LOGINRiyan melangkah cepat menuju ruang pendaftaran pasukan penyelamat. Di sana, antrean sudah cukup panjang, ia berada di posisi ke-21.
Sambil menunggu, pandangannya menyapu sekeliling, mencoba mengenali wajah-wajah yang mendaftar. Karena ini berkaitan langsung dengan militer yang menjaga wilayah, tidak sembarang orang mau ikut, dan sejauh ini hanya sampai nomor antreannya saja yang tertarik. Tiba-tiba seseorang di depannya menoleh. “Eh! Riyan, ya? Elu juga daftar ke sini?” suara itu cukup mengejutkan Riyan. “Eh, Anton? Iya, aku mau daftar,” jawab Riyan dengan senyum kecil. Ternyata yang bicara adalah teman sekelasnya. "Eh, ngapain kamu daftar disini?" “Soalnya gajinya lumayan kayak TNI tapi syarat masuknya gak berat.” kata Anton santai. “Haha, gaji doang, Ton? Kalau nyawamu gimana?” Riyan tertawa kecil. “Haha! Itu mah gampang, tinggal nyelametin diri aja,” sahut Anton, masih dengan nada bercanda. “Kalo lu sendiri? Kok daftar juga?” “Sebenernya udah dari lama pengin,” ucap Riyan, kini lebih serius. “Ayahku dulu dibunuh monster, jadi... aku pengin balas.” Anton yang mendengarnya ikut terdiam sejenak, lalu menepuk bahu Riyan pelan. “Ohhh... berat juga, ya. Pokoknya semangat, Yan. Kita sama-sama berjuang.” Tak lama kemudian, suara dari depan antrean memanggil. “Eh, bentar lagi giliran gua,” kata Anton sambil melihat ke depan. Nomor 20 dipanggil, lalu Anton segera maju untuk mendaftar. Prosesnya cukup sederhana: mengisi formulir berisi nama, tempat dan tanggal lahir, alamat, alasan mendaftar, lalu menandatanganinya. Tak lama kemudian, giliran Riyan pun tiba. “Mau daftar, Kak?” sapa petugas di meja pendaftaran. “Iya, Kak,” jawab Riyan. “Silakan diisi dulu formulir ini,” ujar petugas sambil menyerahkan selembar kertas. “Kalau sudah selesai, kami akan beri tahu jadwal tesnya.” “Baik, Kak,” ucap Riyan, langsung duduk dan mengisi data dengan cepat dan rapi. Setelah menyerahkan formulir kembali, petugas memeriksa sejenak lalu tersenyum. “Terima kasih. Tes-nya akan dilaksanakan tanggal 8 Juli tahun ini. Jangan sampai lupa.” “Siap,” kata Riyan singkat, lalu mundur untuk memberi jalan bagi pendaftar berikutnya. _______ Siang itu, Riyan tiba di rumah tepat tengah hari. Rumah terasa sepi karena ibunya belum pulang dari tempat kerja. Ibunya—Bu Cantika bekerja di pabrik pakaian dan biasanya baru tiba sekitar pukul tiga sore. Riyan menjatuhkan diri ke sofa ruang tamu. Ia menatap langit-langit tanpa semangat. Tidur, rasanya tidak bisa. Makan, pun belum lapar. Ia ingin menceritakan banyak hal tentang acara dan pendaftarannya tadi, tapi apa daya... tak ada yang bisa mendengarkan sekarang. “Hahh... ngapain ya?” gumamnya. Ia melirik sekeliling. Karena hanya rumah bantuan dari pemerintah, ruang tamunya cukup sederhana. Hanya ada satu sofa panjang, satu meja kecil di depannya, satu meja lagi untuk menaruh televisi, dan rak yang tampak setengah kosong. Hampir separuh ruangan dibiarkan lapang. Ia melangkah ke sudut ruangan yang kosong itu, lalu menatap lantai. "Olahraga aja, kali. Hitung-hitung latihan sebelum tes." Ia menjatuhkan tubuh ke posisi push up. Tanpa banyak pikir, ia mulai menekan tubuhnya naik-turun sekuat tenaga. Setelah beberapa gerakan, tubuhnya mulai lelah. Ia beristirahat