Padatnya rutinitas di ibukota pada pagi hari menjadi salah satu kendala yang cukup serius bagi beberapa orang. Salah satunya adalah Endra. Beberapa kali terjebak macet di beberapa titik yang berbeda membuat waktunya harus terbuang percuma dan mengorbankan janjinya yang sudah ia buat kemarin siang bersama sang client.
“Iya, Pak. Sudah saya sampaikan kepada beliau bahwa anda kemungkinan akan terlambat karena terjebak macet. Beliau maklum dan merasa tidak keberatan jika harus menunggu sedikit lebih lama.”
Helaan napas lega langsung saja terdengar. “Syukur kalau begitu. Saya pastikan akan sampai dalam 15 menit.”
“Baik, Pak. Saya sampaikan kembali kepada beliau.”
“Terima kasih, Ji.”
“Dengan senang hati, pak.”
Endra menutup panggilannya dan kembali fokus pada jalanan. Jika bukan karena terlalu banyak merenung setelah mendengar ucapan Gina, ia tidak akan terlambat pergi ke kantor. Juga, sebenarnya ia sedikit menyesal dengan pilihannya untuk kembali masuk ke dalam rumah. Sebab kini pikiran dan hatinya malah terasa semakin gelisah dan tidak karuan.
Sial sekali.
***
“Gina?”
Seketika Gina terbangun dari tidur singkatnya di pagi hari ini. Tadinya ia hanya ingin menenangkan diri sebentar dengan cara menutupi tubuhnya dengan selimut, tapi ternyata ia malah ketiduran.
“Gina?”
Panggilan itu terdengar lagi. Jadi dengan segera Gina turun dari ranjangnya dan bergegas keluar kamar untuk menemui ibu mertuanya yang entah dari kapan sudah tiba di sana; berdiri di dekat dapur sembari menengok kanan kiri.
“Mama? Maaf, Ma, barusan Gina ketiduran,” ujarnya sembari menghampiri Irma –ibu mertuanya, untuk menyalaminya.
Melihat sang menantu yang tengah memegangi perutnya dengan sebelah tangan, membuat Irma tersenyum simpul. “Nggak usah minta maaf. Wajar saja, dulu waktu hamil Anna mama juga keseringan tidur.” Irma mengusap perut Gina dan kembali bertanya, “gimana keadaan kandungan kamu? Sehat, kan? Nggak ada masalah apa-apa, kan?”
“Alhamdulillah semuanya baik, Ma. Kalau ada apa-apa pasti Gina dan Mas Endra langsung hubungi Mama.”
“Iya, harus. Biar Mama, Papa dan Anna bisa langsung gerak cepat.”
Gina tidak pernah tidak tersenyum ketika sedang berbicara dengan Irma. Namun, pertanyaan Irma terkadang tidak selalu menyenangkan untuknya.
“Tapi kamu kenapa keluar dari kamar tamu? Nggak tidur di atas?”
“Gina agak capek kalau harus naik turun tangga, Ma. Jadi, Gina minta mas Endra untuk sementara pindah ke kamar bawah.”
“Oh, begitu.” Irma melangkahkan kakinya ke meja makan dan menemukan dua piring nasi dengan lauk yang sama sekali belum tersentuh. “Lalu ini? Kamu dan Endra nggak sarapan dulu?”
Apa Gina bilang.
“Mas Endra buru-buru pergi ke kantor karena ada sedikit masalah. Jadi rencananya makanannya mau Gina kirim aja ke sana.”
“Siapa yang mau kirim?”
“Mungkin… ojek online.”
“Gimana kalau mama anterin kamu ke kantornya Endra? Sekalian kita jalan-jalan.”
Karena sudah terlanjur dan tidak ingin membuat ibu mertuanya curiga, Gina hanya bisa mengangguk mengiyakan.
“Kalau begitu, Gina mau siapkan dulu makanannya.”
Irma mengangguk dan tersenyum. “Biar Mama bantu.”
Hingga satu setengah jam berlalu, mereka sudah sampai di lobi perusahaan milik Endra. Perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi ini sudah berdiri sejak 5 tahun yang lalu. Masih terbilang baru karena Endra benar-benar merintis semuanya dari nol.
“Selamat pagi Bu Irma dan Bu Gina. Ada yang bisa saya bantu?”
Resepsionis di sana begitu ramah dan sangat baik. Hal ini yang membuat Gina tidak pernah bosan datang ke perusahaan Endra meski kunjungannya ke tempat itu masih bisa dihitung dengan jari. Itu pun, hanya untuk mendukung sandiwara mereka.
“Endra ada di ruangannya?”
