Share

Gelisah

Sabtu kelabu. Yah, setidaknya kata itu pantas disematkan untuk Ares si pria tampan, rupawan, menawan dan oh—kasihan.

Lihat saja betapa kacau wajah pria tampan itu. Duduk di kursi putih dalam kamar, dengan kedua tangan terjalin menempel di atas perut. Kepalanya bersandar pada punggung bangku, ia menatap langit-langit kamar. Hati papa tampan di gulung awan mendung. Seperti cuaca di langit hari ini gelap cenderung abu-abu namun tak basah, kering merana.

Isi kepala papa tampan masih terus mengulang kejadian beberapa saat lalu tanpa bisa menghindar. Berputar ke waktu lalu lebih lama lagi, ia mengingat ucapan Tante Merlin mengenai tunangan si gadis.

Benarkah gadis itu telah bertunangan?

"Shit," tiba-tiba Ares mengerang kesal.

Papa tampan memaki, tanpa sebab—tanpa alasan berarti. Kepala Ares menunduk, mengepalkan tangan kemudian menutup mata menetralisir emosi yang sedang bergolak ingin meledak. Helaan napas panjang (lagi) berat ratusan kali terdengar, mengisi ruang luas nan rapi. Getar ponsel membawa manik Ares melirik kantong celana dengan malas ia merogoh kantong celana levis biru, meraih benda pipih dari sana.

"Hn," ambigu papa tampan setelah menggeser tombol hijau lalu menempelkan benda tersebut pada telinga.

Scott lebih dulu mencebik sebelum menjawab. "Aku dan istriku sedang belanja untuk acara ...."

"Tidak perlu, batalkan saja." Potong Ares cepat.

"Kau ... apa? Kenapa tiba-tiba?"

"Tak apa, aku sudah tak ingin."

Tanpa basa-basi Ares memutus panggilan Scott.

Di seberang sana Scott memaki kesal pada ponsel. Ares seenaknya saja memutus sambungan telepon.

Tunangan? Putri pertamaku sedang makan malam bersama tunangannya.

Ares mengusap wajah kasar, beranjak dari bangku mengayun kaki berniat mendekati ranjang. Langkah Ares terhenti di tengah ruang kamar. Dahinya mengerut dalam mengingat ada sebuah koper hitam besar ditangan pria di sana.

Wait a minute.

Apa maksud dari koper hitam? Apa gadis itu tinggal bersama dengan tunangannya. Oh, ya mungkin saja seperti itu. Memang apa urusanku? Apa peduliku?

Cih.

Senyum picik asimetris Ares muncul tipis lalu berpikir liar, tentang apa yang selanjutnya terjadi jika seorang gadis dan seorang lelaki tinggal dalam satu atap?! Lebih bangsat lagi, cuaca sedang hujan disetujui oleh status mereka yang terikat kata bertunangan.

"Double shit," papa tampan semakin mengerang marah.

Apa yang aku pikirkan, bodoh! Aku yakin tidak peduli. Yeah, semua itu sama sekali bukan urusanku. Buang jauh-jauh bayangan sialan tak berguna itu, bodoh.

Oh my gosh, ada apa dengan otakku?

Papa tampan terus memaki diri sendiri. Buah pikiran sialan Ares sama sekali tidak menenangkan hati. Papa tampan mengusap tengkuk, rasanya sangat berat. Memutar langkah Ares memutuskan mandi air dingin. Menghilangkan pikiran laknat berujung kerugian pada diri sendiri.

****

Cherry mengerjab mata, menarik tubuh dari ranjang nyaman. Satu tangannya menyentuh kepala, rasanya masih sedikit sakit. Menyibak selimut bercorak garis-garis monokrom lalu turun dari ranjang ia masuk kamar mandi. Selesai kegiatan membersihkan diri, gadis manis langsung keluar kamar.

"Bagaimana tidurmu, Kak?"

Pertanyaan khawatir penuh kasih sayang langsung menyapa telinga saat si Gadis berada diambang pintu.

