Setelah selesai menghabiskan makan malamnya, Yasmen langsung menyandarkan tubuh pada Byakta yang berada di sebelahnya. Pria itu sudah selesai lebih dulu, dan tengah sibuk sendiri dengan ponselnya.“Ngapain?” tanya Yasmen melihat layar ponsel Byakta yang ada di depannya. Tadinya, Yasmen mengira Byakta tengah bermain game online seperti pria kebanyakan. Namun, dugaan Yasmen ternyata salah. Suaminya itu, tengah melihat berbagai macam denah rumah di layar ponselnya. “Mau renov rumah?”Byakta merentangkan tangannya agar Yasmen bisa lebih nyaman bersandar di tubuhnya. Karena tempat yang mereka pesan merupakan private room, jadi keduanya bisa dengan bebas melakukan hal yang lumayan intim.“Bukan.”“Terus?”“Aku punya rencana bangun kos-kosan,” jawab Byakta yang pelan-pelan mulai terbuka pada Yasmen.“Kos-kosan?” ulang Yasmen kemudian memikirkan beberapa hal. “Kosan cewek apa cowok?”“Cewek aja.” Tatapan Byakta beralih pada Yasmen. Bibir gadis itu langsung mengerucut, dan memicing pada Byakta
Sudut bibir Byakta tertarik tipis, ketika melihat Yasmen masih terlelap di tempat tidur. Istrinya itu, pasti masih kelelahan karena aktivitas panas yang telah mereka lakukan tadi malam. Untuk itu, Byakta tidak ingin membangunkan Yasmen, dan membiarkan istrinya tidur untuk menikmati istirahatnya.Tidak ingin mengganggu tidur Yasmen yang bertelungkup di sebelahnya, Byakta menyingkap selimutnya dengan perlahan. Pun ketika bangkit, pria itu melakukannya dengan sangat hati-hati agar Yasmen tidak bangun dari tidurnya.Kemudian, Byakta bergegas pergi ke kamar mandi dan membersihkan diri terlebih dahulu. Setelah semuanya selesai, Byakta mendapati Yasmen sudah bangun dari tidurnya.“Kok udah mandi?” Yasmen yang baru duduk itu, melihat Byakta keluar dari kamar mandi sambil mengusap rambut basahnya dengan handuk kecil. “Aku nggak dibangunin,” protesnya sambil memegangi selimut yang berada di depan dada.“Nanti kamu ngomel-ngomel kalau aku banguni.” Byakta menghampiri koper kecil yang dibawanya.
Mata Yasmen terbelalak ketika baru memasuki ruangan divisinya. Di meja kerjanya, sudah ada satu buket mawar merah yang terlampau indah untuk dilewatkan. Yasmen mempercepat langkahnya, lalu mengambil amplop kecil yang terselip dalam tumpukan bunga dan membukanya. “To Princess Yasmen.” Yasmen seketika menghela, dan tidak perlu lagi membaca siapa pengirimnya. Beruntung baru Yasmen seorang yang berada di ruangannya pagi itu, sehingga para staf lain tidak akan bertanya-tanya. Seperti halnya kado yang dikirimkan Endy sebelumnya. “Bunga dari siapa?” Napas Yasmen tertahan seketika. Ia lupa jika ada Byakta yang mampir sejenak ke kamar kecil, dan saat ini sudah kembali berada di ruangan mereka. “Dari—” “Endy lagi?” putus Byakta segera menghampiri meja Yasmen lalu mengambil kasar buket bunga tersebut. Tanpa ingin mendengar jawaban dari Yasmen, Byakta langsung memasukkan buket bunga yang masih segar itu ke tong sampah. “Kan, sayang, Mas.” Byakta melirik Yasmen sebentar, lalu berbalik dan m
Pras menatap datar, pada sang istri yang tahu-tahu datang dan langsung duduk di kursi ratu yang berseberangan jauh dengannya. Di antara mereka berdua, ada sebuah sofa panjang yang membentang dan telah diduduki oleh sepasang suami istri yang terlihat baik-baik saja.“Ngapain?” tanya Pras pada Sinar yang duduk tegak dan terlihat anggun di singgasananya.“Duduk,” jawab Sinar dengan senyum manisnya yang begitu menggoda. Senyuman itu, segera ia tujukan pada Yasmen yang sudah lebih dulu menelepon siang tadi untuk mendapatkan dukungan. “Jadi, mau ngapain ke sini? Mukanya sampe tegang begitu.”Pras menarik napas, kemudian membuangnya dengan gelengan. Istrinya itu pasti mau ikut campur dan ingin tahu dengan pembicaraan mereka.“Siapa yang mau bicara duluan,” sahut Pras tidak sabar dan ingin segera mengakhiri pertemuan tersebut.“A—”Byakta mencekal tangang Yasmen yang baru saja membuka mulut. “Saya mau Yasmen berhenti dari Casteel High,” ujarnya menyampaikan dengan perasaan tegang.Wajah tanpa
