Surtini tampak mempersilakan Rehan dan Eka duduk, lalu permisi ke dapur untuk membuatkan minuman. Hastuti menggeleng semakin cepat. Senyuman malu-malu, yang ditunjukkan sang adik tadi mengejutkannya. Seandainya, sorot mata penuh perhatian itu ditujukan kepada Rehan maka wajar saja. Namun, Surtini malah terlihat tersipu saat menatap Eka.
"Tidak mungkin ada yang aneh. Ini pasti karena dulu aku selalu mengacuhkan Surti. Dia jadi lengket sama Eka. Mana mungkin dia suka sesama perempuan, 'kan? Iya, iya, Eka hanya menggantikan peranku sebagai kakak."
Perang batin terus berkecamuk. Akhirnya, Hastuti mengangguk-angguk sendiri demi menyingkirkan pikiran negatif. Dia pun cepat menyungging senyuman canggung.
"Lho, Dek Rehan sudah jemput aja, kuenya baru selesai dibikin. Kami juga belum pada siap-siap," sapa Hastuti. Dia ikut duduk di sofa ruang tamu. "Dek Eka juga mau berpartisipasi, ya?"
"Mama sudah ngomel-ngomel menyuruh jemput," sahut
"Filmnya tadi seru, ya, Non! Kayak canggih-canggih gitu! Coba kalo beneran ada!" komentar Surtini saat keluar dari bioskop. Dia memang baru saja selesai menonton film bergenre sainfiksi bersama Eka. Mereka melakukannya untuk melepas penat usai berjibaku dengan skripsi. Tadi pagi, seluruh persyaratan sudah dikumpulkan, sehingga tinggal menunggu wisuda saja. “Non Eka, kok diem aja? Non enggak suka, ya, film pilihan Surti? Kayaknya, tadi Non ngeliatin poster film yang lain,” cerocos Surtini hampir tanpa jeda. Dia tampak merasa bersalah. Eka tersenyum nakal. “Bukan begitu, aku hanya terlalu terpesona dengan wajah imutmu,” godanya. “Ih, Nona!” gerutu Surtini, membuat Eka tergelak. Sebenarnya, tebakan Surtini benar. Eka ingin memesan tiket film romantis. Pemuda itu pernah membaca buku tentang momen manis yang bisa dihadirkan dari tontonan penuh romansa. Namun, mata Surtini tampak berbinar-binar saat melihat poster film sainfiksi, membuat Eka t
Rasa syukur terucap berulang kali. Ya, Surtini melihat selembar kain butut berdebu terjepit di bawah sofa tua. Surtini semakin gembira saat melihat bekas kaleng cat berisi air sekitar tujuh langkah dari tempatnya duduk. Mungkin ada bagian atap gudang yang bocor, sehingga air hujan tertampung di situ.Sambil masih terus memeluk Eka, Surtini bergeser sedikit demi sedikit. Meskipun sedikit kesusahan, akhirnya dia berhasil meraih kain. Surtini menariknya dengan kuat. Beruntung, kain hanya sobek di bagian ujung. Gadis itu kembali mengesot menuju kaleng cat.“Semoga ini bisa melindungi Non Eka,” gumamnya sambil mencelupkan kain ke kaleng cat.Selanjutnya, Surtini menyelimuti tubuh Eka dengan kain basah. Dia bermaksud menerobos pintu sambil memapah sang “nona”. Namun, baru saja akan berdiri, tangannya digenggam erat oleh Eka. Pemuda itu mendelik tajam.“Apa yang coba kau lakukan, Surti?” Nada suara Eka kembali normal, tidak la
"Aduh, Mbak, kenapa harus dandan segala, sih? Bulu mata palsu ini bikin mata Surti jadi berat enggak bisa dibuka," gerutu Surtini.Dia mengerucutkan bibir yang tengah dipoles dengan lipstik oleh MUA. Hastuti mencubit lengan sang adik dan mendelik tajam. Ocehan Surtini memang hampir membuat kuas lipstik si penata rias menyapu pipi.Ya, hari wisuda sudah tiba. Oleh karena Rukmini dan Hastuti akan menghadiri acara pentingnya, Surtini tidak tidur di apartemen Eka. Mereka semua menginap di hotel tak jauh dari lokasi wisuda. Hastuti sedikit memaksa adiknya agar mau didandani. Meskipun awalnya menolak, Surtini menyerah juga.Akhirnya, sejak subuh, MUA yang dipesan sudah tiba di kamar hotel. Gadis berkulit hitam manis ituberjibaku untuk memoles wajah manis Surtini agar tampak semakin memesona. Untunglah, dia adalah sosok yang penyabar, sehingga tidak terganggu dengan gerutuan klien sepanjang proses make up."Sudah selesai, Mbak," celetuk si penata
