Share

4. Hitam Putih

Putih-hitam adalah warna yang melekat di tubuhku saat ini. Baju putih, celana panjang hitam, disempurnakan oleh sepatu pantovel hitam yang disemir hingga berkilau. Aku mengikuti saran Fajrin pagi tadi. Katanya, ‘seragam’ model begini umum dikenakan sebagai identitas pemburu pekerjaan.

Hari ini aku bertekad harus ada pekerjaan sampingan yang kudapat. Dari informasi yang kuperoleh di kampus, jika sulit menemukan pekerjaan dengan jam kerja malam hari dan terpaksa harus bekerja dari pagi hingga sore, aku tetap bisa kuliah pada hari Sabtu-Minggu. Konsekuensinya, aku harus pindah kelas. Bukan masalah besar bagiku, yang terpenting aku tetap terus kuliah.

Seperti biasa, cuaca terik menjadi sahabat setia sejak menjalani awal hari di kampus. Aku tak peduli, terus berjalan membawa map berisi dokumen di tangan, mengitari Pamulang dan mengarah ke Ciputat. Lelah mulai menghinggapiku. Kini aku terdampar di Pasar Jumat, Lebak Bulus. Sejauh ini, aku tak menemukan lowongan pekerjaan, baik itu di minimarket maupun restoran cepat saji yang menjamur di sepanjang jalan raya Pamulang, Ciputat, dan Lebak Bulus. Aku juga sudah menyusuri jalan Bukit Cireundeu yang mengarah ke perempatan Gaplek menuju Parung. Hasilnya nihil.

Di dekat kios kecil yang menghadap jalanan yang ramai oleh lalu-lalang kendaraan, aku memilih berhenti karena merasa kehausan. Kuhirup minuman dingin dalam botol. Otakku berputar memikirkan ke mana lagi harus melangkah.

Ketika menengadah, langit tampak mendung. Tiba-tiba, kudengar riuh membahana suara klakson mobil yang tak henti dibunyikan. Seperti baru saja terjadi sesuatu, orang-orang berlarian berlawanan arah. Kulihat penjual minuman ringan di dekatku ikut-ikutan sibuk membereskan barang-barang dagangan dan bergegas menutup kiosnya.

Aku mulai panik. Ada apa ini?

“Lari, Dek! Lari!" serunya padaku.

“Ada apa, Pak?!”

Laki-laki itu tak menjawab. Dengan tergesa-gesa dia meninggalkanku begitu saja sambil menenteng beberapa jenis barang dagangan yang dianggap lebih berharga. Aku bertambah panik.

Seketika, segerombolan pelajar berseragam SMA berlarian dari arah barat menuju ke arahku. Mataku mengembang. Sepertinya, tempat ini akan dijadikan ajang tawuran! Jalanan kini sepi dari kendaraan bermotor maupun pejalan kaki, tergantikan oleh dua gerombolan asing yang berlarian menuju ke arahku. Aku beranjak dari tempat semula, bergegas mencari tempat untuk menyelamatkan diri. Arah timur yang kutuju, ternyata sudah dikuasai sejumlah pelajar berseragam putih-hitam yang berlarian ke arahku. Gawat! Segera kusadari ‘seragam’ putih-hitam yang juga kukenakan. Bukan mustahil aku disangka musuh oleh gerombolan pelajar dari arah barat yang juga kian mendekat. Parang, rantai motor, kayu, dan alat-alat berbahaya lainnya telah siap di tangan mereka.

“Seraaang!" teriak pelajar berseragam di sisi kananku.

Jantungku bak tercelus dari tempatnya kala melihat kengerian sekitarku yang makin menjadi-jadi. Jalan raya yang semula ramai oleh kendaraan, kini berubah menjadi suasana perang antarpelajar. Secepat aku mampu, aku menyelinap ke jalan setapak yang membelah dua bangunan ruko berlantai dua, yang baru tertangkap penglihatanku. Aku harus menyelamatkan diri ke sana!

Belum sempat kakiku melompat, sebatang kayu dipukulkan seseorang ke punggungku. Aku terjerembab ke trotoar. Map di tanganku terempas. Isinya berhamburan seketika. Berkas surat lamaranku buyar, berserakan di atas aspal.

Emosiku naik.

 “Hey, kalian! Aku bukan anak sekolah! Aku mahasiswa yang sedang mencari kerja!” teriakku pada siswa berseragam SMU yang melotot penuh emosi padaku.

Seolah tak peduli dengan teriakanku, salah seorang dari mereka melempar sebilah parang ke arahku.

“Ini! Ambil!” teriaknya.

Sungguh bodoh anak ini! Dia bukan saja tidak menggubris teriakanku, dia malah menganggapku bagian dari gengnya!

“Tidak!” Aku berkeras, kubiarkan parang itu jatuh di bawah kakiku.

Anak muda itu menggeram. Dengan beringas, tangannya kembali terayun dan mengarahkan kayu pemukulnya terarah ke kakiku. Gerakannya yang dibalut emosi tak sanggup kuhindari. Aku mengaduh, kembali jatuh berlutut.

Pertolongan datang tak kusangka-sangka. Dua orang anak muda berdasi hitam datang dari arah lain, membelaku sembari mengayun-ayunkan rantai ke arah pelajar yang tadi memukulku. Lima orang remaja lain pun menyusul membantunya.

“Astaghfirullaah! Ya Allah, ampuni mereka!” Aku berseru di tengah keriuhan massa, tak sanggup menjadi saksi atas apa yang terjadi di depan mata saat seseorang dari mereka menjadi korban penusukan ‘lawannya’. Seolah bangga telah menemukan mangsa, sebilah pisau tampak teracung tinggi-tinggi, berlumur darah segar yang tampak menetes-netes ke aspal. Sekilas, terbaca olehku sebuah identitas pada seragam yang mulai ternoda darah itu. SMU Insan Kamil.

Riuh-rendah kembali terdengar. Suara sirene dari mobil patroli polisi meraung-raung. Terdengar sayup-sayup, tetapi makin jelas ketika terus mendekat ke tempat kejadian perkara. Pelajar-pelajar itu berlarian menyelamatkan diri. Aku sadar bahwa aku pun harus bergerak cepat. Aku tak mungkin terus di sini dan menjadi yang tertuduh dalam tawuran ini. Aku harus segera pergi!

Dengan kaki dan punggung yang terasa nyeri, aku berlutut. Hendak kupunguti kertas-kertas lamaran pekerjaanku yang terserak, ketika tiba-tiba saja hujan mengguyur.

Deras. Makin deras.

Kubiarkan lembar-lembar berkas lamaranku dikoyak oleh hujan. Derasnya mengaburkan tinta pada kertas-kertas itu yang akhirnya tak mungkin bisa kuselamatkan lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status