"Nyaman," jawab Cherry singkat kemudian ikut duduk di atas karpet merah depan meja. "Untukku?" tanya sang kakak melihat ada dua cup mie.

Si Adik tampan semalam tidak pulang. Leon sengaja menginap, ia ingin menjaga sang Kakak. Mengingat tubuh Cherry sempat menggigil karena memakai baju basah terlalu lama.

Tiba di apartemen, Leon menyuruh Cherry membersihkan diri di kamar tamu tempat biasa Cherry gunakan. Tak lupa Leon memanggil petugas laundry menyerahkan koper berserta seluruh isi pakaian sang Kakak untuk dicuci. Untung saja dulu sewaktu libur kerja Cherry sesekali berkunjung, menginap dan meninggalkan beberapa pakaian di sana.

"Rasa kari, kakak selalu pilih itu."

Kata adik tampan menyodorkan satu cup mie yang telah diseduh air panas dengan senyum.

"Thank you lil," balas Cherry jenaka, mereka terkekeh kemudian.

Cherry membuka penutup cup wangi bumbu kari menggelitik penghidu, meniup lalu menyantap mie perlahan.

"Kenapa tidak pulang?"

"Jangan egois. Kamu terlihat pucat, mana bisa aku meninggalkan kakak sendiri."

Masukan lagi mie ke dalam mulut, Leon menyeruput kuah panas sedikit lalu berdecak nikmat.

"Aku sudah minum obat semalam," jawab Cherry mengaduk mie kembali menyuap. Cherry menyimpan mie dalam pipi sebelum bersuara. "Maaf," menunduk mengunyah pelan sisa makanan dalam mulut.

Gerakan sang Adik membuka tutup botol sesaat berhenti. Menatap kakak tersayang dengan pandangan arti lain. "Lupakan. Aku sudah tidak marah. Aku sudah pernah prediksi, cepat atau lambat hal seperti ini pasti terjadi," Leon meminum air mineral.

"Aku sendiri tak habis pikir. Seharusnya ibu...."

Cherry menggeleng. Menatap sang Adik penuh rasa kasih sayang. "Aku baik-baik saja. Jangan salahkan ibu. Kamu tetap putra tampan kesayangan dari keluarga Thomas." Cherry memotong ucapan Leon.

Pada kenyataannya Leon sendiri tahu jika sang Kakak tidak baik-baik saja.

Leon menghela napas lemah. Menurutnya sang Ibu benar-benar sangat keterlaluan, perlakukan wanita paruh baya itu jauh berbeda. Tidak bisa lagi diterima akal sehat. Ibu terlalu sibuk menyayangi kakak kedua Early. Sedangkan untuk kakak pertama? Leon hampir tak pernah melihat sang Ibu memberi perhatian khusus. Iris Leon bergulir memperhatikan lagi sang Kakak. Cherry tampak tak ingin melanjutkan sarapan mie cup, hanya mengaduk-aduk mie tanpa henti.

"Mungkin aku ...."

"Tinggal di sini sampai aku mendapatkan tempat untuk kakak. Di sini aman, ibu dan Early tak pernah datang."

Leon langsung memotong niat Cherry, adik tampan tahu apa yang dipikirkan saudara perempuannya.

Cherry hampir tak percaya. Ia mengira sang Ibu pasti sesekali mampir melihat keadaan putra kesayangannya.

"Mereka tak pernah datang?" Cherry bertanya hati-hati memastikan.

Leon mendengus, kedua tangan adik tampan terulur ke belakang untuk menyangga tubuh. Ia mulai bercerita. "Kakak pasti tahu arti rasa muak."

Manik Leon mengedar menelisik setiap jengkal bangunan apartemen miliknya. "Saat pertama kali beli apartemen ini yang ada dalam pikirkan aku hanya kakak, yang datang ke sini juga kakak. Aku senang saat kakak menghubungiku dan berkata ingin menginap. Saat aku tidak pulang ke rumah, ibu hanya tahu aku menginap di rumah teman."

