Share

Hope

Cherry baru saja selesai membersihkan diri dari debu dan keringat setelah seharian ia berjalan mencari pekerjaan. Menutup pintu kamar mandi, tangan gadis itu sibuk mengusap-usap keringkan rambut basah dengan handuk kecil. Si manis melangkah, berdiri depan meja hitam kecil, ia membuka tas lalu meraih ponsel.

Ada tiga panggilan tak terjawab dari si adik. Cherry mengulum senyum kecil, ibu jarinya menari cepat pada layar ponsel. Ia mengirim pesan, memberi kabar pada Leon kalau ia sudah sampai di apartemen. Menaruh ponsel, iris cantik Cherry tak sengaja melirik pada sebuah kartu nama dalam tas. Tangan Cherry bergerak ambil kartu dari dalam tas. Isi kepala si gadis mengingat ulang kejadian beberapa waktu lalu.

Matahari telah tinggi bersinar sangat terik menyengat kulit, tak menyurutkan semangat si gadis untuk mencari kerja. Cherry berjalan melewati beberapa barisan toko dan cafe. Si gadis melangkah santai, sesekali melirik juga membaca papan tertulis depan toko atau cafe di sana. Yah, harus jeli, siapa tahu ia beruntung menemukan sebuah tulisan dibutuhkan segera. Walau nyatanya yang dijumpai hanya deretan kata-kata promo atau pengumuman diskon special sekadar menarik minat pembeli dan pelanggan.

Langkah Cherry terhenti. Seorang pelayan cafe dekat bak sampah memanggil, melambaikan tangan. Manik Cherry berkeliling, ia menoleh dengan raut bingung. Melihat sekitar hanya ada beberapa orang melintas di sana. Ia menunjuk diri sendiri.

Si pelayan cafe terkekeh melihat wajah linglung si gadis. Memberi gestur manggut, melambai mengajak si gadis mendekat. "Kamu sedang mencari kerja?" tanya si pelayan langsung to the point, melihat sebuah map di tangan Cherry.

Iris Cherry bergulir pada map di tangan, lalu bergulir menatap si pelayan cafe. "Ah, iya. Apa cafe ini sedang membutuhkan tenaga ekstra?" Cherry antusias. Wajahnya berbinar senang, berharap pelayan tersebut mengatakan iya.

"Maaf, tidak ada," sahut si pelayan singkat, jelas dan padat.

Bahu Cherry merosot tajam. Menundukkan kepala, ia menghela napas dalam. Padahal sesaat tadi si gadis sangat berharap. Sebuah kartu nama muncul di depan Cherry. Kepala si gadis menengadah, mengerjab mata menatap si pelayan cafe.

"Ambil untukmu," tangannya bergerak, ia ingin Cherry menerima kartu tersebut.

Meski ragu Cherry ambil kartu nama tersebut. "Ini apa?" tanya si gadis.

Pelayan tadi tersenyum, masukkan kedua tangan dalam kantong. "Seorang pelanggan memberikan kartu nama itu padaku. Orang itu mengatakan perusahaan tempatnya bekerja membutuhkan tenaga kerja baru. Tidak disebutkan untuk bagian apa, kuharap itu bisa membantumu. Jadi ambil saja," kata pelayan cafe.

Cherry membaca nama dan alamat perusahaan tertera. Senyum si gadis manis mengembang senang semoga ia beruntung. "Terima kasih," ucap si gadis senang masih dengan senyum manis.

Kepala si pelayan cafe terangguk. Menepuk pundak Cherry dua kali bermaksud memberi semangat. "Good luck girl," katanya kemudian pergi dari sana meninggalkan Cherry yang masih memandangi kartu.

Yah, good luck for me. Batin si gadis sangat berharap.

Suara seseorang masukan pin apartemen membawa Cherry ke alam nyata. Menaruh kartu ke dalam tas si gadis bergegas keluar kamar.

"Wah, adikku belanja?" Cherry melangkah mendekati sang adik.

"Sedikit bahan makanan juga minuman kaleng," Leon memberi paper bag di tangan pada Cherry.

Mereka melangkah bersama ke dapur. Membuka lemari pendingin Cherry memberi air mineral untuk sang adik lalu menyusun rapi barang belanjaan ke dalam sana.

Air mineral dalam gelas berpindah masuk ke lambung si tampan. Menaruh gelas di atas meja ia bersuara. "Kak, besok aku ada perjalanan dinas kemungkinan satu minggu atau juga lebih."

Tangan Cherry berhenti. Ia menoleh, "Oke, jangan terlalu lelah. Jaga kesehatanmu, makan dengan baik." Belum juga berangkat kakaknya sudah lebih dulu mengingatkan.