Yasmen yang tengah rebahan itu, memaksakan diri bangkit dari sofa, ketika Byakka sudah mengulurkan tangan padanya. Rasa malas untuk pergi ke kantor semakin menyergap, setelah berbicara dengan Pras. Tidak ada yang bisa dilakukan, kecuali menjalani hari-hari ke depan sampai masa tiga bulan itu selesai.“Ayo, Yas,” bujuk Byakta menarik tangan Yasmen dengan perlahan. Mereka akan kembali berangkat ke Casteel High bersama-sama, untuk menjalin chemistry agar hubungan keduanya semakin akrab.“Tapi ini masih pagi banget, Maaas.” Yasmen yang baru saja duduk, langsung melarikan matanya untuk melihat jam dinding. Masih pukul enam lewat lima menit, tapi Byakta sudah tidak sabaran mengajaknya keluar.Sejak bangun tidur subuh tadi, Byakta memang sudah meminta Yasmen untuk mandi dan langsung mengenakan pakaian kerja setelahnya. Byakta mengatakan, pagi ini akan mengajak Yasmen sarapan di luar sembari melihat sesuatu.“Kita mau sarapan di luar, sekalian—”“Iya taauuu.” Yasmen merasa genggaman Byakta di
“Ini, kan, sudah separuh jadi?”Yasmen mendongak, melihat bangunan dua lantai yang masih belum selesai dibangun. Banyak bata, pasir, semen dan berbagai material bangunan yang masih berserakan di luar, dan di dalamnya.“Tapi kemaren, kok, masih lihat-lihat desain di hape?” tambah Yasmen merasa sedikit bingung. “Kalau sudah ada dua lantai begini, kan, nggak perlu desain lagi.”“Desain kemarin, buat tanah yang satu lagi,” papar Byakta mulai membiasakan terbuka pada Yasmen. “Kalau fix, bulan depan aku mulai juga pembangunannya. Makanya, aku nggak bisa cepat lunasin utang bulan madu kita, sama … aku nggak bisa manjain kamu dengan barang-barang branded.”“Jadi mau bangun dua kosan, gitu?”Byakta mengangguk. “Buat passive income, biar kita punya pemasukan lain, selain dari Casteel High.”Tadinya, semua yang dilakukan Byakta saat ini adalah untuk bisa menyamakan pendapatannya dengan Mai. Namun, semakin berjalannya waktu ternyata nominal yang dihasilkan wanita pujaannya terus saja menanjak jau
Sudah beberapa hari ini, Yasmen selalu was-was ketika pergi ke kantor bersama Byakta. Ia khawatir, Endy kembali mengiriminya sesuatu dan tahu-tahu sudah berada di atas meja kerja Yasmen. Namun, ternyata itu semua hanya menjadi kecemasan Yasmen belaka. Endy sudah tidak lagi mengirimkan sesuatu, bahkan pria itu sudah tidak menghubungi Yasmen sama sekali.Sepertinya, telepon dari Yasmen terakhir kali, cukup membuat Endy sadar diri.Ya! Sepertinya, begitu.Akan tetapi, dugaan Yasmen ternyata salah. Setelah seminggu lebih tidak mendengar kabar apapun dari Endy, hari itu akhirnya datang juga. Ketika pintu lift di lantai lobi terbuka, Yasmen melihat Endy segera menyematkan senyum lebar padanya.“Ah! Princess! Long time no see!” seru Endy seraya keluar dari bilik lift. “Aku baru dari atas, meeting buat persiapan,” terangnya tanpa diminta lalu berhenti di samping Yasmen. “Apa kabar?” Endy mengulurkan tangan pada gadis itu dengan ramah.“Baik.” Mencoba profesional, Yasmen segera menyambut ulura
“Kenapa nggak jadi ke dokter?”Menghadapi mood Yasmen yang naik turun di saat-saat seperti ini, sungguh membuat Byakta harus memiliki stok sabar yang berlebih. Setelah puas menangis di ruangan Bira siang tadi, dengan terpaksa Byakta membiarkan istrinya itu pulang ke rumah karena kondisi Yasmen tidak memungkinkan untuk bekerja.Teringat Yasmen menginginkan pergi ke dokter kandungan, maka Byakta sengaja pulang cepat agar tidak terkena macet nantinya. Namun, ketika ia sudah sampai di rumah, Yasmen mendadak berubah pikiran.“Kata mami entar aja,” jawab Yasmen masih menyimpan kesedihan mendalam, karena gagal memiliki bayi di awal bulan pernikahannya. “Tunggu selesai, jadi nanti sekalian USG trans … trans apa tadi, ya, mami bilang. Pokoknya, USG nanti di masukin ke situ.” Telunjuk Yasmen mengarah pada bagian inti tubuhnya, sambil menatap Byakta. Tidak ada rasa sungkan, maupun segan ketika ia mengatakan semua hal pada Byakta. “Biar nggak bolak balik ke dokter kata mami.”Byakta memalingkan w