Dahi Cherry mengernyit. "Kamu tidak...," Kakak Leon menggantung kalimat di udara.

Leon menggeleng lemah. "Tidak, aku tidak pernah berniat memberitahu ibu. Aku memikirkan cara terbaik untuk menghindar, tak ingin bertemu wanita itu. Aku beli apartemen ini atas nama sekretarisku. Kakak aman di sini. Aku pasti sesekali datang. Jadi tak perlu khawatir."

"Terima kasih tapi aku punya tabungan walau sedikit. Jika sudah dapat ...."

Helaan napas kesal sang Adik menarik manik cokelat Cherry untuk menatapnya.

"Penipu ulung."

Leon bersuara rendah namun sangat menjengkelkan. "Kakak tidak perlu menepi dari hujan, di toko sana dengan pakaian sangat basah dan menangis. Kakak pikir aku bodoh! Alasan apa yang membuatmu tidak dapat tempat kost setelah seharian berkeliling, menggeret koper berat sialan itu."

Si Adik menggeram marah. Melipat tangan di atas meja wajah marah Leon maju meminta penjelasan.

Cherry mengerjab mata dua kali, ia tak percaya. Baru kali ini sang adik terlihat sangat marah. Cherry memalingkan wajah lalu berdeham sebelum bicara. Lagi-lagi suara serta nyali gadis manis menciut. Tenggelam saat suara bass sang adik terdengar.

"Tetap di sini, bukan berarti aku tak menghargai keputusan kakak. Sebaliknya aku sangat menghormati dan menyayangimu."

Manik mereka beradu satu titik. Cherry sangat emosional sampai meneteskan air mata. Tak tahu lagi harus mengucapkan hal baik apa untuk si Adik tampan.

"Terima kasih," satu frasa sangat biasa ia ucapkan tiap kali Leon membantu serta rasa syukur pada Tuhan telah memberikan seorang adik tampan yang sangat peduli padanya.

"Tidak perlu, aku akan selalu jadi pelindung kakak disaat kakak tersakiti. Percayalah."

Senyum Cherry terbit sehangat mentari dan itu cukup untuk Leon merasa lega.

Tuhan, beri adikku jodoh terbaikmu. Menerima adikku dengan tulus, amen.

Doa tulus sang Kakak untuk adik tampan tersayang.

****

Empat hari berlalu dan Ares masih murung memikirkan nasib gadis yang belum diketahui namanya. Papa muda tampan sangat ingin tahu kebenaran gadis tersebut. Banyak pertanyaan bercokol dalam kepala sekaligus mampu membuat Ares sangat dongkol. Papa muda terlalu takut menerima sebuah fakta, yang seharusnya ia anggap hanya mengada-ngada.

Bodoh.

Umpat papa tampan dalam hati. Memukul setir kemudi, ia harus tetap fokus menyetir. Masih terlalu pagi untuk emosional. Ares berangkat ke kantor dengan hati terbilang kacau, sangat. Setiap kali Ares ingin menekan nomor anak buah, mencari info tentang gadis manis tiba-tiba tangan dan jari-jari pria itu mendadak kaku seperti terkena penyakit stroke.

"Ya Tuhan, ada apa denganku?" decak kesal Ares memukul paha kencang.

Nyali papa tampan menciut hanya untuk sebuah informasi. Oh, lucunya. Jika saja ada satu orang tahu kegelisahan papa tampan seluas samudra. Bisa dipastikan, Ares menjadi bahan ejek. Sangat menyebalkan, mengusik telinga adem Ares.

Ada apa denganku?

Hah, sekali lagi pertanyaan itu muncul tanpa sebab. Ares yakin ini hanya sebatas rasa ingin tahu, yah seperti itu dan tak lebih.

Benarkah?

Sayangnya itu tidak benar.

