Sebuah ruangan yang menyimpan kegelapan di pagi hari. Pada tirai yang hanya terbuka setengah, mempersilahkan sinar matahari masuk melalui celah-celahnya. Di sudut meja belajar sang pemilik kamar, terpampang dengan rapi sebuah foto kelulusan SMA dua sejoli yang memiliki hati satu sama lain, tersenyum sumringah dan saling membagi peluk dengan menggunakan toga, dibingkai sedemikian rupa dengan catatan kecil yang sengaja ditempelkan pada bingkai kacanya.
“Satu langkah lagi menuju mimpi kita! -Brian & Nara.” Begitu isi catatan kecil tersebut dengan tulisan tangan indah bertinta hitam yang berhiaskan satu hati kecil di akhir kalimat.
Sepasang kaki berjalan pelan menuju sudut meja belajar, menggapai foto berbingkai tersebut dengan hati-hati seakan merupakan benda yang paling rapuh di dunia. “Selamat pagi, Nara,” ucap sang pemilik kamar. Ucapan selamat pagi yang
Hallo! Jika kalian menyukai part ini, silahkan pertimbangkan untuk memberikan vote, rating dan komen^^ Thank youuu!!!
Hari ini kelas Radit dan Saras hanya setengah hari. Setelah selesai kelas, mereka langsung meluncur ke kost Radit. Menurut Saras, kost Radit adalah tempat yang paling tepat untuk menyelesaikan masalah rumit, karena kost Radit mempunyai halaman outdoor yang sangat luas dengan gazebo-gazebo kecil bernuansa kayu. Gazebo-gazebo kecil—yang terletak di lantai 4—tersebut digunakan penghuni kost untuk berdiskusi atau mengerjakan tugas. “Dit, makin lama gue makin nggak tahan deh. Pertanyaan Sekar bikin gue gelisah. Kalau seandainya ternyata gue punya saudara kembar, gimana? Tapi, Mama Dru nggak pernah cerita sama sekali soal itu.” Saras berjalan mondar-mandir gelisah. “Ya mungkin memang ada yang mirip aja sama lo di lingkar pertemanan mereka. Kita ‘kan nggak tau, Ras.” Radit, yang duduk di bangku gazebo, mengangkat bahunya dan mulai menyebutkan beberapa kemungkinan. “Yang mengganjal adalah lo juga pernah bilang kalau gue mirip sama mantannya Brian. Siapa nama
‘Apa yang kamu rasakan ketika jatuh cinta?’ Hmm. Kalau aku, aku akan menjadi sangat bersemangat. Semua yang aku lihat tentangnya menjadi lebih indah. Segala hal tentangnya, bahkan yang terkecil sekalipun, menjadi sangat spesial. Seperti sebuah sponge, aku akan menyerap energi yang ia keluarkan. Sebagian dari dirinya, merasuk dan menyatu dengan diriku. Semua yang ia lakukan akan mempengaruhi perasaanku dalam melakukan berbagai hal. Tapi, pernah tidak terpikirkan olehmu mengapa cinta yang sederhana bisa berubah menjadi rumit? Padahal dari sudut pandang cinta semuanya serba merah muda. Serba cerah tanpa kelabu. Sejak kapan warnanya berubah menjadi seperti awan yang mendung? Aku bertanya pada Radit mengenai kegelisahanku ini. “Dit, sejak kapan ya cinta yang harusnya sederhana mendadak menjadi rumit?” Gelak tawa Radit menggema di seluruh kantin semi-outdoor siang itu, membuat banyak pasang mata menoleh ke arah kami. Aku menyentil jidat Radit, me
Salah satu cara membasmi waktu yang paling tepat ketika menunggu untuk menonton film di bioskop adalah bermain di pusat permainan. Di Mall dekat Universitas Siliwangi, kampus Saras dan Radit, juga Brian dan Sekar, mempunyai pusat permainan bernama Game Zone yang selalu ramai dikunjungi mahasiswa maupun anak-anak disaat weekday dan weekend. Game Zone juga merupakan tempat dimana Saras dan Radit mengumpulkan banyak tiket permainan yang nantinya akan mereka tukarkan menjadi berbagai barang. Saat ini, mereka sedang mengumpulkan tiket untuk menukarkannya dengan joystick terbaru. Saras tidak menyangka ia akan mendatangi pusat permainan ini bersama Brian, laki-laki yang sudah merebut hatinya sejak hari pertama masa orientasi. Dua pasang kaki melangkah dengan cepat menuju pusat permainan dan berhenti di tempat penukaran tiket. Di sini, mereka akan menukarkan uang mereka menjadi sebuah kartu yang dapat digunakan untuk mengakses seluruh per
Malam yang dipenuhi bintang menjadi penutup hari yang pas bagi Saras. Di titik ini Saras merasa bahwa ia dapat dengan mudah melupakan bagaimana Brian dan Sekar menyeretnya ke dalam masalah ‘internal’ mereka. Selama ia dapat menyaksikan secara langsung layer diri Brian yang terkupas satu demi satu, ia tidak keberatan. Setelah makan malam di kedai ramen, Brian bersiap untuk mengantar Saras ke kost gadis itu. Pemuda itu meminjamkan jaket hitam kulitnya kepada sang gadis karena malam semakin larut bersamaan dengan udara yang semakin dingin. Saras tidak mengenakan pakaian yang hangat karena ia kira ia hanya akan meminum cokelat panas di kedai kopi lalu pulang. Jaket hitam kulit milik Brian tampak kebesaran di tubuh Saras yang mungil. Brian memberikan helm cadangan pada Saras, menaiki motor besarnya, lalu menepuk jok belakang mempersilahkan gadis itu untuk duduk di belakangnya. Saras menaiki motor tersebut dengan hati-hati. Setelah Brian memastikan Saras duduk dengan aman, ia mena
