Home / Rumah Tangga / Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi / Bab 4. Ternyata Masih Ada yang Ingat

Share

Bab 4. Ternyata Masih Ada yang Ingat

Author: Astika Buana
last update Last Updated: 2022-07-27 16:09:53

"Dua hari ini, Mas perhatikan Dek Fika sering melamun. Kalau rejeki jangan kawatir, ingat burung saja dijamin Allah, apalagi kita yang insyaallah selalu di jalan-Nya."

 

"Tidak ada apa-apa, Mas," jawabku setelah menaruh teh tawar hangat di meja, dan duduk di samping Mas Farhan. 

 

Aku tidak mungkin mengatakan tentang pesan w******p dari Dek Hana. Ini hanya menambah beban pikiran suamiku, dan bisa jadi dia marah kepada adiknya. Iya kalau yang dimarahi terima, kalau tidak, dan mengadu ke Ibu mertua malah lebih gawat lagi. Ibu mertuaku mempunyai sakit jantung, dan kabar yang mengejutkan bisa membahayakan kesehatannya.

 

Biarlah menjadi catatanku sendiri, hati ini memang sakit atas perlakuannya. Namun, dengan pasrah kepada-Nya dan mendoakan dia untuk sadar dan mengerti, itu membuat hatiku terasa lapang. Walaupun, ingatan itu masih lekat dan tidak bisa dilupakan, padahal pesan whatappsnya sudah aku hapus.

 

Ini sebagai penanda kalau adik iparku ini keberatan kalau dimintai tolong. Aku tidak akan mengijinkan suamiku mengulangi permintaan seperti kemarin. 

 

"Tuh, kan. Melamun lagi. Ada apa, Dek?" Pertanyaan Mas Farhan mengagetkan aku. Aku mengeratkan pengangan pada nampan, mencari ide pengalihan perhatian suamiku ini.

 

"Ti-tidak ada apa-apa, Mas. Beneran. Cu-cuma ada yang aku pikirkan."

 

"Apa?"

 

"E .... Aku ingin buka warung lagi, Mas."

Mas Farhan tersenyum, rasa curiga yang tersirat di wajahnya sirna. Aku merasa lega.

 

"Itu juga aku pikirkan, Dek. Bahkan kemarin sengaja lewat sana, ternyata sudah ada pengontrak baru."

 

"Oh, gitu."

 

"Jangan kecewa, ya. Nanti kita pikirkan jalan keluarnya. Yang penting, Dek Fika jangan pikir yang aneh-aneh. Doakan Mas supaya mendapat jalan yang tepat," ucap suamiku sambil menepuk bahuku, merangkul dan mendekatkan ke tubuhnya. 

 

Rasa hangat mengurai kegelisaan hati. Bersama suamiku ini, aku percaya semua akan baik-baik saja. 

 

Mas Farhan mencium keningku kemudian berkata, "Yang pasang pagar kemarin, jadi menambah pesanan. Dia akan pasang railing untuk lantai dua dan tiga. Mas masih nunggu deposit. Sabar, ya. Rejeki itu sudah diatur. Kadang kita menginginkan A, ternyata tidak diloloskan. Itu karena apa? Karena Allah sudah menyiapkan rencana yang terindah dan tertepat."

 

"Iya, Mas. Aku paham," jawabku sambil mengangkat dagu, menatap sorot mata suamiku ini yang menyejukkan. Kami tersenyum bersama dan saling mengeratkan pelukan. Seperti berbagi beban, rasa gundah yang aku alami mulai menguap.

*

 

Serpihan hati yang sempat terburai, mulai utuh kembali. Aku berusaha memalingkan pikiran hanya kepada keluarga, suami dan anak-anak. 

 

Pekerjaan Mas Farhan mulai dikenal orang, pelanggan yang memesan pagar itu akhirnya menambah pekerjaan seperti rencana awalnya. Bahkan, dia mempromosikan kepada teman dan tetangga perumahan.

 

Amanah, itu yang selalu ditekankan Mas Farhan sehingga pelanggan menyukainya.

 

"Rejeki itu tidak hanya berbentuk uang atau materi lainnya, namun juga kepercayaan dari orang lain. Oklah, memang pekerjaan yang Mas terima baru satu dan dua. Itupun dalam waktu mingguan, tetapi, insyaallah akan bertambah pelan-pelan. Seperti naik tangga, satu per satu dan yakin pasti ke atas," jelas suamiku dengan yakin.

 

"Iya, Mas. Aku percaya dan yakin, kok. ApalagI, Mas Farhan aku lihat sibuk mengajukan penawaran pekerjaan. Semoga rejeki Mas semakin berlimpah."

 

"Ini rejeki kita, Dek. Rejeki istriku ini dan anak-anak. Semua yang melalui Mas, itu ada bagian dari kalian yang dititip melalui Mas."

