Innocent Boss

Innocent Boss

By:  R Herlina Sari  Ongoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Not enough ratings
13Chapters
1.7Kviews
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
Leave your review on App

Shera, seorang gadis lugu yang terjebak permainan cinta dengan pimpinan di tempat kerjanya. Berawal dari permainan hingga menjadi cinta yang sebenarnya.

View More
Innocent Boss Novels Online Free PDF Download

Latest chapter

Interesting books of the same period

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
13 Chapters

Telepon Misterius

Namaku Shera, biasa dipanggil She yang artinya dia perempuan. Ya, kan emang aku perempuan tulen sejak lahir. Bukan jadi-jadian. Aku lahir di kota Metropolis, Surabaya dua puluh dua tahun lalu. Salah satu penyuka jenis musik pop. Juga sangat menyukai kopi. Bagiku, hidup tanpa kopi itu hambar. Gak ada pait-paitnya. Terasa manis gitu, semanis senyumanku yang membuat lelaki terpesona. Juga aromanya, hems sangat menenangkan walau tidak mengenyangkan.Aku adalah salah satu lulusan ekonomi terbaik di Unair. Beberapa hari yang lalu kucoba melamar kerja di beberapa perusahaan bonafide. Daerah Surabaya juga. Ya, biar tidak jauh sama orang tua. Maklum, Emak akan kesepian kalau kutinggal kelayapan ke kota orang. Maklumlah, tipe sepertiku akan sangat disayangkan jika jauh dari keluarga. Bagaimana tidak? Pergi ke kota orang juga butuh biaya, terutama buat kos dan makan. Kalau di kota sendiri kan bisa numpang makan dan tidur di rumah emak.  ***🎶Terima
Read more

Interview

Keesokan harinya. Dengan semangat empat lima. Seperti mau maju ke medan perang. Jam lima pagi aku sudah bangun. Tanpa kata malas. Padahal, kebiasaan burukku, kalau belum pintu kamar digedor sama emak sambil teriak-teriak dengan suara khas beliau yang cempreng, aku gak bakal bangun. Biasa, teriakan emak adalah jam beker alami. Mengenakan kemeja putih, rok span pendek selutut warna hitam, gaya andalan pegawai magang. Tak lupa kupoles bedak tipis dan lipstik warna pink muda, warna kesukaanku. Rambut kubiarkan berurai. Terlihat lebih fresh. Jam tujuh tepat aku keluar rumah. Kustater sepeda motor matic kesayangan. Hasil kerja paruh waktu semasa kuliah dulu.Macet, sudah menjadi makanan sehari-hari. Apalagi jam-jam produktif. Setelah sejam berpanas-panas, akhirnya sampai juga di tempat parkir perusahaan.Luas dan mewah. Bangunan tinggi bertingkat sepuluh berada di depan mata. Megah. Aku masuk perlahan. Kuedarkan pandangan, be
Read more

First Day

Pagi ini, adalah hari pertamaku kerja di PT. Nusantara Jaya Group, sebagai pegawai magang. Sengaja aku berangkat lebih pagi, selain menghindari macet, juga menghindari terlambat. Terlebih, dari info yang kudapat jika datang terlambat hari pertama bekerja di kantor, tiada maaf bagimu. Layaknya pegawai baru, mengenakan rok span warna hitam, blouse putih juga sepatu pantofel dengan warna senada. Rambut kuikat sepatutnya. Rapi. Itulah sekilas yang aku lihat dari cermin sepeda motor. Kususuri lorong panjang area kantor. Lengang. Terasa sepi. Jam masih menunjukkan pukul setengah delapan. Sesuai arahan pak satpam. Kuberjalan menuju bilik kerja yang ada di lantai tiga. Sudah ada papan nama tertera di sana.Sebuah ruangan sederhana, layaknya ruangan kantor pada umumnya. Terdapat sebuah meja, lengkap dengan seperangkat komputer dan telepon. Tersedia juga berbagai macam alat tulis dan kertas, sebuah almari lengkap beserta kuncinya yang masih menggantung pada tempatn
Read more

