Pagi ini segala hal berjalan lebih lambat. Mereka enggan keluar dari kamar membuat segala aktivitas dimulai saat hari sudah siang. Rasanya ketika hari baru datang, mereka akan menghadapi hal buruk lain.
Mereka masih terjebak di sebuah pulau yang entah berada di mana. Entah akan berapa lama lagi. Telah melalui satu malam dengan tinggal di atap yang sama dengan orang yang telah meninggal. Mayat salah satu dari mereka. Masih menghadapi ancaman yang tidak tahu berasal dari siapa atau dari mana. Masih dengan banyak ketidaktahuan seperti sebelumnya.Jika tidak ada yang keluar lebih dulu untuk memulai semuanya, tidak akan ada yang menyusul. Karena itu Mika turun lebih dulu. Memulai kegiatan dan membuat sarapan. Ia membuat untuk 5 porsi dan meletakkan di meja makan. Mika bahkan menuangkan susu ke dalam gelas dan menyandingkannya dengan mangkuk sarapan masing-masing.Mika memulai sarapan lebih dulu. Isi mangkuknya sudah tinggal setengah ketika Rania turun.Laisa sedang merenung di kantor detektif miliknya yang temaram. Lampu ruangan tidak dinyalakan bukan karena tidak sanggup membayar listrik. Laisa sengaja. Karena hanya dengan berada di tempat temaram dan sepi, ia bisa fokus berkonsentrasi. Ada hal yang mengganggunya. Memindahkan 6 orang dalam waktu singkat sangat tidak efektif, bahkan meski pelaku beraksi lebih dari satu orang. Laisa sedang memikirkan kemungkinan pelaku menukar dengan kendaraan yang sama. Cara itu lebih praktis. Hanya perlu mengganti pelat dan memindahkan si sopir. Laisa duduk bersandar pada punggung kursi dengan kakinya terangkat lurus ke atas meja. Hanya ada ia sendiri dalam ruangan sehingga tidak ada yang akan menceramahinya tentang tata krama dan bagaimana seorang wanita harusnya bersikap. “Dapat!” Laisa berseru. “Wah, aku enggak menyangka kalau ternyata otakku bisa segenius ini,” tambahnya memuji diri sendiri karena ternyata dugaannya benar.
Ketika Laisa dan Razan tersungkur di tanah setelah gagal menyerang Pak Omar, pria itu memanfaatkan kesempatan untuk kabur. Masih tidak juga rela kalah, Laisa dan Razan mengajar. Mereka mengeluarkan langkah tercepat. Melewati jalan kecil, menghindari orang, dan nyaris tertabrak motor. Mereka tiba di jalan besar. Masih terus berlari, melewati trotoar dan pedagang kaki lima. Saat akhirnya jarak semakin tipis, Pak Omar memasuki lingkungan Museum Nasional dan di saat yang bersamaan, rombongan turis sebanyak dua bus berhambur ke luar. Tidak ingin melewatkan kesempatan, ia ikut membaur di antara para turis. Kemeja kotak-kotak yang dipakai untuk lapisan luar kausnya di lepas dan di jatuhkan ke tanah begitu saja. Pak Omar bahkan mengambil topi salah seorang turis yang lengah. Laisa dan Razan kesulitan menemukan targetnya. Mereka memilah berdasarkan bentuk tubuh dan jenis kelamin. Kemudian memastikan dengan melihat wajah orang yang dicurigai. Tapi mencari b
Saat Jovita terbunuh, rasanya seperti mimpi, sulit dipercaya. Dan saat Isamu juga terbunuh, mimpi buruk yang menjelma nyata. Rasanya seperti sebuah teror. Kematian begitu dekat, begitu nyata. Mengikuti dengan rapat, tepat di belakang punggung. Kejadian yang menimpa Jovita sungguh tidak terbayangkan. Seolah hal itu belum cukup, mereka kembali di kejutkan dengan hal serupa. Mungkin yang kali ini sebuah peringatan. Bahwa segalanya belum berakhir. Bahwa mereka tidak akan dibiarkan tenang. Tidak, bahkan untuk sesaat. “Dalam waktu dua hari, dua orang terbunuh tepat di depanmu. Sebenarnya apa yang kamu lakukan?” Adien berkata ngeri. Adien secara terang-terangan menjauhi Tami. Seperti Tami dapat menularkan nasib buruk pada siapa pun atau lebih parah lagi, pembawa kematian. Berada di satu tempat yang sama saja sudah membuat tidak nyaman, apa lagi harus berada tepat di depannya seperti saat ini. Tami menatap nyalang ke arah Adi