 

Hatiku menghangat mendengar penjelasan Mas Farhan. Memang, aku tidak salah memilih suami. Dia memang orang baik dan selalu mengajakku untuk berpikir positif.

 

"Aku berangkat, ya."

 

"Mas, ini hari minggu. Setiap hari aku sendirian di rumah. Mas pergi, Lisa dan Fikri sekolah. Aku ingin--," protesku merasa kehilangan kebersamaan kami ini. Inginku, kami bisa berkumpul secara lengkap--aku, suami, dan anak-anak. 

 

"Jangan ngambek," ucapnya sambil mencubit pipiku, "mas ada janji ketemu pelanggan yang kalau hari aktif dia kerja. Hanya hari minggu kesempatannya. Mas pasti cepet pulang, kok."

 

"Jangan lama-lama," bisikku setelah mencium tanggannya. Aku mengantar Mas Farhan seperti biasanya. 

 

Aku mengedarkan pandangan di halaman, pohon mangga yang tinggi menaungi dan sinar matahari menyelusup disela dedaunan. Tanah ini dulu tidak terlalu mahal, makanya kami mendapatkan tanah yang cukup luas. Walaupun terletak agak dipinggir kota, namun bisa dikatakan dekat kemana-mana. Kanan-kiri masih banyak sawah terbentang dan menjadi penghasil udara yang sejuk. 

 

Dulu Mas Farhan memang merencanakan membangun rumah lagi di depannya, dan rumah yang kami tempati sekarang ini sebagai rumah sementara. Karenanya, bangunan rumah ini dibangun mepet di belakang. Menyisakan halaman yang cukup luas, terlalu luas malah.

 

Rencana tinggal rencana, tabungan yang dikumpulkan lambat laun tidak bertambah, malah habis tanpa sisa. 

 

Suara sepeda motor berhenti di depan pagar, aku menoleh ke sana, menajamkan pandangan memastikan siapa yang datang. Pagar yang tidak tinggi, membuatku leluasa melihay siapa yang datang.

 

"Assalamualaikum, Mbak Fika!" seru sosok yang memarkir motor. 

 

Itu Fariz, adik bungsu Mas Farhan. Dulu juga pernah tinggal di rumah ini dan sekolah sampai lulus STM saja. Setelah lulus, dia sempat menganggur dan kembali ke rumah ibu mertua, dan syukurlah sudah mendapat pekerjaan satu bulan yang lalu.

 

Hanya Hana seorang yang menjadi sarjana, dibandingkan kedua adik lainnya--Santi dan Fariz--memang Hana meraih nilai yang bagus. Semangat sekolahnya tinggi. Dia juga berpenampilan lain, demi memenuhi keinginan lebihnya dia pun rela bekerja sambilan di luar jam kuliah.

 

"Waalaikumsalam, Fariz." Dia langsung menghampiriku dan mencium punggung tangganku, kebiasaan sedari tinggal di sini.

 

"Maaf, Mbak. Aku tidak penah main ke sini. Kerjaannya lembur terus," ucapnya kemudian berbalik ke motor lagi.

 

Aku mengernyitkan dahi melihat apa yang dibopongnya. Beras?

 

"Mbak Fika, dari kantor semua karyawan mendapat jatah beras. Yang masih bujang lima belas kilo dan yang sudah menikah dua puluh lima kilo. Ini yang sepuluh kilo aku bawa ke sini," jelasnya sambil berjalan memasuki rumah, aku mengekorinya sambil mendengarkan penjelasannya.

 

"Kok malah dibawa ke sini? Tidak di taruh di rumah Ibu saja."

 

"Di rumah hanya ada Ibu dan Mbak Santi, cukuplah lima kilo."

 

"Lisa dan Fikri, mana, Mbak?" tanyanya setelah meletakkan beras di lantai dan menoleh ke arahku.

 

"Ada di belakang," jawabku sebelum dia melesat dan terdengar suara riuh di sana. Mereka pasti melepas kangen, Fariz memang yang paling dekat dengan anak-anak. Mungkin ini dikarenakan usia yang tidak terlalu jauh.

 

Aku duduk menatap sekarung beras di depanku. Tak terasa air mata menetes dengan sendirinya, dan dada ini terasa sesak. Rasa hari menyelimuti hatiku, ternyata Fariz kecil dulu masih mengingat kami. 

 

Dia dulu yang terkenal bandel dan sering aku jewer. Tidak jarang aku dipanggil ke sekolah karena kenakalannya, bahkan pernah dikurung Mas Farhan saat dia ketahuan bolos sekolah. Adik iparku ini sekarang sudah besar dan dewasa. 

