“Milik, Bapak?” tanyaku bengong.
“Iya … milikku. Kamu tidak boleh menerima pesan atau telepon dari lelaki lain selain aku! Ini perintah, Shera!” Pak Nala pun berlalu. Meninggalkan aku yang kebingungan.
Apa maksud lelaki itu. Miliknya? Aneh! Tidak ada angin tak ada hujan, bagaimana dengan mudahnya dia menyebut hak milik. Ah, Tidak. Mungkin Pak Nala sedang bermimpi di siang bolong.
Apa-apaan? Aku tak boleh menerima pesan dari lelaki lain? Memangnya bisa? Buat apa punya ponsel jika hanya diam tanpa pesan. Ah, memang bos satu itu selalu maunya sendiri.
Eh, ada yang lupa. Handphoneku masih ada di tangan bos killer itu. Aku pun bangkit, merapikan ranjang yang sedikit berantakan dan penampilanku yang sedikit acak-acakan. Kemudian berjalan ke luar dan mencari sosok Pak Nala.
Sesaat, mataku menangkap punggung lelaki itu sedang berdiri di bingkai jendela. Di luaran sana gelap sudah semakin pekat. Aku mendekat dan ikut memperhatikan pemandangan lua
Demi apa pun juga, pukul 07.00 pagi, mobil Pak Nala sudah terparkir rapi di depan rumah. Sialnya, emak sangat welcome dan mengajak sarapan bersama, dan bodohnya aku, Pak Nala tidak menolak ataupun menghindar. Sehingga kami terjebak dalam suasana absurd di ruang makan.Aku tak lagi merasa lapar saat melihat wajah dingin bosku yang sedang duduk di salah satu kursi di ruang makan. Perutku mendadak kenyang hanya dengan melihat sosoknya. Beruntungnya, Pak Nala tidak berlama-lama untuk mencicipi masakan emak.Huft. Aku bersyukur kisah absurd di meja makan berhenti sampai di sini. Akhirnya aku dan Pak Nala meninggalkan rumah kesayangan dengan penuh drama Korea. Di dalam mobil, aku pura-pura diam. Padahal jantungku di dalam sana sudah meloncat ingin keluar.“Kenapa diem? Udah tahu apa kesalahan kamu?” tanya Pak Nala. “Karena kamu tak mengikuti perintah, sekarang ada hukuman khusus,” lanjutnya.Pak Nala tiba-tiba mendekat. Membuat napasku tersekat. Aroma m
Aku memilih duduk di samping Pak Nala sambil berdiam dengan jantung yang bedegub kencang. Beruntung, dewi fortuna berpihak padaku. Presentasi yang harus aku lakukan berada di urutan ke sekian. Sehingga aku bisa belajar dan menikmati.Ternyata tak sesulit yang aku bayangkan. Pertama mengikuti meeting karena berbuat kesalahan dan harus mempertanggung jawabkan tak membuatku menjadi gagu. Setelah memperhatikan beberapa orang presentasi sekarang giliranku.Pak Nala hanya mengangguk saat aku berdiri dan memasang data-data di Flash disk yang beruntungnya sudah aku persiapkan secara mendadak. Walaupun perdana aku berbicara di depan orang. Namun, hasilnya tak seburuk yang aku pikirkan. Semua lancar berkat hafalan yang tak sengaja aku lakukan tadi pagi.Dan Pak Nala? Lelaki itu membantuku saat ada pertanyaan yang kiranya tak sanggup aku jawab. Bos satu ini tak seburuk yang orang-orang pikir. Beruntung sekali di bawah
“Kamu direkomendasikan untuk menjadi sekretaris CEO baru,” kata Bu Sherly. Sesaat setelah aku memasuki ruangannya.Bagai tersambar halilintar kabar yang aku dengar cukup mengejutkan. Pasalnya aku tak pernah berusaha untuk menonjolkan diri atau pun lainnya. Namun, bagaimana mungkin inis emua terjadi. Menjadi sekretaris CEO itu bukan perkara yang mudah.“Saya tak punya pengalaman menjadi sekretaris, kan, Bu? Lagian saya masih baru di perusahaan ini. Apa tidak akan menimbulkan rasa iri pegawai lama?” tanyaku dengan nada sopan.“CEO baru yang memilihmu. Saya pun tak bisa menolak, Shera. Kamu tenang saja. Gaji akan menyesuaikan sesuai jabatan. Cukup itu saja informasi yang kamu terima. Untuk berkas pengangkatan menyusul setelah masa jabatan CEO baru di mulai.”“Apa saya tidak bisa menolak?” tanyaku. “Saya lebih nyaman di bagian saya yang sekarang,” jelasku.“Tidak. Itu sudah keputusan final.”Huft! Mengapa kesialan demi kesialan terjadi dala
Astaga kepala divisi accounting main domino? Aku bengong, tetapi sedetik kemudian menahan tawa. Aku yakin kedua pipiku menggembung. Tak kuasa kutahan hongga akhirnya aku terbahak.“Hahaha,”Pak Nala menatapku tanpa kedip. Dia mempause permainannya. Aku yang sadar segera menutup mulut. Anehnya, lelaki itu seperti tak merasa tersinggung saat aku menertawakannya. Matanya terlihat ada sedikit binar-binar entah bahagia atau apalah ketika memandangku.Pak Nala tersenyum kemudian berkata, “Shera, tak kusangka ternyata kamu semakin cantik saat tertawa seperti itu. Kenapa? Apa kepala divisi seperti saya tak boleh bermain?” godanya sambil memicingkan mata.“Boleh saja. Cuma aku sedikit heran. Orang super serius, kaku, dan sedingin es bermain games. Dilihat dari sedotan buntu di puncak monas juga gak mungkin,” kataku keceplosan.Raut wajah Pak Nala berubah. Dia berhenti tersenyum. Kemudian menatapku dengan sorot tajam dan bibir terkatup rapa
