Riuh rumah sakit siang ini menghantarkan Agra pada lorong ruang VVIP. Bau obat menyeruak menusuk hidung. Ragu, ia membawa langkahnya menuju ruangan di ujung sana. Di mana seseorang yang ia sakiti seminggu lalu, terbaring pucat penuh dengan rasa depresi.Seminggu itu pula, Agra baru hari ini berani memperlihatkan batang hidungnya. Ia memilih kabur ke apartemen malam itu, menghindari segala interogasi yang sudah pasti akan di lancarkan Bagaskara. Nyatanya, hingga tujuh hari lamanya, Bagaskara tidak mencari Agra. Tidak datang ke apartemen ataupun menelepon anak kandungnya itu. Bahkan, saat hari ke-empat Agra terpaksa pulang demi mengambil berkas kantor, Bagaskara dan Ratih memilih untuk mengunci mulut mereka rapat-rapat. Tak ada tegur sapa.Pintu bercat putih itu sedikit terbuka saat Agra datang. Ada berbagai rasa yang berkecamuk di hati Agra. Rasa kasihan, rasa bersalah, marah, bingung, segala
Di negeri nun jauh di sana, Prayoga didera gelisah berbulan-bulan. Ia tak lagi fokus pada pendidikannya, walau awal mula datang ke tempat ini, ia telah bertekad untuk fokus agar segera lulus dan bersanding dengan Neira. Nyatanya, semua keganjilan yang ia rasakan perihal komunikasinya dengan Neira, membuatnya buyar.Gadis pujaannya itu, tidak pernah sekalipun mau menjawab teleponnya. Ia hanya membalas pesan dari Prayoga seadanya. Tidak pernah update media sosial, pun gadis itu juga tidak pernah mau mengirim video kegiatannya pada Prayoga. Saat Prayoga memintanya untuk video call, betapa banyak alasan dari Neira yang Prayoga dapatkan.Awalnya Prayoga mencoba percaya, bahwa gadis yang ia cintai itu memang tengah dilanda kesibukan perkuliahan, apalagi Neira mengambil jurusan kedokteran. Tapi makin lama semua alasan yang gadis itu lontarkan tidak bisa diterima oleh akal sehat Prayoga.
"Gue udah empat hari di rumah, tapi baru hari ini bisa lihat lo, Bang."Agra yang sedang duduk di tepian tempat tidur itu mendongak, ia lupa kalau pintu kamarnya tidak tertutup sempurna. Meletakkan figura merah yang sedari tadi ada di tangannya, Agra tersenyum, lalu bangkit berdiri menghampiri sosok pemilik suara yang kini sudah berdiri di ambang pintu.Dengan suka cita dan penuh haru, Agra memeluk adiknya satu-satunya. "Tambah kurus," ucap Agra."Haiss ... Sambutan macam apa ini? Empat tahun gue engga pulang, Bang. Cuma buat dibilang kurus, ckckck ...." Tanpa permisi, Ethan langsung membanting tubuhnya ke atas Ranjang Agra."Kenapa engga telepon Abang, kalau mau pulang? Abang kan bisa jemput di Bandara.""Kejutan. Lagian taksi belum pada pensiun, Bang. Tenang aja," jawab Ethan sekadarnya. Menekuk tangannya di bawah kepala sebagai bantal, Ethan menatap langit-langit kamar. "Ternyata, malah gue
"Ayo menikah.""Uhuk ... Uhuk ... " Neira langsung tersedak makanan yang ada di mulutnya, bahkan hampir menyembur lelaki yang ada di hadapannya ini.Dia yang sedang bermimpi, atau lelaki di depannya ini yang sedang berhalusinasi? Neira menatap horor."Bang, jangan bikin horor, deh." Neira buru-buru mengelap mulutnya dan menenggak segelas air putih. "Abang lagi latihan buat melamar pacar? Bilang dulu dong, Bang. Jangan langsung begitu, bisa jantungan aku. Untung aku ini bukan cewek ge-eran."Wanita itu menggeleng setengah membuang napasnya, bersiap menyendok kembali nasi goreng di hadapannya. Bukan apa-apa, hatinya sedang amburadul, dan makan yang banyak adalah pelampiasan terbaik yang ia miliki saat ini. Pun memang perutnya juga sedang lapar-laparnya."Abang serius."Satu sendok penuh nasih goreng yang sudah di depan mulut itu pun, gagal masuk ke tujuan. Neira kembali meletakkan sendoknya ke piring. Lalu menatap tanpa senyuman lelaki yang bikin moodnya kembali anjlok ini."Becandanya e