Malam semakin larut. Kegelapan yang berasal dari luar semakin melebarkan sayapnya yang kelam. Bulan enggan muncul meski hanya sesaat untuk menyapa. Terus bersembunyi dengan nyaman di balik awan kelabu. Mika sedang mengurung diri dalam kamarnya yang gulita. Sebelumnya ia bisa merasa tenang saat berada di tempat gelap. Ia bisa berpikir dengan tenang. Jika sudah seperti itu Mika merasa dirinya mirip Laisa Khalila, sepupunya yang pemberontak itu. Secara sadar, Laisa banyak memberi pengaruh untuk hidup Mika. Kemampuan memasak, mengurus TKP, sampai sedikit ilmu bela diri yang Mika pelajari, semua berasal dari Laisa. Laisa adalah wanita yang suka pamer. Ia selalu membanggakan kelebihan dan segala hal baru yang telah ia pelajari. Setelah berhenti mempelajari sesuatu Laisa akan menunjukkan apa saja yang telah ia kuasai kemudian menurunkan beberapa pada Mika. Laisa berkata kalau ilmu yang ia turunkan adalah bayaran dari surat kelulusan yang Mika buat untukn
Pukul setengah enam pagi, vila di pulau itu masih tenang. Masih sama sekali belum ada aktivitas yang terlihat. Beberapa menit kemudian, seseorang membuka pintu kamarnya dengan hati-hati. Kemudian melangkah menuruni tangga. Langkahnya perlahan dan tanpa suara. Ada kantong plastik hitam yang ia bawa. Tujuannya adalah pintu belakang. Ia mengeluarkan sesuatu dari saku. Jepit rambut hitam yang telah dibengkokkan menyerupai kunci. Dengan sedikit usaha dan kesabaran, pintu akhirnya terbuka. Sebelum beranjak keluar, ia menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan segalanya aman dan hanya ada dirinya sendiri di sana. Hawa dingin yang segera menyergap begitu pekat. Ia mengusap-usap kedua lengannya untuk sedikit memberi rasa hangat. Suasana tenang, lenggang, dan sejuk. Tempat ini sebenarnya sempurna untuk berlibur. Tanpa kesibukan kota, polusi, dan asap kendaraan bermesin. Menikmati pemandangan yang permai dan air laut yang jernih. Sungguh sempurna jika saja situasinya
"Jadi, siapa yang mau menjelaskan apa yang sedang terjadi?" Mika bertanya pada Adien dan Tami. Begitu pintu dibuka, Adien merapat pada Mika dan Rania. Ia terlihat begitu ketakutan. Tami yang berdiri pada jarak lima langkah dari mereka merasa telah menjadi seorang antagonis yang menyedihkan. Antagonis yang bahkan tidak tahu telah melakukan kejahatan apa. "Aku ..." "Tami mengagetkanku. Dia muncul diam-diam dari belakang. Bukankah itu aneh?! Itu jelas-jelas aneh!" Adien menunjuk ke arah Tami namun menyembunyikan tubuhnya di belakang Mika. Di situasi seperti ini, siapa yang berbicara lebih dulu maka dialah yang memegang kendali. Sementara orang yang berbicara setelahnya, hanya akan dianggap mencari-cari alasan, melakukan pembenaran. Mika menatap Tami meminta penjelasan. Tami mengerutkan keningnya. Ia tidak menyangka kalau Mika akan mempercayai perkataan Adien mentah-mentah. Tami juga menatap ke arah Rania. Meski wan
Saat masalah telah selesai, semua kembali ke kamar masing-masing. Sebenarnya situasi saat ini benar-benar tidak menguntungkan. Dengan setiap orang sibuk saling menghindar dan berpikir dengan cara masing-masing mereka akan cenderung lebih pasif. Tapi tidak ada pilihan lain. Tidak ada yang yakin siapa yang benar-benar teman dan siapa yang sebenarnya musuh. Membagikan informasi secara membabi buta tidak akan menguntungkan. Saat tidak ada lagi suara yang terdengar dari lorong lantai dua, Mika meninggalkan kamarnya. Ada hal yang membuatnya penasaran dan semakin dipikirkan, semakin Mika tidak tenang. Tempat yang menjadi tujuan Mika adalah kamar paling ujung sebelah kanan. Pintu kamar masih tertutup seperti sebelumnya, tapi ketika Mika masuk seseorang telah berada di sana lebih dulu. "Lama sekali. Aku sudah menunggumu dari tadi." Rania Meisy. Wanita itu bersandar di dinding dengan tangan terlipat di depan dada. Ekspresinya terlihat mulai bosa
"Mika, Mika! Mika, buka pintunya!!" Tami menggedor-gedor di depan kamar Mika. Ia bersikap seperti orang kerasukan. Saat Mika muncul, ia terkejut karena melihat wanita itu keluar dari kamar paling ujung bersama Rania dan bukan berada di kamarnya. "Kenapa ...” Tami menunjuk Mika dan Rania bergantian. “Ah, lupakan!" Dari mana pun Mika keluar atau masuk itu hak Mika, Tami tahu ia tidak boleh ikut campur. "Lihat, apa yang kutemukan!" katanya beralih pada hal yang lebih penting. Mika, Rania, dan Adien yang juga keluar dari kamarnya mendekat untuk melihat dengan jelas benda yang ada di tangan Tami. "Kamera?" Mika seperti berbicara pada dirinya sendiri. "Kamera? Kamera CCTV?!" seru Rania "Bagaimana mungkin ada kamera?" Adien menyahut. "Aku menemukan benda ini di kamarku," jelas Tami. Kamar Tami berada di ruangan pertama sebelah kanan. Ia mengajak semua orang ke kamarnya da