 

"Buk! Kami pergi dulu, ya," seru Fikri mengagetkanku, secepatnya aku menyusut bekas air mata. 

 

"Diajak Om Fariz makan mie ayam Pak Tombong! Ditraktir," timpal Lisa bersemangat, kemudian dia memicingkan mata ke arahku. "Ibuk habis nangis?"

 

"Ti-tidak. Siapa bilang. Ibuk kelilipan kena debu di atas korden. Makanya sebentar lagi Ibuk bersihkan."

 

"Biar Fariz saja, Mbak, yang bersihkan. Daripada Mbak Fika naik kursi," sela Fariz menyusul anak-anak dari ruang belakang.

 

"Om Fariz, jangan ngledek Ibu yang tidak tinggi, dong!" ucap Fikri dan disambut gelak tawa kami. 

 

Sungguh, hari ini rumah menjadi ramai. Kedatangan adik iparku ini mengingatkan aku akan keriuhan dulu saat mereka tinggal di rumah ini.

 

"Mbak Fika, mie ayam biasanya, kan? Tambah ceker dua dan sambal dua sendok," ucap Fariz. 

 

"Mbak ditraktir, juga?"

 

"Iya, lah. Gaji pertama harus dipakai untuk traktiran. Dah, Mbak. Pergi dulu. Assalamualaikum," jawabnya, kemudian menggandeng kedua keponakannya keluar rumah.

 

Masih terdengar obrolan dan gelak tawa. Aku menatap punggung mereka yang menjauh dan menghilang setelah berbelok. Aku tersenyum bahagia, ternyata masih ada yang mengingat kami. Sekarung beras ini buktinya, tentunya, nanti ditambah semangkuk mie ayam kesukaanku.

***

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rapa Rizai Rizai
kurang menarik
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 71. Balasan yang Kami Harapkan

    “Kita ke rumah sakit sekarang. Maaf, Pak. Di depan tidak usah belok ya, Pak. Langsung ke rumah sakit kota!” ucapku kepada pengemudi taxi online. Santi semakin menunjukkan raut wajah kebingungan. Sembari memegang lenganku dia bertanya kembali. “Siapa yang sakit, Mbak? Ibu?” Aku tersenyum melihat reaksinya yang berlebihan. Memang ibu mertuaku beberapa hari ini kurang sehat, tapi ini bukan kabar tentang beliau. Ini tentang kehadiran anggota baru di keluarga ini. “Bukan, San. Mas Farhan kirim pesan, Dek Hana sudah akan melahirkan,” jawabku sambil menepuk punggung tangannya. Seketika senyuman terbit di wajahnya. “Alhamdulillah. Cowok atau cewek?” “Akan melahirkan. Jadi belum. Makanya kita harus ke rumah sakit memberi dukungan kepadanya. Mas Farhan dan Ibu sudah menunggui di sana.” Lumayan berat ketika melahirkan tidak didampingi suami. Rendra, suami Dek Hana masih terikat kontrak di perusahaan pelayaran. Hanya kami-kamilah yang mendampingi dia menyambut kelahiran buah hati mereka. De

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 70. Jangan Berucap Kata Hanya

    Benar dengan apa yang pernah aku dengar. Di saat kita mulai berhasil, semuanya akan mendekat termasuk instansi pemerintahan terkait. Bisnis yang aku rintis mulai berkembang pesat. Kesibukanku semakin bertambah. Tidak hanya berkutat di dapur, tetapi juga menghadiri undangan untuk berbagi pengalaman. Tawaran bantuan mulai berdatangan, dari sumbangan sampai kredit dengan bunga yang bisa dibicarakan. Namun aku perlu hati-hati, karena di dalam kemudahan bisa jadi tersembunyi pengaruh yang mengendurkan semangat. Aku memang masih berpikiran kolot yang berpegang pada pepatah, easy come easy go. Apa yang datang dengan mudah, bisa jadi gampang menghilang. Sudah banyak yang terjadi di sekitar kita. Santi sudah mempunyai anak buah yang menjalankan pemasaran, begitu juga di bagian produksi. Praktisnya, di saat aku tidak ada di tempat, Santilah yang mewakiliku. Pendapatan yang adik iparku dapat dari bisnis ini dengan pembagian prosentase, jadi semakin banyak kerjaan, semakin lumayan yang dia dapa

