Share

Bab 03- Bertemu Sofie

Istanbul, Turki.

Tepat pada pertengahan bulan Oktober di saat kelompok tour religi baru saja menjejakkan kaki pada Bandar Udara Internasional Atatürk, Turki, aku disibukkan memberi arahan setiap anggota jemaah selama safar berlangsung. Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, kami melanjutkan perjalanan menuju hotel untuk beristirahat sebelum keesokan harinya menjelajahi beberapa tempat wisata yang berada di negara ini.

Ya, aku adalah salah satu tour guide yang bekerja di bawah Azalea travel untuk memandu wisata religi di kunjungan Istanbul, Turki.

Saat matahari sedang cerah-cerahnya, aku dan rombongan menyusuri jalan menuju Selat Bosphorus. Blue Mosque atau biasa disebut dengan Masjid besar Sultan Mahmed menjadi tujuan pertama tour religi kali ini. Seperti perjalanan-perjalanan sebelumnya, tim mengajak jemaah menaiki kapal sembari menikmati lanscape Laut Golden Horn dan Selat Bosphorus.

Aku memilih berada di luar kapal bersama para wisatawan lainnya, sangat menyayangkan jika tidak menikmati indahnya perjalanan laut. Pemandangannya memang sangat mengasyikkan. Banyak perumahan yang bagus di tepi selat ini, hotel-hotel mewah, dan kapal-kapal. Bahkan ada helikopter yang nangkring di atasnya. Dari tempat yang sama enam kubah Blue Mosque sudah bisa dilihat jelas dengan mata telanjang.

Seperti biasa, aku memberi arahan apa saja larangan dan himbauan sebelum memasuki masjid yang sudah menjadi ikon Kota Istanbul. Bukan hanya wisatawan muslim yang ingin melihat bangunan ini, melainkan para turis asing berambut perak. Walaupun begitu, mereka harus tetap mengenakan tudung sebagai penutup kepala jika ingin melihat bagaimana keindahan rumah ibadah yang dibangun pada masa pemerintahan Sultan Ahmed yang letaknya di seberang Hagia Sophia itu.

Aku tidak ikut masuk ke dalam, memilih menopangkan lengan pada jembatan seraya menatap selat Bophorus yang berkilauan terkena cahaya matahari. Angin sepoi-sepoi terasa menerpa wajahku, sangat nyaman untuk memejamkan mata. Hingga sebuah suara ribut-tibut membuat perhatianku teralihkan.

"Maaf, saya tidak sengaja." Seorang pria Melayu dengan rambut belah samping terlihat sedang terlibat adu mulut dengan warga lokal. Aku memperhatikan berdebatan mereka yang sepertinya tidak akan menemui titik temu. Bagaimana tidak, pria itu berbicara menggunakan bahasa Inggris, sementara wanita paruh baya yang sedang beradu argumen menggunakan bahasa Turki. Pemandangan yang unik.

"Permisi, bisa saya bantu?" Melihat rekan sesama rumpun sedang dalam masalah, membuatku tidak tega. Aku memutuskan membantu pria asing itu karena sepertinya terkendala bahasa.

Pria itu menatapku sejenak, sebelum akhirnya mengembangkan senyum. "Nona, apa kamu mengerti ibu ini bicara apa? Aku tadi memang tidak sengaja menabraknya, tetapi dia terus saja bicara yang aku sendiri tidak paham maksudnya. Tolonglah, aku bingung menghadapinya."

Wajah lelaki itu terlihat panik. Sepertinya sudah lama perselisihan aneh itu berlangsung. Dan Aku baru menyadarinya.

Aku mengangnguk. "Saya coba dulu, ya."

"Pardon, İngilizce biliyor musun?" Aku membuka obrolan kepada wanita paruh baya itu, menanyakan apakah beliau ini bisa bahasa Inggris atau tidak.

Wanita itu menggeleng. "Tidak, saya tidak mengerti bahasa Inggris," ucapnya dengan logat dan bahasa Turkish yang khas. "Apa pria itu teman Anda? Dia tadi membeli minuman dan uangnya kurang. Lalu saya menagihkan untuk pemilik kedai itu, tetapi dia malah tidak segera memberikan uangnya."

Aku menanggapi dengan senyuman. "Berapa kekurangan uangnya?"

"Lima lira."

Aku mengangguk mengerti. Merogoh tas dan mengeluarkan dompet, pria itu menahan tanganku saat mengeluarkan sejumlah uang.

"Apa dia memintamu uang? Ingin memerasmu?"

"Tidak, apa tadi Anda membeli minuman di salah satu kedai?"

Pria itu mengangguk mengiakan. "Bagaimana kamu tahu?"

"Uang Anda kurang, dan Ibu ini meminta kekurangannya."

Tangan lelaki itu menepuk dahinya sendiri. "Astaga! Memalukan sekali. Berapa kekurangannya? Biar aku yang membayar."

"Lima lira."

"Heem." Dia mengeluarkan sebanyak sepupuh lira, dua kali lipat dari jumlah uang yang dibutuhkan. "Berikan kepada Nyonya itu. Dan sampaikan permintamaafanku," ujarnya seraya mengangsukan lembaran uang itu kepadaku.

