Share

3. Tertolak

Ibu Nata sedari tadi menahan anak semata wayangnya untuk menghentikan kalimatnya. Perkataan Nata berhasil membuat semua orang gaduh di tempatnya. Nata menatap Eyangnya dengan berani, entah dari mana Ia mendapat keberanian sebesar ini. Ia ingin semua orang tahu kalau Nata tak ingin ada perjodohan dalam hidupnya. Mungkin semua orang bisa menerima takdir mereka, namun Nata ingin sekali saja merubah takdirnya.

“Nata gak mau di jodohin apalagi tunangan,” tegas Nata kembali.

“Tidak bisa, tradisi tetap tradisi!” sentak Eyang Kakung.

“Nata duduk,” ujar Ayah Nata memperingatkan anaknya.

“Maaf Eyang, Pakdhe, Budhe, Mas, Mbak, Paklek dan Bulek, Nata tidak bisa meneruskan tradisi ini,” putus Nata.

“Saya Adinata Lingga Ararya menolak adanya perjodohan ini secara lahir dan batin,” imbuh Nata.

Setelah berujar demikian Nata pamit kembali ke kamarnya lebih dulu. Ia segera membereskan semua barang bawaannya. Jika Nata berdiam diri lebih lama di sini maka Ia akan mendengar semua orang membahas tentang perjodohannya dan itu cukup memuakkan bagi Nata. Beberapa saat kemudian Ayah dan Ibu datang ke kamar anaknya. Nata yang melihat itu segera menghampiri dan memeluk Ibunya erat. Ini keputusan yang besar untuk seorang Nata selama dua puluh satu tahun hidupnya.

“Saya minta maaf Ibu, Ayah. Dari dulu Eyang gak pernah mau dengerin saya dan selalu anggap ucapan saya cuma bercandaan, sekali saja saya mau Eyang tahu kalau saya  serius,” ujar Nata sungguh-sungguh.

Le, Ayah sama Ibu itu dukung kamu tapi kami berdua gak nyangka kalau kamu bakal bilang langsung di depan semuanya hari ini,” ujar Ayah Nata.

Nata mengurai pelukannya dan menatap orang tuanya melas. Ini sudah menjadi pemikiran keluarga kecil ini dari beberapa bulan yang lalu. Baik Ayah dan Ibu Nata selalu menanyakan pada anaknya apakah serius dengan Kinna. Dan Nata selalu menjawab hal yang sama. Nata mau Kinna bukan yang lain. Ayah dan Ibunya selalu memberi wejangan pada Nata kalau hubungan keduanya pasti akan ditentang oleh Keraton terlebih Eyang Ararya yang sangat tegas dengan tradisi.

“Saya selalu nurut kemauan Eyang mulai dari tempat sekolah, jurusan di SMA, bahkan sampai jurusan di kuliah semua Eyang yang menentukan. Saya gak pernah protes kalau Eyang mau ini itu dari saya. Meskipun kadang bandel tapi saya selalu turutin semuanya, sekali aja sekali aja Ibu. Saya mau tentukan pilihan saya sendiri,” jelas Nata.

Ibu Nata yang mendengar itupun tersentuh. Ia kembali memeluk anak laki-laki kebanggaannya. Ia tak suka jika anaknya sedih seperti ini. Nata adalah anak yang periang dan aktif, anaknya tak pernah menunjukan sisi sentimental seperti ini. Dari kecil Nata selalu berusaha menjadi yang terbaik untuk orang tuanya. Meskipun terkesan selalu membuat ulah namun itu tak pernah mengecewakannya.

“Kamu pulang dulu ke Jakarta, biar Ibu sama Ayah yang bicara sama Eyang,” ujar Ayah Nata.

Nata mengangguk patuh.

“Makasih Ayah, Ibu. Maaf saya ngerepotin, maaf saya banyak maunya, maaf-”

“Mas Nata. Ibu itu cuma punya anak kamu, kalau kamu gak bahagia ya Ibu juga gak bahagia. Ibu mau Mas Nata bahagia, jangan minta maaf lagi nggeh,” potong Ibu Nata.

“Dengerin Ibumu Le, yang kuat. Yang kamu minta itu berat, harus berjuang. Ayah tau anak Ayah gak selemah itu,” ujar Ayah Nata.

Nata mengangguk dan tersenyum lebar. Ia sayang dengan keluarganya, Ayah dan Ibunya tak pernah menuntut apapun dari Nata. Nata hidup dengan didikan yang santai namun juga penuh kasih sayang. Nata memang sering kesepian tapi itu tak pernah membuatnya kekurangan kasih sayang. Jadi meskipun Nata terlihat badung, namun laki-laki itu masih punya batasan karena tak mau mengecewakan orang tuanya. Nata tahu batasannya, itu yang terpenting.

Terkadang Nata juga takut membuat orang tuanya kecewa karena semua hukuman yang Ia terima dari Eyang. Namun Ayahnya selalu berkata, “Apapun yang kamu lakukan ada konsekuensinya. Ayah bebasin kamu tapi kamu juga harus bertanggung jawab atas semua yang kamu lakukan. Jadi laki-laki gak cuma baik tapi juga harus tanggung jawab Mas.”

Kedua orang tuanya pamit karena dipanggil oleh Eyang sedangkan Nata kembali mengemasi barangnya yang sebenarnya hanya sedikit. Tiba-tiba datang segerombolan sepupunya menyerbu kamar Nata. Nata seakan tahu apa yang akan keluar dari mulut sepupu-sepupunya itu. Ia memilih mengabaikan keempat pangeran itu. Namun meskipun keempatnya sudah duduk namun tak ada kata satupun yang keluar selama beberapa menit setelahnya. Justru sekarang Nata mendapat beragam tatapan aneh dari sepupu-sepupunya itu.

