“Nggak sopan!”Byakta bergeming dan tetap melajukan mobilnya dengan perlahan, untuk mencari tempat makan. Sedari tadi, mulut Yasmen itu tidak berhenti melempar protes untuk meluapkan kekesalannya.“Harusnya, Mas By ikut aja makan bertiga sama Mas Endy!” lanjut Yasmen. “Jangan tahu-tahu nyuruh aku pergi, terus pake ngancam telpon ayah sama enda. Gimana kalau aku telponin papi terus bilang kalau Mas By itu nggak profesional! Aku lagi bahas kerjaan sama Mas Endy, tapi disuruh pergi gitu aja! Harusnya, Mas By sudah bisa bedain antara urusan pribadi dan kerjaan.”“Dan harusnya, kamu juga sudah bisa bedain, mana yang boleh kamu lakukan di luar sana, dan mana yang nggak.” Akhirnya Byakta membuka mulut untuk berbicara. “Kamu juga harus bisa mikir, kalau pertemuan barusan nggak seharusnya terjadi. Apa yang harus dibahas? Kamu tinggal terima proposal, dan serahkan ke papi. Selesai.”“Cemburu, ya?” Yasmen memicing sambil mencondongkan tubuh pada Byakta. “Ayo tinggal bilang kalau Mas By cemburu!
“Duduk!”Sepasang pengantin baru itu, langsung berhadapan dengan Pras ketika baru memasuki ruang tamu. Pras yang tadinya hendak keluar dan melihat persiapan syukuran cucu pertamanya, akhirnya mengurungkan diri karena melihat Yasmen dan Byakta baru saja memasuki kediamannya.Pras langsung berbalik, dan mengajak mereka berdua memasuki ruang kerja yang sudah jarang digunakan olehnya sejak pensiun dari Casteel High. Ruang tersebut, saat ini lebih sering digunakan Qai untuk menyelesaikan pekerjaan yang tiada henti.“Kenapa kami berdua disuruh masuk ke sini?” lontar Yasmen ketika sudah duduk di samping Byakta. Untuk menunjukkan hubungan mereka baik-baik saja, Yasmen sedari tadi selalu memeluk lengan Byakta dengan mesra.Padahal kenyataannya, hubungan mereka masih belum menemukan arah dan tujuannya.“Masih mau cerai?”Pertanyaan menohok dan tanpa basa-basi itu, langsung dilemparkan Pras dengan telak.“Ce-rai?” Ada apa lagi sekarang? Apa Yasmen kembali mengadu yang tidak-tidak pada Pras?“Ya!
“Mai.”Pras memanggil, tapi tatapannya tertuju hanya pada satu sosok yang lumayan jauh dari jangkauan. Pras yakin tidak salah lihat, meskipun hanya beberapa kali berjumpa secara langsung dengan pria itu.Mai yang baru saja meletakkan putrinya di stroller, segera memasrahkan Rara pada Yasmen yang sedari tadi tidak mau jauh dari bayi mungil itu. Mai menghampiri Pras, kemudian berhenti di samping sang ayah yang berdiri di sudut teras depan rumah. “Kenapa?”“Kenapa ada Endy di sini?” tanya Pras datar dan tetap menatap tajam pada setiap pergerakan Endy yang berbaur dengan para undangan lainnya. “Siapa yang undang dia?”“Saya, Yah!” seru Raj yang baru saja keluar dari rumah dan mendengar pertanyaan Pras tersebut.Pras menoleh dan menatap tanya. Tidak perlu melontarkan lagi pun, Pras yakin Raj sudah tahu maksudnya.“Dia itu rekanan kantor,” jawab Raj berdiri di samping Mai sambil menatap Endy dan seorang bocah yang ada di samping pria itu. “Perusahaan dia, ada kerja sama dengan perusahaanku.
