Share

5. Pacar

Nata menatap jalanan Ibukota yang tak pernah ada sepinya. Bahkan sedari tadi mobilnya belum juga bergerak maju. Salahkan dirinya yang nekat pergi ke rumah Kinna pada jam-jam sibuk seperti ini. Langit yang semula terang kini sudah kehilangan semburat jingganya. Hampir dua jam Nata berdiam diri di mobil. Ia bahkan sudah menyelesaikan satu album penuh lagi Sheila On 7. Saat Ia melihat ke arah maps, ternyata bukan hanya karena jam sibuk namun juga terjadi kecelakaan di depan pintu tol. Hal itu yang membuat arus kendaraan sama sekali tidak bisa bergerak.

“Gue suka Jakarta dari pada Solo, tapi enggak buat macetannya,” ujar Nata.

Satu jam kemudian mobil Nata baru bisa bergerak sedikit demi sedikit dan setengah jam berikutnya Ia baru bisa sampai di depan rumah Sang Kekasih. Nata menekan bel rumah minimalis tersebut, rumah Kinna mungkin tak sebesar miliknya namun Nata selalu merasa rumah kekasihnya itu lebih terlihat hangat dibanding rumahnya. Sejak kecil Nata selalu sendirian di rumah karena Ibunya selalu menemani Ayah Nata yang sering kunjungan ke luar kota. Hal itu yang membuat Nata kerap merasa sendirian bahkan di umur sebesar sekarang. Berbeda hal nya dengan rumah Kinna, meskipun tidak besar namun keluarga Kinna selalu menyambutnya dengan hangat.

Seperti sekarang, Ibu Kinna menyambut Nata dengan ramah. Tidak ada pembantu di rumah ini jadi otomatis yang membuka pintu adalah tuan rumahnya. Nata tersenyum cerah dan menerima pelukan hangat Ibu Kinna. Dibanding sebagai seorang pacar dari anak perempuan mereka, Nata merasa Ia di sambut baik sebagai anak sendiri.

“Nata apa kabar?” tanya Ibu Kinna.

“Baik Tante, Kinna nya ada?” ujar Nata dengan senyum paling lebar yang biasa Ia tunjukkan.

Ibu Kinna tertawa kecil lalu mempersilahkan Nata untuk duduk di ruang keluarga. Nata memperhatikan sekeliling dan mendapati bahwa keluarga kinna baru saja mengganti sofa mereka. Nata juga bisa melihat kalau semakin banyak foto yang diletakkan di ruangan ini. Lagi-lagi Nata tersenyum melihat foto Kinna yang dari kecil sama sekali tak banyak perubahan, bahkan Nata juga tahu dengan cepat dimana posisi kekasihnya itu hanya dengan melihat senyum Kinna di wajah kecilnya. Senyum yang tak pernah berubah.

“Kinna lagi main sama kakaknya di belakang, kamu ke sana aja. Udah tau tempatnya kan?” jawab Ibu Kinna yang kembali ke ruang keluarga membawa sepiring camilan untuk Nata.

Nata mengangguk lalu meminta ijin untuk menemui Kinna dan Kakaknya yang ada di teras belakang. Nata melihat kedua kakak beradik itu sedang tertawa lepas karena menonton sesuatu. Hal ini adalah pemandangan yang cukup asing untuk Nata. Di keluarganya tertawa sekeras ini adalah bentuk ketidak sopanan. Itu sebabnya Nata merasa hidupnya tidak pernah sebebas kelihatannya.

Nata berdehem kecil menginterupsi dua saudara itu. Keduanya sontak menoleh dan Nata terdiam di tempatnya sambil tersenyum lebar. Nata bisa melihat jelas raut bingung Kinna tiba-tiba berubah menjadi cerah. Perempuan itu berdiri dan menabrak Nata dengan sebuah pelukan hangat. Keduanya tak canggung meskipun jelas-jelas sekarang ada Riyu di hadapan mereka.

