Daniel Antara yang diliputi perasaan bersalah karena perselingkuhannya dengan Risa itu menyandarkan punggungnya ke tembok. Ia berusaha menguping info apapun soal Risa. Tak mungkin ia datang ke sana sementara ada Mario. Bisa-bisa ia curiga. "Ngapain, Pak? Mau jenguk bu Risa, ya?" Seorang suster menyapa Daniel, membuatnya terkejut. Para suster jaga tentu tahu siapa Daniel. Saat menjenguk, pria itu memperkenalkan dirinya sebagai teman kantor Risa, pria yang kecelakaan bersamanya. Para suster pun mengizinkan Daniel untuk menjenguk. Tentu dari luar. Toh tidak menyalahi prosedur. Yang penting tidak masuk ke dalam ruangan, karena yang boleh masuk selain tim medis adalah keluarga pasien. "Oh, mmm, tadi cuma lewat kok, Sus," ucap Daniel berbohong. Suster yang tahu kalau Daniel hanya beralasan itu tersenyum tipis. Entahlah apa yang ada di benak perempuan muda itu. Tetapi sepertinya ia tahu sesuatu. Kalau hanya sekedar teman kantor saja, Daniel tidak mungkin meluangkan waktunya setiap hari
Obrolan ini bagaikan uji nyali bagi Daniel, tapi ia sudah terlanjur setengah jalan. Ia harus menuntaskan semuanya. Resiko apapun akan diambilnya. Setidaknya ia sudah berusaha merapikan kisah ini. Semua demi kebaikan bersama. "Jadi gini. Aku butuh ponsel Risa. Apa masih menyala atau mati? Karena ponselku mati setelah kecelakaan itu. Hancur tanpa bisa diperbaiki untuk dipulihkan datanya. Setelah siuman, polisi kan datang untuk wawancara kronologi kecelakaan dan urusan lain. Lalu mobilku sudah tidak tertolong lagi keadaannya. Polisi memeriksanya untuk kebutuhan laporan barang bukti. Barang-barangku dikembalikan dan ponselku hancur. Aku penasaran apakah ponsel Risa masih menyala. Karena aku butuh sesuatu yang penting. Ada file di dalam ponselnya. Aku membutuhkannya," ucap Mario. Saat mengatakan ini bibirnya sedikit bergetar dan jantungnya bertalu-talu. Mario rupanya belum terlalu bisa menangkap ucapan Daniel yang terlalu berbelit-belit ini. Maklum, Daniel terlalu gugup untuk menyampai
Lisa menoleh ke belakang. Mario sudah di depan pintu. Wajahnya kusut, dasinya miring, dan penampilannya terlihat kuyu. "Mas?" Lisa langsung menyapa sambil berusaha tersenyum. Sekuat tenaga Iya berusaha membuat matanya yang berkaca-kaca itu terlihat biasa saja, padahal tadi sudah hampir jatuh bulir-bulir yang hendak menetes itu. "Nah, itu dia datang. Udah selesai Pak saya jelasin semuanya ke Bu Lisa. Saya tinggal dulu ya mau naruh dokumen. Secepatnya saya kembali," ucap Suster Ami. Mario menggangguk. Ia lalu berjalan mendekat ke arah Lisa yang sedang menggendong Marsa. Garis senyumnya langsung melengkung. Ia tersenyum, seolah-olah pemandangan ini menjadi obat lelahnya. Lisa diam saja. Marsa masih ia dekap dengan pelan-pelan, takut anak itu terbangun dari tidurnya yang lelap. Lisa terus mencuri-curi pandang ke arah Mario. Kata suster Ami tadi ia mengabari kalau ada tanda-tanda siuman dari Risa. Tapi kenapa wajah Mario kusut begini, batinnya penasaran. "Habis dari nengokin Risa di
"Iya. Dimas kerjanya apa. Aku belum sempat banyak mengobrol kan kemarin." Mario kembali mengulang pertanyaannya. Sebenarnya ini bukan hanya sekedar pertanyaan basa-basi. Mario benar-benar ingin tahu suami Lisa itu orang seperti apa. Dari penampilannya dan sikapnya sih Mario seperti sudah bisa menyimpulkan kalau Dimas itu bukan pria baik-baik. Mungkin memang benar kata pepatah. Jangan menilai orang dari penampilannya. Penampilan Dimas sih bukan seperti penampilan pria kantoran. Tapi lihat saja sikapnya yang kasar dan pemabuk. Mario benar-benar kesal mengingat kejadian malam itu. "Ar--, maksudku Dimas. Ya dia itu bodyguard," ucap Lisa asal saja meyeletuk. "Bodyguard?" Mario tampak agak terkejut. Ia tahu ada banyak sekali profesi orang di dunia ini. Tapi seumur-umur, baru kali ini ia mengenal orang dekatnya berprofesi sebagai body guard. "Y--ya, pengawal. Semacam itu lah. Kerja sama pengusaha. Jadi kalau boss-nya ke luar kota dia ikut terus kemana-mana. Jarang di rumah." Lisa dengan
