Ken keluar dari kamarnya. Dia berjalan menuju kamar Jani segera mengetuk pintu kamarnya. Tanpa dia duga, pintu itu terbuka dengan sendiri. Dia masuk ke dalam dan melihat Jani yang masih tidak sadar di atas ranjang.
Saat Ken hendak membangunkannya, dia teringat akan perjanjian mereka. Ken mengurungkan niatnya dengan keluar dari kamar. Namun dia berbalik untuk menatap wajah Jani dan membelainya.
"Ternyata kau cantik juga saat diam. Apa yang kulihat barusan itu kenyataan? Jika memang benar, sesuai janjiku kepada ayahku, aku akan menjagamu selamanya."
Ken teringat pembicaraan dengan ayahnya saat baru masuk ke sekolah menengah atas.
"Apa sebenarnya pekerjaan Ayah? Kenapa Ayah selalu membawa pedang dan penuh luka tiap kali pulang?" tanya Ken saat menemukan ayahnya yang terluka di kamarnya.
Ibu Ken telah tiada ketika Ken masih kecil karena penyakit. Ayahnya tidak pernah menikah lagi sejak kepergian istrinya.
"Ayah bekerja sebagai pengawal. Seseorang menyerang atasan Ayah. Jadi Ayah harus mengalahkan musuhnya. Kelak kau akan menggantikan Ayah," jawab ayahnya sambil membalut luka di lengannya.
"Apa karena itu Ayah selalu melatihku dengan semua ilmu bela diri?"
"Kau laki-laki. Tentu saja kau harus kuat. Sebenarnya ini waktu yang cocok untukmu berlatih melindungi seseorang. Apa kau mau mencobanya?"
"Siapa yang harus aku lindungi?"
"Dia adalah putri dari atasan ayah. Ini fotonya." Ayah Ken menyerahkan foto seorang gadis asing ke arah Ken.
"Dia kan menjadi salah satu temanmu di sekolah. Berjanjilah kau akan melindunginya. Tapi kau harus melakukannya secara diam-diam."
"Kenapa harus diam-diam?” protes Ken.
"Karena ini masih masa percobaan. Saatnya tiba nanti, dia akan tahu bahwa kau adalah pelindungnya.”
"Aku akan mencobanya, Ayah."
Sejak itu Ken langsung mengenali Jani saat pertama masuk sekolah. Dia diam-diam membuntuti Jani dari kejauhan. Namun cara Ken mendekatinya sangat aneh. Dia suka sekali membuat Jani kesal dengan selalu berbuat jail kepadanya. Karena itu mereka bermusuhan hingga menginjak kelas tiga SMA.
Ken membuyarkan lamunannya yang mengingat bagaimana dia selalu menjaga dan menjahili Jani. Wajah Jani yang cantik seolah menghipnotisnya untuk mendekatkan wajahnya. Perlahan Ken melakukannya dengan pandangan mata yang mengarah ke bibir ranum Jani. Namun, saat berada satu senti dari wajahnya, tiba-tiba gadis itu bergerak.
Ken segera menunduk dan sembunyi di bawah ranjang.
Jani terbangun, lalu memandangi seluruh kamarnya dengan penuh tanda tanya.
"Rupanya aku sudah kembali ke kamarku." Jani duduk dan menoleh ke arah tangannya.
"Jadi ini namanya magic book. Aku yakin tadi melihat Bi Inah dengan memakai baju jaman dulu. Tapi kenapa wanita yang mirip denganku memanggilnya Bibi Minah? Aku akan menanyakan langsung kepadanya. Ini pasti bukan buku sembarangan."
Jani berdiri dan mengunci magic book dengan bandul kalungnya. Lalu secara hati-hati meletakkan di kotaknya kembali.
Karena badannya penuh keringat, Jani membuka bajunya sehingga hanya terlihat pakaian dalamnya saja. Dia melempar bajunya dengan sembarang.
Ken ternganga karena bisa melihat semuanya dengan jelas dari bawah ranjang. Bahkan saat Jani membuka pakaian dalam bagian atasnya, lalu melemparnya. Penutup dada berwarna hitam jatuh tak jauh dari wajah Ken.