“Kamu tahu, By. Aku, satu-satunya orang yang menentang pernikahan kamu dan Yasmen.”Byakta terkesiap. Bergeming di tempat dan menelan ludah. Kenapa, pria itu tahu-tahu ada di sebelah Byakta, yang sudah menjauh, menyepi dari keramaian.“Ayah,” ucap Byakta menoleh pelan pada Pras.“Pertama, karena kamu itu pengecut,” ungkap Pras terus terang. “Kedua, kamu masih belum bisa move on dari Mai, dan aku tahu itu.”“Ayah, aku—”“Aku ingatkan kamu, By.” Pras memutar tubuh untuk menatap Byakta, setelah memandang putrinya dari kejauhan. “Ubah sikapmu, sebelum Yasmen tahu kalau yang menghantui pernikahannya bukan bayangan Raya, tapi Mai.”Byakta kembali menelan ludah. Tidak ada kalimat sanggahan yang bisa Byakta lontarkan pada Pras, karena pria itu berkata benar.“Ingat, By. Penyesalan selalu datang belakangan.” Tubuh Pras kembali berputar dan mengarahkan pandangannya kembali ke Mai. “Dan aku bisa jamin, kamu nggak akan pernah dapat perempuan yang tulus seperti Yasmen. Jadi sadarlah, sebelum semua
“Yasmen!” Byakta menyusul Yasmen yang kembali masuk ke bagian dalam rumah. Sebelum mencapai ujung tangga, Byakta dengan cepat meraih tangan istrinya. “Yas, sebelum bicara pikirkan dulu semuanya baik-baik.”Yasmen berusaha melepaskan tangan Byakta, tapi percuma. Kenapa pria itu sampai mencengkram tangan Yasmen begitu erat seperti ini.“Lepasin, atau aku teriak,” ancam Yasmen.“Kalau hukumanmu mau ditambah sama ayah, silakan teriak.”“Mas By!”“Yasmen, dengarkan aku baik-baik.” Byakta sedikit melonggarkan cengkramannya, tapi tetap tidak membiarkan Yasmen pergi ke mana pun. “Menikah itu nggak gampang, Yas! Coba hitung, sudah berapa kali mulutmu itu dengan entengnya bilang cerai? Kamu kira nikah itu seperti ganti baju, yang bisa kamu ganti seenaknya?”“Mas, kenapa selalu aku yang kamu salahkan?” ujar Yasmen mulai bersikap dingin pada Byakta. Bertemu Cipta dan berbicara beberapa hal dengan bocah itu, akhirnya membuat mata Yasmen terbuka.Bagaimana jika nasib pernikahannya nanti akan berakh
Satu hal yang Yasmen lupa ketika sudah memutuskan untuk berpisah dari Byakta, yakni, hari itu ia sudah membuat janji untuk menginap di rumah sang mertua. Yasmen tidak enak hati, jika harus membatalkan janji tersebut karena ini pertama kalinya ia akan berkumpul di rumah Byakta.Pada akhirnya, demi memberi kebahagiaan palsu Yasmen dengan terpaksa kembali memasang senyum di depan Mario dan istrinya.“Waktu Byakta bilang kamu mau nginap sini, Mama langsung telpon mami kamu,” ungkap Miska, istri Mario di sela makan malam keluarga yang hampir berakhir. “Mama langsung tanya makanan kesukaanmu, biar bisa Mama masakin.”Saat duduk di meja makan yang jadi satu dengan dapur, Yasmen sudah melihat ayam goreng krispi tersaji di depan mata.“Mama juga masak capcai, kesukaan Byakta,” tambah Miska.Capcai kesukaan Byakta?Bukannya pria itu kerap berujar menyukai rendang? Namun, mengapa Miska mengatakan Byakta menyukai masakan yang terdiri dari campuran sayur tersebut?Aneh, tapi Yasmen tidak ingin mem
Yasmen mendesah lega saat merebahkan tubuh di tempat tidur. Ternyata, berkumpul bersama keluarga Byakta cukup menyenangkan. Mario dan Miska memang masih terlihat sedikit segan, tapi, Yasmen tetap bisa merasakan kehangatan di dalam keluarga tersebut.Lantas, Yasmen juga melihat sisi manis Byakta, ketika berkumpul bersama keluarganya. Byakta yang dilihatnya, sungguh seperti pria yang dahulu kala selalu bersikap hangat dan baik pada Yasmen.“Kamu nggak mandi?” Yasmen melirik Byakta yang baru saja masuk ke dalam kamar. Pria itu sudah tampak segar dan wangi dengan handuk kecil yang masih tergantung di leher.“Nggak, ah. Aku nggak bau, jadi besok pagi aja.” Yasmen menggeser posisi tidurnya mendekati dinding. Menyisakan sedikit ruang untuk Byakta berbaring di sebelahnya. Tadinya, Yasmen berniat menyuruh Byakta tidur di sofa.Namun, ketika Yasmen sudah masuk dan melihat kamar pria itu, akhirnya rencana itu batal seketika. Kamar Byakta sudah terlalu penuh dengan satu lemari, dan satu meja yang
Byakta menatap Yasmen yang terburu menuruni tangga. Gadis itu sudah terlihat rapi dengan pakaian formal dan tas kerja yang tersampir di satu sisi bahu. Pantofel setinggi lima senti pun, sudah sangat cantik menghias ujung kaki Yasmen yang selalu bergerak lincah. “Mas! Aku berangkat duluan!” seru Yasmen berhenti di ujung tangga lantai satu untuk berpamitan pada Byakta. Sejak pembicaraan mereka malam itu, tidak banyak yang berubah dari hubungan Yasmen dan Byakta. Namun, mereka sudah tidak lagi melakukan perdebatan kecil seperti yang sudah-sudah. Keduanya sudah bisa bicara baik-baik, dan sepakat pisah kamar untuk introspeksi diri masing-masing. Byakta tidak lagi memaksakan kehendaknya pada Yasmen, begitu pula sebaliknya. Mereka sepakat untuk menjalani sisa waktu pernikahan yang ada, sebagai seorang teman. Mencoba kembali menjalin hubungan baik, seperti yang pernah ada dahulu kala. Dan sisanya … biarkan waktu nanti yang menjawab. “Sepagi ini?” Byakta melihat jam di pergelangan tangan,