Share

Bab 2. Wejangan

Author: Astika Buana
last update Last Updated: 2022-07-27 16:02:55

"Kamu tidak keberatan menikah denganku?Aku mempunyai banyak tanggungan. Aku kawatir tidak bisa membahagiakan kamu," ucap Mas Farhan sebelum memantapkan niat pernikahan kami. 

 

Dia sadar diri memiliki tiga adik yang menjadi tanggung jawab, Hana, Santi, dan Fariz. Mas Farhan menjadi tulang punggung keluarga semenjak ayahnya meninggal, dan itu dimulai saat dia masih SMA. Bahkan dia rela melepas kesempatan untuk kuliah di Bandung--Mas Farhan masuk di perguruan negeri tanpa tes--karena memilih tetap tinggal menggantikan tanggung jawab kepala keluarga.

 

Aku sadar, ini tidak mudah bagiku saat menjawab kata iya, yang berarti aku harus rela berbagi suami dengan keluarganya. Meletakkan keegoan sebagai istrinya nanti. Jawabannya adalah cinta, dan dimantapkan dengan kepribadian Mas Farhan yang menyulitkan diriku untuk berpaling darinya.

 

Aku yakin, menghabiskan hidup bersamanya menyempurnakan hidupku. Dia sabar, baik, dan pengertian. Yang membuat niatku semakin bulat, karena dia begitu sayang kepada ibu dan adik-adiknya. Ini berarti, dia pun pasti akan mencintai keluarga kecil kami nantinya.

 

"Mas, aku mengerti. Dengan menjadi istrimu, aku harap kita saling berbagi. Bukankan dua kepala lebih ringan dibandingkan satu kepala yang memikirkan tanggungan ini."

 

Benar yang aku impikan ini, kami menjadi keluarga yang bahagia dan dilengkapi dengan lahirnya kedua anak kami, Fikri dan Lisa.

*

 

"Mas Farhan, apa kita gadaikan cincin ini? Memang tidak seberapa, tetapi lumayan untuk beli beras dan belanja bahan makanan," Aku menunjukkan jemariku dan akan melepaskan cincin kawin ini.

 

"Jangan!" cegah Mas Farhan cepat dengan meraih tanganku. "Jangan sampai cincin ini terlepas dari jarimu, Dek. Ini bukti ikatan cinta kita." 

 

"Mas Farhan, ini hanya bukti fisik saja. Ikatan cinta kita tidak akan berubah. Toh ini hanya digadaikan saja, tidak dijual. Iya, kan," ucapku menyakinkan dia.

 

Suamiku ini menghela napas panjang, aku mengerti dia sebenarnya tidak menyukai usulanku. Namun, tuntutan perut harus lebih diutamakan. Kalau hanya aku dan Mas Farhan, kami bisa puasa, tetapi untuk anak-anak harus diusahakan.

 

"Baiklah. Aku pasti bisa menebusnya. Kamu benar-benar tidak apa-apa, kan?" ucap Kak  Farhan menatap mataku, seakan memastikan aku berkata jujur. 

 

Aku tersenyum dan mengangguk, "Iya, Mas. Sudah jangan dijadikan beban. Aku melepas cincin dan menaruhnya di tangan suamiku ini.

 

"Dek .... Atau, kita coba bicara Santi dan Fariz saja?" Tangan Kak Farhan masih menggantung dan belum menangkup cincin yang ada di telapak tangannya. Terlihat kelas keraguan masih menyelimuti.

 

"Mas, Santi baru saja merintis usahanya. Walaupun dia punya uang, tetapi itu untuk memutar dagangan. Sedangkan, Fariz juga baru satu bulan mendapat kerja. Dia pasti belum gajian, dan gajian juga belum seberapa."