"Jani, kau membuat jantungku berdetak dengan cepat. Jika aku harus melindungi makhluk secantik dirimu, tentu saja aku rela, hehe," batin Ken yang tersenyum nakal sambil menikmati pemandangan indah di depannya.
Jani masuk ke kamar mandi tapi membiarkan pintu kamar mandi setengah terbuka. Ken dengan cepat merayap dilantai, lalu pelan-pelan membuka pintu kamar. Dia berhasil keluar tanpa diketahui Jani.
Ken segera masuk ke kamarnya dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang dengan belati ditangannya.
"Sepertinya aku tidak akan bisa tidur malam ini." Ken menatap langit-langit kamarnya dengan tersenyum membayangkan apa yang barusan dilihatnya.
Selang beberapa lama, Bi Inah masuk ke dalam kamar Jani. Dia menyiapkan gaun untuk makan malam.
"Nona, gaunnya saya letakkan di ranjang. Makan malam telah siap dan Nona harus segera turun," ucap Bi Inah menunggu Jani keluar dari kamar mandi.
Jani memakai handuk saat keluar dari kamar mandi. Bi Inah membantunya memakai baju seperti biasanya. Jani dibesarkan dengan didikan bangsawan walaupun dia hidup tanpa menggunakan gelar keluarganya. Segala peraturan di rumahnya sesuai dengan aturan keluarga bangsawan. Namun, dia tidak memperlihatkannya saat di sekolah dan memilih bersikap biasa.
"Bi, apakah ini alasan sesungguhnya kenapa aku tidak boleh menggunakan nama asliku?" tanya Jani yang membuat Bi Inah menarik nafas panjang.
"Hem, apakah magic book telah menunjukkan kebenarannya?" tanya Bi Inah.
"Iya, Bi. Tapi kenapa yang dia sebut Bibi Minah sangat mirip denganmu? Siapa kau sebenarnya, Bi?" Jani menatap pengasuhnya yang sejak bayi merawatnya.
"Bibi akan menjelaskan semua setelah makan malam. Sebaiknya kita segera turun. Kau terlihat cantik seperti biasanya." Bi Inah merangkul Jani dan mengajaknya keluar kamar.
Jani menuruni tangga dengan dress putih selutut. Dia terlihat begitu anggun. Rambutnya tergerai dengan bibirnya yang hanya diberi pelembab. Kecantikan wajahnya yang asli terlihat begitu mempesona.
Ken telah berada di bawah bersama Fred. Dia menatap Jani tanpa berkedip.
"Hati-hati dengan tatapanmu itu, Ken. Nanti kau bisa jatuh cinta padaku," sindir Jani yang berdiri di depan Ken dengan pembatas pita emas diantara mereka.
"Ehem, maaf Nona Jani, saya mengganti benang pembatas yang anda ikat dengan pita emas. Benang itu hampir tak terlihat oleh mata tuaku dan membuatku hampi terjatuh. Saya harap anda tidak keberatan," ucap Fred membungkuk.
"Tidak masalah, Fred. Sekarang katakan dimana ruang makannya? Karena jika ada di sebelah kanan rumah ini, berarti berikan saja makanan di nampan untuknya." Jani melipat tangannya di dada dengan tatapan matanya yang meremehkan ke arah Ken.
"Dan jika ruang makannya ada disebelah kiri, lempar saja makanannya ke lantai," balas Ken yang membuat Jani melotot.
"Sesuai dengan tugas saya di rumah ini, saya harus memastikan kalian berdua tinggal dengan nyaman. Karena itu, kami berdua merubah sedikit tentang pembagian rumah ini," ucap Bi Inah yang membuat Jani dan Ken menatapnya.
"Rasanya tidak nyaman jika rumah dibagi kanan dan kiri karena kalian pasti ingin menggunakan semua ruangan di rumah ini. Jadi kami berinisiatif membagi semua ruangan menjadi dua bagian dengan menempelkan pita emas sebagai pembatasnya. Kalian berdua bisa memakai semua fasilitas rumah ini tanpa melanggar bagian masing-masing." Fred menjelaskan dengan senyum mengembang di wajahnya.
"Terserah saja. Aku sudah lapar," ucap Jani dengan lirikan matanya ke arah Ken.
"Kalo begitu silahkan menuju ke arah sini." Bi Inah mengarahkan tangannya ke arah bagian kiri rumah. Ken berjalan di samping Jani dengan sedikit menempel.