sejenak, mengatur napas, lalu lanjut dengan sit up. Begitu selesai, ia tergeletak di lantai sambil ngos-ngosan. "Hahh... hahh... ngapain lagi ya..." gumamnya dengan napas tersengal. Matanya melirik ke atas, ke arah ventilasi di atas pintu. "Pull up...? Gas." Tanpa pikir panjang, ia lompat, menggantung di ventilasi, lalu mulai menarik tubuhnya ke atas. Saat semua gerakan sudah dilakukan, ia mengulanginya lagi. Push up. Sit up. Pull up. Begitu terus, hingga waktu berlalu tanpa terasa. Beberapa jam kemudian, suara pintu depan berderit. Ibu Riyan pulang dari kerja. Pintu tak terkunci, pertanda anaknya sudah di rumah. Baru satu langkah masuk, ia melihat Riyan tergolek di lantai, tampak tak berdaya. "Nak? Nak!? Kamu kenapa?" Suaranya panik. Riyan membuka mata. "Eh, Ibu... aku nggak apa-apa kok. Tadi abis olahraga, terus istirahat." Ia bangkit perlahan, lalu kembali menggantung ke ventilasi. "Latihan buat tes, Bu. Oh iya, Ibu udah makan belum? Makanan tadi siang udah aku angetin..." ucapnya sambil berusaha tetap kuat melakukan pull up. Ibu Cantika tersenyum melihat tingkah anaknya. "Jangan kelamaan, ya. Habis itu langsung makan." "I... iya, Bu..." jawab Riyan dengan suara yang hampir tenggelam oleh usaha menarik tubuhnya ke atas. Setelah pull up terakhirnya, Riyan langsung tumbang ke lantai. Menjelang malam, mereka duduk bersama menikmati makan malam. Riyan lahap menyantap makanannya. Wajahnya tampak puas tapi letih. Ibu Cantika menatapnya, lalu bertanya pelan, "Kamu beneran mau daftar ke pasukan penyelamat, Nak?" Riyan mengangguk sambil menyendok nasi. "Iya, Bu. Tadi aku udah daftar." "Terus... kapan tesnya?" "Bulan depan. Tanggal 8. Tapi... Bu, Ibu beneran nggak apa-apa?" nada ragu muncul di suaranya. Ibu Cantika menatap anaknya dalam-dalam. "Selain soal Bapak, apa alasan kamu daftar?" Riyan berhenti sejenak. Lalu, dengan wajah serius, ia menjawab, "Aku nggak mau ada anak lain yang ngalamin hal yang sama. Aku mau jagain keluarga orang lain, biar cuma Tuhan yang pisahin mereka." Senyum haru merekah di wajah ibunya. Ia mengusap tangan Riyan. "Ibu yakin, Ayahmu pasti bangga denger itu. Tapi janji ya... jaga dirimu baik-baik." "Iya, Bu... Tenang aja. Riyan bakal usaha sekuat tenaga." "Nah, gitu dong. Udah, habisin makanmu." Riyan tersenyum. Dalam hatinya, keyakinan itu semakin kuat. Ia tak sabar menanti hari tes tiba. _______ Sebulan pun berlalu. Riyan berlatih keras setiap hari. Fisiknya makin kuat, mentalnya makin siap. Hari yang dinanti akhirnya datang. Lapangan milik tim penyelamat dipenuhi oleh peserta. Beberapa di antaranya adalah orang-orang yang ikut mendaftar bersamanya, termasuk mereka yang lolos tes tertulis. Di depan lapangan berdiri dua gedung kembar. Di belakang, satu gedung lagi berdiri dengan arsitektur serupa. Riyan menatap ketiga bangunan itu dengan rasa heran. "Gedung siapa aja ya ini...? Bukannya cuma ada organisasi Chaser sama Guardian?" Tiba-tiba, suara mikrofon terdengar. "Selamat pagi semuanya!" seruan itu berasal dari seorang pria di panggung kecil. Orang yang sama yang pernah berpidato saat kelulusan Riyan. Semua peserta membalas seruan itu serempak. "Sebelum kita mulai tes hari ini, mari kita berdoa sesuai kepercayaan masing-masing. Berdoa, mulai." Kepala-kepala