“Elis,” panggilku lirih, setelah melirik Asep yang masih tekun mengutak-atik ponsel.
“Iya, A?”
Dia menatapku sekarang.
“Aa masih penasaran pada laki-laki yang pernah Elis ceritakan belum lama ini.” Ungkapku akhirnya.
Tiba-tiba aku merasa konyol mendengar pernyataan bodoh itu dari mulutku sendiri. Mulai menyesal, apalagi kulihat Elis seperti kebingungan.
"Maaf, A. Elis nggak akan bilang sama Aa.”
“Elis nggak mau bilang, pasti karena Elis sendiri masih belum yakin apakah perasaan Elis saat ini hanya sekadar kagum, suka, atau benar-benar cinta. Iya, kan?”
Kulihat Elis menarik napas dan mengembuskannya lembut sekali. Kali ini dia tidak lagi melihat ke arahku, melainkan memandang lepas ke peman
“Nggak usah pura-puralah, Pak. Dari kemarin sekolah ini udah heboh. Teman-teman kami, guru-guru dan kepala sekolah, semua sudah tau!” mata Sylla nyalang menatapku. “Coba Bapak lihat di kelas sekarang. Semua orang ngomongin Bapak. Semua kecewa dan benci sama Bapak. Termasuk saya, Pak, orang yang pernah berharap bahwa kita bisa berteman, tapi ternyata …” “Saya memang tidak pantas jadi temanmu, Sylla, seandainya berita itu benar!” sanggahku kesal. Kuhela napas panjang dan mengembuskannya tak sabar. “Saya akan jelaskan bahwa ini semua …” "Terlambat.” Sylla memotong, lalu membalik punggungnya. “Dan mungkin nggak akan ada yang percaya sama Bapak lagi.”Sylla pun melangkah pergi meninggalkanku.Aku semakin bingung. &nbs
Matahari kian tenggelam menjelang petang ini, namun hawa bumi masih terasa panas. Panasnya terus melekat hingga ke dalam angkot bercat putih yang kutumpangi.Aku masih belum memahami ulah Nayyara yang membuatku kembali diremehkan siswa-siswi di sekolah. Meski aku berusaha mengabaikannya dan berharap keadaan akan segera membaik, hatiku tak urung risau ketika Pak Tris menegurku perihal kabar kurang enak yang beredar di sekolah."Bersihkan namamu, Bram. Perlu diingat, banyak orang-orang yang hancur di kaki sendiri. Mereka berusaha mempertahankan citra diri, namun kadang mereka sendirilah yang menghancurkannya." Kata-kata Pak Tris seperti sebuah tamparan keras untukku. Setidaknya ke depan aku harus lebih berhati-hati. Satu hal yang benar-benar jadi pelajaran berharga, bahwa kadang-kadang ada saja yang salah mengartikan perhatian dan kebaikan yang tulus. Di mana letak salahku saat setulus hati memberi perh
Mungkinkah ini artinya, Allah langsung menjawab sholawat dan doaku?“Bram, ente sering bilang kalau ente nggak punya perasaan khusus buat Elis. Tapi ane tau, Sob, ane bisa membaca sikap ente selama ini. Sekarang terserah ente, Bram. Ente mau mundur, itu hak ente. Maafin ane udah blak-blakan ngomong gini sama ente malam ini. Karena ane nggak mau ente sampai terjatuh dari ketinggian, saat rasa yang ente miliki sudah begitu dalamnya sama Elis.”“Thanks, Sobat.” Kutelan getirnya ludah saat mengucapkannya. Tidak tahu harus bicara apa lagi. “Yaa, sebenarnya, aku cuman anggap Elis … seperti adikku sendiri. Nggak lebih. Kamu tenang aja, ya, nggak usah khawatir."Fajrin tersenyum lega mendengar jawabanku.“Baguslah kalo gitu. Berarti, ane ngomong kayak gini nggak bakalan bikin ente susah tidur, kan? Hehehe!” Fajrin terlihat tenang sekarang. Aku ter
Jalan benar-benar sepi malam itu. Anginnya yang semakin dingin berembus dan seakan menetap hingga ke tulang. Fajrin yang memboncengku di atas Vespa kesayangannya mulai menggigil, tetapi dia terus melaju. Dia lebih memikirkan kecemasan dan ketakutanku akan hal yang belum tentu terjadi.Kami terus melaju menuju Bintaro, setelah lebih dulu menghubungi Sylla lagi untuk memastikan tempat gadis itu bertemu Nayya terakhir kalinya petang tadi. "Kalau tempatnya aja belum jelas gini, ane ragu bisa menemukan murid ente itu, Sob,” cetus Fajrin tanpa bermaksud membuatku makin panik. "Jembatan tol nggak lama lagi, Sob. Kita cek di sana dulu!""Bram! Ane jadi terharu, ente begitu peduli sama murid-murid ente. Kalau benar murid ente punya niatan bunuh diri, mudah-mudahan Allah menyelamatkan dia dari rayuan setan. Ente tau kan, bunuh diri nggak
