"Enak 'kan," kata Dicky tersenyum.
"Iya, enak," balas Zia.
"Tapi ada sisa makanan di mulut lo!" ujar Dicky kemudian mengambil tisu yang ada di meja itu.
Mengulurkan tangannya ke arah mulut Zia. Membersihkan sisa makanan yang bersarak di pinggiran mulut Zia. Dengan lembut dan penuh perasaan.
"Sebenarnya hati gue milih siapa? Kenapa perasaan ini beda dengan Fabio," batin Zia sembari melihat Dicky yang masih membersihkan mulutnya.
"Udah dong, malu di lihagin orang," ujar Zia tersenyum.
"Iya," sahut Dicky tersenyum.
"Oh iya Zia, nanti malam lo ada kegiatan nggak?"
"Kayanya nggak ada, si! Emangnya kenapa?" tanya Zia. Lalu meminum jus yang ada di mejanya.
"Gue mau ajak lo jalan-jalan. Yah ... sekedar liburanlah, besokan hari minggu," jawab Dicky.
"Boleh," ucap Zia tersenyum.
"Kalau gitu gue pulang dulu, ya! Gue mau siap-siap. Ingat nanti malam kita jalan," ujar Dicky.
"Iya ... " sahut Zia tersenyum.
"By." balas
Setelah Fabio pergi mengejar Lazia, kini giliran Dicky untuk mengejarnya. Mereka joging di daerah komplek rumah Lazia, di sana ada sebuah taman besar yang biasa di pakai untuk lari pagi. Fabio dan Dicky berada di belakang Lazia, mengikuti semua gerakan Lazia, seperti peregangan dan pemanasan. Lazia hanya diam melihat mereka berdua, berharap salah satu dari mereka pulang. Setelah satu jam joging, Lazia merasa lelah dan beristirahat di sebuah kursi panjang yang berada di taman itu. Fabio dan Dicky langsung berlari menuju Lazia, sembari membawa botol minuman dingin. "Zia, lo pasti cape bangetkan!" ucap Fabio tersenyum sembari mengulurkan botol minuman. "Mendingan yang gue aja Zia," ujar Dicky tersenyum, lalu mengulurkan botol minumannya. "Mending yang gue aja Zia! Ini langsung gue ambil dari pabriknya," kata Fabio, lalu melihat sinis ke arah Dicky. "Lo jangan bohong, ya
Malam berganti pagi. Hari ini Lazia benar-benar semangat, terlihat dari senyum lebarnya kepada Sopandi yang sedang berada di meja makan. Lazia mengambil beberapa roti lalu memakannya dengan senyum menggoda. Sopandi kaget kebingungan melihat tingkah laku putri bungsunya itu. Apa lagi pada hari senin ini, Lazia tampil lebih cantik."Ayah gimana Lazia, cantik nggak?" tanya Zia tersenyum."Kamu ke sekolah, ka!" ucap Sopandi menaikan sedikit intonasi suaranya."Iya-iya, lah ayah ... mau kemana lagi," kata Zia tersenyum."Baguslah," sahut Sopandi lemas."Bagaimana dinermu dengan Dicky tadi malam. Apa semuanya baik-baik saja?""Semuanya baik ayah, lancar!" jawab Zia tersenyum lalu memakan rotinya. Mendengar itu Sopandi hanya menghela nafasnya panjang.Bim, bim!"Dewi udah datang, Zia pergi dulu ya, ayah!" kata sembari menyalim tangan Sopandi.Di perjalanannya menuju sekolah, Lazia menceritakan Dicky kepada Dewi. Tentang kejadia
"Apa pentingnya ini buat lo," jawab Boby menatap sinis Zia. "Ini penting banget buat gue bob," kata Zia dengan nada sedih. "Pentingnya mana dia dengan Dicky?" tanya Boby cepat. "Gue emang suka sama Dicky, tapi itu dulu! Sebelum gue bertemu dengan dia, dia yang membuat hari-hari ku jadi berwarna," jawab Zia dengan mata berkaca-kaca. "Bob, please! Di mana Fabio sekarang." "Zia kayanya udah benar-benar mulai jatuh cinta sama Fabio, tapi kenapa dia baru sadar sekarang," batin Boby. "Kenapa lo diem Boby, ayo jawab di mana Fabio sekarang," ucap Zia dengan nada sedih. "Please!" Boby menghela nafas panjang lalu berjalan pergi masuk ke dalam kelas, "Lo bisa datang lagi sepulang sekolah dan gue akan kasih tau semuanya sama lo." Jam pulang pun terdengar. Saat Boby satu langkah dari pintu kelasnya, tiba-tiba salah satu temannya memanggil dan menunjuk ke arah belakang Boby. Saat Boby berbalik ia kaget, melihat Zia sedang jon