Makan Siang yang Menyebalkan

Punggung terasa pegal setelah seharian duduk berkutat dengan berbagai paper dan data. Jam sudah menunjukkan pukul 12.00. Saatnya makan siang. Tanpa terasa perut sudah keroncongan. Cacing-cacing di dalam sepertinya sedang meronta meminta asupan.Ingin rasanya pergi keluar kantor, makan di cafe seberang. Sejenak inginku beranjak, namun kata-kata bu Sherly kembali berontak. Kuurungkan niatku beristirahat. Melanjutkan pekerjaan agar segera selesai. Walaupun lapar kian meraja. Tanpa terasa waktu berjalan cukup cepat. Laporan yang kukerjakan seharian hampir selesai. Beruntung, walau tak sempat makan siang, Bi Ijah membantu membelikan roti di store bawah. Lumayan sebagai penunda lapar. Kini, data-data telah tersusun rapi. Terpisah menurut jenis dan divisi. Tinggal merekap, memasukkan ke dalam komputer. Segera kukebut laporan. Kubuka Komputer yang ada di atas meja. Jari-jariku mengetuk tuts-tuts keyboard dengan lincah. Menimbulkan suara kha
Read more

Ice Boss

Keluar dari ruangan pak Nala, debar jantungku masih terasa kencang. Tanpa arah tanpa tujuan aku berlari. Takut debar-debar di hati semakin meninggi. Ini aneh. Benar-benar tidak masuk akal. Baru sekali aku bertemu dengan pak Nala. Sudah bertingkah absurd. Pak Nala, sang kepala divisi marketing. Gosipnya berwatak keras dan tanpa perasaan. Senang mengejar target. Tegas dan penuh pesona. Tampangnya juga tampan. Seorang duren alias duda keren, tanpa anak. Gosipnya ditinggal pergi sang istri saat masih sayang-sayangnya.Eh, koq jadi menghibah sih. Kembali ke cerita. Memang nih ya, membahas pak Nala itu adalah hal yang gak akan pernah ada matinya. Dengan terburu-buru aku berlari ke arah yang tak asing. Menuju ke kamar mandi di pojok ruangan. Segera kututup pintu. Jantungku masih berdegup tak beraturan. Malu dan terpesona tercampur menjadi satu. Muka yang semula memerah perlahan memucat.Apa mungkin aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Ah, rasanya
Read more

Terlambat

Telingaku menangkap gedoran pintu yang cukup kencang dengan ritme yang cepat. Terkesan seolah-olah sang penggedor mempunyai tenaga yang masih kuat. Siapa lagi kalau bukan emak. "Shera, bangun! Kerja gak kamu?" Suara nyaring emak membuyarkan impian. Aku yang masih lelap seketika terjaga. Namun, tak kuasa untuk membuka mata. "Bentar lagi, Mak, Shera masih ngantuk," jawabku dengan mata terpejam. Kantuk masih melanda, seolah-olah tidur semalam masih belum cukup. Aku mendiamkan beberapa saat. Lelap lagi.Entah berapa lama aku terlelap kembali. Suara emak kembali terdengar. Kali ini dengan nada yang kian tak sabar. "Udah jam delapan pagi, Sheraaaaaaa," Teriakan emak semakin melengking. Membuatku kaget.Segera kubuka mata. Kuarahkan pandangan ke jam beker kesayangan, pukul 08.00 pagi. Bergegas aku lari ke kamar mandi. Cuci muka dan gosok gigi. Catet ... enggak pakai mandi. Yang penting pakai minyak wangi. Segalon kalau perlu, biar
Read more

Ini Kantor apa Rumah Pribadi?

Part 5 Di dalam kamar mandi aku cuma terpaku. Peralatannya lengkap benar. Ada sabun mandi, shampo, pasta gigi, tak lupa tergrletak pula sebuah sikat gigi yang belum di buka dari bungkusnya. Ini rumah apa kantor? Kupandangi seluruh isi ruangan. Kamar mandi minimalis, lengkap dengan bath up-nya. Tersedia juga kamar ganti, ada almari besar dengan deretan isi setelan kemeja laki-laki. Punya Pak Nala pasti.  Di dinding sebelah kiri, bersebelahan dengan arah kamar mandi terdapat pintu, iseng-iseng aku buka. Ada sebuah kamar tidur di sana, lengkap dengan perabotannya. Terlihat empuk dan nyaman buat ditidurin. Di ujung nakas, ada sebuah paper bag, di sebuah kertas tertulis 'untuk Shera'. Di meja pun sama. Terdapat make up lengkap tanpa cela. Bedak, foundation, lipstik, maskara, blush on, pensil alis, dan entah apa lagi yang tak aku tahu jenisnya. Semua masih baru, belum terbuka segelnya. Ahh kaya aku ... kan halu ... meliha
Read more