"Untung saja kau setuju dengan ide Fred. Jika tidak, aku benar-benar akan melempar makananmu ke lantai, hehe." Ken berjalan lebih cepat mendahului Jani yang berdecak kesal.
Mereka memasuki ruangan yang lebar dengan meja kayu berukiran emas di tengah ruangan. Meja itu cukup panjang dengan kursi klasik yang memiliki ukiran senada. Kedua kursi berada di tiap ujung meja. Terlihat pita emas di tempelkan di tengah meja itu sebagai pembatas.
Fred menarikkan kursi untuk Jani. Dia duduk di kursi sebelah kanan dan Ken duduk di kursi sebelah kiri. Nampak berbagai makanan mewah tersaji di atas meja. Bi Inah dan Fred berdiri dengan siaga untuk melayani mereka setelah menuangkan minumam ke dalam gelas kristal yang tersaji.
Jani dengan anggun mengambil serbet dan meletakkan di pangkuannya. Tangannya yang lentik mulai menyuapkan makanan ke mulutnya. Bahkan saat mengambil gelas kristal lalu menempelkan ke mulutnya untuk merasakan segarnya jus berry, nampak begitu rapi dan elegan. Bi Inah tidak mengijinkan keduanya meneguk minuman beralkohol karena baru menginjak 17 tahun.
Berbeda dengan Ken yang sikapnya lebih santai dan sesekali mencuri pandang ke arah Jani.
Dengan keusilannya, Ken mulai ingin membuat Jani marah.
"Fred, bisa minta tolong ambilkan garam yang ada di sebelah sana?" pinta Ken dengan jarinya yang menunjuk ke arah botol kecil di bagian kanan meja.
"Baik, Tuan." Fred dengan cepat mengambilkan garam yang tak jauh dari Jani. Dia memberikannya kepada Ken.
"Fred, aku mau garamku kembali. Dan jangan ambil apapun yang terletak di bagianku untuknya!" ucap Jani dengan tegas. Bi Inah menarik tangan Fred agar kembali mundur dan tidak ikut campur dengan pertengkaran yang akan terjadi.
"Kalau kau mau garammu, ambil saja sendiri dan langgar perjanjian kita!" tantang Ken.
"Dalam anganmu, Ken. Katakan saja kau sengaja meminta garam yang ada di dekatku karena sebenarnya kau yang ingin mendekatiku."
"Haha, tenang saja. Hanya karena wasiat orang tua kita mengatakan kita harus menjadi pasangan, bukan berarti aku tertarik padamu. Kau bahkan tidak mendekati tipe wanita idamanku." Ken kembali mengambil botol garam dan menuangkan ke supnya.
"Siapa juga yang mau dengan cowok berantakan sepertimu. Hanya gadis bodoh yang mau denganmu."
"Katakan itu kepada semua gadis disekolah. Mereka semua menyukaiku."
"Tidak semua." Jani semakin kesal hingga meletakkan sendok dan garpunya ke piring.
"Bibi, aku mau ke perpustakaan. Tunjukkan dimana tempatnya!" ucap Jani yang berdiri mengakhiri makan malamnya.
"Mari saya antar. Tapi Tuan Ken juga harus ikut. Kalian harus melihat foto silsilah keluarga kalian," ucap Bi Inah yang semakin membuat geram Jani.
"Apa aku tidak bisa melakukan sesuatu tanpanya? Sampai kapan dia harus berada di dekatku, Bi? tanya Jani dengan kesal.
"Sayangnya, selamanya, Nona. Dan sepertinya memang anda harus melakukannya bersama Tuan Ken,” jawab Bi Inah dengan senyuman yang menjadi ciri khasnya.
"Ini benar-benar malapetaka.” Jani berjalan dengan cepat meninggalkan ruang makan. Sampai di depan pintu, Jani menoleh ke kanan dan kiri merasa bingung mencari ruang perpustakaan.
"Sebelah sini, Nona." Bi Inah mengajaknya ke arah kanan.
Ken masih saja dengan santai menikmati makan malamnya. Setelah tegukan minuman yang terakhir, Ken berdiri mendekati Fred.
"Apa aku harus ikut ke perpustakaan?" tanya Ken.