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 69. Lega Rasanya

    "Dek, kenapa senyum-senyum sendiri? Mas tidak diajak seneng-seneng?" seru Mas Farhan yang tiba-tiba duduk di sebelahku. Mungkin dia ada di dekatku sedari tadi, karena larut dengan lamunanku, aku tidak menyadari kedatangannya."Siapa yang seneng-seneng? Aku cuma duduk istirahat saja.""Gitu, ya. Sama suaminya. Giliran pusing ada yang dipikirkan, Mas ikut diomelin. Kesel! Ya udah, deh! Mas sendirian aja!" seru Mas Farhan menirukan gayaku kalau marah-marah.Logat gaya bicaranya mirip, sih. Namun, wajahnya tetap dengan senyum tersungging, malah sekarang berakhir terkekeh. Kelihatan sekali dia meledekku.Aku melototkan mata, menunjukkan rasa kesal pada leluconnya yang tidak lucu. Pura-pura, sih. Sebenarnya aku malu juga, suamiku ini sering menjadi pelampiasan saat aku kesal. "Jangan marah, lagi. Nanti cepet tua!" ucap Mas Farhan sembari merangkul pundakku. "Harusnya seneng, dong. Aku cepet tua. Jadi Mas bisa kawin lagi!""Mulai, dah. Mulai," ucap Mas Farhan.Kemudian memiringkan badanku

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 68. Balas Dendam

    Ada ungkapan, sebuah hubungan seperti menerbangkan layang-layang. Bagaimana caranya untuk tetap terbang di langit biru. Sesaat, kita harus menegangkan tali dan terkadang dikendorkan. Atau, tatkala kita tidak mampu, tali bisa dipindahkan dengan diikatkan di dahan yang kuat. Kita pun harus siap dengan datangnya angin kencang yang datang, jangan sampai layangan terbawa angin apalagi putus karenanya.Begitu juga hubungan keluarga, pasang surut sudah biasa, tergantung bagaimana kita menyikapinya. Memang, tidak dipungkiri aku sering tersulut kalau menghadapi kejadian yang tidak masuk di otak. Tak jarang, aku membutuhkan ruang dan waktu untuk menenangkan diri dan menyembuhkan hati dengan pemakluman. Beruntungnya, aku memiliki Mas Farhan yang bisa diajak berdiskusi dan mampu mendinginkan panas yang sering terpercik.Tadi malam, aku juga sudah bicara dengan Dek Arif dan mama perihal pinjaman uang itu. Aku tidak bisa melakukan langsung tadi malam. Dana harus dipindahkan ke rekening yang ada m

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 67. Kepepet

    "E ... anu, Mas. Dek Arif--.""Kenapa dia?" sahut Mas Farhan memotong ucapanku. Aku tersenyum melihat reaksinya. Dia ini memang kakak sejati, apapun yang menyangkut adik-adiknya langsung ditanggapi serius. Seperti kepada Dek Arif ini, walaupun status adik ipar bagi Mas Farhan."Dek Arif ingin pinjam uang. Katanya banyak kebutuhan," jawabku, kemudian menunggu jawaban Mas Farhan yang berdiam sesaat. Pandangannya tertuju kepada telivisi, tetapi aku tahu dia memikirkan apa yang aku sampaikan."Kalau ada uangnya, kasih saja, Dek," ucap Mas Farhan setelah menoleh ke arahku. Aku mengernyitkan dahi, seperti tidak menerima yang dia katanya. Masak tanggapannya, kasih saja. Seperti tidak ada pendapat lain. Aku seperti dikesampingkan, harusnya dia bicara banyak seperti dia menanggapi Dek Hana. Kalau seperti ini, sama saja dia membiarkan aku menyelesaikan sendiri.Pikiranku mulai berkecamuk, rasa tidak puas lebih mendominasi. Ada rasa kesal mulai terpercik. "Kalau dia kirim pesan pinjam uang ter

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 66. Janji Rendra

    "Anak-anak ini harus dicereweti terus. Mereka memang sudah besar, tetapi kita tidak boleh bosan mengingatkan terus," ucap Mas Farhan.Adik-adik beserta ibu mertua, sudah pulang. Dia memang memposisikan diri sebagai orang tua, sampai menyebut adiknya anak-anak. Perlakuannya juga tidak berbeda dengan orang tua terhadap anaknya. Kami selesai salat berjamaah. Fikri dan Lisa langsung masuk ke kamar masing-masing, dan sekarang tertinggal kami berdua. Duduk santai sembari menikmati tontonan televisi."Rendra jadi berangkat?" tanyaku, karena tadi tidak mengikuti akhir pembicaraan. Siapa tahu setelah diberi wejangan, dia menyurutkan niat."Tetap berangkat. Wong semua persyaratan, ijin, dan jadwal sudah dirilis. Ya, harus berangkat," jawab Mas Farhan sembari berdecak. Seperti menyayangkan keputusan mereka itu. "Tapi, Rendra janji. Ini kali terakhir dia berangkat. Dia akan fokus kepada pertumbuhan anaknya.""Trus Dek Hana, boleh?" tanyaku tidak sabar. Aku memiringkan tubuhku menghadap Mas Farha

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status