menunduk. Lapangan hening. "Cukup. Sekarang kita mulai dengan pemanasan, Ikuti gerakan saya. Yang penting keringetan. Siap!?" Setelah aba-aba disambut antusias, instruktur turun ke lapangan dan memimpin pemanasan. Selama kurang lebih 30 menit, semua peserta mengikuti gerakannya. Selesai pemanasan, peserta diperbolehkan istirahat dan mengambil minuman yang disediakan. Riyan mengambil botol air, meneguknya dalam-dalam. Tanpa sadar, seseorang berdiri di sebelahnya. Mereka menoleh hampir bersamaan. "Anton!?" "Riyan!?" Mereka tertawa kaget. "Kirain lo nggak berani dateng," ucap Anton sambil menepuk bahu sahabatnya. "Berani lah. Ini kan cita-cita." "Sip deh. Pokoknya harus lulus ya, bareng terus kita." "Siap!" Tak lama kemudian, suara instruktur kembali terdengar. "Sudah siap semua!?" "Untuk tes fisik hari ini, kita akan menggunakan beberapa pos yang sudah ditentukan. Pembagian pos sudah kami bagikan dalam kertas saat kalian masuk tadi. Masih ada kan?" Para peserta segera memeriksa kertas di tangan mereka. "Gua kira ini tagihan parkir tadi," canda Anton. "Gua dapet C. Lu?" "Sama. Pos C juga." Riyan menunjukkan kertasnya. "Wah mantap. Emang jodoh nih, satu tim!" "Yuk ke pos C!"Riyan melesat. Rintangan pertama: tangga V. Anak tangganya miring dan renggang. Riyan melompat ke kiri dan kanan sambil berpegangan erat. Sedikit kesulitan, tapi ia berhasil melewatinya. Berikutnya: lorong laser. Riyan meluncur masuk, lalu merayap cepat saat cahaya laser muncul mengejarnya. Sempat hampir tertangkap, tapi ia tiarap tepat waktu. Laser lewat di atasnya tanpa menyentuh. Ia lanjut merayap, menghindari satu laser lagi sebelum berhasil keluar. Rintangan ketiga: lintasan sensor tangan. Sensor akan mengayun dan menangkap siapa pun yang tersentuh. Riyan berlari sambil menghindar, gesit ke kiri dan kanan. Namun, di tengah lintasan, sebuah tangan memanjang dan menyentuhnya—kabel muncul dan membelit tubuhnya. "Akh, sial..." Setelah 30 detik, kabel lepas. Riyan berpikir cepat. Kali ini, ia mengesot saat tangan menyambar, lalu bangkit, lalu mengesot lagi. Strategi itu berhasil sampai ia lolos
"Luna?!" seru Riyan, kaget. Luna berdiri di depan mereka tanpa ekspresi, seolah sedang melawan dua boneka latihan. Tekanan auranya meningkat. Ia menguatkan dorongan, membuat Riyan terhempas ke belakang dan terguling. "Kenapa, Luna?" tanya Riyan sambil bangkit, wajahnya penuh ketidakpercayaan. Tanpa menjawab, Luna langsung melesat. Pertarungan kembali terjadi. Suara dentingan senjata terdengar bertubi-tubi saat pedang mereka saling bertabrakan. Luna mengayunkan pedangnya ke kepala Riyan—ayunan cepat dan tepat. Riyan menahannya sekuat tenaga, tubuhnya bergetar karena tekanan. Dari sisi lain, Anton menyerang Luna dari samping. Luna menyadari, lalu melompat mundur, menjauhi keduanya. Sekarang situasinya jelas: seperti game fighting mode tim. Senior satu melawan dua junior. Luna akhirnya bicara. Suara Luna yang pertama kali mereka dengar. "Harus barengan, ya? Gak berani