“Kebetulan Pak Endra sedang berada di ruang meeting, Bu. Apa mau saya sampaikan pada sekretaris beliau untuk memberi tahu kedatangan ibu dan Bu Gina?”
“Nggak perlu. Kami tunggu di depan ruangannya saja.”
“Ah, baik bu, silakan.”
“Terima kasih ya, Nina.”
“Dengan senang hati.”
Sedari tadi Gina hanya diam dengan senyuman yang tidak luntur dari bibirnya. Bahkan ketika hendak pergi dari sana, ia sempatkan untuk menatap ke arah Nina dan sedikit menundukkan kepalanya sebagai gestur berpamitan, yang juga dibalas serupa oleh Nina.
“Hati-hati jalannya, nak, jangan sampai kepeleset.”
Gina mengangguk, “Iya, Ma.”
Akhirnya mereka telah sampai di lantai 7; lantai tertinggi dari bangunan tersebut. Mereka menunggu di sofa kecil di luar ruangan Endra sembari bercengkrama dan sesekali tertawa karena sesuatu yang lucu.
Hingga tak lama kemudian Endra muncul dari balik tembok sembari menggenggam beberapa berkas di tangannya. Hal itu disambut senyuman oleh Gina. Ia berdiri untuk melancarkan sandiwaranya dengan masih tersenyum manis.
Namun tak lama senyuman itu hilang, terganti dengan denyutan sakit yang hatinya rasakan secara tiba-tiba.
Endra memang ada di sana, berjalan tenang sembari melihat berkas di tangannya. Namun seseorang yang berjalan di belakang Endra cukup membuat Gina seperti kehilangan pikirannya untuk beberapa saat.
Safira…
Mantan kekasih Endra yang Gina sendiri tidak yakin bahwa mereka sudah tidak memiliki hubungan apa-apa. Bagaimana pun, Safira, atau yang sering Endra panggil Fira, adalah seseorang yang masih Endra cintai hingga kini. Seseorang yang seringkali menjadi alasannya merasakan perasaan iri yang tidak berdasar. Padahal, ia sudah terbiasa ketika Endra mengatakan bahwa lelaki itu masih sangat mencintai Fira. Tapi kalau harus membayangkan bahkan melihat secara langsung interaksi mereka, rasanya Gina ingin segera pergi untuk merenungi perasaan sakitnya seharian.
“Loh, Mama?”
Irma yang juga sama-sama melihat apa yang Gina lihat hanya bisa menghela napas panjang. Ia alihkan pandangannya pada Safira yang juga tengah menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
Sejujurnya, Irma tidak pernah membenci Safira. Ketika ia meminta Safira untuk memahami kondisi keluarganya terutama Endra yang harus menikahi Gina, ia membicarakannya secara baik-baik dan diterima baik-baik pula oleh perempuan itu. Tapi sayangnya sekarang ada Gina di sampingnya, jadi ia sangat takut untuk melakukan sesuatu; takut melukai hati salah satu di antara keduanya.
Endra menolehkan wajahnya pada Safira sebelum memasang wajah tersenyumnya pada Irma dan Gina. “Mama dan Gina sudah lama di sini? Kenapa nggak langsung masuk saja? Ini juga. Kamu kan sudah biasa ke sini, kenapa nggak tunggu di dalam?”
Gina tahu Endra sudah memulai sandiwaranya, jadi ia tanggapi dengan sama antusiasnya. “Nggak apa, mas. Tadi kita tunggu sambil ngobrol juga sama beberapa karyawan.”
“Oh, gitu.” Tatapan mata Endra kembali pada Safira, dan hal itu cukup membuat hati Gina kembali berdenyut nyeri. “Kamu jangan salah paham, ya, sayang. Safira di sini karena perusahaan tempatnya bekerja sedang ada proyek dengan perusahaan ini. Kamu nggak apa kan?”
“Nggak, kok, nggak apa-apa. Santai saja.”
Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, Gina berharap bahwa tadi pagi ia belum bangun. Dan ini hanyalah salah satu mimpi acaknya yang tidak sengaja melintas dalam tidur singkatnya.
***
“Kamu sudah makan, sayang? Maaf, ya, tadi pagi aku buru-buru jadi nggak sempat sarapan bareng kamu.”Gina yang tadinya berpikir bahwa ia hanya tinggal bersandiwara seperti biasa, kini menjadi sedikit canggung dan sulit mengontrol diri. Pasalnya Safira masih duduk tak jauh darinya, sembari memilah berkas yang tadi dipegang oleh Endra.“Oh, em, i-iya mas nggak apa-apa. I-ini aku bawa makanannya ke sini biar kita bisa makan sama-sama.”“Wah, kalau gini sih ngerepotin.”“Nggak kok, mas.”“Makasih, ya, sayangku.”Mata Gina sudah memerah ketika Endra yang duduk di sampingnya tiba-tiba mengecup keningnya dengan lembut. Disaksikan oleh Irma dan Safira, ini adalah kecupan pertamanya dari Endra.“Setelah ini, kalau mau ada pertemuan pagi-pagi ya bangunnya harus lebih pagi juga. Mag kamu kan sudah parah, kalau sampai asam lambungnya naik pas lagi ketemu client gimana?”Tabiat seorang ibu memang sering mengomeli anaknya, namun Endra sendiri adalah tipe anak yang justru menikmati omelan tersebut.
