Share

Chapter 3 - Resah

Malam hari akan menjadi saat-saat paling dingin nan sunyi untuk Gina. Tak terkecuali juga malam ini; malam di mana ia akan menyambut detik-detik peringatan hari kelahirannya ke dunia ini 24 tahun silam. Hari di mana telah terlahir sesosok bayi cantik yang mungil, yang tidak akan ada seorang pun yang menyangka bahwa nasib dari bayi tersebut tidak akan sesuai dengan doa-doa dan harapan-harapan yang mereka panjatkan dulu.

Bahkan dalam menyambut hari spesial tersebut, ia hanya sendirian. Terduduk dalam sepi di salah satu kursi meja makan dengan sepotong kue dan lilin yang terhidang di atas meja di hadapannya.

Sementara waktu terus berjalan, Gina hanya termenung. Memikirkan banyaknya kejadian yang telah dialaminya selama ini. Tak ia sangka, 24 tahun terasa begitu singkat. Meski ada beberapa saat ketika ia merasa waktu berjalan dengan sangat lambat.

Contohnya, ketika Endra selalu memberikan tatapan tajam dan dingin padanya. Ia benci saat-saat seperti itu dan ingin segera mempercepat waktu untuk beberapa saat ke depan.

“Gina, apapun yang saat ini kamu miliki itu adalah hakmu. Apapun yang ingin kamu miliki itu adalah proses berjuangmu. Jadi, jangan pernah menyerah dan jangan pernah berhenti bersyukur atas segala karunia yang telah didapat. Selamat ulang tahun, Gina Kairen. Semoga Tuhan selalu melimpahi kamu dengan kasih sayang dan kesabaran tanpa batas,” gumamnya pelan.

Tepat jam 12 malam lebih satu detik, Gina meniup lilinnya dengan satu kali tiupan. Bersamaan dengan itu, ia juga melihat sosok yang berdiri di dekat tangga paling atas, tengah menatapnya tanpa eskpresi yang berarti.

Jadi, ketika keinginannya sudah terpenuhi, Gina segera membenahi lilin dan kue tersebut untuk kembali dimasukannya ke dalam lemari es. Ia akan memakannya esok hari ketika ingin.

Dan sekarang, sudah saatnya untuk beristirahat. Tubuhnya sangat lelah, hampir menyetarai rasa lelah dalam pikiran yang setiap hari selalu menghampirinya. Semoga saja, esok hari akan menjadi lebih baik dari hari ini.

Setidaknya, itu yang ada di pikirannya sebelum ia kembali melihat Endra dengan eskpresi yang masih sama seperti tadi; terkesan acuh dan tidak peduli.

***

“Nggak apa, nggak usah sungkan. Makasih sudah dikembalikan sesuai janji kamu. Nanti aku langsung sampaikan ke mas Endra.”

Perbincangan pagi hari di telpon itu cukup menjadi penyemangat Gina dalam memulai harinya. Salah seorang temannya yang juga teman Endra sudah mengembalikan pinjaman yang ia beri satu bulan lalu, dan ia akan mengembalikan uang itu pada Endra karena itu memang uang Endra di luar nafkah bulanannya.

Gina sendiri baru selesai memasak untuk sarapan. Seperti biasa, ia akan menunggu Endra di meja makan untuk makan bersama. Namun, ketika lelaki itu turun dan langsung menuju pintu, Gina segera melangkah cepat untuk menghampiri suaminya.

“Mas…”

Endra tidak menoleh, ia sibuk dengan panggilannya dengan seseorang di sebrang sana.

“Baik, terima kasih. Akan segera saya hubungi kembali. Selamat pagi.”

Dengan sabar Gina menunggu. Hingga saat ponsel itu sudah menjauh dari telinga Endra, dengan semangat ia berkata, “kamu nggak sarapan dulu, mas?”

“Nggak.”

Mendengar itu Gina hanya bisa tersenyum miris. Sementara Endra terus melangkahkan kakinya menuju garasi yang telah terbuka untuk mengambil mobilnya.

Namun, lagi-lagi Gina bersuara, “Kinanti sudah bayar pinjamannya, mas. Aku langsung transfer ke rekening kamu, ya?”

Decakan keluar dari mulut Endra. Melihat Gina yang berusaha menyamai langkah lebarnya membuat ia sedikit risih.

