Share

Bab 3. Prasangka

Syukurlah, dari hasil menggadaikan cincin, Mas Farhan pulang membawa beras lima kilo, minyak, telur, dan gula. Masih ada sisa untuk membeli kebutuhan lainnya yang dititipkan kepadaku.

 

"Mas, untuk pegangan kamu?" tanyaku setelah dia memberikan catatan perincian, sisa uang, dan surat gadai.

 

"Tidak usah, Dek. Kamu pegang semuanya saja. Bensin sudah terisi penuh, untuk apa lagi."

 

"Buat jaga-jaga di jalan, Mas. Kalau lapar atau haus gimana?"

 

"Makan sudah di rumah. Kalau pun keterusan sampai sore, Mas bisa tahan, kok. Jangan kawatir," jawabnya sambil menepuk bahuku.

 

"Kalau begitu, kita makan dulu sebelum Mas berangkat."

 

Beruntung suamiku bukan perokok, jadi tidak ada pengeluaran lebih. Dia hanya butuh bensin, makan pun jarang mau jajan di luar. Kalau dulu masih sibuk di warung, aku tidak kawatir. Namun, sekarang dia harus bekerja di luaran yang terkadang jauh dari rumah.

 

"Assalamuaaikum!"

 

"Waalaikumsalam!" sahutku dan suamiku bersamaan. 

Kedua anakku pulang dari sekolah--Fikri dan Lisa--mereka satu sekolah di SMP negeri. Untungnya mereka belum membutuhkan biaya yang besar, tetapi untuk Fikri ini yang menjadi beban pikiran. Dia sudah kelas tiga dan sebentar lagi masuk SMA. Memang, biaya masuk sekolah termasuk seragam kalau masuk sekolah negeri tidak sebesar sekolah swasta. Namun, dalam kondisi sekarang ini, itu cukup memberatkan. Itupun kalau lolos tes di sekolab negeri.

 

Setelah mereka cuci tangan, langsung mencium tangan kami bergantian. Mereka sudah cukup besar. Untuk ukuran anak remaja, mereka tidak mempunyai tuntutan berlebihan. Ponsel pun hanya cukup untuk keperluan sekolah, bukan merk ternama apalagi model terbaru.

 

"Makan dulu, Sayang. Ibuk sudah masak tahu telor kesukaan kalian. Tidak terlalu pedas dan ada kerupuknya juga," ucapku sambil membuka tudung saji. Aroma sambal kacang dan petis menguar menggugah selera makan. Kami berempat bersiap untuk makan siang.

 

"Tadi di sekolah kita bertemu Pakde Ji," celetuk Fikri sambil menunggu nasi yang aku ambilkan.

 

"Pakde masih titip makanan di kantin?" tanya Mas Farhan. Pakde Ji adik dari ayah mertua, sudah lama dia menitipkan makanan di kantin sekolah. Dulu sempat aku ingin mengikuti jejaknya, namun sudah penuh dan kantin sekolah belum bisa menerima tambahan penitip.

 

"Masih. Tadi kita diberi dua bungkus nasi goreng. Enak!" sahut Lisa, kemudian dia terdiam menatap kami bergantian, seperti ada yang ingin disampaikan, tapi ragu.

 

"E ... tadi Pakde Ji tanya ke Lisa. Setiap bulan diberi uang saku sama Tante Hana berapa? Trus, Lisa jawab tidak pernah dikasih. Trus Pakde Ji bilang, kok tidak pernah. Harusnya dia gantian bantu kakaknya. Sudah, nanti Pakde ngomong ke dia," jelas Lisa menirukan logat Pakdenya.

 

Aku menghela napas panjang, mengingat sifat keras Pakde Ji itu.

 

"Lisa salah, ya, Buk. Maaf, Lisa tidak mau bohong," ucap Lisa dengan kedua alis bertaut.

 

"Memang kenapa? Kamu kan tidak salah. Kenyataannya begitu, Kok. Tante Hana sudah lupa, sok sibuk, tidak pernah ke sini. Padahal, ke sini juga cuma satu jam saja. Dia merasa tidak selevel sama kita."

 

"Hus, Fikri! Tidak boleh berkata seperti itu. Itu namanya berburuk sangka!" ucapku tegas kepada anak pertamaku ini. Dia memang suka ceplas-ceplos kalau bicara.

 

"Memang gitu, kok. Fikri kadang iri sama teman-teman yang cerita dibelikan ini itu sama Om atau Tantenya. Kita kok tidak."

 

"Fikri ...."

 

"Iya, Buk! Om dan Tante mereka baik, sedangkan---" imbuh Lisa membenarkan ucapan kakaknya, tapi terpotong dengan panggilan ayahnya.

 

"Fikri, Lisa ...." ucap Mas Farhan yang sedari tadi diam, "jangan pernah mengukur kebaikan seseorang karena orang itu mampu memberikan sesuatu. Kadang, orang baik tidak mampu memberikan materi, tetapi, dia tulus mendoakan untuk kebaikan. Kalaupun ada orang yang menurut kita tidak tepat, lebih baik didoakan. Sekarang kita makan dulu, jangan bicara yang aneh-aneh, apalagi membicarakan keburukan orang." 

 

"Iya, Ayah," sahut mereka bersama-sama. 

Kak Farhan memang pembawaannya pendiam, makanya, anak-anak langsung menurut saat ayahnya berkata. Apalagi, yang dikatakan itu benar.

 

Kamipun makan bersama, walaupun di hati ini mulai gundah. Apalagi kalau bukan pertemuan anak-anak dengan Pakde Ji itu.

*

 

[Mbak, Lisa dan Fikri ngomong apa sama Pakde Ji?]

[Pakde Ji, telpon dan marah-marah] Pesan masuk dari Hana, iparku. Yang aku kawatirnya benar terjadi. Pasti Pakde Ji menegur iparku itu. Aku masuk ke kamar, sebelum membalas pesan, kawatir anak-anak melihat percakapan kami.

 

[Tadi mereka tidak sengaja bertemu di sekolah, Dek. Tadi juga mereka cerita] Balasku segera, dan langsung tertulis kata typing pertanda dia langsung membalasnya. Aku menunggu balasan darinya, tentunya dengan jantung yang berdegub tak biasa.

 

[Apa karena aku tidak memberi uang ke Mas Farhan, trus anak-anak ngadu ke Pakde Ji?]

[Kalau Mas Farhan kayaknya tidak, pasti Mbak Fika yang nyuruh, ya?]

[Jangan gitu dong, Mbak]

 

Deg!

Balasan yang langsung menghentikan detak jantung. Hatiku seketika nyeri, seperti tertusuk membaca pesan di layar ponsel. Dia yang sudah aku anggap adik sendiri, mampu berkata seperti ini.

 

Air mata menetes dengan sendirinya, tanpa isakan dan hanya pikiran yang kosong. Aku tidak mampu membalas apalagi menyela, tangan ini kehilangan tenaga seketika. Ponsel di tanganku ini, terlepas tanpa aku sadari.

Kok segitunya.

***

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status