Siang telah berlalu, Isela yang telah cukup lama beristirahat akhirnya pergi ke dapur untuk membantu Lilith dan Regina menyiapkan makan malam.
Mengenyahkan segala kesedihan dan kecewanya dari kenyataan, Isela memutuskan untuk tidak terpuruk. Isela harus tetap memanfaatkan setiap kesempatan yang datang sekecil apapun itu, Isela harus optimis bahwa masih ada cahaya untuk masa depannya sekalipun rumah yang dia pikir akan menjadi tempatnya pulang hanya memberinya tempat berteduh sementara waktu. Isela tidak akan mengeluh, dia harus bertahan dan berjuang untuk mengubah masa depannya agar bisa menyelamatkan Catelyna. “Ibumu dan nyonya Dahlia pasti sangat dekat, sampai-sampai nyonya Dahlia bersedia menampung dan menyekolahkanmu disini,” kata Regina sambil bersandar di meja dapur. Isela hanya tersenyum tanpa kata, dia memilih fokus pada pekerjaannya mencuci satu persatu sayuran dan merapikannya di keranjang untuk dikeringkan. "Bagaimana ibumu bisa mengenal artis papan atas seperti nyonya Dahlia?" tanya Regina. "Saya juga tidak tahu," jawab Isela dengan jujur, bahkan Isela tidak tahu jika ternyata Dahlia adalah seorang artis terkenal. Suara gonggongan kencang seekor anjing terdengar dari balik pagar tinggi rumah sebelah. Regina bertolak pinggang sambil bersungut-sungut membicarakan tetangga baru yang membuat kebisingan dengan hewan peliharaannya. Sudah pernah dua kali Regina menelpon polisi agar bisa menghentikan kebisingan, tampaknya sang pemilik rumah tidak mempedulikannya. “Isela,” panggil Avery ditengah kesibukan Isela yang tengah bekerja. “pergi ke rumah sebelah dan minta mereka untuk tidak membuat kebisingan.” “Biar saya saja yang melakukannya, Nona,” tawar Lilith. “Isela juga pelayan kan? Biar dia yang melakukannya,” tolak Avery tetap mengingikan Isela yang pergi. Sesaat Isela berpandangan dengan Lilith dan Regina, gadis itu tersenyum samar merasakan kekhawatiran tersirat dari tatapan kedua pelayan itu seolah memberitahu Isela, perintah Avery bukanlah sesuatu yang sederhana. “Tunggu apa lagi? Cepat pergi dan jangan kembali sebelum kau melakukan pekerjaanmu dengan baik!” perintah Avery dengan penuh tekanan. Isela menyeka tangannya yang basah pada celemek, gadis itu akhirnya pergi mematuhi perintah Avery. Begitu melihat Isela menghilang dari balik pintu gerbang, Avery pun pergi meninggalkan dapur. “Bagaimana jika Isela digigit oleh anjing galak itu?” bisik Regina terdengar khawatir. Lilith menelan salivanya dengan kesulitan, wajahnya mendadak pucat pasi begitu teringat kejadian beberapa hari lalu, seorang tukang pos dilarikan ke rumah sakit karena kakinya digigit hingga terkoyak. Anehnya, meski itu kejadian yang sangat serius, anjing itu tidak dibawa, kepolisian pun tidak datang melakukan investigasi pada rumah itu. *** Di depan sebuah gerbang besar yang tidak tertutup dengan baik, Isela berjinjit menekan bel beberapa kali ditengah gonggongan suara anjing. Setelah menekan bel berkali-kali, sang pemilk rumah tidak kunjung muncul menampakan diri. Meski sadar prilalunya dia tidak sopan, Isela tetap melangkah masuk melewati gerbang itu, dia berpikir bahwa seseorang yang sedang berada dalam rumah besar itu tidak mendengar suara bel. Isela melangkah ragu-ragu, semakin jauh dia masuk ke dalam rumah itu, setiap inch kulitnya meremang merasakan suasana yang mencekam seperti memberi pertanda pada nalurinya bahwa itu tempat yang berbahaya. Napas Isela memberat, memandangi pintu rumah yang tertutup rapat. Suasana rumah berlantai dua itu terasa dingin dan menyebarkan intimidasi kuat, membuat Isela tidak memiliki keberanian untuk melangkah lebih jauh melewati batas rumput dan teras rumah. Dari kejauhan Isela melihat seekor anjing jenis cane corso duduk tegak