Kericuhan pun terjadi. Ruangan menjadi riuh dengan teriakan-teriakan panik. Para peserta wisuda beserta keluarga mereka berhamburan menuju pintu keluar. Panitia acara yang berusaha menenangkan massa tak digubris.Hal tersebut digunakan oleh pelaku penembakan untuk melarikan dengan membaur bersama kerumunan.Beruntung, Rivan sempat melihat si pelaku. Dia langsung meringkusnya di tempat. Namun, kesetian “anjing” Jihan memang tidak main-main. Penjahat tersebut langsung menggigit kapsul berisi racun yang tersembunyi dalam mulutnya.Si pelaku penembakan seketika kelonjotan di tanah. Dia menggelepar-gelepar selama 5 menit sebelum tewas dengan mulut berbusa. Jeritan-jeritan ketakutan pun bersahutan. Kerumunan massa semakin bergegas untuk meninggalkan lokasi. Namun, ada beberapa gadis yang jatuh pingsan.“Ck! Sial!” umpat Rivan sembari meninju tembok.Sementara itu, di dalam gedung Jihan diam-diam tersenyum puas. Meskipun sediki
Porsche yang dikemudikan Rivan melaju dengan kecepatan sedang membelah jalan raya. Meskipun wajah si asisten tampak datar dan kaku, sebenarnya tengah diserang keresahan. Namun, dia mampu menyamarkan segala macam ekspresi. Sementara itu, Gilang yang menjadi penyebab keresahan Rivan duduk di jok belakang sambil membolak-balikkan majalah bisnis.Rivan merasa terintimidasi dengan tindak-tanduk Gilang usai pulang dari rumah sakit. Atasannya itu menolak pengawal dan supir dengan alasan ingin pergi berdua saja. Jadilah, Rivan yang kini mengemudi.“Kau pasti ingin menertawakanku yang begitu pengecut bukan? Bahkan, untuk menemani putraku saja tidak bisa. Begitu Papi meminta kembali untuk mengurus perusahaan, aku langsung pergi, padahal Eka belum sadarkan diri,” celetuk Gilang tiba-tiba memecahkan keheningan yang tadi begitu mencekam.“Tidak mungkin saya berani, Pak Gilang,” sahut Rivan sesopan mungkin.Gilang tergelak. Namun, tawanya itu te
Tubuh Surtini hampir menghempas lantai. Beruntung, Rehan sempat menahannya. Dia menggendong gadis itu, lalu membaringkannya di sofa. Sementara Eka berusaha duduk dan hendak turun dari ranjang rumah sakit. Rehan mendecakkan lidah. Dia bergegas memegangi tubuh Eka.“Lepaskan aku sialan!” Eka meronta.“Jangan bodoh! Kamu baru saja operasi! Kalau lukanya terbuka lagi, Surtini pasti akan sangat sedih,” tegur Rehan.Eka seketika terdiam. Dia mengepalkan tangan dengan kuat, membenci ketidakberdayaannya kini. Ucapan Rehan memang benar. Saat ini saja, Eka merasakan luka di perutnya terasa amat perih. Dia juga sangat yakin, Surtini yang begitu setia akan menangis histeris jika hal buruk terjadi.“Surtini hanya kelelahan. Dia sangat mencemaskanmu, tidak tidur semalaman, juga makan sedikit sekali. Aku akan mengantarnya pulang. Tante Rukmini dan Mbak Tuti pasti cemas. Apa pengawalmu berjaga dengan baik jika kutinggal sebentar?”
Meskipun hati masih terluka akibat tidak diizinkan tetap bekerja dengan Eka, Surtini tetap datang ke rumah sakit. Dia ingin mengisi waktu yang tersisa dengan kenangan manis. Rukmini ikut serta dengan tatapan tajam seperti akan memancarkan sinar laser. Sementara Hastuti sudah pulang ke rumah karena besok harus masuk kerja.Surtini membuka pintu kamar rawat inap dengaan hati berdebar. Rasa rindu meluap, bercampur dengan kecemasan. Jantungnya seakan berhenti saat melangkah masuk. Sosok tertutup kain putih di atas ranjang besi membuat lututnya lemas. Dia mengepalkan tangan untk menguatkan hati, lalu mendekat dengan setengah berlari."Non! Non Eka!" jerit Surtini.Tubuhnya sudah tak kuat menahan beban kesedihan, terduduk lemas di lantai. Dia mulai menggerung seperti anak kecil. Rukmini yang masuk belakangan melongo melihat tingkah Surtini. Wanita itu tentu bertanya-tanya kenapa anaknya menangis di depan ranjang rawat inap tanpa pasien.Namun, belum sempat Rukm
“Beneran, Mak? Emak benar-benar ngebolehin Surti tetap kerja sama Non Eka?” cecar Surtini.Matanya tampak berbinar-binar. Dia yang sedari tadi memasukkan barang-barang ke tas seketika menghentikan gerakan. Surtini menatap ibunya lekat, bahkan hampir seperti melotot.“Iya," sahut Rukmini singkat.Surtini masih terbengong-bengong. Rukmini menggeleng pelan. Dia menepuk bahu Surtini, lalu menunjuk tas yang baru terisi setengah."Katanya tadi mau mengemas barang-barang Eka, kenapa malah bengong?"Surtini gelagapan. Dia kembali mengemas barang-barang. Hari itu, Eka memang telah diperbolehkan pulang. Meskipun luka tembak belum sepenuhnya sembuh, pemulihan pemuda itu bisa dilanjutkan dengan rawat jalan.Namun, setelah selesai mengemas barang-barang, dia kembali menatap lekat sang ibu. Surtini masih tak percaya Rukmini akan mencabut larangan bekerja dengan Eka. Kemampuan sang "nona" dalam mengambi