“Mas-“

“APA LAGI?!” tanya Endra kesal. Ia menghentikan langkahnya sembari menatap Gina dengan dahi berkerut dan sorot mata meminta jawaban.

Gina terkejut karena Endra membentaknya tiba-tiba. Jadi ia hanya diam, menatap wajah Endra yang kaku dan menggeleng pelan untuk menjawab pertanyaan suaminya. Padahal, bentakan seperti itu adalah makanan sehari-hari yang tidak lagi asing untuknya. Namun entah kenapa semenjak hamil, hatinya menjadi sangat sensitif dan mudah tersinggung.

Tanpa banyak bicara, Gina berbalik arah, melangkah menuju pintu dan segera masuk ke dalamnya. Di saat-saat seperti ini, perasaannya yang sedang sensitif tidak akan mampu untuk diajak berkompromi. Jadi ia lebih memilih menghindar daripada harus memaksakan usahanya dalam rangka membangun hubungan yang lebih baik dengan sang suami.

Hingga pada akhirnya, ia memutuskan untuk kembali ke kamar, merebahkan tubuh beratnya ke atas kasur dan menutup semua tubuhnya menggunakan selimut.

Gina tidak menangis. Sudah ia bilang bahwa hal seperti itu adalah makanan sehari-harinya. Jadi ia hanya akan sedikit merenung sembari mengusap perut besarnya, membisikan kalimat-kalimat penenang untuk si jabang bayi yang mungkin ikut terkejut karena bentakan sang ayah.

“Maafkan ibu, ya, sayang.”

***

Lagi-lagi Endra merasa gelisah setelah beberapa saat yang lalu telah berbuat seperti itu pada Gina. Sungguh, sebelumnya ia tidak pernah merasa seperti ini. Semuanya berubah ketika ia memberikan surat cerai pada Gina yang harus ditandatangani, yang bahkan sampai saat ini surat itu masih ada di tangan sang sitri dan belum jelas apakah akan disetujui atau tidak.

Setelah menimang beberapa saat, Endra yang tidak ingin bekerja dengan keadaan seperti itu merasa harus mengalah dengan kembali masuk ke dalam rumahnya. Ia hanya ingin memastikan keadaan Gina, dan akan berpura-pura mengambil berkasnya yang tertinggal untuk menutupi rasa malu kalau-kalau perempuan itu tahu Endra kembali masuk ke dalam rumah hanya untuk melihatnya.

Sayangnya, keberadaan perempuan itu tidak Endra jumpai di tempat yang seharusnya. Hanya ada dua piring nasi dan dua piring lauk yang masih terlihat utuh di atas meja makan. Jadi ia kembali melangkahkan kakinya menuju tempat yang sangat mungkin tengah ditempati oleh sang istri; kamar tidur.

Ketika Endra sampai di sana, Endra berusaha untuk mengendap-ngendap agar keberadaannya tidak akan disadari Gina. Bagusnya, pintu kamar itu sedikit terbuka, memungkinkannya untuk menengok apa yang sekiranya tengah istrinya lakukan.

“Maafkan ibu, ya, sayang.”

Sayup-sayup kalimat itu menyapa gendang pendengaran Endra. Cukup jelas meski seperti teredam oleh sesuatu.

“Maafkan ibu atas semua ketidaknyamanan kamu selama ini. Maafkan ibu juga karena banyak keinginan kamu yang nggak bisa ibu penuhi.”

Hening sesaat, Endra masih mendengarkan, hingga-

“Bahkan hal sederhana seperti usapan tangan ayahmu saja nggak bisa ibu penuhi. Maaf, ya, nak.”

Sesuatu yang tajam seolah menikam jantung Endra secara tiba-tiba. Kalimat yang baru diucapkan Gina sangat mengganggu kenyamanan hatinya.

“Tapi usapan tangan ibu juga sama hangatnya, kan, sayang? Nggak apa-apa, ya. Semoga nanti kamu tumbuh menjadi manusia yang berjiwa lapang dan berhati besar. Kamu anak ibu. Satu-satunya yang ibu punya setelah mungkin nanti ayahmu nggak akan lagi bersama kita.”

Endra? Ia terdiam seribu bahasa.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status