Share

Bab 3. Prasangka

Author: Astika Buana
last update Last Updated: 2022-07-27 16:06:20

Syukurlah, dari hasil menggadaikan cincin, Mas Farhan pulang membawa beras lima kilo, minyak, telur, dan gula. Masih ada sisa untuk membeli kebutuhan lainnya yang dititipkan kepadaku.

 

"Mas, untuk pegangan kamu?" tanyaku setelah dia memberikan catatan perincian, sisa uang, dan surat gadai.

 

"Tidak usah, Dek. Kamu pegang semuanya saja. Bensin sudah terisi penuh, untuk apa lagi."

 

"Buat jaga-jaga di jalan, Mas. Kalau lapar atau haus gimana?"

 

"Makan sudah di rumah. Kalau pun keterusan sampai sore, Mas bisa tahan, kok. Jangan kawatir," jawabnya sambil menepuk bahuku.

 

"Kalau begitu, kita makan dulu sebelum Mas berangkat."

 

Beruntung suamiku bukan perokok, jadi tidak ada pengeluaran lebih. Dia hanya butuh bensin, makan pun jarang mau jajan di luar. Kalau dulu masih sibuk di warung, aku tidak kawatir. Namun, sekarang dia harus bekerja di luaran yang terkadang jauh dari rumah.

 

"Assalamuaaikum!"

 

"Waalaikumsalam!" sahutku dan suamiku bersamaan. 

Kedua anakku pulang dari sekolah--Fikri dan Lisa--mereka satu sekolah di SMP negeri. Untungnya mereka belum membutuhkan biaya yang besar, tetapi untuk Fikri ini yang menjadi beban pikiran. Dia sudah kelas tiga dan sebentar lagi masuk SMA. Memang, biaya masuk sekolah termasuk seragam kalau masuk sekolah negeri tidak sebesar sekolah swasta. Namun, dalam kondisi sekarang ini, itu cukup memberatkan. Itupun kalau lolos tes di sekolab negeri.

 

Setelah mereka cuci tangan, langsung mencium tangan kami bergantian. Mereka sudah cukup besar. Untuk ukuran anak remaja, mereka tidak mempunyai tuntutan berlebihan. Ponsel pun hanya cukup untuk keperluan sekolah, bukan merk ternama apalagi model terbaru.

 

"Makan dulu, Sayang. Ibuk sudah masak tahu telor kesukaan kalian. Tidak terlalu pedas dan ada kerupuknya juga," ucapku sambil membuka tudung saji. Aroma sambal kacang dan petis menguar menggugah selera makan. Kami berempat bersiap untuk makan siang.

 

"Tadi di sekolah kita bertemu Pakde Ji," celetuk Fikri sambil menunggu nasi yang aku ambilkan.

 

"Pakde masih titip makanan di kantin?" tanya Mas Farhan. Pakde Ji adik dari ayah mertua, sudah lama dia menitipkan makanan di kantin sekolah. Dulu sempat aku ingin mengikuti jejaknya, namun sudah penuh dan kantin sekolah belum bisa menerima tambahan penitip.

 

"Masih. Tadi kita diberi dua bungkus nasi goreng. Enak!" sahut Lisa, kemudian dia terdiam menatap kami bergantian, seperti ada yang ingin disampaikan, tapi ragu.

 

"E ... tadi Pakde Ji tanya ke Lisa. Setiap bulan diberi uang saku sama Tante Hana berapa? Trus, Lisa jawab tidak pernah dikasih. Trus Pakde Ji bilang, kok tidak pernah. Harusnya dia gantian bantu kakaknya. Sudah, nanti Pakde ngomong ke dia," jelas Lisa menirukan logat Pakdenya.

 

Aku menghela napas panjang, mengingat sifat keras Pakde Ji itu.

 

"Lisa salah, ya, Buk. Maaf, Lisa tidak mau bohong," ucap Lisa dengan kedua alis bertaut.

 

"Memang kenapa? Kamu kan tidak salah. Kenyataannya begitu, Kok. Tante Hana sudah lupa, sok sibuk, tidak pernah ke sini. Padahal, ke sini juga cuma satu jam saja. Dia merasa tidak selevel sama kita."

 

"Hus, Fikri! Tidak boleh berkata seperti itu. Itu namanya berburuk sangka!" ucapku tegas kepada anak pertamaku ini. Dia memang suka ceplas-ceplos kalau bicara.

 

"Memang gitu, kok. Fikri kadang iri sama teman-teman yang cerita dibelikan ini itu sama Om atau Tantenya. Kita kok tidak."

 

"Fikri ...."

 

"Iya, Buk! Om dan Tante mereka baik, sedangkan---" imbuh Lisa membenarkan ucapan kakaknya, tapi terpotong dengan panggilan ayahnya.