Kegelapan kamar kost, berdesain minimalis dengan nuansa putih gading, menyelimuti Saras yang terkapar lelah di atas ranjangnya. Ia menatap langit-langit kamarnya yang terbuat dari kaca—menatap langit malam cerah berhias bintang. Kamarnya berada di lantai paling atas bagunan kost elit khusus perempuan. Gadis itu membiarkan ranjang miliknya menopang tubuh lelah dan perasaan campur aduk yang ada di dalam dirinya. Pandangan gadis itu menerawang. Seulas senyum tipis terukir di wajahnya. Jaket kulit hitam milik Brian masih, dengan nyaman, menyelimuti tubuhnya. Ia senang, sangat senang, sekaligus takut. Ia takut yang terjadi padanya hanyalah mimpi singkat yang akan terlupakan begitu saja. Ia takut kalau Brian akan menganggap hal yang terjadi pada mereka berdua adalah hal sepele yang akan tergantikan oleh memori baru yang lebih berharga. Ia takut terlupakan. Mendadak ingatan soal kisah cintanya dahulu menyergapnya dan berusaha menenggelamkannya dalam memori yang sangat ingin Saras l
Radit tidak bisa menyuruh Saras untuk melupakan perasaannya pada Brian, pun ia juga tidak bisa membiarkannya. Saras adalah tipe orang yang berpegang teguh pada keputusannya. Sekali ia memutuskan, tidak ada yang bisa mencegahnya. Namun untungnya, Saras akan mendahulukan dirinya sendiri jika hal tersebut mengancam keselamatan fisik dan mentalnya. Menurut pandangan Radit, Brian masih tetap orang yang kasar dan dingin, seolah pemuda tampan itu tidak memiliki cinta atau kehangatan pada dirinya. Ya, Radit mengakui kalau Brian tampan. Tetapi, ketampanan bukanlah segalanya. Jika kelak Brian hanya berniat untuk mempermainkan sahabatnya, Radit tidak akan segan-segan untuk menciptakan berbagai macam lebam pada wajah tampan sang senior. Hal itulah yang membuat Radit mengikuti Brian hari ini. Ia memperoleh keseluruhan jadwal Brian dari orang-orang yang ada di sekitar lelaki itu, mulai dari teman sekelas, teman UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa), teman BEM, sampai ke teman tongkrongan
Awan mendung menyelimuti langit dengan selimut kelabunya. Udara yang sejuk dan dingin menyapa hidung, lalu memberikan sensasi sejuk dan dingin pada tubuh Radit dan Saras yang sedang melangkahkan sepasang kaki mereka dengan lunglai, menuju kampus untuk menghadiri kelas pagi. Dua remaja itu terlihat mengantuk seperti orang yang kurang tidur. “Hoahm.” Mereka menguap secara bersamaan, lalu saling tatap satu sama lain dan tertawa. “Lo kurang tidur juga, Ras?” tanya Radit yang mulai mengalungkan lengannya pada lengan Saras. Udara dingin ini benar-benar membuatnya ingin mencari kehangatan. “Iya nih. Gara-gara tugas Nirmana, gue bikin beberapa opsi buat asistensi sampai jam 5 subuh. Kenapa harus kelas pagi sih? Jam 7 pula. Hoahm,” gerutu Saras dan kembali menguap. Radit tersenyum dan merasa gemas melihat sahabatnya yang menggerutu. “Kalau lo kurang tidur kenapa, Dit? Pasti main game sampai pagi, ya?” tuduh Saras dengan mencolek-colek pipi Radit yang hanya dibalas ta
Suasana canggung seakan menyelimuti Sekar dan Radit setelah pemuda itu melontarkan pertanyaan mengenai kejadian baru-baru ini. Senyum Sekar yang tadinya cerah, mendadak berubah. Ada rasa sedih dan bersalah disana. Namun, ia masih tetap berusaha tersenyum di hadapan Radit. “Kamu lihat sampai mana?” tanya Sekar. Berusaha mempertahankan senyumnya. “Sampai Teteh membuang minuman kaleng yang masih penuh ke tempat sampah.” Sekar memasang ekspresi ‘kok kamu bisa tahu kalau minuman kaleng itu penuh?’ pada Radit. Radit langsung menjelaskan kalau ia sempat mengambil minuman kaleng tersebut dan ternyata isinya masih penuh. Ia tidak mungkin bilang secara terus terang kalau ia sedang mengikuti Brian dan mengumpulkan bukti sekecil apapun yang berhubungan dengan pemuda itu. “Aaah kamu lihat semuanya, ya. Kalau begitu, nggak ada alasan lagi buatku untuk menutupinya. Sejujurnya, aku lelah menyimpan ini sendirian.” Sekar menghela nafasnya panjang. Tubuhnya yang tadinya menegan