 

"Baiklah, ini aku pinjam. Aku berangkat dulu, yang pesan pagar kemarin mengubungi untuk datang ke rumahnya, semoga ini menjadi rejeki, ya, Dek. Doakan Mas." Ayah anak-anakku ini meraihku dan mengecup pucuk kepalaku. Suaranya terdengar bergetar, seperti menyembunyikan beban dariku.

 

"Iya, Mas. Hati-hati di jalan. Siang pulang, ya, untuk makan. Aku tidak mau kamu sakit."

Aku mengantarkan Mas Farhan ke depan, melepasnya dengan senyuman. Hanya ini yang bisa aku berikan sebagia istri untuk membantunya. Minimal, membuat hatinya  tenang dan bisa bekerja dengan lapang.

 

Samar, aku mendengar ponselku berbunyi. Gegas pintu pagar kututup dan masuk ke rumah. Panggilan video dari Emak. Ibuku ini semenjak cucunya lahir, ikut Dek Arif. Gak tega, katanya. Apalagi Dewi--istri Dek Arif--bekerja juga.

 

"Fika! Kamu minta uang ke Arif?" pertanyaan Emak saat ponsel kubuka. 

 

"Tidak, Mak. Aku pinjam."

 

"Itu sama saja. Kamu minta Arif memberi uang ke kamu. Arif itu banyak tanggungan juga, tidak hanya kalian. Cicilan rumah, cicilan mobil, belum lagi dia harus nabung untuk persiapan sekolah Melia. Bayar sekolah walaupun TK di kota besar tidak cukup satu juta dua juta, malah puluhan juga. Kamu jangan merepoti adikmu kenapa, ya!" 

 

Aku hanya bisa menatap layar ponsel dan mendengar omelan ibuku ini. Sanggahan atau penjelasan apapun tidak akan membuat masalah menjadi jernih, malah akan menyulut emosi ibu. 

 

"Makanya, kalau dikasih tahu orang tua yang nurut. Menikah itu harus dipertimbangkan latar belakangnya juga. Sekarang, kamu baru tahu, kan? Ini resikomu menikah dengan Farhan yang mempunyai tanggungan banyak! Lebih baik dulu kamu menikah dengan kenalan Emak yang kaya itu."

 

"Mak, jangan berkata begitu," ucapku sambil mengeratkan kepalan tanganku, menekan amarah yang sempat terpercik.

 

"Kalau orang tua ngomong dengarkan. Tuh, seperti Arif, pintar mencari istri. Dewi itu anak orang kaya. Penampilannya keren tidak seperti kamu glubut, tidak ada pantes-pantesnya! Makanya, kalau lagi banyak uang beli perhiasan emas. Jadi kalau butuh bisa dijual, bukan meminta-minta seperti ini. Kamu juga jadi istri yang keras dengan suami, jangan dibiarkan malas."

 

Terserah Emak berkata apa tentangku, namun kalau berkaitan dengan Mas Farhan suamiku, hati ini tidak rela. Suamiku bukan orang egois yang mementingkan keluarganya saja. 

 

Arif, adikku juga ditanggung sekolahnya sampai menjadi sarjana. Tidak hanya itu, setelah bapak meninggal, dia juga memerintahkan aku untuk menjatah Emak di setiap bulannya. Sampai akhirnya, Arif mengajak Emak untuk tinggal di Jakarta bersama keluarga kecilnya itu. 

 

Memang ada benarnya apa yang dikatakan Emak, saat ada harusnya menabung. Namun, kami dulu lebih mengutamakan biaya sekolah adik-adik. Tidak terpikir diriku untuk menabung ataupun memenuhi tangan, jari, dan leher dengan perhiasan emas. 