Namaku Shera, biasa dipanggil She yang artinya dia perempuan. Ya, kan emang aku perempuan tulen sejak lahir. Bukan jadi-jadian. Aku lahir di kota Metropolis, Surabaya dua puluh dua tahun lalu. Salah satu penyuka jenis musik pop. Juga sangat menyukai kopi. Bagiku, hidup tanpa kopi itu hambar. Gak ada pait-paitnya. Terasa manis gitu, semanis senyumanku yang membuat lelaki terpesona. Juga aromanya, hems sangat menenangkan walau tidak mengenyangkan.Aku adalah salah satu lulusan ekonomi terbaik di Unair. Beberapa hari yang lalu kucoba melamar kerja di beberapa perusahaan bonafide. Daerah Surabaya juga. Ya, biar tidak jauh sama orang tua. Maklum, Emak akan kesepian kalau kutinggal kelayapan ke kota orang. Maklumlah, tipe sepertiku akan sangat disayangkan jika jauh dari keluarga. Bagaimana tidak? Pergi ke kota orang juga butuh biaya, terutama buat kos dan makan. Kalau di kota sendiri kan bisa numpang makan dan tidur di rumah emak. ***🎶Terima
Keesokan harinya. Dengan semangat empat lima. Seperti mau maju ke medan perang. Jam lima pagi aku sudah bangun. Tanpa kata malas. Padahal, kebiasaan burukku, kalau belum pintu kamar digedor sama emak sambil teriak-teriak dengan suara khas beliau yang cempreng, aku gak bakal bangun. Biasa, teriakan emak adalah jam beker alami.Mengenakan kemeja putih, rok span pendek selutut warna hitam, gaya andalan pegawai magang. Tak lupa kupoles bedak tipis dan lipstik warna pink muda, warna kesukaanku. Rambut kubiarkan berurai. Terlihat lebih fresh.Jam tujuh tepat aku keluar rumah. Kustater sepeda motor matic kesayangan. Hasil kerja paruh waktu semasa kuliah dulu.Macet, sudah menjadi makanan sehari-hari. Apalagi jam-jam produktif. Setelah sejam berpanas-panas, akhirnya sampai juga di tempat parkir perusahaan.Luas dan mewah. Bangunan tinggi bertingkat sepuluh berada di depan mata. Megah. Aku masuk perlahan. Kuedarkan pandangan, be
Pagi ini, adalah hari pertamaku kerja di PT. Nusantara Jaya Group, sebagai pegawai magang. Sengaja aku berangkat lebih pagi, selain menghindari macet, juga menghindari terlambat. Terlebih, dari info yang kudapat jika datang terlambat hari pertama bekerja di kantor, tiada maaf bagimu.Layaknya pegawai baru, mengenakan rok span warna hitam, blouse putih juga sepatu pantofel dengan warna senada. Rambut kuikat sepatutnya. Rapi. Itulah sekilas yang aku lihat dari cermin sepeda motor.Kususuri lorong panjang area kantor. Lengang. Terasa sepi. Jam masih menunjukkan pukul setengah delapan. Sesuai arahan pak satpam. Kuberjalan menuju bilik kerja yang ada di lantai tiga. Sudah ada papan nama tertera di sana.Sebuah ruangan sederhana, layaknya ruangan kantor pada umumnya. Terdapat sebuah meja, lengkap dengan seperangkat komputer dan telepon. Tersedia juga berbagai macam alat tulis dan kertas, sebuah almari lengkap beserta kuncinya yang masih menggantung pada tempatn
Punggung terasa pegal setelah seharian duduk berkutat dengan berbagai paper dan data. Jam sudah menunjukkan pukul 12.00. Saatnya makan siang. Tanpa terasa perut sudah keroncongan. Cacing-cacing di dalam sepertinya sedang meronta meminta asupan.Ingin rasanya pergi keluar kantor, makan di cafe seberang. Sejenak inginku beranjak, namun kata-kata bu Sherly kembali berontak. Kuurungkan niatku beristirahat. Melanjutkan pekerjaan agar segera selesai. Walaupun lapar kian meraja.Tanpa terasa waktu berjalan cukup cepat. Laporan yang kukerjakan seharian hampir selesai. Beruntung, walau tak sempat makan siang, Bi Ijah membantu membelikan roti di store bawah. Lumayan sebagai penunda lapar.Kini, data-data telah tersusun rapi. Terpisah menurut jenis dan divisi. Tinggal merekap, memasukkan ke dalam komputer. Segera kukebut laporan. Kubuka Komputer yang ada di atas meja. Jari-jariku mengetuk tuts-tuts keyboard dengan lincah. Menimbulkan suara kha