Share

Chapter 4 - Safira

Padatnya rutinitas di ibukota pada pagi hari menjadi salah satu kendala yang cukup serius bagi beberapa orang. Salah satunya adalah Endra. Beberapa kali terjebak macet di beberapa titik yang berbeda membuat waktunya harus terbuang percuma dan mengorbankan janjinya yang sudah ia buat kemarin siang bersama sang client.

“Iya, Pak. Sudah saya sampaikan kepada beliau bahwa anda kemungkinan akan terlambat karena terjebak macet. Beliau maklum dan merasa tidak keberatan jika harus menunggu sedikit lebih lama.”

Helaan napas lega langsung saja terdengar. “Syukur kalau begitu. Saya pastikan akan sampai dalam 15 menit.”

“Baik, Pak. Saya sampaikan kembali kepada beliau.”

“Terima kasih, Ji.”

“Dengan senang hati, pak.”

Endra menutup panggilannya dan kembali fokus pada jalanan. Jika bukan karena terlalu banyak merenung setelah mendengar ucapan Gina, ia tidak akan terlambat pergi ke kantor. Juga, sebenarnya ia sedikit menyesal dengan pilihannya untuk kembali masuk ke dalam rumah. Sebab kini pikiran dan hatinya malah terasa semakin gelisah dan tidak karuan.

Sial sekali.

***

“Gina?”

Seketika Gina terbangun dari tidur singkatnya di pagi hari ini. Tadinya ia hanya ingin menenangkan diri sebentar dengan cara menutupi tubuhnya dengan selimut, tapi ternyata ia malah ketiduran.

“Gina?”

Panggilan itu terdengar lagi. Jadi dengan segera Gina turun dari ranjangnya dan bergegas keluar kamar untuk menemui ibu mertuanya yang entah dari kapan sudah tiba di sana; berdiri di dekat dapur sembari menengok kanan kiri.

“Mama? Maaf, Ma, barusan Gina ketiduran,” ujarnya sembari menghampiri Irma –ibu mertuanya, untuk menyalaminya.

Melihat sang menantu yang tengah memegangi perutnya dengan sebelah tangan, membuat Irma tersenyum simpul. “Nggak usah minta maaf. Wajar saja, dulu waktu hamil Anna mama juga keseringan tidur.” Irma mengusap perut Gina dan kembali bertanya, “gimana keadaan kandungan kamu? Sehat, kan? Nggak ada masalah apa-apa, kan?”

Alhamdulillah semuanya baik, Ma. Kalau ada apa-apa pasti Gina dan Mas Endra langsung hubungi Mama.”

“Iya, harus. Biar Mama, Papa dan Anna bisa langsung gerak cepat.”

Gina tidak pernah tidak tersenyum ketika sedang berbicara dengan Irma. Namun, pertanyaan Irma terkadang tidak selalu menyenangkan untuknya.

“Tapi kamu kenapa keluar dari kamar tamu? Nggak tidur di atas?”

“Gina agak capek kalau harus naik turun tangga, Ma. Jadi, Gina minta mas Endra untuk sementara pindah ke kamar bawah.”

“Oh, begitu.” Irma melangkahkan kakinya ke meja makan dan menemukan dua piring nasi dengan lauk yang sama sekali belum tersentuh. “Lalu ini? Kamu dan Endra nggak sarapan dulu?”

Apa Gina bilang.

“Mas Endra buru-buru pergi ke kantor karena ada sedikit masalah. Jadi rencananya makanannya mau Gina kirim aja ke sana.”

“Siapa yang mau kirim?”

“Mungkin… ojek online.

“Gimana kalau mama anterin kamu ke kantornya Endra? Sekalian kita jalan-jalan.”

Karena sudah terlanjur dan tidak ingin membuat ibu mertuanya curiga, Gina hanya bisa mengangguk mengiyakan.

“Kalau begitu, Gina mau siapkan dulu makanannya.”

Irma mengangguk dan tersenyum. “Biar Mama bantu.”

Hingga satu setengah jam berlalu, mereka sudah sampai di lobi perusahaan milik Endra. Perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi ini sudah berdiri sejak 5 tahun yang lalu. Masih terbilang baru karena Endra benar-benar merintis semuanya dari nol.

“Selamat pagi Bu Irma dan Bu Gina. Ada yang bisa saya bantu?”