Makan Siang Bareng Bos Killer

Pak Nala sudah jauh di depan dan duduk di sebuah bangku klasik di balkon ruangan ini. Sedangkan aku? Cuma mengintip dari balik pintu dan berdiri nunggu dipanggil. Aku tak berani beranjak, bos killer yang dingin itu seperti bom waktu, menunggu untuk meledak kapan pun. Aku tak mau menjadi samsak terlebih jika harus menunggu ocehannya yang terkadang membuat panas di kuping. "Shera! Ngapain kamu di depan pintu. Gak mau masuk? Atau nunggu aku gendong ke sini?" tanya Pak Nala. Masih dengan suara baritonnya yang khas. Matanya cukup tajam hingga menusuk ke relung jantung. Manik mata yang berwarna hitam semakin bersinar oleh paparan cahaya matahari yang masuk melalui celah gorden. Aku melangkah perlahan. Ruangan yang tak lebar itu terdapat pantri dan balkon. Pantri yang lengkap dengan aneka rupa perlengkapan. Pun dengan mesin kopi yang terlihat mewah. Balkon ruangan ini sendiri juga tampak elegan. Ada sebuah meja bundar lengkap dengan dua kursi. Tanaman rambat juga
Read more

Miliknya?

 “Milik, Bapak?” tanyaku bengong.“Iya … milikku. Kamu tidak boleh menerima pesan atau telepon dari lelaki lain selain aku! Ini perintah, Shera!” Pak Nala pun berlalu. Meninggalkan aku yang kebingungan.Apa maksud lelaki itu. Miliknya? Aneh! Tidak ada angin tak ada hujan, bagaimana dengan mudahnya dia menyebut hak milik. Ah, Tidak. Mungkin Pak Nala sedang bermimpi di siang bolong.Apa-apaan? Aku tak boleh menerima pesan dari lelaki lain? Memangnya bisa? Buat apa punya ponsel jika hanya diam tanpa pesan. Ah, memang bos satu itu selalu maunya sendiri. Eh, ada yang lupa. Handphoneku masih ada di tangan bos killer itu. Aku pun bangkit, merapikan ranjang yang sedikit berantakan dan penampilanku yang sedikit acak-acakan. Kemudian berjalan ke luar dan mencari sosok Pak Nala.Sesaat, mataku menangkap punggung lelaki itu sedang berdiri di bingkai jendela. Di luaran sana gelap sudah semakin pekat. Aku mendekat dan ikut memperhatikan pemandangan lua
Read more

Sopir Dadakan

Demi apa pun juga, pukul 07.00 pagi, mobil Pak Nala sudah terparkir rapi di depan rumah. Sialnya, emak sangat welcome dan mengajak sarapan bersama, dan bodohnya aku, Pak Nala tidak menolak ataupun menghindar. Sehingga kami terjebak dalam suasana absurd di ruang makan. Aku tak lagi merasa lapar saat melihat wajah dingin bosku yang sedang duduk di salah satu kursi di ruang makan. Perutku mendadak kenyang hanya dengan melihat sosoknya. Beruntungnya, Pak Nala tidak berlama-lama untuk mencicipi masakan emak. Huft. Aku bersyukur kisah absurd di meja makan berhenti sampai di sini. Akhirnya aku dan Pak Nala meninggalkan rumah kesayangan dengan penuh drama Korea. Di dalam mobil, aku pura-pura diam. Padahal jantungku di dalam sana sudah meloncat ingin keluar.“Kenapa diem? Udah tahu apa kesalahan kamu?” tanya Pak Nala. “Karena kamu tak mengikuti perintah, sekarang ada hukuman khusus,” lanjutnya.Pak Nala tiba-tiba mendekat. Membuat napasku tersekat. Aroma m
Read more
DMCA.com Protection Status