Aku menerimanya, dan langsung memberikannya kepada Ibu itu. "Mohon maaf atas ketidaksopanan teman saya. Dia hanya tidak sengaja."

"Ini terlalu banyak. Dia  hanya perlu membayar lima lira saja." Kelebihannya diberikan kepadaku. Aku menahannya dan mengatakan bahwa itu semua sebagai bentuk permintamaafan. Namun, perkataan wanita paruh baya itu cukup membuatku terkesima. "Kami tidak menerima uang yang bukan hak kami. Terima kasih, Orang baik. Senang berjumpa dengan kalian." Wanita itu menangkupkan kedua tangan, lantas pergi dari hadapan kami.

"Ini, dia tidak mau menerima lebihnya." Uang itu aku kembalikan kepada pemiliknya.

"Tapi aku tidak menerima kembali uang yang sudah aku keluarkan."

"Lalu?"

"Bawa saja buat kenang-kenangan."

Aku menggeleng pelan. Kenang-kenangan apa yang hanya lima lira. Namun, karena tidak ingin berdebat, akhirnya uang itu aku masukkan ke dalam tas. Lagi pula tidak enak terus-menerus bersama pria asing yang memang bukan dari rombonganku.

"Hai, Nona. Aku belum tahu namamu." Dia menjejeri langkahku yang hendak kembali ke Blue Mosque. "Sesama dari Indonesia, sepertinya tidak baik kalau tidak saling kenal."

Oh, rupanya dia juga berasal dari negara yang sama denganku. Aku menghela napas, lalu menghentikan langkah. Dia lamgsung tersenyum dengan menyipitkan mata.

"Aira," kataku.

"Aira?" Dia mengulang pengucapan namaku dengan kedua alis saling bertaut. "Boleh tahu nama panggilannya?"

"Panggil saja Aira. Orang-orang memanggil saya dengan nama itu."

"Aira, Aira." Kepalanya mengangguk-angguk. Entah apa maksudnya. "Kalau begitu, boleh kan aku pangil dengan "Ay"?"

"Hah?"

"Ay, senang berkenalan denganmu. Perkenalkan, aku Hamish--" Tangannya terulur padaku, "--calon suami kamu, Ay."

"Apa?"

"Bercanda. Tapi kalau masih ada lowongan, aku akan mendaftar duluan," ucapnya seraya menunjukkan deretan gigi putihnya yang berbaris rapi.

***

Aku menggulir satu per satu foto yang berada pada galeri ponsel. Masih sangat jelas terpatri dalam ingatan bagaimana awal pertemuan pertama kami dulu, saat senja di ujung kota Istanbul.

Wajah tampan suamiku dengan senyum teduhnya membuatku merasakan jatuh cinta untuk pertama kali, kuusap dengan telapak tangan. Dia manis juga humoris. Kami hanya berkenalan selama dua bulan, lalu melanjutkan ke jenjang pernikahan.

"Nyonya, ini kantornya."

Pandanganku teralihkan ketika sopir pribadi Mas Hamish mengajaku bicara. Bangunan yang tinggi itu adalah alamat kantor kerja Sofie, wanita yang dicari Mas Hamish begitu mata suamiku  terbuka. Tidak benar jika hatiku tidak sakit. Saat memutuskan mencari keberadaan Sofie, aku sudah berusaha menahan ego dan rasa cemburu yang sudah menggebu di dada ini.

"Tunggu saya di sini! Saya akan masuk."

Aku keluar dari mobil, menatap bangunan kokoh menjulang di depanku. Menurut informasi yang aku dapatkan dari Reno, Sofie bekerja di kantor ini sebagai sekretaris.

Sengaja aku mendatanginya tepat lima menit sebelum jam makan siang dimulai. Mungkin, nanti aku bisa mengajaknya berbincang sekaligus makan siang.

"Saya Aira, ingin bertemu dengan Bu Sofie." Aku memperkenalkan diri di depan resepsionis.

"Sudah ada janji?"

Aku menggeleng. "Belum. Hanya teman lama. Ada sedikit keperluan di luar malasah kantor."

Perempuan yang rambutnya disanggul rapi itu mengangguk. "Silakan tunggu di sana! Sebentar lagi Ibu Sofie akan keluar."

Aku undur diri setelah mengucapkan terima kasih.

Mematuhi apa yang dianjurkan oleh Mbak Resepsionis, aku memilih duduk pada kursi tunggu. Sembari menekuri ponsel, aku juga sesekali melirik ke arah koridor yang mungkin nanti Sofie sudah keluar dari sana. Namun, ternyata tidak sesuai dugaan.

Dari arah lobby, aku melihat seorang wanita bergandengan tangan dengan pria berjas rapi, lalu cipika -cipiki, setelah itu saling melambaikan tangan. Tidak salah lagi, itu adalah Sofie. Mereka berpisah dengan pria itu kembali memasuki mobil dan pergi.