Senja mendayu dengan begitu lembut, menyapa wajah cantik yang kini terpapar cahaya matahari sore yang menghangat. Sayangnya, kecantikan dan kehangatan itu tidak selaras dengan gundah gulana di hatinya. Neira, masih begitu ambigu dengan apa yang harus ia putuskan. Haruskah ia menerima ajakan Ethan untuk menikah? Bukankah itu sebuah jalan keluar yang baik untuknya? Namun, ia merasa tidak adil jika harus mengorbankan Ethan dalam tragedi hidupnya. Walau nyatanya, segala bantahan yang Ethan ucapkan beberapa hari lalu adalah suatu kebenaran yang tidak bisa Neira bantah. Siapa yang berani menjamin kalau pada akhirnya mereka tidak saling jatuh cinta? Di sisi lain, egonya untuk menaklukkan Agra masih menjadi puncak keinginan. Neira seperti berjudi dengan nasib. Menimbang untung rugi dari dua keputusan; mengejar Agra, atau menikah dengan Ethan. Toh keduanya juga berjalan tanpa cinta. Sementara di sudut hatinya yang terdalam, nama Prayoga tetap bersemayam belum tergantikan. Wanita itu meneraw
"Mak ... " Neira merengek di hadapan mak Oni yang kini sedang bersiap packing di kamarnya. "Masa Nei harus berdua aja di rumah sama mas Agra, Mak?"Mak Oni membuang napas berat, menatap iba pada Neira. "Mak juga kalau bisa engga pulang kampung, Nei. Rencananya kan nanti setelah ibu pulang, baru Mak pulang kampung, tapi cucu Mak udah brojol duluan gini mau bagaimana?" Mak Oni menarik resleting tasnya. Packing telah usai. "Mantu Mak yatim piatu, engga punya keluarga sama seperti kamu. Anak Mak baru bisa pulang tiga hari lagi, kan kasian menantu Emak, Nei. Sekarang di rumah sakit, cuma ditunggu sama tetangga." Mak Oni menggeser tubuhnya mendekat pada Neira. Wanita tua itu menyampirkan helaian rambut Neira yang terjatuh dekat mata, lalu menggenggam erat tangan Neira. "Mak udah cerita, kan? Cucu Mak yang pertama baru umur 4 empat tahun, pasti kamu bisa bayangin gimana paniknya menantu emak. Anaknya di rumah sendiri sama tetangga, dia sendiri bangun saja susah karena melahirkan Caesar. Mas
Gerimis mendera malam ini. Sudah pukul sebelas malam, tapi Neira masih terjaga. Ia berbaring miring dengan gelisah, entah kenapa hatinya ingin sekali melihat Agra. Walau akal sehatnya berkata 'Jangan!'. Ia jengah dengan kegelisahan dan akhirnya memilih untuk duduk di tepi ranjang. Ada apa dengan dirinya? Kenapa ia jadi begitu peduli yang berlebihan pada Agra? Neira mengembuskan napas sebal. Membelai perutnya yang buncit, mungkinkah efek bawaan bayi? Tak mau larut dalam kegelisahan yang berujung tidak dapat tidur nyenyak, Neira meraih sweeter hitam tipis miliknya untuk membalut daster yang ia kenakan. Peduli setan dengan harga diri, ia akan menemui Agra. Namun, baru beberapa langkah ia meninggalkan kamarnya, keraguan itu mendera. Neira meraih ponsel di saku dasternya, membuka kembali pesan yang tadi sore ia dapatkan dari Ethan. Jelas Ethan menuliskan di sana agar Neira menjaga jarak dengan Agra. Namun, sekarang kondisinya tidak sama. Haruskah ia tidak peduli pada Agra yang sedang tert
"Tidak perlu khawatir. Bukan cidera parah, tapi memang butuh istirahat yang cukup." "Kemarin sempat demam lho, Dok," ucap Neira saat mengantarkan Dokter Arifin menuju teras rumah. Ia sengaja memanggil dokter pribadi keluarga Bagaskara itu hari ini untuk memeriksa keadaan Agra. Walau sebenarnya yang sakit menolak, tapi Neira tidak ingin tiap malam deg-degan karena tidak tahu separah apa kondisi Agra sebenarnya. Dokter Arifin tersenyum. "Wajar kok, Nei. Memang tidak bisa dikatakan cidera ringan, tapi juga bukan cidera berat. Demam biasanya terjadi karena tubuh Agra mengalami trauma pasca kecelakaan. Pastikan saja Agra cukup istirahat dan menghabiskan obatnya. Nah, yang satu ini kamu harus sedikit berusaha lebih keras. Agra sulit kalau disuruh minum obat. Oh, iya. Perbannya jangan lupa diganti ya, dua hari sekali jika tidak basah." Dokter Arifin menghentikan langkahnya, ia sudah sampai di ujung teras. "Neira usahakan, Dok. Sekali lagi terima kasih. Benar kan, Dok saya tidak perlu mem