“Kenapa, Mas? Ada masalah di kantor?”Hari di mana Endra mengantarkan Gina pulang sampai ke rumah sudah satu minggu yang lalu, dan semenjak itu pula perlakuan Endra kembali kasar dan dingin padanya.Seperti malam ini. Lelaki itu pulang dengan wajah merah menahan amarah. Hal ini membuat Gina sebenarnya enggan untuk bertanya, namun ia juga tidak nyaman jika harus diam dan membiarkan Endra dalam keadaan yang seperti itu.“Mas-““Kamu tahu, kan, kalau kamu ini hanya benalu? Cukup dengan statusmu yang seperti itu, jangan buat aku semakin muak sama kamu.”“Tapi aku khawatir, aku takut kamu ada masalah dan-““Masalahku itu kamu, Sialan! Sampai kapanpun selama kamu masih ada di sini, masalahku nggak akan pernah hilang dan justru makin bertambah!”Ada banyak perasaan yang Gina rasakan setiap kali Endra berteriak dan memakinya tanpa alasan, salah satunya adalah perasaan tertekan yang belum pernah ia rasakan seumur hidupnya.“Berapa kali aku bilang, cukup urusi urusanmu dan jangan ingin tahu uru
Pagi ini terasa ada yang berbeda. Endra tidak mencium aroma masakan yang biasanya selalu menguar hingga ke setiap penjuru rumah. Ia juga tidak mendengar adanya pergerakan atau tanda-tanda seseorang sedang memasak di dapur. Pun, meja makan yang biasanya sudah terisi kini masih dalam keadaan kosong. Aneh, tapi Endra tidak ingin ambil pusing dan memutuskan untuk segera pergi ke kantor.“Heh, calon pengantin ngapain di sini pagi-pagi buta begini?”Daffa yang memang sudah menunggu Endra di dalam lobi langsung berdiri dan menepuk bahu Endra dengan sedikit keras. “Gue butuh bantuan lo.”***“Lo yakin dia yang bawa kabur uangnya?”“Iya, dia. Gue udah lapor polisi tapi belum juga ada perkembangan apa-apa.” Daffa mengacak-acak rambutnya dengan jengah. “Gue baru tahu dari lo kalau ternyata dia tunangannya Safira.”“Siapa namanya?”“Apa?”“Manusia ini. Siapa namanya?”“Andika.”Mungkin, Endra harus memberitahu Safira perihal ini. Bagaimana pun, jika terjadi sesuatu pada Andika, nama Safira akan i
Di kamarnya, tubuh Gina mendadak lemas dan ia jatuh terduduk di atas tempat tidurnya. Tak lama kemudian Endra datang dengan tergesa-gesa, wajahnya terlihat sedikit panik cenderung penasaran.“Kenapa?”Kata itu keluar begitu saja dari mulut Endra ketika ia melihat pecahan gelas di bawah kaki Gina.Sementara yang ditanyai hanya menatap Endra dengan heran, kemudian dengan polos berkata, “tadi ada cicak di dekat nakas. Aku kaget, jadi gelasnya nggak sengaja kesenggol.”Andai kloset di kamar mandi bisa menghanyutkan manusia, mungkin Endra akan bergegas ke kamar mandi dan menghanyutkan tubuhnya sendiri di sana. Sekarang, di mana ia harus menyembunyikan wajahnya?“Kamu… kenapa, Mas?”Pertanyaan itu tidak Endra hiraukan. Ia melihat pecahan kaca yang sedikit tergenangi air, lalu kembali menatap Gina dengan wajah yang kembali dingin. “Kamu bisa bereskan?”Gina melihat pecahan itu sekilas kemudian mengangguk. “Bisa, Mas.”Akhirnya tanpa menunggu lama lagi Endra keluar dari kamar itu, kembali ber
Keterdiaman Endra membuat Gina yakin bahwa sang suami amat sangat membencinya. Mungkin hal itu pula yang menyebabkan Endra tidak pernah bersikap seperti suami kebanyakan pada umumnya.“Nggak apa, Mas, nggak usah-““Kamu cinta aku?”Diberi pertanyaan seperti itu Gina mengangguk dengan antusias. Tak terhitung lagi seberapa besar ia mencintai dan menyayangi Endra, bahkan semenjak mereka baru beberapa kali bertemu.Namun perkataan Endra selanjutnya membuat Gina terhempas dari awan yang membawanya terbang, membuatnya terjatuh dengan keras menuju dasar jurang yang curam nan dalam.“Kalau begitu, seharusnya dulu kamu ikhlaskan aku untuk bersama dengan pilihanku. Bukan malah memohon kepada kedua orang tuaku dengan mengungkit perbuatan baik yang sudah orang tua mu lakukan terhadap keluargaku. Aku tahu, kamu hanya sendiri tanpa sanak saudara setelah kehilangan orang tua dan kakakmu, tapi bukan berarti kamu bisa bersikap seenaknya tanpa memikirkan orang lain.” Endra melepaskan tangan Gina yang s