 

"Fikri, Lisa ...." ucap Mas Farhan yang sedari tadi diam, "jangan pernah mengukur kebaikan seseorang karena orang itu mampu memberikan sesuatu. Kadang, orang baik tidak mampu memberikan materi, tetapi, dia tulus mendoakan untuk kebaikan. Kalaupun ada orang yang menurut kita tidak tepat, lebih baik didoakan. Sekarang kita makan dulu, jangan bicara yang aneh-aneh, apalagi membicarakan keburukan orang." 

 

"Iya, Ayah," sahut mereka bersama-sama. 

Kak Farhan memang pembawaannya pendiam, makanya, anak-anak langsung menurut saat ayahnya berkata. Apalagi, yang dikatakan itu benar.

 

Kamipun makan bersama, walaupun di hati ini mulai gundah. Apalagi kalau bukan pertemuan anak-anak dengan Pakde Ji itu.

*

 

[Mbak, Lisa dan Fikri ngomong apa sama Pakde Ji?]

[Pakde Ji, telpon dan marah-marah] Pesan masuk dari Hana, iparku. Yang aku kawatirnya benar terjadi. Pasti Pakde Ji menegur iparku itu. Aku masuk ke kamar, sebelum membalas pesan, kawatir anak-anak melihat percakapan kami.

 

[Tadi mereka tidak sengaja bertemu di sekolah, Dek. Tadi juga mereka cerita] Balasku segera, dan langsung tertulis kata typing pertanda dia langsung membalasnya. Aku menunggu balasan darinya, tentunya dengan jantung yang berdegub tak biasa.

 

[Apa karena aku tidak memberi uang ke Mas Farhan, trus anak-anak ngadu ke Pakde Ji?]

[Kalau Mas Farhan kayaknya tidak, pasti Mbak Fika yang nyuruh, ya?]

[Jangan gitu dong, Mbak]

 

Deg!

Balasan yang langsung menghentikan detak jantung. Hatiku seketika nyeri, seperti tertusuk membaca pesan di layar ponsel. Dia yang sudah aku anggap adik sendiri, mampu berkata seperti ini.

 

Air mata menetes dengan sendirinya, tanpa isakan dan hanya pikiran yang kosong. Aku tidak mampu membalas apalagi menyela, tangan ini kehilangan tenaga seketika. Ponsel di tanganku ini, terlepas tanpa aku sadari.

Kok segitunya.

***

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 71. Balasan yang Kami Harapkan

    “Kita ke rumah sakit sekarang. Maaf, Pak. Di depan tidak usah belok ya, Pak. Langsung ke rumah sakit kota!” ucapku kepada pengemudi taxi online. Santi semakin menunjukkan raut wajah kebingungan. Sembari memegang lenganku dia bertanya kembali. “Siapa yang sakit, Mbak? Ibu?” Aku tersenyum melihat reaksinya yang berlebihan. Memang ibu mertuaku beberapa hari ini kurang sehat, tapi ini bukan kabar tentang beliau. Ini tentang kehadiran anggota baru di keluarga ini. “Bukan, San. Mas Farhan kirim pesan, Dek Hana sudah akan melahirkan,” jawabku sambil menepuk punggung tangannya. Seketika senyuman terbit di wajahnya. “Alhamdulillah. Cowok atau cewek?” “Akan melahirkan. Jadi belum. Makanya kita harus ke rumah sakit memberi dukungan kepadanya. Mas Farhan dan Ibu sudah menunggui di sana.” Lumayan berat ketika melahirkan tidak didampingi suami. Rendra, suami Dek Hana masih terikat kontrak di perusahaan pelayaran. Hanya kami-kamilah yang mendampingi dia menyambut kelahiran buah hati mereka. De

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 70. Jangan Berucap Kata Hanya

    Benar dengan apa yang pernah aku dengar. Di saat kita mulai berhasil, semuanya akan mendekat termasuk instansi pemerintahan terkait. Bisnis yang aku rintis mulai berkembang pesat. Kesibukanku semakin bertambah. Tidak hanya berkutat di dapur, tetapi juga menghadiri undangan untuk berbagi pengalaman. Tawaran bantuan mulai berdatangan, dari sumbangan sampai kredit dengan bunga yang bisa dibicarakan. Namun aku perlu hati-hati, karena di dalam kemudahan bisa jadi tersembunyi pengaruh yang mengendurkan semangat. Aku memang masih berpikiran kolot yang berpegang pada pepatah, easy come easy go. Apa yang datang dengan mudah, bisa jadi gampang menghilang. Sudah banyak yang terjadi di sekitar kita. Santi sudah mempunyai anak buah yang menjalankan pemasaran, begitu juga di bagian produksi. Praktisnya, di saat aku tidak ada di tempat, Santilah yang mewakiliku. Pendapatan yang adik iparku dapat dari bisnis ini dengan pembagian prosentase, jadi semakin banyak kerjaan, semakin lumayan yang dia dapa