Rasa khawatir Ares terlalu dalam untuk gadis manis yang belum ia kenal. Isi kepala papa tampan memutar ulang momen kala terakhir Ares melihat keadaan gadis itu seperti sedang menangis dalam dekapan lelaki. Kemudian pergi berlalu dan—Oh, tidak. Ares benar-benar dibuat kesal dengan hasil imajinasi norak yang terus merusak otak jeniusnya.

Papa tampan memutar kemudi saat sampai tikungan area parkir perusahaan. Memastikan mobil telah terparkir rapi, papa tampan membuang napas kecil. "Semoga tidak ada gangguan hari ini."

Tentu saja ritual sebelum keluar mobil ia lakukan. Memutar kaca bagian tengah lurus menghadapnya, Ares merapikan rambut. Memastikan dasi terpasang rapi lalu keluar mobil.

Mata tajam. Wajah rupawan. Langkah gemulai—oops langkah gagah maksudnya. Siapa tidak tertarik memandang ke arah pria satu ini. Sayangnya Ares bukan tipe pria suka tebar pesona. Papa muda tampan satu ini akan langsung menuju ruang kerja. Padahal jika saja manik hitam Ares sedikit melirik ke arah para pegawai wanita di sana. Bisa saja ia tertarik dengan salah satunya.

Semisal dua karyawan cantik dan seksi sedang berbisik melihat kedatangan bos tampan Ares. Mereka melebarkan senyum secerah mentari, menyapa ramah dan tak sedikit juga berusaha tebar pesona, eiuw.

Sampai ruang kerja papa tampan langsung berkutat dengan para dokumen tercinta. Pintu terbuka seorang pria tampan datang membawa secangkir kopi sesuai selera.

"Kamu terlihat kacau. Perlu aku buatkan sarapan?" tanyanya melihat raut masam, murung bos tampan.

"Ya, aku memang belum sarapan tadi."

Pria itu langsung keluar. Tak lama ia datang dengan camilan ringan.

Waktu berputar cepat sudah hampir masuk jam makan siang. Ares menghela napas, cukup beruntung hari ini tak menemukan masalah berarti.

Meluruskan punggung lelah, bersandar pada bangku hitam. Ponsel Ares di atas meja bergetar lantas ia memutar bola mata malas melihat nomor tidak dikenal. Ares yakin itu ulah sang Ibu, menyebar nomor ponselnya pada anak gadis sahabatnya dan dirinya hanya perlu mengabaikan.

Hah, gadis itu di mana dia sekarang?

Suara ketuk pintu mengalihkan iris Ares. "Masuk."

Pria tampan pengantar kopi tadi pagi masuk. "Kenapa tidak diangkat?" melihat ponsel milik Ares terus bergetar di atas meja.

Ares menarik napas dalam. Menghembus karbondioksida perlahan lalu bersuara. "Kamu saja," perintahnya.

Angkat bahu acuh pria depan Ares kembali bertanya. "Mau makan apa?"

Ares diam-diam bersyukur. Getar ponselnya mati.

"Buatkan aku yang enak."

Ares selalu pasrah jika ditanya menu.

Bunyi getar ponsel membuat mereka saling tatap, lalu kedua manik beda warna itu bergulir menatap ponsel Ares dengan nama kontak mom sebagai pemanggil. Ares menghela napas dongkol sebelum angkat telepon.

"Ya."

Suara Ares terdengar redam, papa tampan berusaha menahan kesal.

"Aku dari pantry, ponselku tertinggal di atas meja. Ada apa, mom?" pura-pura tidak tahu.

"Mom, aku sibuk ...."

"Oke, oke."

Usaha mencari alasan tidak berhasil dan sekarang Ares semakin kesal. Papa tampan memutus sambungan sepihak. Jari Ares menekan dahi kuat.

Ah, sial.

"Yo, acara makan siang spesial dude," pria itu mengejek.

Ares angkat jari tengah dan pria di hadapannya tertawa laknat sangat senang melihat wajah muram Ares.

"Baiklah, kalau begitu aku pergi. Aku juga ada kencan."

Dua alis Ares naik tak percaya. "Kamu sedang berkencan?"