“Kangen,” cicit Kinna.

Nata kembali memeluk kekasihnya itu lebih erat. Nata tersenyum sopan pada Riyu namun kakak laki-laki Kinna itu hanya tersenyum tipis dan berlalu. Keduanya masih berpelukan erat, saat Nata hendak melonggarkan pelukan mereka justru Kinna menggeleng kuat. Hal ini yang membuat Nata tak pernah bisa lepas dari sosok Kinna, mereka mudah saling mengembangkan rindu jika tak bertemu. Hal sederhana itu yang selalu membuat hubungan mereka selalu berarti meskipun sudah bertahun-tahun. Nata tak pernah merasa terbiasa tanpa kekasihnya begitupun Kinna. Mereka mudah memupuk rindu dan tak bisa dipisahkan, katakanlah itu berlebihan namun hal itu yang membuat hubungan keduanya awet.

“Kan cuma ditinggal tiga hari,” tanya Nata.

“Gatau, kangen aja,” jawab Kinna.

“Na,” panggil Nata.

“Iya?” jawab Kinna.

“Aku mau ngomong sesuatu,” ujar Nata yang tiba-tiba serius.

Mendengar nada bicara Nata yang serius membuat perempuan dengan mata bak bulan sabit yang indah itu mengurai pelukannya. Nata menggandeng lembut tangan Kinna dan menuntun perempuan itu untuk duduk di kursi. Kinna sedari tadi bertanya namun Nata masih belum menjawab apapun. Nata masih menggenggam erat tangan Kinna. Manik matanya kini menatap lurus ke arah Kinna. Satu-satunya mata indah yang menjadi favorite Nata dari sekian banyak daftar kesukaannya di dunia ini. Nata tersenyum tipis membuat Kinna bergerak resah di tempatnya.

Selama keduanya berpacaran, hanya bisa dihitung jari seberapa banyak Nata mengaktifkan mode seriusnya seperti ini. Nata menimang-nimang apakan Ia harus menyampaikan hal ini kepada Kinna. Ia tak mau membuat perempuan yang di sayanginya ini menjadi sedih atau malah khawatir. Nata lebih suka melihat Kinna tersenyum dan tertawa lepas seperti tadi, bukan sebuah raut wajah sedih.

“Nat, kenapa?” tanya Kinna lagi.

Nata menghembuskan nafasnya sebelum membuka mulutnya. Kinna yang melihat kegusaran di wajah kekasihnya dan berusaha untuk mengerti.

“Eyang udah tentuin perjodohan aku,” ujar Nata.

Kabar itu berhasil membuat Kinna terkejut. Melihat itu Nata hanya bisa tersenyum tipis. Keduanya tahu kalau hal seperti ini akan tiba pada hubungan mereka. Kinna selalu menyiapkan diri, namun tak pernah bisa benar-benar siap. Keduanya tak rela. Nata kini bisa merasakan genggaman Kinna semakin mengerat.

“Udah tau siapa yang mau di jodohin sama kamu?” tanya Kinna.

Nata hanya mengangguk pelan sebagai jawaban. Terdengar suara helaan nafas dari arah Kinna dan hal itu membuat Nata sekali lagi membawa gadis itu dalam dekapannya.

“Terus kita gimana Nat?” tanya Kinna pilu.

Suara Kinna membuat Nata makin tak karuan. Hatinya ikut sakit mendengar itu. Bertemu Kinna adalah hal yang paling Nata syukuri hingga detik ini, bersama Kinna dunianya menjadi semakin berwarna, mengenal Kinna membuatnya seakan lupa kalau Ia hidup dalam aturan ketat sebagai pangeran. Dan Nata tak tahu bagaimana dunianya tanpa Kinna.

Nata kembali mengurai pelukannya. Terlihat jelas butiran bening menetes dengan bebas di pipi perempuan yang paling Ia cintai itu. Hati Nata kembali diremas kuat-kuat dan dadanya ikut sesak. Nata menatap lurus ke mata Kinna. Keduanya sama-sama tak ingin kehilangan.