Leon mendengus, "Aku sedang berpikir." Leon tiba-tiba berwajah muram. Tatapan mereka bertemu. "Andai saja kekasihku sepertimu, mungkin aku bahagia."

Melihat wajah sedih Leon, Cherry mendekati sang adik. Telapak Cherry bergerak menyentuh punggung tangan si tampan. "Kalian putus?"

Leon tersenyum getir kepalanya menunduk sesaat. Melirik ekspresi sang kakak dari sudut mata. "Setidaknya beban telingaku berkurang, tak perlu lagi mendengar ocehan saat aku telat jemput atau bla...bla...bla..." Leon terkekeh kecil ia mengedip mata.

Cherry memukul pundak si adik tampan. "See, you are a jerk lil."

Ejek Cherry sedikit kesal. Ia sudah hampir merasa bersalah. "Kalian putus karena aku di sini?" Cherry tetap penasaran.

Si adik memutar bola mata jengah. "Kenapa karena kakak di sini?" Leon menggerutu. "Ya Tuhan, jangan bilang kakak berpikir aku membeli apartemen ini untuk bersenang-senang bersama kekasihku. Bukankah sudah aku jelaskan sebelumnya."

Cherry kembali merapikan sisa barang belanjaan. "Yah, bukankah itu hal lumrah dilakukan anak remaja jaman sekarang?"

"Bagaimana dengan dirimu? Kakak lakukan itu di tempat kost?" Leon justru balik bertanya.

"What? Oh, pinhead you."

Erang Cherry kesal. "Apa adikku pernah melihatku berkencan?" memasang wajah cemberut. Leon tertawa padahal ia hanya bercanda. Leon tahu sang kakak tak pernah memiliki seorang kekasih.

"Mau sup ayam?" tanya Cherry setelah selesai merapikan barang belanjaan. Leon manggut setuju, Cherry ambil ayam yang telah dipotong.

"Kamu sangat suka sup ayam ekstra wortel. Kamu seperti kelinci manis yang lucu."

Leon tergelak penyentuh perut geli mendengar kata kelinci manis yang lucu dari Cherry.

Si gadis langsung meraih tempat untuk merendam ayam potong yang telah beku. Ambil panci siapkan air rebus. Cherry sangat lihai masalah dapur. Sudah terbiasa dan semua sangat mudah, ambil pisau mengupas bawang bombay, mencuci lalu mengirisnya tipis Cherry menatap si adik tampan, ia memutar bola mata jengkel mendapati Leon asik bermain ponsel.

"Hei, adik tampan pemalas."

Pisau berukuran sedang mengacung ke arah wajah Leon. "Tugas kamu mandi," perintah Cherry pisau itu begerak mengusir Leon.

Si adik tampan menelan liur kering. "Kadang aku memang harus berhati-hati, saat berdua dengan psikopat sepertimu," cicit adik tampan pergi berlalu dari sana.

"Hah, kamu bilang apa?"

Leon berlari sambil berteriak. "Tuhan selamatkan aku."

Cherry terkekeh lucu, ia melanjutkan masak.

****

"Woi, dude."

Scott menepuk pundak Ares. "Sejak tadi ponselmu bergetar. Aku sedih melihatnya diabaikan."

Ares bergeming. Tetap pada posisinya, kepala Ares bersandar pada kepala sofa ia menutup mata. Sore ini selesai rapat pemegang saham Ares langsung meluncur ke kantor Scott. Papa muda jengah dengan sikap Early. Selama mereka di restoran tadi siang, Early tak henti bicara banyak hal. Jangan tanya apa yang gadis itu bicarakan. Ares sudah pasti mengabaikan. Keluar telinga kiri-kanan.

Scott menyeruput kopi dingin, ikut menyandarkan punggung pada sofa ia menatap Ares penuh tanda tanya. Sejak datang pria itu diam seribu bahasa. Tidak, manik Scott melirik pada cangkir putih depan Ares. Sahabatnya mengatakan ingin teh hangat. Coba lihat, sudah setengah jam berlalu teh hangat itu tak juga di sentuh. Jika sudah seperti ini, Scott hanya bisa diam. Menunggu Ares membuka mulut untuk ....

"Aku melihatnya lagi,"

.... bersuara.

"Thanks God."

Scott berseru setelah ia menunggu. "Lalu?"

Tubuh Ares merosot. Satu tangan si tampan memijat pelipis. "Tak ada. Aku sedang bersama Early di cafe. Aku melihat gadis itu berjalan membawa sebuah lamaran kerja."

"Kenapa tidak bertindak? Eh, tunggu siapa Early?" tanya Scott beruntun.