"Ya,"

"Dengan?"

Tangan pria itu masuk kantong. Tubuhnya sedikit membungkuk.

"Sekretaris kamu," bisikan pria itu rendah.

"Hahaaa ...," lagi-lagi tawa laknat terdengar. Pria itu melenggang cepat keluar dari ruang kantor.

Ares mendengus keras. Menarik sudut bibir ia sedikit terhibur guyonan sahabatnya tadi. Di mana gadis itu? Menyibak rambut, bos tampan kembali mendesah resah. Kenapa pikirannya selalu tertuju pada gadis aneh itu.

Ares memutuskan turun, sampai depan resepsionis si tampan kembali merotasi bola mata jengah. Sosok Early sudah menunggu, tersenyum lebar lalu melambaikan tangan centil. Ares memijat pangkal hidung, berharap ia tidak mual.

Oke boy, kau hanya perlu sedikit ramah. Lakukan dengan benar.

Ares memberi semangat pada diri sendiri. Tetap berjalan ia memasang wajah sedikit ramah.

Early terlihat senang melihat sedikit wajah ramah Ares menyambut dirinya. "Ares," panggil Early meraih lengan si tampan.

Langkah Ares terhenti. "Oh, kamu datang."

Early menekuk dahi. Apa-apaan itu, memang dirinya semut sampai tidak terlihat. Early mendumel. "Aku menghubungimu tadi."

Memasang wajah seperti tak terjadi apa-apa.

"Ponselku ada di atas meja."

Ares tidak salah dan ia berkata jujur karena memang ponselnya bergetar di atas meja.

Early mengerut alis bingung. "Memang tadi dari mana?"

"Ada perlu apa?" balas Ares tak ingin menjawab pertanyaan tidak penting Early.

Senyum malu-malu si gadis muncul. Maju selangkah tubuh Early menempel pada lengan Ares."Bisa kita makan siang bersama?" Early mengulas senyum.

"Tidak ...."

"Tidak?" wajah Early menunduk pasang wajah sedih. "Aku datang ke sini karena ibumu dan sekarang aku diabaikan."

Melepas lengan Ares. Ia mode ngambek.

"Bukan seperti itu tapi ...." Ares menghela napas. "Kamu naik taksi?" tanya Ares berbasa basi.

Si gadis angkat kepala, menarik sudut bibir senang. "Kita bisa bicara lebih banyak sambil makan siang, oke."

Paksa Early jarinya membentuk kata persetujuan tersebut.

Ares menekan udara dalam paru-paru. Tanpa sepatah kata. Ia berjalan lebih dulu, disusul Early yang membuncah bahagia.

****

Ares berusaha menahan kesal. Pasalnya Early terus memepet tubuhnya pada jendela cafe. Meja persegi panjang dengan bangku berhadapan kosong di satu sisi. Setelah mereka sampai di cafe, Early memilih tempat duduk pojok dekat kaca. Ares hanya menuruti lebih dulu duduk dan ia menyesal sekarang.

"Bisa geser sedikit!" seru Ares tak bisa lagi menahan sebal.

"Kenapa? Malu mereka melihat ke arah kita?"

"Aku mau ke toilet."

"Oh," Early berdiri mempersilahkan Ares. Baru saja ingin melangkah Ares kembali menghela napas, ia berpaling menatap Early kesal.

"Duduk," perintah Ares mutlak menunjuk pada bangku.

Early mencebik kesal. "Kenapa?"

"Kamu juga ingin ke toilet? Atau ke toilet pria? Kamu ingin membedakan ukuran di sana?" ketus Ares bersuara sedikit keras.

Early melotot. Manik hijau Early berkeliling mengabsen pengunjung cafe, mendapati beberapa orang menatapnya dengan gelengan kepala. Memasang wajah acuh ia berdeham.

"Oke, aku tunggu di sini saja. Jangan lama-lama," kata Early. Duduk manis melempar pandang ke arah jendela. Memalukan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status