Share

Bab 04. Pernyataan Mengejutkan

"Mas Hamish, makan dulu, ya?"

Aku sudah menyendokkan bubur untuknya. Ini adalah hari pertama aku menggantikan Ibu untuk menjaga Mas Hamish. Bukan lagi mengaku sebagai seorang istri, hanya seseorang yang disuruh menggantikan tugas untuk merawatnya.

"Ibu mana?"

"Ibu--"

"Kau memanggil ibuku siapa?" Mas Hamish langsung menyela begitu saja saat aku menyebut mertuaku dengan sebutan Ibu.

"Maaf, Ibu yang menyuruhku memanggilnya Ibu." Aku memberanikan diri menatap matanya yang begitu dingin saat bicara padaku. Begitu berbeda dengan tatapannya dulu, selalu dipenuhi cinta dan kasih sayang.

"Ibuku memang sangat baik dengan semua orang."

Aku mengangguk.

"Kalau begitu kamu makanlah, Mas! Kasihan Ibu selalu mencemaskanmu, ingin segera melihatmu sembuh seperti dulu."

Terdengar dengusan kecil dari bibirnya. "Bawa sini! Aku bisa memakannya sendiri!"

Mas Hamish sama sekali tak mau memakan suapan bubur dariku. Aku mengangguk mengerti. Walaupun hati ini begitu sakit menerima penolakannya, tetapi aku tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut. Yang penting dia mau makan agar perutnya tidak kosong karena banyak obat yang harus diminumnya.

Tepat saat bubur itu hendak berpindah ke tangan Mas Hamish, seseorang yang begitu suamiku tunggu-tunggu kedatangannya telah hadir.

"Mas Hamish!" Suara itu terdengar lembut. Aku sebagai wanita saja merasa merinding mendengar dia bicara. Detik itu juga Mas Hamish langsung mengalihkan perhatian pada wanita yang berdiri di ambang pintu. Perempuan cantik berambut hitam bergelombang dengan cekungan kecil di pipi kiri.

Hari ini aku melihat sendiri bagaimana pria yang beberapa hari lalu selalu menunjukkan wajah lesu, kini berubah ceria. Ya, Sofie datang menjenguk Mas Hamish ... di rumah sakit.

"Sofie!" panggil Mas Hamish.

Aku memalingkan wajah. Hatiku ternyata tak sekuat itu saat melihat Mas Hamish dengan mata berbinar memandang Sofie yang berjalan mendekat pada brankar. "Akhirnya kamu datang."

Tangan yang terbebas jarum infus itu langsung meraih tangan Sofie. Tatapan matanya begitu sendu dan dipenuhi cinta. Ada kerinduan mendalam yang terpancar di sana. Mas Hamish sepertinya benar-benar mencintai Sofie.

"Hai, apa kabar?" Suara Sofie yang tenang dan lembut membuat Mas Hamish tak memalingkan diri sedikitpun dari perempuan itu.

"Sangat baik. Apalagi kamu mau menjengukku."

Aku yang duduk di kursi merasa seperti orang asing di antara mereka berdua. Kupingku terasa panas, tetapi aku harus tetap berada di sana, melihat apa saja yang akan mereka obrolkan.

"Apa kamu sedang makan siang?" Sofie bertanya setelah melihat kotak ransum berada di tanganku. "Sebaiknya aku tunggu di luar saja. Selesaikan makanmu!"

"Hei, tunggu! Mengapa kamu yang menunggu di luar?" Mas Hamish menoleh padaku. "Aira! Namamu Aira, kan?"

Bahkan, saat menyebit namaku saja Mas Hamish seperti enggan. Walaupun begitu aku tetap menjawabnya meski hanya dengan anggukan.

"Berikan bubur itu padaku. Aku ingin Sofie yang menyuapiku. Tugasmu sudah selesai. Sekarang keluarlah!"

Tanganku meremas kotak ransum itu, seakan-akan sulit untuk melepaskan. Aku merasa tidak rela suamiku disuapi oleh perempuan lain. Awalnya aku bergeming di tempat, tak ingin menyerahkan kotak makan itu, tetapi bentakan Mas Hamish selanjutnya membuatku terkejut.

"Mengapa kau tetap di sana? Cepat keluar! Biarkan Sofie yang menggantikanmu!"

Aku mengembuskan napas lelah. Berusaha tersenyum meski terpaksa, aku memberikan kotak itu kepada Sofie, lalu beranjak dari duduk.

"Duduklah, Sofie!"

Sofie tersenyum dan mengangguk. Dia sangat cantik. Pantas saja Mas Hamish begitu tergila-gila padanya. Selain wanita karier yang berpendidikan, dia juga memiliki pesona yang tidak bisa ditolak pria. Aku jadi ragu saat menyerahkan suamiku untuk bisa bertemu kembali dengannya.

