Share

Bab 02- Kejutan Kedua

"Pasien mengalami amnesia sebagian."

Aku mendengar penjelasan tersebut dengan menguatkan hati. Aku dan Ibu mertua berada di ruangan dokter untuk membicarakan perkembangan kesehatan Mas Hamish.

"Maksud Dokter?" tanyaku meminta kejelasan.

"Ada beberapa jenis kehilangan memori ingatan pasca kecelakaan. Untuk kasus Pak Hamish, pasien hanya kehilangan sebagian memori pada otaknya. Mohon maaf, apakah Pak Hamish pernah mengalami kecelakaan cukup parah sebelum ini?"

Aku menggeleng. Selama hidup dengannya, Mas Hamish tidak pernah mengalami kecelakaan parah. Apalagi yang berhubungan dengan kepala. Namun, berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Ibu mertua.

"Iya, Dok. Hamish pernah kecelakaan sekitar lima tahun lalu. Sebelum dia menikah."

Aku langsung mengalihkan tatapan ke arah Ibu. Aku tidak tahu semua itu. Dokter mengangguk-anggukkan kepala.

"Masuk akal. Pak Hamish mengingat kejadian lima tahun lalu sebelum kecelakaan itu terjadi. Bu Aira, saya harap Anda bisa bersabar menjalani ujian ini."

Mataku yang sudah basah sejak tadi kufokuskan untuk menatap sang Dokter. Menyiapkan batin ini untuk menerima kejutan-kejutan berikutnya.

"Kuncinya ada di wanita yang disebutkan oleh Pak Hamish tadi." Dokter melanjutkan.

"So-fie?" kataku hati-hati.

"Iya. Saya tidak tahu hubungan apa antara Sofie dan Pak Hamish sebelumnya, tetapi mungkin dengan mencari wanita bernama Sofie ini lalu mempertemukannya dengan Pak Hamish bisa membantu beliau mendapatkan ingatannya kembali."

Aku menggeleng. Istri mana yang merelakan suaminya harus berdekatan dengan perempuan lain? Apalagi tadi dengan jelas Mas Hamish mengatakan ingin menikahi Sofie. Sungguh, aku tidak bisa melakukannya.

"Tidak, Dokter! Mengapa harus Sofie? Aku ... istrinya. Aku akan membantu suamiku mengingat masa lalunya."

"Bu Aira." Dokter berkata begitu pelan. Wajahnya tampak tenang. Mungkin beliau mengerti kecemasan dan keberatanku. "Saya paham perasaan Anda. Masalahnya, kita tidak bisa memaksa Pak Hamish untuk mengingat semuanya, apalagi dengan kondisinya saat ini. Pak Hamish hanya menginginkan Sofie. Saya harap Ibu Aira dan keluarga mau bekerja sama dengan Sofie untuk membantu Pak Hamish mengingat semuanya kembali."

Perkataan dokter belum bisa aku terima. Aku tidak bisa melakukannya. "Tapi, Dok?"

"Bu Aira, pikiran Pak Hamish lebih sensitif. Sedikit saja ada hal yang tak bisa dia ingat, dan membuatnya memaksakan otaknya bekerja keras, itu justru akan berakibat fatal bagi Pak Hamish sendiri. Saat ini hanya Sofie yang bisa dekat dengan Pak Hamish. Ini adalah saran dari saya sebagai dokter demi kesembuhan dan kenyamanan pasien."

"Sefatal apa akibat itu, Dok?" Nada suaraku melemah. Entah aku bisa kuat atau tidak menjalani semua ini.

"Akibat paling fatal adalah ... bukan hanya memori lima tahun itu yang tidak akan kembali, tetapi ada kemungkinan Pak Hamish akan kehilangan seluruh ingatannya."

Tubuhku rasanya begitu lemah. Energi seperti sedang terkuras habis di detik itu juga, hingga tubuh ini nyaris merosot dari posisi duduk. Mataku memejam dengan satu bulir air mata kembali menetes pada pipi. Aku masih berharap semua ini adalah mimpi. Dan akan segera berakhir ketika mataku terbuka.

Namun, sayangnya semua ini ... nyata.

Aku mengusap pelan perutku yang masih rata. Baru saja Tuhan memberiku kebahagiaan dengan hadirnya kehidupan baru di sini, tetapi ujian turut datang mengiringi.

...***

...

"Lima tahun lalu, Hamish meminta izin pada Ibu untuk meminang seorang gadis."

Ibu mertua mulai bercerita. Kami berada di salah satu gazebo rumah sakit, meninggalkan Mas Hamish yang sedang beristirahat. Malam itu adalah malam di mana ujianku sebagai seorang istri dimulai.

"Namanya Sofie. Mahasiswi fakultas psikologi. Dia wanita yang dicintai Hamish. Cinta pertama."

Aku menunduk. Cemburu? Tentu. Aku mengira selama ini menjadi wanita satu-satunya yang dicintai suamiku, nyatanya ada perempuan di hatinya.

