengan sorot mata penuh harap. Keluarga Pratama memang datang lagi seminggu dari kedatangan yang pertama untuk mendengar keputusan Surtini atas tawaran mereka.Aris berdeham, lalu kembali berbicara, "Jadi, bagaimana, Nak? Kamu mau menerima tawaran kami?"Surtini tampak menelan ludah. Dia terdiam dalam waktu yang cukup lama sebelum bersuara."Tawaran Om dan Tante adalah kesempatan besar bagi saya, tapi ...," Surtini menunduk dalam sebelum melanjutkan, " maaf, Om, Tante, saya tidak bisa menerima."Semua yang ada di ruang tamu tampak terperanjat. Rukmini sendiri bahkan menatap anak tirinya dengan sorot mata tak percaya. Selama seminggu sejak mendapat tawaran bantuan dari Keluarga Pratama, Surtini memang tidak pernah membic
Mata Surtini berbinar. Usahanya belajar dengan rajin membuahkan hasil. Soal-soal di kertas ujian sesuai dengan materi yang telah dipelajari."Berkat doa Emak ini," gumamnya dalam hati.Sebelum mengerjakan soal ujian, Surtini berdoa lebih dulu. Tak lama kemudian, dia pun menyelesaikan soal-soal dengan penuh semangat. Berbeda dengan murid-murid lain yang resah dan gelisah, gadis itu sama sekali tidak mengalami kesulitan.Waktu berlalu dengan cepat. Satu per satu soal ujian telah dijawab Surtini. Saat sedikit lupa materi, dia mengetuk-ngetukkan pulpen di kening untuk mengingat kembali apa yang telah dipelajari. Kini, gadis itu telah sampai pada soal terakhir."Hmm ... ini ada di bab 6 kalo enggak salah ... jawabannya antara A dan B hmm ...." Surtini menggigiti ujung pulpen. "Ah, iya aku tau!"Surtini hendak menuliskan jawaban. Namun, punggungnya tiba-tiba dicolek. Dia seketika menghela napas berat.Murid yang duduk di belakang
Bu Nina sudah siap merobek lembar jawaban Surtini. Namun, gerakannya terhenti saat pria tua berkacamata tiba-tiba masuk ke kelas, Pak Gunawan, kepala sekolah. Beliau tampak terheran-heran dengan kondisi kelas yang tidak biasa."Ada apa ini, Bu Nina? Surtini, kenapa duduk di lantai?"Mendengar suara bersahaja Pak Gunawan, Surtini merasakan secercah harapan. Dia mendapatkan kekuatan untuk berdiri lagi. Andini diam-diam menghela napas lega. Sementara Ira dan Ria duduk dengan gelisah. Namun, Bu Nina masih jemawa."Maaf, Pak, ini karena Surtini membuat masalah. Dia mau menyontek jawaban Andini. Jadi, saya akan menyobek lembar jawabannya."Pak Gunawan mengerutkan kening. Meskipun sejak menjadi kepala sekolah sudah tidak mengajar, tetapi beliau lumayan dekat dengan murid-murid. Pria tua itu tahu betul reputasi Surtini, siswi berprestasi yang berbakti, jujur, dan suka menolong. Dia tentu tak mungkin melakukan kecurangan seperti menyontek."Sabar dulu
"Argggh!"Erangan menyayat membuat Rukmini yang tengah mengaduk-aduk adonan bakwan tersentak. Gerakan tangannya terhenti sejenak. Dia mengerutkan kening, juga menajamkan pendengaran."Argggh! Ugh! Saya mohon Anda harus lari! Lari!"Kebingungan Rukmini berubah menjadi kecemasan. Dia bisa mengenali jelas suara yang tengah menjerit-jerit itu, Surtini. Rukmini melepaskan sendok pengaduk adonan bakwa, lalu mengelap tangan dengan cepat."Argggh! Lari!" Teriakan Surtini kembali terdengar.Rukmini bergegas menuju kamar. Pintu hampir saja dibantingnya. Kecemasan semakin bertambah saat melihat Surtini bergerak-gerak gelisah di kasur dengan daster basah oleh keringat. Gadis itu tampak memegangi perut sambil terus mengerang."Ya ampun, Surti! Kamu kenapa, Nak! Nyebut, Surti! Nyebut!" jerit Rukmini panik.Dia duduk di tepian tempat tidur sembari terus memanggil Surtini. Namun, gadis itu tidak juga membuka mata, malah mengerang lebih keras. Napasny