 

Aku hanya bisa mendengar apa yang dikatakan Emak. Menatapnya dengan tatapan  mulai berkabut, sekuat tenaga untuk menahan  air mata yang mulai tidak sabar ini. Ibaratnya, aku seperti jatuh tertimpa tangga, mencari bantuan malah mendapatkan wejangan yang luar biasa ini.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 71. Balasan yang Kami Harapkan

    “Kita ke rumah sakit sekarang. Maaf, Pak. Di depan tidak usah belok ya, Pak. Langsung ke rumah sakit kota!” ucapku kepada pengemudi taxi online. Santi semakin menunjukkan raut wajah kebingungan. Sembari memegang lenganku dia bertanya kembali. “Siapa yang sakit, Mbak? Ibu?” Aku tersenyum melihat reaksinya yang berlebihan. Memang ibu mertuaku beberapa hari ini kurang sehat, tapi ini bukan kabar tentang beliau. Ini tentang kehadiran anggota baru di keluarga ini. “Bukan, San. Mas Farhan kirim pesan, Dek Hana sudah akan melahirkan,” jawabku sambil menepuk punggung tangannya. Seketika senyuman terbit di wajahnya. “Alhamdulillah. Cowok atau cewek?” “Akan melahirkan. Jadi belum. Makanya kita harus ke rumah sakit memberi dukungan kepadanya. Mas Farhan dan Ibu sudah menunggui di sana.” Lumayan berat ketika melahirkan tidak didampingi suami. Rendra, suami Dek Hana masih terikat kontrak di perusahaan pelayaran. Hanya kami-kamilah yang mendampingi dia menyambut kelahiran buah hati mereka. De

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 70. Jangan Berucap Kata Hanya

    Benar dengan apa yang pernah aku dengar. Di saat kita mulai berhasil, semuanya akan mendekat termasuk instansi pemerintahan terkait. Bisnis yang aku rintis mulai berkembang pesat. Kesibukanku semakin bertambah. Tidak hanya berkutat di dapur, tetapi juga menghadiri undangan untuk berbagi pengalaman. Tawaran bantuan mulai berdatangan, dari sumbangan sampai kredit dengan bunga yang bisa dibicarakan. Namun aku perlu hati-hati, karena di dalam kemudahan bisa jadi tersembunyi pengaruh yang mengendurkan semangat. Aku memang masih berpikiran kolot yang berpegang pada pepatah, easy come easy go. Apa yang datang dengan mudah, bisa jadi gampang menghilang. Sudah banyak yang terjadi di sekitar kita. Santi sudah mempunyai anak buah yang menjalankan pemasaran, begitu juga di bagian produksi. Praktisnya, di saat aku tidak ada di tempat, Santilah yang mewakiliku. Pendapatan yang adik iparku dapat dari bisnis ini dengan pembagian prosentase, jadi semakin banyak kerjaan, semakin lumayan yang dia dapa

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 69. Lega Rasanya

    "Dek, kenapa senyum-senyum sendiri? Mas tidak diajak seneng-seneng?" seru Mas Farhan yang tiba-tiba duduk di sebelahku. Mungkin dia ada di dekatku sedari tadi, karena larut dengan lamunanku, aku tidak menyadari kedatangannya."Siapa yang seneng-seneng? Aku cuma duduk istirahat saja.""Gitu, ya. Sama suaminya. Giliran pusing ada yang dipikirkan, Mas ikut diomelin. Kesel! Ya udah, deh! Mas sendirian aja!" seru Mas Farhan menirukan gayaku kalau marah-marah.Logat gaya bicaranya mirip, sih. Namun, wajahnya tetap dengan senyum tersungging, malah sekarang berakhir terkekeh. Kelihatan sekali dia meledekku.Aku melototkan mata, menunjukkan rasa kesal pada leluconnya yang tidak lucu. Pura-pura, sih. Sebenarnya aku malu juga, suamiku ini sering menjadi pelampiasan saat aku kesal. "Jangan marah, lagi. Nanti cepet tua!" ucap Mas Farhan sembari merangkul pundakku. "Harusnya seneng, dong. Aku cepet tua. Jadi Mas bisa kawin lagi!""Mulai, dah. Mulai," ucap Mas Farhan.Kemudian memiringkan badanku