Sofie menggantikan posisiku duduk tepat di sisi ranjang Mas Hamish. Senyum merekah yang tidak pernah terlihat di wajah suamiku, kini mengembang dengan sempurna.

"Aku pergi dulu!" kataku berpamitan.

Tidak ada yang menanggapi perkataanku. Mereka seakan-akan sedang terbius dengan tatapan masing-masing. Aku memilih keluar, memperhatikan mereka dari celah pintu. Walaupun Mas Hamish adalah suamiku, tetapi tatapan tidak suka yang sebelumnya mengarah padaku cukup membuatku tahu diri. Keberadaanku tidak diharapkan. Aku hanya pengganggu kebersamannya dengan Sofie.

Tidak ada pilihan lain selain pergi. Andai aku melakuan pemaksaan, dan mengatakan pada Mas Hamish bahwa aku adalah istrinya, tentu dia akan semakin marah dan membenciku. Belum lagi mengingat perkatan dokter bahwa kami tidak bisa menyentil ingatan Mas Hamish karena bisa berakibat fatal untuk otak dan semua memori yang tersimpan di kepalanya.

Untuk saat ini, aku berusaha sabar, dan lebih bersabar lagi hanya demi kesembuhan suamiku.

Dari celah pintu yang sedikit terbuka, aku masih bisa mendengar mereka bicara.

"Sofie, mereka bilang kita terpisah selama lima tahun. Apa itu benar?"

Sofie yang digenggam tangannya mengangguk. "Aku sudah lulus dan bekerja. Bagaimana denganmu?"

Mas Hamish tersenyum. "Seperti ini. Aku kecelakaan, dan ada masalah dengan kakiku."

"Juga ingatanmu." Sofie menyela. "Kamu benar-benar lupa apa yang sudah terjadi lima tahun belakangan ini?"

"Entahlah! Mereka mengatakan bahwa aku hilang ingatan. Tapi aku tidak lupa saat berusaha menemuimu di bandara. Lalu, sebuah truk menabrak mobilku dari arah depan."

"Kamu mengejarku?"

"Hemm, tentu saja. Aku tidak ingin kamu pergi. Aku ingin kita menikah. Aku tidak bisa hidup tanpamu."

Mataku memanas, telinga pun terasa berdengung. Rasanya setiap perkataan yang diucapkan oleh Mas Hamish menusuk-nusuk hati dan perasaanku. Aku tidak bisa menahan buliran jernih yang tiba-tiba menetes di pipi.

"Jangan bicara lagi. Sekarang habiskan makananmu!"

Aku menyaksikan sendiri bagaimana Sofie dengan telaten menyuapi Mas Hamish. Aku senang melihat suamiku yang sebelumnya malas makan, kini justru sangat lahap. Setidaknya dengan begitu dia akan lebih cepat sembuh meskipun harus mengorbankan perasaanku.

"Aku jadi tidak sabar untuk disuapi seperti ini setiap hari."

Aku memalingkan muka, lalu menutup pintu kamar perawatan Mas Hamish pelan-pelan. Rasanya dadaku sesak, sudah tidak sanggup menahan rasa sakit yang menghunjam tajam. Tepat saat aku membalikkan badan, Ibu datang menghampiriku. Aku langsung memeluknya, lalu menangis di bahu Ibu mertua.

Ini baru satu hari, tetapi sudah sesakit ini. Aku harap Sofie benar-benar ingin membantuku, dan tidak ada niatan untuk kembali kepada suamiku.

***

"Ay, kepalaku pusing sekali."

Mas Hamish baru pulang bekerja. Aku yang baru saja membuatkan teh hangat langsung menghampiri suamiku itu. Teh aku letakkan di meja ruang tamu, lalu melangkah ke sofa di mana Mas Hamish sedang menyandarkan kepalanya di sana.

"Mas Hamish sakit?"

"Nggak tahu. Rasanya pusing banget." Tangan Mas Hamish beberapa kali memijit pangkal hidungnya. Aku tersenyum, lalu mengambil duduk di sebelahnya.

"Minum dulu, mumpung masih hangat."

Mas Hamish menurut, menyeruput teh bunga melati itu hingga tandas tak bersisa. "Makasih, Ay."

"Sama-sama. Apa ada masalah di kerjaan?"

Bukannya menjawab, Mas Hamish langsung merebahkan kepalanya di pahaku. Dia lebih seperti anak kecil, meringkuk dengan wajah dibenamkan pada perutku. Aku mengusap rambutnya yang tebal, tetapi terasa lembut saat helai demi helainya mengenai telapak tanganku.