Ares melirik lewat ekor mata. "Sudah aku jelaskan tempo hari." Ares jauhkan punggung dari sofa. Meraih kuping cangkir, ia menyeruput teh. "Ah, kenapa dingin!?" seru si tampan mendesah kecewa.

"Beruntung tidak jadi es batu."

Scott mencibir. Ares hanya terkekeh. "Kenapa tiba-tiba membatalkan rencana?"

Senyum kecut Ares terbit, pertanyaan Scott mengingatkan kejadian saat hujan. "Aku menyuruh salah satu pelayan cafe memberi kartu namaku pada gadis itu."

Ares memilih abai, tak ingin melanjutkan masalah itu. Ia lebih senang bercerita kejadian tadi siang.

Ares melihat gadis itu lagi. Gadis itu berjalan lamban memperhatikan jalan sekitar. Menilik penampilan si gadis dengan amplop di tangan ia menyimpulkan si gadis sedang mencari kerja. Rasa senang seketika menggelitik dada si tampan. Pria itu mencebik, saat sadar disampingnya juga ada seorang gadis yang terus memepetnya pada kaca.

Si tampan berhasil keluar dari jeratan gadis gatal, Ares beralasan ingin ke toilet. Belum sampai toilet Ares memanggil seorang pelayan cafe. Meminta tolong memberikan kartu namanya pada gadis di luar jendela. Tak lupa pelayan itu harus memberi informasi jika di perusahaan itu sedang membuka lowongan kerja. Pelayan itu setuju, berkata akan lewat pintu belakang sembari buang sampah. Ares menyelipkan beberapa dollar ke dalam kantong si pelayan sebagai tanda terima kasih. Si tampan kembali ke tempat duduk mengintip dari balik jendela, gadis itu sudah menerima kartu namanya. Dan Ares berharap besok si gadis datang.

"Wow, kudoakan gadis itu datang," ucap Scott tulus.

Ares manggut-manggut. "Aku lupa bertanya," Ares menatap Scott. "Kemarin informasimu sangat cepat. Apa benar istrimu kenal gadis itu?" Ares penasaran.

"Istriku masih kurang paham. Yang kamu maksud putri pertama atau kedua dari keluarga Thomas. Istriku hanya mengatakan berteman baik. Itu saja."

"Semoga itu bukan Early."

"Aku tak tahu. Istriku tak menyebut nama. Sudahlah tak perlu dibahas lagi."

Ponsel Scott bergetar, ia meraih ponsel dalam kantong celana. Sebuah pesan masuk, sebelum membuka pesan tersebut ia lebih dulu bertanya. "Jika gadis itu benar datang dan melamar, apa rencanamu?"

Ares menatap cangkir teh. Pikirannya menerawang jika memang si gadis besok datang melamar. "Aku berikan dia pekerjaan spesial."

Scott mengirim balasan pesan. "Spesial?"

Si tampan melirik, seringai iblis Ares berkedut di sudut bibir. Scott mendengus tak perlu dijelaskan dan ia cukup paham sifat Ares.

"Aku beri saran, jangan berlebih."

"Oh, dude santai. Aku bahkan belum memulai," balas Ares tenang.

****

Si gadis memilih pakaian. Memoles bedak tipis juga liptint warna soft. Cherry melipat bibir, tersenyum pada cermin melihat penampilan pagi ini sempurna. Ambil tas kemarin tak lupa amplop berisi lamaran kerja. Semalam Cherry sudah mengirim surat lamaran melalui website tertera pada kartu nama. Ia berharap kali ini benar-benar dewi fortuna berpihak padanya.

Keluar dari kamar Cherry melihat sang adik seperti baru bangun tidur. Rambut acak-acakan, pakaian tidur kusut itu sangat lucu. Oh, jangan lupa wajah super tampan alami si adik.

"Kamu tidur larut lagi?"

"Jam dua," sahut Leon serak, menarik satu kursi depan meja makan, duduk di sana masih berusaha mengumpulkan nyawa.

Cherry menuangkan air putih untuk sang adik. Memberi piring berisi roti bakar dengan selai cokelat untuk Leon.

"Thanks."

"Hu'um."

Cherry ikut duduk berseberangan. Mereka mulai sarapan.

"Kakak melamar lagi? Aku melihat surat lamaran kamu sudah masuk," kata Leon.

Cherry tersenyum. "Doakan aku. Semoga kali ini aku beruntung."

Leon menarik sudut bibir. "Aku pastikan kali ini kakak diterima."

"Terima kasih," ucap si kakak cantik. "Kamu jadi pergi?"

Kepala Leon terangguk. "Aku berangkat malam jam tujuh."

"Baiklah, kalau nanti aku sudah pulang. Aku bantu siapkan barang-barangmu."