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 68. Balas Dendam

    Ada ungkapan, sebuah hubungan seperti menerbangkan layang-layang. Bagaimana caranya untuk tetap terbang di langit biru. Sesaat, kita harus menegangkan tali dan terkadang dikendorkan. Atau, tatkala kita tidak mampu, tali bisa dipindahkan dengan diikatkan di dahan yang kuat. Kita pun harus siap dengan datangnya angin kencang yang datang, jangan sampai layangan terbawa angin apalagi putus karenanya.Begitu juga hubungan keluarga, pasang surut sudah biasa, tergantung bagaimana kita menyikapinya. Memang, tidak dipungkiri aku sering tersulut kalau menghadapi kejadian yang tidak masuk di otak. Tak jarang, aku membutuhkan ruang dan waktu untuk menenangkan diri dan menyembuhkan hati dengan pemakluman. Beruntungnya, aku memiliki Mas Farhan yang bisa diajak berdiskusi dan mampu mendinginkan panas yang sering terpercik.Tadi malam, aku juga sudah bicara dengan Dek Arif dan mama perihal pinjaman uang itu. Aku tidak bisa melakukan langsung tadi malam. Dana harus dipindahkan ke rekening yang ada m

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 67. Kepepet

    "E ... anu, Mas. Dek Arif--.""Kenapa dia?" sahut Mas Farhan memotong ucapanku. Aku tersenyum melihat reaksinya. Dia ini memang kakak sejati, apapun yang menyangkut adik-adiknya langsung ditanggapi serius. Seperti kepada Dek Arif ini, walaupun status adik ipar bagi Mas Farhan."Dek Arif ingin pinjam uang. Katanya banyak kebutuhan," jawabku, kemudian menunggu jawaban Mas Farhan yang berdiam sesaat. Pandangannya tertuju kepada telivisi, tetapi aku tahu dia memikirkan apa yang aku sampaikan."Kalau ada uangnya, kasih saja, Dek," ucap Mas Farhan setelah menoleh ke arahku. Aku mengernyitkan dahi, seperti tidak menerima yang dia katanya. Masak tanggapannya, kasih saja. Seperti tidak ada pendapat lain. Aku seperti dikesampingkan, harusnya dia bicara banyak seperti dia menanggapi Dek Hana. Kalau seperti ini, sama saja dia membiarkan aku menyelesaikan sendiri.Pikiranku mulai berkecamuk, rasa tidak puas lebih mendominasi. Ada rasa kesal mulai terpercik. "Kalau dia kirim pesan pinjam uang ter

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 66. Janji Rendra

    "Anak-anak ini harus dicereweti terus. Mereka memang sudah besar, tetapi kita tidak boleh bosan mengingatkan terus," ucap Mas Farhan.Adik-adik beserta ibu mertua, sudah pulang. Dia memang memposisikan diri sebagai orang tua, sampai menyebut adiknya anak-anak. Perlakuannya juga tidak berbeda dengan orang tua terhadap anaknya. Kami selesai salat berjamaah. Fikri dan Lisa langsung masuk ke kamar masing-masing, dan sekarang tertinggal kami berdua. Duduk santai sembari menikmati tontonan televisi."Rendra jadi berangkat?" tanyaku, karena tadi tidak mengikuti akhir pembicaraan. Siapa tahu setelah diberi wejangan, dia menyurutkan niat."Tetap berangkat. Wong semua persyaratan, ijin, dan jadwal sudah dirilis. Ya, harus berangkat," jawab Mas Farhan sembari berdecak. Seperti menyayangkan keputusan mereka itu. "Tapi, Rendra janji. Ini kali terakhir dia berangkat. Dia akan fokus kepada pertumbuhan anaknya.""Trus Dek Hana, boleh?" tanyaku tidak sabar. Aku memiringkan tubuhku menghadap Mas Farha

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status