“Kalo mau mengadili, menceramahi dan memarahi aku tolong jangan sekarang, kapan-kapan aja. Aku lagi males,” tandas Nata.

“Kepedean kamu!” cibir Sena sembari menoyor kepala adik sepupunya itu.

“Sena, jangan kepala,” ingat Byan yang langsung membuat Sena meminta maaf.

“Lha terus kalian ngapain?” tanya Nata.

“Mengucapkan selamat tinggal. Siapa tau habis ini nama kamu dicoret dari trah Ararya,” ujar Dhanu.

Nata yang mendengar itu hanya tertawa. Bahkan tertawa sangat keras. Namun sedetik kemudian tawanya lenyap. Raut wajahnya menjadi datar. Setelahnya Nata memilih untuk duduk di ranjang dan melihat lekat ke arah jendela. Yang Nata lihat sekarang ada seekor kupu-kupu yang terbang bebas dari bunga satu ke bunga lainnya.

“Boleh juga Mas, nama Ararya berat banget di bawa kemana-mana,” ujar Nata enteng.

Lambemu, kalau bicara yang bener,” ucap Byan mengingatkan Nata.

Memang diantara para pangeran, hanya Byan yang selalu waras mengingatkan adik-adiknya yang terkadang sudah bertindak kelewatan. Bahkan Dhanu yang merupakan adik kandung Byan pun takut melihat kakaknya yang terkadang tak bisa santai sedikit saja. Tak jarang Byan sakit hati karena perkataan adik-adiknya yang sebenarnya hanya bercandaan. Menurut Nata itu semua karena sifat kolot Eyangnya masih kental mengalir di darah seorang calon Putra Mahkota Sang Pewaris Tahta.

“Kalem sih Mas, aku juga tau kalau udah takdirku jadi Pangeran Ararya. Mau gak mau harus menerima,” ujar Nata bijak yang membuat Gala mencibir di pojokan.

“Terus kenapa nolak perjodohan?” sahut Sena.

“Maaf ya Mas Sena, Mas Dhanu dan Mas Byan yang terhormat. Sebagai laki-laki itu yang di pegang omongan dan tindakannya. Kalau mutusin cewe buat jadian sama cewe lain itu gak etis, lagian aku wes cinta mati karo Kinna,” jelas Nata.

“Pacarmu se ayu opo seh, sampai bisa bikin Pangeran Ararya paling bandel ini jadi bucin?” tanya Dhanu.

“Tanya Gala coba,” ujar Nata sembari memasukkan airpods ke tasnya.

Gala yang merasa terpanggil pun berujar, “Ayu banget Mas, baik juga, perhatian sama orang. Keturunan Indo-Jepang, tapi menurutku lebih mirip bule kalo ngomong.”

Byan, Dhanu dan Sena mengangguk paham. Benar-benar tipikal perempuan idaman Nata. Sedari kecil tipe idaman Nata memang tidak berubah dan selalu diceritakan pada keempat sepupunya sampai mereka bosan sendiri. Nata menatap para sepupunya dengan senyum percaya diri andalannya. Keempatnya sibuk mencibir Nata saat laki-laki itu mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan foto Sang Pacar.

Yo pantes, visualnya udah setara putri raja,” ujar Sena.

“Pantesan adikku bucin,” sahut Dhanu.

“Tapi tetep aja Nat, yakin kalian bisa dapet restu?” tanya Byan.

“Eyang udah tau tentang hubungan kalian?” imbuh Byan.

Nata menoleh menatap kakak sepupunya itu. Ia tersenyum kecil lalu mengangguk. Bagaimana mungkin Eyang tak tahu kalau setiap 24/7 selalu ada laporan tentang semua kegiatannya. Tentu saja Eyang tahu tentang Kinna. Dan mungkin inilah penyebab utama mengapa perjodohan Nata dipercepat. Nata sangat tahu, bahkan ini semua sudah ada dipikirannya selama ini.

“Aku pulang dulu ke Jakarta ya saudara seper-pangeran-anku, ojo kangen. Biarkan sepupu kalian ini memperjuangkan cintanya, gak usah dibantu tapi cukup didukung aja,” ujar Nata yang berhasil mendapatkan lemparan bantal dari arah Dhanu yang sudah muak melihat kepercayaan diri adik sepupunya.

“Tobat kek lu Mas,” ujar Gala.

“Bacot,” balas Nata.

Nata menatap bangunan Keraton yang semakin lama semakin menghilang dari pandangannya. Tiba-tiba hatinya kembali dipenuhi kekhawatiran. Ia sebenarnya berat meninggalkan kedua orang tuanya, Ia tahu Ayah dan Ibunya pasti kesulitan memperjuangkan hak Nata terlebih pasti Eyang menyalahkan kedua orang tuanya. Ayah dan Ibu Nata pasti dianggap tidak bisa mendidik Nata dengan baik. Nata kembali menghembuskan nafas berat. Otaknya mulai berandai-andai jika pada awalnya Kinna memang di ciptakan untuknya mengapa mereka bertemu dengan status yang berbeda?

“Gimana jadinya kalau kamu beneran putri raja Na? Pasti gak akan seberat ini,” ujar Nata pada keheningan.

Jika memang keduanya ditakdirkan bersama, mengapa bukan Aeri Kinnas Naeswari yang menjadi tunangannya? Mengapa harus orang lain?

Apakah Nata benar-benar bisa merubah pandangan Keraton terhadap perempuan pilihannya?

Apakah Nata bisa bertahan pada pilihannya padahal tak banyak orang yang bisa membantunya melawan Sang Raja?

Apakah seorang Nata yang hanya Pangeran ke-4 ini bisa?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status