Pak Roger tengah berbicara lewat panggilan video di layar komputernya. "Apa kau yakin dengan rencanamu?" tanya sosok di seberang. "Yakin dong. Aku kan bosnya," jawab Pak Roger santai. "Hhhh... kamu mah kebiasaan. Ya udah, aku coba omongin ke pusat," ujar orang itu sebelum memutus sambungan. Layar komputer berganti menampilkan sebuah dokumen berjudul “Kasus Beast dalam di Internet.” TOK TOK TOK! "Masuk." Albert masuk bersama Riyan dan Anton. "Ohh... ternyata kalian. Gimana? Sudah selesai?" tanya Pak Roger sambil menyandarkan tubuh. "Udah, makanya kita ke sini," jawab Albert. "Mereka juga udah setuju buat latihan. Iya, kan?" Riyan dan Anton mengangguk mantap. "Sip." Pak Roger berdiri dan menghampiri mereka. "Kalau gitu, kita ke Forge Room dulu buat pemanasan
"Aku pulang!" Seorang pria membuka pintu rumah. Sekarang jam sudah menunjukkan pukul setengah empat, jadi seharusnya ibunya sudah pulang. Benar saja beberapa saat kemudian seorang wanita muncul menyambutnya. "Ehh... udah pulang Yan. Gimana lulus kan?" tanya Bu Cantika menantikan kabar bagus dari anaknya. "Lulus kok bu, makasih doanya ya." jawab Riyan dengan ceria. "Emmhhh..." nada sang ibu terdengar senang. "Sama-sama, pasti dong kamu lulus, kan sering olahraga juga." ucapnya sambil mengelus-elus pipi anaknya. "Eh, kamu pasti laper? Tapi mandi dulu ya, masakan ibu belum mateng soalnya." "Hah? masih sore loh bu, masa makan sih?" Balas Riyan mengikuti ibunya masuk kedalam. "Gapapa, kan kamu habis kerja berat. Kamu mandi dulu sana, sekalian istirahat. Habis itu baru ke dapur." Ucap sang ibu. "Iya bu." Mereka lantas berpisah, Riyan ke kamarnya sedangkan
Riyan dan Anton berjalan di belakang Pak Roger, menuju markas tim khusus Chaser. Dari ruangan luas tempat mereka bertarung melawan beast tadi, mereka kembali ke bagian depan gedung dan masuk ke dalam lift. Pak Roger menekan tombol lantai 4—lantai tempat para anggota tim khusus biasa berkumpul. Lift bergerak naik, membawa mereka ke tujuan. Belum sampai di atas, sang jenderal membuka percakapan. “Oh iya, di tim khusus ada satu cewek yang pendiam. Tapi santai aja, dia tetap hormat kok...” ucap Pak Roger sambil tersenyum kecil. “Eh? Siapa itu, Pak?” tanya Riyan penasaran. Tepat saat itu, lift tiba di lantai 4 dan pintunya terbuka. “Rahasia. Yang penting santai aja ya.” katanya sambil keluar terlebih dahulu, diikuti Riyan dan Anton. Di depan mereka terbentang lorong yang menghubungkan antar ruangan. Merekapun sampai di ruangan dengan pintu bertuliskan 'Ruang Komando'. Pak Roger lalu membukanya.
"A-ada monster lagi?" ucap salah satu peserta di arena. "ROAAARR!!!" Harimau berkepala hiu itu mengaum lantang. Suaranya menggema di seluruh arena. Semua peserta panik dan kebingungan. "Hehe, beast tes kami tambah satu lagi, atas kemauan saya sendiri. Yaa... saya sih maunya nggak ada yang bisa bunuh beast dulu. Kan ini tes pertama. Jadi saya kasih beast level 2 untuk tambahan. Kalau bisa dibunuh, syukur. Kalau kalian yang dibunuh..." Beast itu langsung berlari ke arah peserta bersamaan dengan kalimat terakhir sang Jenderal. "Ya syukur. Semangat!" tambahnya santai. *Sebagai tambahan informasi, level beast di sini menunjukkan seberapa berbahaya beast tersebut. Semakin kecil angkanya, maka semakin berbahaya. Ada lima tingkatan, dengan level 1 sebagai yang paling berbahaya. Penjelasan lengkap tiap tipe akan disampaikan di kesempatan lain. Para peserta langsung terpencar, mencoba membingungkan beast itu. Tapi beas







