Share

Bab 2. Wejangan

"Kamu tidak keberatan menikah denganku?Aku mempunyai banyak tanggungan. Aku kawatir tidak bisa membahagiakan kamu," ucap Mas Farhan sebelum memantapkan niat pernikahan kami. 

 

Dia sadar diri memiliki tiga adik yang menjadi tanggung jawab, Hana, Santi, dan Fariz. Mas Farhan menjadi tulang punggung keluarga semenjak ayahnya meninggal, dan itu dimulai saat dia masih SMA. Bahkan dia rela melepas kesempatan untuk kuliah di Bandung--Mas Farhan masuk di perguruan negeri tanpa tes--karena memilih tetap tinggal menggantikan tanggung jawab kepala keluarga.

 

Aku sadar, ini tidak mudah bagiku saat menjawab kata iya, yang berarti aku harus rela berbagi suami dengan keluarganya. Meletakkan keegoan sebagai istrinya nanti. Jawabannya adalah cinta, dan dimantapkan dengan kepribadian Mas Farhan yang menyulitkan diriku untuk berpaling darinya.

 

Aku yakin, menghabiskan hidup bersamanya menyempurnakan hidupku. Dia sabar, baik, dan pengertian. Yang membuat niatku semakin bulat, karena dia begitu sayang kepada ibu dan adik-adiknya. Ini berarti, dia pun pasti akan mencintai keluarga kecil kami nantinya.

 

"Mas, aku mengerti. Dengan menjadi istrimu, aku harap kita saling berbagi. Bukankan dua kepala lebih ringan dibandingkan satu kepala yang memikirkan tanggungan ini."

 

Benar yang aku impikan ini, kami menjadi keluarga yang bahagia dan dilengkapi dengan lahirnya kedua anak kami, Fikri dan Lisa.

*

 

"Mas Farhan, apa kita gadaikan cincin ini? Memang tidak seberapa, tetapi lumayan untuk beli beras dan belanja bahan makanan," Aku menunjukkan jemariku dan akan melepaskan cincin kawin ini.

 

"Jangan!" cegah Mas Farhan cepat dengan meraih tanganku. "Jangan sampai cincin ini terlepas dari jarimu, Dek. Ini bukti ikatan cinta kita." 

 

"Mas Farhan, ini hanya bukti fisik saja. Ikatan cinta kita tidak akan berubah. Toh ini hanya digadaikan saja, tidak dijual. Iya, kan," ucapku menyakinkan dia.

 

Suamiku ini menghela napas panjang, aku mengerti dia sebenarnya tidak menyukai usulanku. Namun, tuntutan perut harus lebih diutamakan. Kalau hanya aku dan Mas Farhan, kami bisa puasa, tetapi untuk anak-anak harus diusahakan.

 

"Baiklah. Aku pasti bisa menebusnya. Kamu benar-benar tidak apa-apa, kan?" ucap Kak  Farhan menatap mataku, seakan memastikan aku berkata jujur. 

 

Aku tersenyum dan mengangguk, "Iya, Mas. Sudah jangan dijadikan beban. Aku melepas cincin dan menaruhnya di tangan suamiku ini.

 

"Dek .... Atau, kita coba bicara Santi dan Fariz saja?" Tangan Kak Farhan masih menggantung dan belum menangkup cincin yang ada di telapak tangannya. Terlihat kelas keraguan masih menyelimuti.

 

"Mas, Santi baru saja merintis usahanya. Walaupun dia punya uang, tetapi itu untuk memutar dagangan. Sedangkan, Fariz juga baru satu bulan mendapat kerja. Dia pasti belum gajian, dan gajian juga belum seberapa."

 

"Baiklah, ini aku pinjam. Aku berangkat dulu, yang pesan pagar kemarin mengubungi untuk datang ke rumahnya, semoga ini menjadi rejeki, ya, Dek. Doakan Mas." Ayah anak-anakku ini meraihku dan mengecup pucuk kepalaku. Suaranya terdengar bergetar, seperti menyembunyikan beban dariku.

 

"Iya, Mas. Hati-hati di jalan. Siang pulang, ya, untuk makan. Aku tidak mau kamu sakit."

Aku mengantarkan Mas Farhan ke depan, melepasnya dengan senyuman. Hanya ini yang bisa aku berikan sebagia istri untuk membantunya. Minimal, membuat hatinya  tenang dan bisa bekerja dengan lapang.

 

Samar, aku mendengar ponselku berbunyi. Gegas pintu pagar kututup dan masuk ke rumah. Panggilan video dari Emak. Ibuku ini semenjak cucunya lahir, ikut Dek Arif. Gak tega, katanya. Apalagi Dewi--istri Dek Arif--bekerja juga.

 

"Fika! Kamu minta uang ke Arif?" pertanyaan Emak saat ponsel kubuka. 

 

"Tidak, Mak. Aku pinjam."

 

"Itu sama saja. Kamu minta Arif memberi uang ke kamu. Arif itu banyak tanggungan juga, tidak hanya kalian. Cicilan rumah, cicilan mobil, belum lagi dia harus nabung untuk persiapan sekolah Melia. Bayar sekolah walaupun TK di kota besar tidak cukup satu juta dua juta, malah puluhan juga. Kamu jangan merepoti adikmu kenapa, ya!" 

 

Aku hanya bisa menatap layar ponsel dan mendengar omelan ibuku ini. Sanggahan atau penjelasan apapun tidak akan membuat masalah menjadi jernih, malah akan menyulut emosi ibu. 

 

"Makanya, kalau dikasih tahu orang tua yang nurut. Menikah itu harus dipertimbangkan latar belakangnya juga. Sekarang, kamu baru tahu, kan? Ini resikomu menikah dengan Farhan yang mempunyai tanggungan banyak! Lebih baik dulu kamu menikah dengan kenalan Emak yang kaya itu."

 

"Mak, jangan berkata begitu," ucapku sambil mengeratkan kepalan tanganku, menekan amarah yang sempat terpercik.

 

"Kalau orang tua ngomong dengarkan. Tuh, seperti Arif, pintar mencari istri. Dewi itu anak orang kaya. Penampilannya keren tidak seperti kamu glubut, tidak ada pantes-pantesnya! Makanya, kalau lagi banyak uang beli perhiasan emas. Jadi kalau butuh bisa dijual, bukan meminta-minta seperti ini. Kamu juga jadi istri yang keras dengan suami, jangan dibiarkan malas."

 

Terserah Emak berkata apa tentangku, namun kalau berkaitan dengan Mas Farhan suamiku, hati ini tidak rela. Suamiku bukan orang egois yang mementingkan keluarganya saja. 

 

Arif, adikku juga ditanggung sekolahnya sampai menjadi sarjana. Tidak hanya itu, setelah bapak meninggal, dia juga memerintahkan aku untuk menjatah Emak di setiap bulannya. Sampai akhirnya, Arif mengajak Emak untuk tinggal di Jakarta bersama keluarga kecilnya itu. 

 

Memang ada benarnya apa yang dikatakan Emak, saat ada harusnya menabung. Namun, kami dulu lebih mengutamakan biaya sekolah adik-adik. Tidak terpikir diriku untuk menabung ataupun memenuhi tangan, jari, dan leher dengan perhiasan emas. 

 

Aku hanya bisa mendengar apa yang dikatakan Emak. Menatapnya dengan tatapan  mulai berkabut, sekuat tenaga untuk menahan  air mata yang mulai tidak sabar ini. Ibaratnya, aku seperti jatuh tertimpa tangga, mencari bantuan malah mendapatkan wejangan yang luar biasa ini.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status