Leon berdiri, membuka lemari pendingin ambil susu segar. "Sebagian sudah kusiapkan. Siang nanti sekretarisku datang, menyelesaikan sisanya. Dia sudah terbiasa," jelas Leon menuang susu ke dalam gelas.

"Kenapa sekretarismu laki-laki?" Cherry penasaran.

"Perempuan bawel. Ribet dan...."

Leon melirik sang kakak, sedang memasang wajah datar. "Kecuali kakak tentunya."

Cherry memutar bola mata malas. "Adikku tersayang termasuk ke dalam kategori playboy. Dua tahun ini saja kau sudah menjalin hubungan dengan lima wanita. Dan semua berakhir tanpa perkara yang jelas."

"Aku pernah bilang andai saja mereka sepertimu. Ah, sudahlah mereka semua memang menyebalkan." Leon membela diri sendiri.

"Up to you, lil."

Cherry menelan potongan terakhir dan minum susu. Kelopak Cherry melebar, hampir jam sembilan ia hampir terlambat.

Menaruh bekas piring dan gelas di wastafel tergesa-gesa. Leon menghela napas pendek. "Tinggalkan, biar aku yang cuci," suara berat sang adik menyapa.

Mata Cherry berbinar. Meraih tas dan amplop ia terburu-buru. "Aku berangkat," mengacak rambut sang adik.

"Ish ... aw ... aw ...." Cherry meringis kakinya tak sengaja terantuk meja.

Leon menoleh ke belakang, mendapati sang kakak berjalan pincang, mengusap lutut.

"Hati-hati."

Cherry berteriak oke, melambaikan tangan segera pakai sepatu lalu keluar apartemen. Pintu apartemen tertutup Leon menarik napas. Dengus si adik tampan terdengar sedikit keras. "Bajingan itu, sebenarnya apa yang dia mau? Siapa yang dia pilih?" minum sisa susu dalam gelas. Iris Leon menatap gelas kosong. "Jika Ares berani menyakiti kak Cherry demi Early, aku tidak akan tinggal diam," geram Leon lalu berdiri mencuci peralatan bekas sarapan.

Cherry melipat bibir berulang kali melirik jam tangan mungil miliknya. Duduk si gadis gelisah, jari-jarinya mengetuk-ngetuk amplop cokelat di atas paha. Hampir lima menit dan bus belum juga datang. Tinggal dua puluh menit lagi menuju jam 09.00 am. Cherry berharap tidak terlambat datang untuk interview.

"Ck, ayolah di mana bus-nya!?" si gadis mencebik berseru kesal. Menanti bus datang lama.

"Thanks God."

Cherry bersyukur melihat bus datang. Si gadis langsung berdiri, membayar dan memilih tempat duduk. Ia menarik napas gusar, mengibas-ngibas wajah.

Sekali lagi Cherry mengerang kesal. Kenapa harus macet disaat terdesak seperti ini. Cherry berusaha tenang dan berdoa semoga saja ia bisa tepat waktu. Oh, ya Tuhan tolong aku. Beri aku keberuntungan hari ini. Baru saja Cherry berdoa dalam hati. Bus jalan sedikit demi sedikit. Sepuluh menit ia terjebak macet. Perjalan masih lumayan, waktu tersisa sepuluh menit. Si gadis menyusun rencana, mungkin ia akan berlari setelah turun dari mobil.

Tepat empat menit lagi, Cherry turun kemudian langsung berlari menuju gedung. Mengatur napas setenang mungkin saat sampai depan gedung. Tanpa sadar rambut Cherry terlihat berantakan, banyak karyawan menertawai. Cherry yang bingung memilih acuh. Kelopak si gadis melebar sempurna melihat tampilan diri dalam kaca besar gedung, sangat berantakan.

Cherry mengumpat dalam hati. Ia bersembunyi di balik dinding besar tempat parkir. Meraih kaca dalam tas ia mulai rapikan rambut juga make-up. Cherry masuk mendekati resepsionis di sana.

"Permisi," Cherry sopan.

"Ada yang bisa saya bantu?" kata si resepsionis ramah.

"Kemarin aku dapat info kalau di perusahaan ini sedang membuka lowongan pekerjaan."

Resepsionis mengerut dahi dalam. Bingung. "Maaf nona. Saya rasa informasi yang anda terima salah. Perusahaan ini tidak membuka lowongan kerja." Jelas si resepsionis.

"Hah," Cherry terkejut. "Benarkah? Tidak ada lowongan apapun?" Cherry memastikan. Atau mungkin pelayan cafe kemarin salah bicara atau memang berniat mengerjaiku?

"Ada, di sini ada lowongan."

Suara baritone dan sosok tampan dibalik punggung si gadis menarik perhatian banyak orang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status