"Nggak ada. Semuanya baik-baik aja."

"Heem, syukurlah. Sebaiknya Mas mandi dulu. Setelah itu aku pijitin."

Tangannya melingkar pada pinggangku. Dia selalu bersikap manja saat pulang kerja. Tapi ... aku menyukainya. Saat ada anak nanti, mungkin kami akan kesulitan bermesraan seperti ini.

"Kamu udah selesai?"

"Heem?"

Dia mengubah posisi kepalanya yang sebelumnya menghadap perutku, kini menatapku. "Udah suci, belum?"

"Iya, tadi aku--" Belum sempat aku menyelesaikan jawaban, Mas Hamish langsung beranjak, berdiri. Dia langsung menarik tanganku.

"Ayuklah! Sekarang aja."

"Apa?"

"Udah, buruan, Ay! Udah cuti seminggu, kan?"

Mau tidak mau, aku harus berdiri. Dia mengapit bahuku dengan lengannya yang melingkar. Kami berjalan beriringan seraya menaiki satu per satu anak tangga menuju kamar utama. "Tapi ... Mas. Bukannya tadi kamu bilang sedang sakit?"

"Oh, itu. Udah sembuh, kok," ucapnya sambil tertawa kecil.

"Kok bisa?"

"Ya, bisa, dong! Oh, ya, Ay, pakai baju yang semalem Mas kasih, ya?"

Aku mencubit pinggangnya gemas. Wajahku langsung merona mengingat pakaian apa yang Mas Hamish berikan padaku semalam.

***

"Aira!"

Kelopak mataku mengerjap saat suara itu memanggil namaku.

"Sofie!"

Di taman rumah sakit, yaitu di sebuah gazebo yang dinaungi pepohonan rindang, aku menyandarkan kepala di salah satu penyangganya. Lamunanku akan ingatan masa lalu buyar seketika saat Sofie datang menghampiri. Aku tersenyum padanya, lalu menggeser pantat untuk memberikan akses Sofie agar ikut duduk di sini.

"Terima kasih sudah datang," kataku tulus.

"Heem."

Kami sama-sama terdiam. Ada rasa canggung yang tak biasa karena kami sebelumnya tidak saling mengenal. Apalagi pria yang kami cintai adalah pria yang sama.

"Aira!"

"Ya!"

"Aku tadi banyak ngobrol dengan Mas Hamish. Dia mengingat semua kejadian, masa-masa indah kami dulu. Aku tidak menyangka jika dia tidak melupakan satu kejadian pun yang kami lewati bersama."

Aku menunduk. Sebenarnya tidak dijelaskan Sofie pun aku sudah tahu. Mas Hamish memang mengingat kembali memori sebelum kecelakaan limat tahun silam yang merengut ingatannya. Namun, saat Sofie menjelaskan ini, rasanya luka yang awalnya sudah lebih baik, kini justru menganga parah.

"Aira, dulu saat aku tahu Mas Hamish melupakanku, hidupku terasa hancur. Kami saling mencintai. Tidak ada satu di antara kami yang ingin menjauh. Nama coffe shop yang Mas Hamish dirikan itu juga menggunakan namaku dan namanya yang disatukan. M'ld Espresso. Jadi, kamu tahu kan bagaimana besarnya perasaan Mas Hamish kepadaku?"

"Aku tahu. Aku bisa melihatnya. Tapi, itu masa lalu, Sofie. Masa itu sudah terlewat sangat lama. Lima tahun, itu waktu yang cukup lama untuk menghapus masa-masa indah kalian."

Sofie tersenyum. "Seharusnya itu yang terjadi. Tapi lihatlah, Aira! Tuhan seakan memberi kami kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Setelah lima tahun perasaan yang sempat redup, hubungan yang tidak kelihatan juntrungannya, kini justru dibuka lebar tanpa pernah kami inginkan."

"Apa maksudmu, Sofie?"

Bukannya berperasangka buruk, tetapi aku merasa ada sesuatu yang hendak Sofie sampaikan kepadaku. Setiap kalimat yang diucapkannya seperti sedang memberi tahu bahwa ... Tuhan sengaja membuat skenario ini untuk mempersatukan mereka kembali. Tidak! Aku menggeleng kuat-kuat, tidak mungkin Sofie bisa setega itu mengkhinati kepercayaanku. Dia mau datang bukan untuk hubungannya sendiri, melainkan hanya ingin membantuku.

"Aira, andai nanti setelah aku membantu Mas Hamish mengingat masa lalunya sedikit demi sedikit, dan dia mulai mengingatmu. Namun, ternyata dia tetap memilihku. Aku ... mungkin akan menerimanya."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status