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 69. Lega Rasanya

    "Dek, kenapa senyum-senyum sendiri? Mas tidak diajak seneng-seneng?" seru Mas Farhan yang tiba-tiba duduk di sebelahku. Mungkin dia ada di dekatku sedari tadi, karena larut dengan lamunanku, aku tidak menyadari kedatangannya."Siapa yang seneng-seneng? Aku cuma duduk istirahat saja.""Gitu, ya. Sama suaminya. Giliran pusing ada yang dipikirkan, Mas ikut diomelin. Kesel! Ya udah, deh! Mas sendirian aja!" seru Mas Farhan menirukan gayaku kalau marah-marah.Logat gaya bicaranya mirip, sih. Namun, wajahnya tetap dengan senyum tersungging, malah sekarang berakhir terkekeh. Kelihatan sekali dia meledekku.Aku melototkan mata, menunjukkan rasa kesal pada leluconnya yang tidak lucu. Pura-pura, sih. Sebenarnya aku malu juga, suamiku ini sering menjadi pelampiasan saat aku kesal. "Jangan marah, lagi. Nanti cepet tua!" ucap Mas Farhan sembari merangkul pundakku. "Harusnya seneng, dong. Aku cepet tua. Jadi Mas bisa kawin lagi!""Mulai, dah. Mulai," ucap Mas Farhan.Kemudian memiringkan badanku

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 68. Balas Dendam

    Ada ungkapan, sebuah hubungan seperti menerbangkan layang-layang. Bagaimana caranya untuk tetap terbang di langit biru. Sesaat, kita harus menegangkan tali dan terkadang dikendorkan. Atau, tatkala kita tidak mampu, tali bisa dipindahkan dengan diikatkan di dahan yang kuat. Kita pun harus siap dengan datangnya angin kencang yang datang, jangan sampai layangan terbawa angin apalagi putus karenanya.Begitu juga hubungan keluarga, pasang surut sudah biasa, tergantung bagaimana kita menyikapinya. Memang, tidak dipungkiri aku sering tersulut kalau menghadapi kejadian yang tidak masuk di otak. Tak jarang, aku membutuhkan ruang dan waktu untuk menenangkan diri dan menyembuhkan hati dengan pemakluman. Beruntungnya, aku memiliki Mas Farhan yang bisa diajak berdiskusi dan mampu mendinginkan panas yang sering terpercik.Tadi malam, aku juga sudah bicara dengan Dek Arif dan mama perihal pinjaman uang itu. Aku tidak bisa melakukan langsung tadi malam. Dana harus dipindahkan ke rekening yang ada m

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 67. Kepepet

    "E ... anu, Mas. Dek Arif--.""Kenapa dia?" sahut Mas Farhan memotong ucapanku. Aku tersenyum melihat reaksinya. Dia ini memang kakak sejati, apapun yang menyangkut adik-adiknya langsung ditanggapi serius. Seperti kepada Dek Arif ini, walaupun status adik ipar bagi Mas Farhan."Dek Arif ingin pinjam uang. Katanya banyak kebutuhan," jawabku, kemudian menunggu jawaban Mas Farhan yang berdiam sesaat. Pandangannya tertuju kepada telivisi, tetapi aku tahu dia memikirkan apa yang aku sampaikan."Kalau ada uangnya, kasih saja, Dek," ucap Mas Farhan setelah menoleh ke arahku. Aku mengernyitkan dahi, seperti tidak menerima yang dia katanya. Masak tanggapannya, kasih saja. Seperti tidak ada pendapat lain. Aku seperti dikesampingkan, harusnya dia bicara banyak seperti dia menanggapi Dek Hana. Kalau seperti ini, sama saja dia membiarkan aku menyelesaikan sendiri.Pikiranku mulai berkecamuk, rasa tidak puas lebih mendominasi. Ada rasa kesal mulai terpercik. "Kalau dia kirim pesan pinjam uang ter

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 66. Janji Rendra

    "Anak-anak ini harus dicereweti terus. Mereka memang sudah besar, tetapi kita tidak boleh bosan mengingatkan terus," ucap Mas Farhan.Adik-adik beserta ibu mertua, sudah pulang. Dia memang memposisikan diri sebagai orang tua, sampai menyebut adiknya anak-anak. Perlakuannya juga tidak berbeda dengan orang tua terhadap anaknya. Kami selesai salat berjamaah. Fikri dan Lisa langsung masuk ke kamar masing-masing, dan sekarang tertinggal kami berdua. Duduk santai sembari menikmati tontonan televisi."Rendra jadi berangkat?" tanyaku, karena tadi tidak mengikuti akhir pembicaraan. Siapa tahu setelah diberi wejangan, dia menyurutkan niat."Tetap berangkat. Wong semua persyaratan, ijin, dan jadwal sudah dirilis. Ya, harus berangkat," jawab Mas Farhan sembari berdecak. Seperti menyayangkan keputusan mereka itu. "Tapi, Rendra janji. Ini kali terakhir dia berangkat. Dia akan fokus kepada pertumbuhan anaknya.""Trus Dek Hana, boleh?" tanyaku tidak sabar. Aku memiringkan tubuhku menghadap Mas Farha

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status