"Iya, Tuan. Akan lebih baik jika anda menuju kesana sekarang." Fred mempersilahkan Ken mengikutinya.
Jani telah duluan masuk ke ruangan besar penuh buku yang tertata rapi di rak-rak. Foto-foto lama terpasang di dinding. Namun ada satu lukisan tua bergambar seorang wanita yang ada dalam dimensi waktu yang dilihat oleh Jani. Wajah itu sangat mirip dengannya.
"Bukankah itu lukisan wajah Jenifer?" tanya Jani dengan menunjukkan jarinya ke arah lukisan itu.
"Benar, dialah sang pewaris magic book," jawab Bi Inah.
"Apa maksud Bibi? Buku apa itu sebenarnya? Dan makhluk apa yang membunuh ayahku?"
Bi Inah terdiam beberapa saat, lalu mulai menceritakan asal usul magic book.
"Dulu, ada seorang ratu putih yang sangat kuat dan baik. Dia membuat rakyatnya makmur dan selamat dari para penyihir hitam. Demi mereka, dia rela mengeluarkan semua kekuatannya agar tidak bisa dilacak oleh kekuatan gelap.
Ratu itu mengumpulkan semua kekuatannya dan menjadikan sebuah buku. Hanya keturunan sejatinya yang bisa membukanya. Dia memiliki dua anak kembar perempuan. Namun salah satunya sangat jahat dan ingin merebut buku itu. Sang ratu segera mewariskan buku itu ke anaknya yang bernama Dansi, lalu membawanya ke dimensi waktu yang cukup jauh agar tidak tertangkap oleh kembarannya yaitu Ania."
Jani mendengarkan dengan seksama. Ken telah datang bersama Fred beberapa waktu sebelumnya. Mereka ikut menyimak cerita Bi Inah.
”Sayangnya, Ania telah bergabung mengikuti kekuatan gelap dan menghabisi ibunya sendiri. Ania mencari Dansi selama ratusan tahun. Dia tidak bisa menua dan memiliki banyak pengikut yang berbahaya.
Yah ... Ania menemukan Dansi dan membuatnya meninggal. Namun Dansi telah mengalahkannya terlebih dahulu. Dansi memiliki dua anak kembar laki-laki dan perempuan. Jen adalah anak perempuannya yang mewarisi magic book. Dia juga melewati dimensi waktu saat kecil di tengah hutan.”
"Gadis kecil di tengah hutan? Aku melihatnya, Bi. Aku mengetahui ceritanya setelah itu." Jani mengingat semua yang dia lihat dalam dimensi waktu.
"Lalu, siapa yang Jenifer sebut dengan Bibi Minah?" tanya Jani.
Bi Inah memberikan segulung kertas tua yang terdapat lukisan dirinya bersama Jen memakai baju abad ke 19.
"Jangan katakan jika Bibi Minah yang dipanggil Jenifer adalah orang yang sama denganmu ...." Jani menatap pengasuhnya yang bersamanya sejak lahir dengan penasaran.
"Nyonya Jenifer yang memintaku untuk menjagamu, setelah dia melahirkan anak ketiganya." Jawaban Bi Inah membuat Jani mematung hingga menjatuhkan lukisan ditangannya.
"Wow, kau manusia purba rupanya," ucap Ken. Bi Inah hanya tersenyum menatapnya.
"Lalu apa hubungannya semua kisah itu dengan kami, Bi?" tanya Ken.
"Kisah itu belum berakhir, Tuan Ken. Kalian berdualah yang harus mengakhiri kisahnya."
Jani masih lemas setelah mendengar jawaban Bi Inah tentang siapa dia sebenarnya. Wajah yang selalu ada di sampingnya selama hidupnya, ternyata menyimpan begitu banyak rahasia."Apa ibuku tahu siapa dirimu, Bi?” tanya Jani."Tentu saja tahu. Setelah ayahmu meninggal, ibumu pindah ke rumah dimana selama ini Nona tinggal. Di rumah itu saya menembus dimensi waktu. Saat itu nyonya Julia sedang bersamamu di kamar. Dia langsung mengenaliku lewat lukisan ini. Sejak itu saya tinggal bersama kalian.”"Siapa nama Bibi yang asli?” tanya Ken."Nama saya Mina Hasanof, biasa dipanggil Minah. Saya kepala asisten rumah tangga keluarga Lucio. Mereka adalah orang tua angkat Jenifer. Tuan Lucio keturunan dari Tuan Benjamin, saudara kembarnya. Atau biasa di panggil Ben. Karena itu mereka bisa menemukan Jen yang ada di hutan. Keturunan Tuan Benjamin selama puluhan tahun menunggu kedatangan Jen di hutan di hari yang sama saat dia memasuki dimensi waktu.”