“Aku udah tolak perjodohan itu,” ujar Nata mencoba menenangkan pacarnya.

“Tapi kamu bilang itu tradisi dan Eyang pasti bakal marah sama kamu,” cicit Kinna.

Nata mengusap surai gelap Kinna dengan sayang.

“Kamu tenang aja, aku bakal berusaha bujuk Eyang untuk restuin kita. Inget, Ayah sama Ibu juga udah setuju sama kamu. Semua kan baik-baik aja Na,” tutur Nata.

“Nat,” panggil Kinna.

Nata tersenyum lalu mengangguk, menandakan Ia siap mendengar apa yang ingin Kinna katakan. Kinna mengusap rahang tegas Nata pelan. Nata menatap wajah Kinna yang kini juga menatapnya. Keduanya menyalurkan perasaan masing-masing hanya lewat sebuah tatapan. Keduanya bungkam untuk beberapa saat.

“Jadi ini yang bikin kamu menghilang selama tiga hari? Karena kamu lagi berjuang di sana buat kita?” tanya Kinna.

Nata mengangguk.

“Ibu kamu pernah bilang kalau Eyang bukan orang yang mudah, aku juga tahu gimana kamu selalu kesusahan sama hukuman dari Eyang. Aku gak mau kalau karena ini kamu jadi lebih sulit,” jelas Kinna.

Nata menggeleng dan berujar, “Kita udah berjuang selama ini Na, aku gak papa. Selama kita berjuang bersama-sama aku gak papa. Aku gak berjuang sendiri, ada kamu.”

“Kalau kamu ingin kita terus ada, ayo berjuang sama-sama. Aku bakal kuat kalau ada kamu, kecuali kalau kamu yang udah gak mau sama aku setelah ini, gak papa,” imbuh Nata.

Kinna menggeleng kuat membuat Nata menyunggingkan senyum tipis. Kinna menatap jemari mereka yang bertaut.

“A-ku mau berjuang Nat. Jangan berjuang sendiri, kamu punya aku,” ujar Kinna dengan senyum tipis di bibirnya.

Mendengar hal itu Nata kembali memeluk kekasihnya itu. Hatinya sedikit lega melihat respon Kinna. Setidaknya Ia tahu kalau apa yang Ia perjuangkan sekarang benar-benar tidak sia-sia. Nata ingin Kinna dan Kinna ingin Nata. Nata tidak berjuang sendirian. Ia punya Kinna nya.

“Ngomong-ngomong calon tunangan kamu orangnya kayak gimana?” tanya Kinna tiba-tiba.

Nata menyandarkan kepalanya pada kepala Kinna dan berujar, “Em…, Pokoknya cantikan kamu.”

Hal itu berhasil membuat Kinna tertawa renyah. Nata ikut ikut terkekeh melihat itu. Keduanya kembali menceritakan banyak hal selama tiga hari belakangan ini. Nata telah menanggalkan mode seriusnya dan berhasil membuat Kinna tertawa keras mendengar lelucon dari kekasihnya itu. Keduanya sangat bahagia hanya dengan cara sederhana. Cukup melihat langit malam di temani dengan tingkah Nata dan respon cepat dari Kinna yang receh. Bahagia tak perlu hal yang mewah untuk keduanya, saling bercerita berdua sudah menjadi kebiasaan mereka untuk menghabiskan waktu.

Dengan begini apakah Eyang tega memisahkan dua insan yang saling jatuh cinta ini? Keduanya saling terikat dengan erat, apakah mungkin dapat dipisahkan?

Apakah keduanya bisa bertahan dnegan semua yang akan terjadi di masa depan? Semuanya akan terasa sulit, apakah Nata dapat terus meyakinkan Kinna untuk berada di sisinya?

“Na, kamu masih ragu?” tanya Nata dalam hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status