Sofa warna abu-abu itu bahkan masih terbungkus plastik. Jelas baru kemarin dibeli dan diantar toko furniturenya, belum sempat dibongkar. Mario duduk. Lisa ikut duduk di sampingnya. Ia ikut penasaran mengintip istri kardus yang diletakkan Mario di atas meja itu. "Ini barang-barang Risa di mobil Daniel waktu ia kecelakaan. Polisi yang ngasih ke aku. Daniel bilang dia butuh ponsel Risa. Masih menyala nggak, ya?" Mario mengambil benda pipih berwarna hitam yang tampak retak layarnya itu. "Daniel? Atasan kak Risa? Kenapa dia butuh ponselnya?" Lisa bertanya dengan bingung. Mario pun menjelaskan ulang soal file yang dijelaskan Daniel padanya tadi. Lisa menyimak penjelasan itu sambil mengernyitkan alisnya. "Tapi kayaknya agak nggak masuk akal deh, Mas. Untuk file sepenting itu dan nggak ada salinannya di tempat lain. Katanya kan tadi file-nya sempat dikirim dari ponsel Daniel. Kalau ponsel Daniel mati, bukankah file-nya tetap bisa dilacak lewat email terkirim? Iya, kan? Masak dia lupa al
Lisa diam saja. Sejak tadi ia hanya mengamati ekspresi Mario yang tampak berpikir berat, seolah-olah ada sesuatu yang mengganjal dan ia berusaha memecahkannya. Struk itu akhirnya ia letakkan di atas meja lagi. Tangannya kini bergerak mengecek isi dompet yang lain, tapi ia tidak menemukan apapun yang mencurigakan. Karena terdorong rasa penasaran, Mario pun mulai menggeledah tas Risa yang lain, juga tas laptopnya. Tempat-tempat kecil yang memungkinkan untuk menyimpan sesuatu atau menyelipkan sesuatu ia cek, tapi tidak ada apapun yang membuatnya curiga lagi selain dua struk aneh itu. Mario pun menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. Suara plastik yang bergesekan dengan punggungnya itu membuat suara decit aneh. Tampak matanya menerawang ke depan. "Kamu mikirin apa, Mas?" Lisa bertanya pelan, takut mengganggu pria yang sepertinya sedang berpikir serius itu. Mario hanya menggeleng sambil mencoba untuk tersenyum. Tapi tetap saja mukanya masih kelihatan bingung. "Aku nggak pernah nga
Aryo menaruh ponselnya di meja dengan kesal. Setelah panggilannya tidak diangkat, kini ia mencobanya sekali lagi, namun panggilan itu malah tidak tersambung alias nomor Lisa tidak aktif. Anak itu mungkin sengaja mematikan ponselnya, begitu pikir Aryo. "Nggak bisa dihubungin, Mam. Gimana, ya?" ucap Aryo. Dia sedang berada di sebuah tempat hiburan malam. Perempuan separuh baya yang dipanggil Mami itu berpenampilan full make up, bajunya semi terbuka. Tangannya memegang gelas berisi minuman. Tempat yang kalau malam hari ramai dan penuh lautan manusia yang sedang bersenang-senang dengan musik menggelegar itu kini sepi karena masih siang. "Tapi bener dia mau? Kalau serius mau, kamu kirim lah fotonya ke Mami. Nanti Mami tawarkan langsung ke pak Rizal. Siapa tahu cocok. Namanya siapa tadi?" tanyanya. "Lisa, Mam. Dijamin cantik. Setengah bule. Bapaknya orang Jerman apa Belanda gitu aku lupa. Cuma ya itu tadi kayak yang aku ceritain, Mi. Dia belum lama melahirkan, terus anaknya meninggal.
Mario menatap tak percaya ke arah adik iparnya itu. "Serius kamu, Lis? Kamu mau? Tapi kamu cuma jadi pengasuh, Lis. Siapa tahu kamu mau balik ke kerjaan kamu yang lama sebelum kamu punya anak." Mario menatap Lisa dengan tatapan senang tapi sekaligus terkejut. Lisa hanya menanggapi dengan tawa pelan bernada miris. Ah, andai Mario tahu pekerjaannya sebelum melahirkan pun lebih buruk dari itu. Lebih berat dan lebih kecil gajinya. Lisa pernah jadi pelayan resto, kerja menjadi buruh harian di tempat laundry, toko kue, dan banyak lainnya. Lisa melahap semua pekerjaan serabutan yang menerima tamatan SMA sepertinya demi menyambung hidup. "Nggak papa, Mas. Toh aku juga kayak mengurus keponakan aku sendiri. Hitung-hitung ngobatin kesepian aku karena kehilangan bayiku. Kalau kamu mau sih, Mas. Tapi aku punya satu permintaan," ucap Lisa. "Permintaan apa itu?" Mariobkini menatapnya dengan makin serius. Lisa baru hendak membuka mulutnya tapi suara hujan bergemuruh tiba-tiba turun dengan deras