Wanita cantik  berstelan jas dan rok span yang menurutku terlalu pendek berjalan ke arahku. Untuk sesaat aku merasa ragu mengutarakannya. Bagaimana jika Sofie nanti justru membuat Mas Hamish semakin mencintainya? Apalagi melihat penampilan perempuan itu begitu seksi dan tampak seperti wanita berkelas. Aku pribadi merasa tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengannya.

"Bu Sofie, ada yang mencari Anda." Perkataan resepsionis itu membuat langkah Sofie terhenti. Sepatu hak tinggi perempuan itu berputar, lalu mengarah padaku sesuai dengan arahan tangan si resepsionis yang memang menunjuk ke arahku.

Aku berdiri, lalu menyunggingkan senyum tipis kepadanya.

"Hai, aku Aira. Istri Mas Hamish."

***

Dan di sinilah kami sekarang, duduk berhadapan di sebuah restoran sekaligus makan siang. Seharusnya sambil makan siang, tetapi Sofie hanya memesan minuman karena dia sudah makan selepas meeting tadi.

"Mas Hamish kecelakaan." Aku mulai bercerita.

"Lalu?"

"Dia mengalami amnesia sebagian, dan melupakan kenangan lima tahun terakhir." Aku menatap Sofie lekat-lekat. "Dia tidak mengenaliku, tetapi malah mencarimu, Sofie."

Sofie tersenyum tipis. "Terus?"

Aku meraih tangan Sofie, menggenggam jemari lentik dengan kutek merah menyala. "Aku ingin meminta bantuanmu. Dia terus-menerus berkata ingin menemuimu. Ingin menikahimu."

"Maksudmu apa, Aira? Apa kau ingin aku menjadi madumu?" Sofie menggeleng. "Aku wanita karier, tidak sudih dimadu."

"Sofie, bukan itu maksudku."

Bukan hanya Sofie yang tidak ingin dimadu. Aku pun juga enggan berbagi suami dengan wanita lain. Melihat Mas Hamish menanyakan wanita selain aku saja sudah membuatku sesak, apalagi membayangkan berbagi cinta dengan wanita lain. "Aku hanya ingin kamu bertemu dengan Mas Hamish, lalu mengatakan bahwa tidak ada lagi hubungan di antara kalian. Maaf, aku seharusnya tidak melibatkanmu pada situasi rumit ini. Aku hanya tidak tahu harus mencari bantuan siapa lagi karena Mas Hamish terus saja mencari keberadaanmu."

Aku benar-benar merasa tidak enak hati dengan Sofie.

"Bagaimana jika aku tidak mau?" Sofie berkata dengan begitu tenang. Gengaman tanganku terlepas.

"Itu ... tidak apa-apa. Aku tidak memaksamu melakukan itu. Aku tahu ini salah. Aku hanya ingin mencari cara agar ingatan suamiku kembali lagi."

Sofie menyeruput es kopi tanpa ekspresi. Lalu dia mengarahkan tatapannya kepadaku.

"Aira, apa kamu tahu jika sebelumnya aku dan Mas Hamish adalah sepasang kekasih yang saling mencintai?"

Walaupun itu menyakitkan, aku tetap mengangguk.

"Aku menunggunya datang ke bandara saat itu, tetapi sampai panggilan penerbanganku tiba, dia tak datang. Tidak ada kabar apa pun darinya setelah itu. Dan saat aku kembali ke negara ini ... dia sudah menikahi wanita lain."

Aku menunduk. Rasa bersalah hadir melingkupi hatiku. Nyatanya aku adalah perusak hubungan yang sudah mereka jalin sejak lama. Tapi ... semua itu bukan salahku, kan? Aku tidak tahu menahu tentang hubungan Mas Hamish bersama Sofie sebelumnya.

"Lalu sekarang, apa kamu sudah menikah?" Aku memberanikan diri untuk bertanya. Aku teringat akan pria yang bersama Sofie di lobby tadi.

Sofie menggeleng. "Aku belum menikah sampai detik ini. Pria yang kamu lihat tadi hanya teman baikku."

"Oh!" Hanya itu yang mampu terucap pada bibirku. Jika Sofie tidak mau menolong, itu bukan salahnya. Aku sangat memakluminya dan tidak mempermasalahkan itu. Mungkin dia tidak ingin sakit hati mengingat masa lalunya yang telah berpisah saat sama-sama masih saling menyayangi. "Kalau begitu aku permisi. Maaf, sudah menggannggu waktumu, Sofie."

"Aku akan membantumu." Kalimat itu sungguh tidak pernah aku sangka.

"Apa?"

"Aku bersedia bertemu dengan Mas Hamish."

Aku tersenyum, lalu mengucapkan terima kasih kepadanya berkali-kali.

Kami berjabat tangan kemudian. Sofie ternyata wanita baik-baik. Setidaknya ada harapan untuk menjembatani antara masa lalu yang terlupakan dan Mas Hamish dengan adanya kedatangan Sofie. Semoga usahaku ini tidak akan sia-sia.  Namun, saat aku hendak pergi darinya, Sofie memanggilku.

"Aira!"

Langkahku terhenti seketika. Sebelum kepalaku menoleh  ke belakang, Sofie berkata, "Aku sampai detik ini tidak menikah karena belum bisa melupakan suamimu."

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status