“Nayya!” Derryl jatuh berlutut di bawah kekasihnya, persis orang yang sudah putus asa. “Nay, asal lo tau, gue sayang banget sama elo. Kalau elo heran, kenapa selama ini gue nggak pernah mau menyentuh elo, itu karena gue bener-bener menghargai sekaligus menjaga kehormatan elo sebagai perempuan, Nay. Kalau memang selama ini gue suka ngatur-ngatur elo, itu cuma sebatas ngurusin sesuatu yang menurut gue nggak bagus dalam diri elo! Gue pengen elo jadi cewek gue yang apa adanya, nggak berlebihan, dan nggak selalu harus kelihatan beda dari cewek-cewek lainnya. Maafin gue, Nay! Please, jangan lakuin itu!”Aku bingung, tak tahu harus berbuat apa.Derryl pun mulai meratap, “Nggak ada lagi yang gue sayang selain elo, Nay. Gue nggak sekolah selama ini bener-bener karena gue nggak mau lihat elo deket-deket Pak Bram! Gue ngaku salah udah ngajakin orang-orang ngebantai Pak Bram! Sekali lagi maafin gue, Nay! Gue emang banyak salah sama e
Sudah hampir azan Subuh, ketika tiba-tiba saja aku terbangun.Ah, sungguh pagi buta yang terasa aneh dan tak biasanya. Begitu hening. Sepi. Mencekam.Kuusap kedua mata, lalu bangkit untuk mengambil air wudhu. Begitu selesai dan berdiri di depan cermin kamar mandi, tiba-tiba aku merasa seperti ada sesuatu yang hilang. “Astaghfirullaah! Fajrin?” gumamku akhirnya. “Ke mana dia?"Barulah kusadari bahwa Fajrin tak kutemukan di rumah. Ah, paling-paling dia sudah berangkat duluan ke mushola, walaupun tak biasa-biasanya dia tidak mengajakku bareng. Kuputuskan sholat Subuh di rumah karena azan sudah berkumandang beberapa menit lalu. Usai dua rokaat dan salam, tiba-tiba sudut mataku menangkap selembar amplop surat di atas meja belajar kami. "Sob ..., sorry, ya. Ane
Di kamar indekosku bersama almarhum Fajrin, kembali aku tergugu. Kuamati semua barang-barang milik Fajrin di kamar kami. Aku masih tak percaya kalau saat ini Fajrin telah tiada. Laki-laki sholeh, yang banyak mengajarkan kebaikan padaku. Dia pergi, hilang, dan tak akan pernah kembali.Kuraih secarik kertas berisi pesan terakhir yang Fajrin tuliskan untukku dini hari tadi. Seakan terbaca lelah dan sakitmu lewat goresan tangan yang sangat terburu-buru ini. Aku tahu, Sobat, ragamu mungkin tak sekuat dulu. Setelah malam itu kita menggigil bersama dalam hujan, kau hanya sempat tertidur beberapa saat karena kembali bangun untuk menemaniku mengurus murid-muridku di Bintaro. Setelah itu kau pun tak lagi bisa lelap tidur, karena kabar tentang ibumu membawa engkau pada takdirmu.Kenapa tak ajak aku, Sob. Kenapa kau tak bawaku serta. Setidaknya, salah satu dari kita bisa menjadi saksi kepergian sahabatnya. Kuusap
Aku mendongakkan wajah. Seketika, kulihat hujan sudah reda. Aku bangkit dan melangkah lesu meninggalkan kursi tunggu di depan loket. Kuputuskan untuk pulang kembali ke rumah.Belum jauh kaki beranjak, salah seorang yang duduk di deretan kursi tunggu—aku baru saja berjalan melewatinya—tiba-tiba berseru.“Mas! Mas!”Tak terlalu yakin, tapi kurasa panggilan tadi tertuju padaku.“Ya?” Aku berhenti berjalan, menoleh ke belakang dan mendapati seorang wanita paruh baya yang menggendong anaknya berjalan pelan ke arahku.“Tadi saya dengar obrolan Mas sama penjaga karcis,” kata wanita itu, “apa Mas masih pengen berangkat ke Tegal?”“Iya, Bu. Sebenarnya saya harus berangkat malam ini juga.”“Maaf, bukannya Mas masih bisa naik kereta api? Kalau Mas mau, masih ada keberangkatan kereta Tegal Arum yang dari stasiun Senen. Jam segini kayaknya masih keburu, kok,”