"Zia gue minta maaf, Zia!" ujar Fabio dengan nada tinggi dan Lazia berhenti sembari menangis tersedu-sedu."Gimanapun gue harus pergi.""Kenapa Fabio, Kenapa," lirih Zia dengan air mata yang tak kunjung berhenti."Di saat cinta datang dan lo harus pergi! Apa kita tidak bisa mencobanya terlebih dahulu? Setelah itu lo bebas mau pergi atau nggak.""Zia, hapus air mata lo. Lo jangan tangisi pria seperti gue," kata Fabio dengan nada dingin."Jika memang kita berjodoh, pasti Tuhan akan mempertemukan kita kembali dengan cara apapun.""Please Fabio jangan pergi," lirih Zia."Gue nyakin setelah nanti gue pergi. Lo pasti mendapatkan pria yang jauh lebih segalanya dari gue. Karena bagaimanapun gue harus pergi," kata Fabio yang membuat air mata Zia menetes cepat."Gue cuma pengen lo! Gue nggak mau yang lain Fabio, jadi please lo jangan pergi," pinta Zia."Kalau begitu, berikan alasan. Agar gue tetap bisa bertahan di sini," ujar Fabi
"Ganteng banget!"Lazialita Hidayanti, sering di panggil Zia. Gadis cantik di yang sekarang duduk di bangku kelas 12 sekolah menengah atas semester 2."Kenapa dia semakin hari semakin ganteng, ya!""Jelas dong, dia 'kan keturunan Korea. Makanya gantengnya enggak pernah luntur!"Balasan teman sebangkunya, Destiana Dwi Lestari. Sering di panggil Dewi. Teman seperjuangan Zia semenjak SMP. Suka dan duka mereka jalani bersama."Pengen rasanya gue bersandar di bahunya!" lirih Zia dari atas meja, melihat seorang pria sedang bermain basket, dari jendela kelasnya."Woi! Udah selesai belum?! Gue mau ngerjain pr, nih!" bentak pria pemilik meja yang mereka naikki."Iya-iya!""Bawel banget, si! Kaya ibu kos." ucap Dewi dan turun dari atas meja bersama Zia.Mereka berdua berjalan ke arah pintu masuk kelasnya, melihat kembali pria tersebut.Dicky Afrizal pria terpopuler di sekolah dengan khas rambutnya berwarna putih. Siswa terk
"Ck, sok akrab!" kata Zia lalu berjalan masuk ke dalam rumah.Malam tiba, Sopandi masuk ke kamar putri bungsungnya itu. Melihat putri kesayangan sedang belajar dengan headset di telinganya."Lazia!""Lazia!"Lazia tidak mendengar perkataan ayahnya itu, lalu Sopandi mendekatinya dan menarik headset yang bersarang di telingan Zia."Ayah?""Ayah ngapain ke kamar Zia?" tanya Zia."Kepala ayah sakit, tolong beliin obat!" jawab Sopandi memegang kepalanya."Ini udah jam 9, ayah! Mana ada warung yang buka," kata Zia."Tapi, Apotek enggak 'kan!" ucap Sopandi tersenyum."Ayah ... Zia lagi males!" ucap Zia dan memasukan lagi headset ke telinganya.Sopandi langsung menariknya headset itu lagi."Kalau kamu enggak mau, besok ayah enggak akan kasih uang jajan!" ujar Sopandi lalu berjalan perl
"Oh iya gue lupa""Sini sarungnya, bukanya gue nerima tawaran lo! Gue cuma mau ambil sarung itu!" ujar Zia mengulurkan tangannya.Fabio memberikan sarung itu dengan senyum manisnya. Lazia langsung melipat sarung itu dengan rapih dan memasukannya ke dalam keresek tempat obatnya itu.Setelah Lazia sampai di depan rumahnya, Fabio langsung memutuskan untuk pergi dengan lambaian yang dia lontarkan, Lazia hanya membalasnya dengan tatapan jijik."Aneh" gumang Lazia.*****"Hari ini siapa temanmu ke sekolah?" tanya Sopandi di meja makan."Seperti biasa ayah ... Dewi!" jawab Zia sambil memakan roti yang telah zia lapisi selai.Bim...Tak lama kemudian suara klakson mobil terdengar. Lazia langsung menghambiskan rotinya dan meminum secangkir susu, lalu mencium kening ayahnya dan beranjak pergi ke sekolah."Pr udah lo kerjain belum?" tanya Dewi berjalan di tepi lapangan."Udah dong. Mana mungkin gue enggak kerjain tugas dari guru
"Itu semua dari gue!"Suara yang berasal dari pintu masuk, Lazia dan Dewi berbalik dan melihat seorang pria menggunakan jaket levis berjalan ke arah mereka."Jadi dia!" gumang Zia."Maaf kalau sederhana." ucap pria itu.Boby Dirgantara, kelas 12 IPS 1. Pria yang sejak kelas 10 telah menyimpan cinta untuk Lazia. Tapi, Lazia tidak pernah membalas cinta darinya. Padahal Boby tidak termasuk pria jelek di sekolah bahkan populer. Dia juga anak dari Jendral tentara AD. Mungkin ini yang ke 20 kalinya dia menembak Lazia."Lo mau enggak jadi pacar gue?"Pria bersujud di hadapan Lazia sambil mengakat sebuah kotak kecil yang berisi cincin emas. Dewi yang melihatnya saja ikut terbawa suasana."Soswet deh!" ucap Dewi tersenyum.Siswa-siswi yang berada di kelas itu berteriak keras mengucapkan kaliamat Terima berulang-ulang."Diam!" teriak Lazia.Seketika semua siswa dan siswi terdiam saat mendengar perkataan Lazia."Lo berdiri