“Kalau saja wajah kamu setenang ini setiap natap aku, Mas, pastinya rasa bersalah di hatiku sedikit berkurang.”Gina sudah duduk di sana selama 5 menit; di sisian tempat tidurnya sembari memandangi wajah sang suami yang terlihat begitu lelap dalam mimpinya.Namun tiba-tiba pandangannya beralih pada tangan Endra yang terkulai di sisi tubuh lelaki itu, membuat Gina memiliki pemikiran lain yang ia rasa hanya ini kesempatan satu-satunya untuk merealisasikannya dengan cepat. Jadi dengan pelan ia sentuh tangan besar itu, ia angkat perlahan dan ia bawa ke atas perut besarnya yang sudah mengeras. Rasa hangat perlahan singgah di sana, di atas baju tipis yang langsung terhubung ke permukaan kulitnya.Perlahan, ia gerakan tangan itu dengan gerakan mengusap, mencoba senatural mungkin seolah Endra yang dengan sukarela melakukannya.“Gimana, Nak? Hangat, kan, tangan Ayah?” gumamnya sambil terkekeh pelan.Di lain sisi, Endra yang hanya berpura-pura tertidur mencoba untuk menahan matanya agar tidak b
“Apa itu salah?”Endra malah menjawab pertanyaannya dengan pertanyaan lain yang membuat hati Gina semakin berdenyut sakit.Seharusnya, ia sudah terbiasa dengan itu. Safira adalah cinta pertama Endra yang masih memegang tahta tertinggi di hati lelaki itu hingga detik ini. Mustahil jika Endra akan membiarkan Safira mengalami sesuatu yang buruk di luar sana.Lain halnya dengan Gina. Mungkin jika ia mati pun, Endra hanya akan menemani jenazahnya sebagai bentuk tanggung jawab saja, bukan kehilangan.“S-semoga, Safira selalu berada dalam lindungan Tuhan,” ujarnya dengan senyum tipis yang menyimpan banyak arti. “Kamu istirahat saja di sini. Kalau ada apa-apa, aku ada di ruang tengah.”Tanpa menunggu respon dari Endra, Gina segera membereskan alat makan tadi untuk segera dicucinya. Ia juga harus menumpahkan air mata yang terlanjur menggenang di pelupuk matanya.Setelah kepergian Gina, Endra kembali mengeluarkan kedua foto tadi dari saku celananya; pas foto kecil Gina ketika menjadi mahasiswa,
“Mama? Papa? Lihat, aku sama siapa?”Gina muncul dari balik pintu dan langsung tersenyum lebar ke arah kedua mertuanya yang tampak terkejut dengan kehadirannya.“Ya ampun… Ini menantu Mama kok nggak bilang-bilang mau datang? Jadinya Mama belum siapkan apa-apa.”Irma menghampiri Gina dan langsung memeluknya dengan erat. Jangan salah, rasa sayang yang ia berikan pada Gina sama besarnya dengan yang ia berikan pada Endra maupun Anna.Pelukan itu Irma lepaskan dan Gina beralih pada Papa mertuanya yang juga sangat baik. Ia menyalami Ardi dan memeluknya sekilas.“Maaf ya, Ma, Pa, Gina baru bisa datang sekarang.”“Nggak perlu minta maaf. Ayo sini masuk, kamu mau makan? Atau mau apa? Mama ambilkan.”“Nggak usah, Ma, nanti kalau mau Gina bisa ambil sendiri.”Irma menuntun Gina untuk duduk di sofa, diikuti oleh Anna yang duduk di sebelahnya.“Gimana cucu Papa? Sehat? Dia nggak rewel?” Ardi bertanya dengan senyuman yang masih terpatri di bibirnya. Jika dipikir-pikir, senyuman Endra sangat mirip d