Fred telah membawa mobil sampai ke depan rumah. Ken segera keluar sambil menggendong Jani. Bi Inah berlari menghampiri dengan rasa khawatir. Ken membawa tubuh Jani ke kamarnya dan membaringkannya dengan pelan."Non Jani, bangunlah,” bisik Bi Inah dengan mendekatkan wajahnya ke telinga Jani.Ken melangkah mundur agar Jani tak melihatnya memasuki kamarnya saat sadar. Terlihat Fred dengan cepat membawakan minuman hangat dan meletakkannya di nakas.Perlahan Jani membuka matanya. Ken yang melihatnya langsung bernafas lega. Dengan cepat dia pergi dari kamar Jani menuju kamarnya.“Bibi, apa yang terjadi? Kenapa aku sudah berada di kamarku?” tanya Jani dengan lemah.“Tenanglah. Yang penting Nona Jani baik-baik saja.” Bi Inah membelai kepala Jani.“Tadi ada makhluk yang menyerangku. Sangat menyeramkan. Tapi tiba-tiba ada yang membantuku menghadangnya.”“Tuan Ken menyelamatkan anda, Nona,” j
Di belahan negara lain, terdapat tempat rahasia yang berada dibawah tanah. Tempat itu dibangun ratusan tahun yang lalu. Terlihat dari hiasan yang berupa baju besi prajurit jaman dulu di tata hampir disetiap pojok ruangan. Namun tempat itu mengalami banyak perubahan sesuai dengan perkembangan jaman.Alat-alat canggih seperti layar lebar di sebuah ruangan yang menjadi pusat tempat itu, menandakan bahwa mereka bukan orang biasa. Terdapat berbagai komputer dan juga tombol-tombol canggih yang menayangkan radar di seluruh dunia. Orang-orang yang mengoperasikannya terlihat sangat ahli.Seseorang mengatakan sesuatu kepada lelaki yang terlihat sebagai pemimpin di tempat itu.“Tuan, saya melihat kekuatan yang besar di kota ini,” ucap salah satu pekerjanya yang menunjukkan suatu wilayah dengan lampu berkerdip di layar komputernya.“Kenapa tanda itu berwarna merah?” tanya sang Pemimpin.“Itu karena bukan kekuatan gelap. Sangat kua
Ken, Jani dan Bi Inah segera masuk mobil untuk kembali ke rumah. Kali ini Fred mengendarainya lebih cepat dari sebelumnya karena tidak mau terlihat para polisi yang berdatangan ke perpustakaan yang separo hancur. Ketiga pembasmi penyihir mengikuti mereka menggunakan motornya.Jani duduk di sebelah Ken dengan sesekali curi pandang kearahnya.“Kenapa tadi dia sangat berbeda? Dia menjagaku seolah aku sangat berarti untuknya.” Tanpa sadar, Jani memandang Ken tanpa berkedip.“Jangan memandangku. Nanti kau bisa terikat kepadaku,” ucap Ken yang membuyarkan lamunan Jani.“Dalam mimpimu, Ken,” jawab Jani yang sedikit gugup.“Lalu biarlah mimpi itu menjadi kenyataan,” jawab Ken yang tersenyum dengan sedikit membisik di telinga Jani.Jani menjauhkan tubuhnya dengan bersandar di jendela mobil.“Kenapa aku jadi gugup didekatnya? Bahkan tadi saat memeluk punggungnya, aku merasakan kenyaman dalam
Setelah kejadian dengan Jani, Ken mengurung diri di kamarnya. Dia merasa bersalah karena tidak bisa menghadapi makhluk itu sehingga Jani harus kembali pingsan. Bi Inah dengan setia mendampingi Jani yang masih tidak sadar di kamarnya.Ketiga pembasmi penyihir dengan panik memasuki rumah. Mereka telah mendengar cerita makhluk yang menyerang Ken dan Jani dari Fred.“Sial, kita ditipu oleh mereka. Penyihir yang ada di sekolah hanyalah pengalihan agar mereka bisa menyerang Jani dan Ken. Ini tidak boleh terjadi lagi.” Gil terlihat geram dengan menggenggam tangannya. Dia bersama Dom berada di luar kamar Jani.Mel masuk ke dalam untuk melihat kondisi Jani yang masih terbaring.“Apa yang terjadi padanya, Bi Inah? Fred bilang dia mengeluarkan kekuatan yang luar biasa,” tanya Mel.“Aku tidak menyangka kekuatan itu akan muncul dengan cepat. Dia harus bisa mengendalikan kekuatan itu sebelum mencelakai dirinya dan orang lain,”