Resepsionis di sana begitu ramah dan sangat baik. Hal ini yang membuat Gina tidak pernah bosan datang ke perusahaan Endra meski kunjungannya ke tempat itu masih bisa dihitung dengan jari. Itu pun, hanya untuk mendukung sandiwara mereka.

“Endra ada di ruangannya?”

“Kebetulan Pak Endra sedang berada di ruang meeting, Bu. Apa mau saya sampaikan pada sekretaris beliau untuk memberi tahu kedatangan ibu dan Bu Gina?”

“Nggak perlu. Kami tunggu di depan ruangannya saja.”

“Ah, baik bu, silakan.”

“Terima kasih ya, Nina.”

“Dengan senang hati.”

Sedari tadi Gina hanya diam dengan senyuman yang tidak luntur dari bibirnya. Bahkan ketika hendak pergi dari sana, ia sempatkan untuk menatap ke arah Nina dan sedikit menundukkan kepalanya sebagai gestur berpamitan, yang juga dibalas serupa oleh Nina.

“Hati-hati jalannya, nak, jangan sampai kepeleset.”

Gina mengangguk, “Iya, Ma.”

Akhirnya mereka telah sampai di lantai 7; lantai tertinggi dari bangunan tersebut. Mereka menunggu di sofa kecil di luar ruangan Endra sembari bercengkrama dan sesekali tertawa karena sesuatu yang lucu.

Hingga tak lama kemudian Endra muncul dari balik tembok sembari menggenggam beberapa berkas di tangannya. Hal itu disambut senyuman oleh Gina. Ia berdiri untuk melancarkan sandiwaranya dengan masih tersenyum manis.

Namun tak lama senyuman itu hilang, terganti dengan denyutan sakit yang hatinya rasakan secara tiba-tiba.

Endra memang ada di sana, berjalan tenang sembari melihat berkas di tangannya. Namun seseorang yang berjalan di belakang Endra cukup membuat Gina seperti kehilangan pikirannya untuk beberapa saat.

Safira…

Mantan kekasih Endra yang Gina sendiri tidak yakin bahwa mereka sudah tidak memiliki hubungan apa-apa. Bagaimana pun, Safira, atau yang sering Endra panggil Fira, adalah seseorang yang masih Endra cintai hingga kini. Seseorang yang seringkali menjadi alasannya merasakan perasaan iri yang tidak berdasar. Padahal, ia sudah terbiasa ketika Endra mengatakan bahwa lelaki itu masih sangat mencintai Fira. Tapi kalau harus membayangkan bahkan melihat secara langsung interaksi mereka, rasanya Gina ingin segera pergi untuk merenungi perasaan sakitnya seharian.

“Loh, Mama?”

Irma yang juga sama-sama melihat apa yang Gina lihat hanya bisa menghela napas panjang. Ia alihkan pandangannya pada Safira yang juga tengah menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.

Sejujurnya, Irma tidak pernah membenci Safira. Ketika ia meminta Safira untuk memahami kondisi keluarganya terutama Endra yang harus menikahi Gina, ia membicarakannya secara baik-baik dan diterima baik-baik pula oleh perempuan itu. Tapi sayangnya sekarang ada Gina di sampingnya, jadi ia sangat takut untuk melakukan sesuatu; takut melukai hati salah satu di antara keduanya.

Endra menolehkan wajahnya pada Safira sebelum memasang wajah tersenyumnya pada Irma dan Gina. “Mama dan Gina sudah lama di sini? Kenapa nggak langsung masuk saja? Ini juga. Kamu kan sudah biasa ke sini, kenapa nggak tunggu di dalam?”

Gina tahu Endra sudah memulai sandiwaranya, jadi ia tanggapi dengan sama antusiasnya. “Nggak apa, mas. Tadi kita tunggu sambil ngobrol  juga sama beberapa karyawan.”

“Oh, gitu.” Tatapan mata Endra kembali pada Safira, dan hal itu cukup membuat hati Gina kembali berdenyut nyeri. “Kamu jangan salah paham, ya, sayang. Safira di sini karena perusahaan tempatnya bekerja sedang ada proyek dengan perusahaan ini. Kamu nggak apa kan?”

“Nggak, kok, nggak apa-apa. Santai saja.”

Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, Gina berharap bahwa tadi pagi ia belum bangun. Dan ini hanyalah salah satu mimpi acaknya yang tidak sengaja melintas dalam tidur singkatnya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status