"Sur? Surti?"Bagus menepuk-nepuk pundak Surtini. Namun, gadis itu tak menyahut. Dia asyik menggigiti sendok es krim."Surti!" panggil Bagus dengan suara lebih keras.Surtini tersentak. Dia refleks melemparkan cup es krim dan mendarat tepat di wajah Bagus. Bukannya minta maaf, gadis itu malah mendelik."Kena karma, kan, kamu. Suka ngagetin sih," omelnya.Untunglah, Bagus bukan teman yang mudah emosian. Dia malah terkekeh sambil membersihkan wajah dari lelehan es krim."Bukannya ngagetin, Sur. Kamunya yang suka ngelamun. Hati-hati loh, entar kesambet lagi, kita semua repot.""Bukan ngelamun, aku tuh lagi cemas, Gus, takut nilaiku jelek. Aku enggak mau bikin Emak malu."Surtini memilin-milin ujung rok merahnya. Bagus lagi-lagi terkekeh. Gadis itu memajukan bibirnya."Kalo yang rajin kayak kamu nilainya jelek, aku pasti merah semua."Surtini mencubit lengan Bagus dengan sadis. Anak laki-laki itu hanya bisa meri
Rukmini menggigit ujung kuku. Dia terus mengeluarkan ponsel, lalu menyimpannya lagi di saku. Setelah mondar-mandir hampir sepuluh kali, Rukmini kembali mengambil ponsel. "Semoga Bu Amira bisa membantu," doanya lirih saat menghubungi Amira. Namun, tiga panggilan tak mendapat jawaban. Keberanian Rukmini menyusut. Akhirnya, dia kembali ke dapur untuk menggarap kue dan berpura-pura ceria agar Surtini tidak curiga. "Mak, soal hutang Bapak ...." Brak! Surtini tersentak. Dia tak menyangka kata-katanya membuat Rukmini sampai menjatuhkan pengaduk adonan kue. Lantai menjadi sedikit kotor. "Kamu tidak usah pikirkan itu, ya. Kamu ini masih kecil, jangan banyak pikiran!" "Tapi, Mak ...." "Sudah, sudah, mending bantu Emak lanjut bikin kuenya!" "Iya, Mak." Rukmini memungut kembali pengaduk adonan kue, lalu mencucinya. Sementara Surtini membersihkan lantai dari ceceran adonan. Setelah itu, mereka pun sibuk membuat kue. Tepat saat kue telah dibungkus rapi, ponsel di saku Rukmini berdering. J
Surtini merinding. Dia tanpa sadar merapatkan jaket. Entah kenapa ruangan tersebut mendadak terasa dingin seperti hawa kulkas ketika dibuka. Keheningan sesaat yang membekukan. "Anda bisa kembali bertugas, Pak Rivan." Suara dingin Mirna memecahkan keheningan. Surtini sempat tersentak. Untung saja, dia bisa menahan diri, sehingga tidak meloncat ke belakang dengan tiba-tiba. "Baik, Bu." Rivan menoleh kepada Surtini. "Tugas saya terkait kamu sudah selesai. Selanjutnya, kamu akan ada di bawah bimbingan Bu Mirna." Surtini sempat termangu cukup lama sebelum menyahut, "Baik, Pak. Terima kasih." Rivan hanya mengangguk kecil. Dia berpamitan dengan Mirna, lalu keluar dari ruangan. Surtini mengiringi kepergian laki-laki itu dengan sorot mata takut-takut. Meskipun Rivan juga membuatnya takut, ditinggalkan bersama wanita asing berwajah datar tentu lebih mengancam. "Duduklah, ada beberapa hal yang harus kita bicarakan lebih dulu!"