Dalam matanya yang tertutup, Ken melihat kastil tua tersembunyi di suatu tempat yang dikelilingi lautan. Suara jeritan memekikkan yang dia dengar terasa begitu nyata. Ken memandang Jani dengan penuh kekawatiran.“Apa yang akan kita berdua hadapi kelak? Melihat dalam pikiranku saja sudah terlihat menyeramkan. Aku harap bisa menjagamu selamanya.” Ken memberanikan diri mengelus rambut Jani yang menutupi wajahnya.Di tempat lain terdapat sebuah pulau kecil yang terlihat gelap dengan suara lolongan serigala yang menyeramkan. Tempat itu dikelilingi awan hitam hingga tidak bisa dilihat oleh siapapun. Sebuah kastil tua berdiri ditengah dengan tembok tebal yang menjadi pagarnya.Terlihat berjajar sosok tubuh manusia memakai jubah panjang bertudung mengelilingi tempat itu. Mereka berpostur tinggi dan juga berbadan besar melebihi ukuran manusia biasa.Didalam kastil terdapat beberapa orang yang juga bertudung hingga menutupi seluruh wajah dan juga badann
Jani menatap ujung ruangannya yang gelap. Matanya tak berkedip beberapa saat. Ken terlihat panik dengan jantungnya yang berdebar kencang.“Dia pasti akan sangat marah sekali setelah ini,” batin Ken yang terdiam menunggu reaksi Jani.Tidak lama mata Jani mulai berkedip. Kedua tangannya mengusap wajahnya dengan pandangan yang menunduk.“Aku pasti bermimpi. Tidak mungkin malam-malam begini aku mendengar suara Ken seolah dia ada didepanku. Hah, pikiranku pasti sudah tidak waras,” ucap Jani yang kembali menarik selimut. Matanya kembali terpejam. Ken masih saja tidak bergerak. Dia mulai menghitung waktu menunggu Jani benar-benar terpejam.“Huf, hampir saja aku ketahuan. Aku pikir malam ini adalah malam terakhir aku berjaga di kamarnya. Jika saja dia tahu, pasti akan terjadi gempa di rumah ini, hehe,” batin Ken yang mengelus-elus dadanya. Dia menjaganya hingga fajar dan kembali ke kamarnya.Mereka berdua bangun pagi kar
Jani masih mendekap erat tubuh polos Ken. Setelah beberapa saat, dia tersadar dan mengendurkan pelukannya. Tangannya masih menyentuh dada Ken yang terlihat bidang dan kekar. Pandangannya menunduk karena malu.“Lebih baik kita ke kantin dan duduk tenang sambil makan sesuatu. Aku sangat lapar sekali,” ucap Dom yang membuyarkan rasa canggung Jani dan Ken.“Ayo, Jani!” Mel merangkul Jani mengajaknya ke kantin mengikuti Dom dan Gil yang berjalan duluan.Ken mengikuti masih tanpa kaosnya. Mereka memasuki kantin yang telah beraktifitas seperti semula setelah mematung beberapa waktu. Semua mata para gadis menatap ke arah Ken.“Hai, Ken. Kau terlihat semakin keren,” ucap salah satu gadis dengan menggoda. Ken membalas dengan tersenyum. Seorang teman Ken melempar tas kearahnya dengan jarak yang lumayan jauh.“Ken, tasmu!” Dia berlari lalu menaiki kursi dan melompat untuk menangkap tasnya. Saat tas sudah diraihny