"Hamish ingin melamarnya saat itu sebelum Sofie melanjutkan kuliah ke luar negeri. Hamish kecelakaan saat diperjalanan. Sama seperti sekarang. Dia mengalami koma, tetapi lebih lama, yaitu sekitar dua puluh hari."

"Lalu ... Mas Hamish hilang ingatan?" Aku menebak asal. Berharap apa yang aku tanyakan tidak pernah terjadi. Andai Mas Hamish kecelakaan saat itu dan melupakan Sofie, itu artinya hubungan mereka berakhir dalam kondisi masih saling mencintai. Sungguh, aku tidak bisa menerima itu.

Namun, nyatanya harapanku hanya tinggal harapan. Jawaban Ibu mertua menegaskan segalanya. Beliau ... mengangguk.

"Kamu benar, Aira. Hamish amnesia dan melupakan Sofie."

Aku kembali memejamkan mata. Dadaku terasa sesak saat ini.

Ya, Tuhan, ujian apa yang sedang Engkau berikan kepada hambamu ini?

"Selama dua bulan Hamish seperti orang linglung, tidak mengenal siapa-siapa. Teman-teman Hamish datang satu per satu untuk membuat memori baru, menceritakan bagaimana mereka dulu. Nama Sofie yang selalu disebut setiap waktu tak lagi terdengar. Hamish menjadi pribadi yang baru." Ibu mengusap kepalaku yang berbalut kerudung. Aku menengadah menatapnya setelah sejak tadi menunduk.

"Kamu ingat pertemuan pertama kalian?"

Aku mengangguk. Pertemuan yang tidak pernah kuduga itu membuatku berakhir menjadi istri seorang pria yang begitu baik.

"Hamish meminta izin untuk melakukan umroh sendirian. Ibu tidak menghalanginya. Ibu pikir dengan melakukan ibadah, hati Hamish akan lebih tenang. Dia akan menjadi pria yang lebih dewasa menyikapi hidup. Dan apa yang Ibu harapkan benar terjadi. Hamish pulang dengan membawa berita baik. Dia mengatakan tentang niatnya menikahi seorang wanita cantik yang ditemuinya saat perjalanan umroh. Dan wanita itu adalah kamu, Aira."

Aku tak bisa menahan senggukan kecil yang keluar dari bibir. Setiap perkataan yang diucapkan oleh ibu mertuaku, cukup membuat hatiku rapuh.

"Aira, walaupun kamu belum memberikan Hamish seorang keturunan, Ibu sangat menyayangimu seperti anak Ibu sendiri."

Detik itu juga aku mengingat akan janin yang ada dalam perutku. Aku meraih tangan Ibu mertua lalu menggenggamnya. Kupaksakan bibir ini tersenyum meski hati terasa pedih. Sesekali punggung tanganku menyeka air mata yang luruh di pipi.

"Aira hamil, Bu. Baru empat minggu." Bibirku bergetar. Air mataku terjatuh lagi. "Mas Hamish belum mengetahuinya."

“Ya ampun.” Tampak Ibu menutup mulutnya yang terbuka menggunakan tangan kirinya.

Aku tidak tahan. Tangisku pecah saat itu juga di depan  ibu mertua. Impian kami untuk memiliki momongan hampir saja terwujud, tetapi Mas Hamish justru melupakanku, apalagi anak yang sedang aku kandung. Aku membungkuk, menenggelamkan wajah pada telapak tangan kanan ibu mertuaku. Aku tergugu di sana, merasakan dada yang semakin sesak karena sebuah keputusasaan.

"Aira, Ibu mendukung apa pun yang menjadi keputusanmu." Aku merasakan telapak tangan Ibu mengusap kepalaku. "Andai kamu merasa keberatan Hamish bertemu kembali dengan Sofie, maka Ibu tidak akan melakukannya. Ibu menyerahkan semua keputusan padamu."

Menegakkan kepala, aku kembali menatap wajah tua dengan tatapan mata sendu itu lekat. Aku hela napas dalam-dalam sebelum kemudian mengembuskannya perlahan.

"Ibu, Aira juga menginginkan Mas Hamish sembuh. Aira ingin Mas Hamish mengingat bagaimana perjuangan kami menginginkan anak ini," ucapku seraya mengusap perutku. "Aira ingin anak yang berada dalam kandungan Aira nanti ketika dilahirkan bisa mendapatkan cinta ayahnya." Aku kembali menyeka air mataku menggunakan punggung tangan, sebelum akhirnya melanjutkan kalimatku. "Seperti apa yang Dokter katakan, Aira ... akan mencari Sofie demi kesembuhan Mas Hamish."

Tampak kedua mata Ibu berembun. "Aira, anakku!" Ibu mertua menarik tubuhku. Di bawah cahaya rembulan yang menyinari rimbunnya pepohanan, kami berpelukan. "Hamish beruntung memiliki istri sepertimu," kata Ibu lirih, berbisik di telingaku.

Di malam itu, aku menyadari satu hal. Dukungan seorang ibu mertua begitu berarti bagi seorang menantu yatim piatu sepertiku.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status