disudut tempat yang kekurangan cahaya, bulunya yang hitam pekat terlihat menakutkan dengan postur tubuhnya yang tinggi besar. “Siapa kau?” Isela tersentak, refleks ia melompat menjaga jarak begitu mendengar suara yang memanggil tepat dibelakangnya menyapukan hangat dipuncak kepala. Isela menelan salivanya dengan kesulitan, tubuhnya menggigil terintimidasi dibawah tatapan tajam seorang pria berpostur tinggi terbalut pakaian formal, matanya yang berwarna safier itu terlihat seperti pemburu. Pandangan pria itu menyapu lambat ke arah bibir Isela yang bergetar, lalu berhenti pada sepasang mata di balik kacamata berbingkai emas. “A-aku ingin bertemu pemilik rumah ini,” jawab Isela gelagapan. “Aku pemiliknya, kau mau apa?” tanya pria itu. “Suara gonggongan anjingmu mengganggu ketenangan sekitar, tolong tenangkan peliharaanmu, ini sudah malam.” “Mau bagaimana lagi, anjing kan hanya bisa menggonggong, bukan berkicau,” jawab Jach, bahunya terangkat acuh. Ia melangkah melewati Isela tanpa menoleh, hanya sekilas menatap dengan mata tajam, tatapan yang mengisyaratkan agar gadis itu enyah dari pandangannya. Gonggongan anjing itu kembali terdengar, mengguncang kandang besi yang mengurungnya. “Kau pemiliknya, setidaknya kau harus tahu bahwa suara anjingmu mengganggu orang lain,” ucap Isela menegur untuk yang terakhir kalinya. Alih-alih menanggapi ucapan Isela, secara tidak terduga Jach mendekati kandang dan membuka pengaitnya perlahan. Bunyi logam berderit, pintu kandang terbuka dan membiarkan anjing itu berlari ke arah Isela. Wajah Isela memucat, tubuhnya membeku di tempat, dan naluri bertahan hidupnya mulai berteriak panik di dalam kepala. Dengan napas berat dan tubuh menggigil, sekuat tenaga tidak menoleh ke samping, tidak sanggup melihat taring dan mata binatang besar yang kini berdiri hanya beberapa inci dari kakinya. Isela tahu, hewan buas akan menerkam jika dia membalas tatapannya, apalagi berlari dan membelakanginya. Jach menyandarkan tubuhnya santai ke dinding, tangan dimasukkan ke saku. “Bicara langsung pada anjingku, siapa tahu dia memahami keinginanmu.”“Ada undangan untukmu.”Sebuah amplop berwarna hijau terbingkai simpul putih sudah berada di tangan. Dalam satu tarikan, simpul yang mengikat itu terlepas. Amplop itu terbuka, berisikan sebuah undangan agar Jach datang di pesta pernikahan Audrey dan Dante yang akan berlangsung dua hari lagi.Jach akan menghadirinya, jika bisa mungkin bersama Isela. Bukan untuk membuktikan bahwa hatinya telah berlabuh pada perempuan lain, melainkan sebagai bentuk penghormatan atas hubungan lamanya dengan Audrey yang kini telah berakhir dengan menemukan jalannya masing-masing.“Bungamu,” seorang wanita menyerahkan bucket bunga mawar merah yang telah dipesan.“Terima kasih.” Jach memutuskan pergi meninggalkan tempat itu dengan seikat bunga mawar ditangan.Hari ini, Jach memiliki janji bertemu dengan Isela.Michaelin telah mengantarkannya ke tempat yang sudah Jach perintahkan untuk sedikit memolesnya.Jach tahu, Isela tidak perlu berusaha untuk bisa terlihat cantik. Tapi pada kenyataannya, berlian sa
Lembayung sore memancar di langit barat, cahayanya menembus kaca dan jendela, menyebar lembut ke seluruh ruangan.Isela menyisir rambutnya panjangnya, membiarkannya tergerai lurus menyapu punggung. Lalu dikenakannya sepasang sepatu cantik yang tersimpan di rak. Sore ini, Isela akan bertemu Jach untuk memenuhi janji yang sempat terucap semalam.Isela tidak ingin melewatkannya karena mungkin, ini pertemuan terakhir mereka jika minggu ini Isela menyelesaikan urusan sekolahnya.Uang cek yang telah Dahlia berikan telah berhasil Isela cairkan dan tersimpan di buku tabungan. Esok, setelah Isela memiliki handphone, dia akan mendaftarkan dirinya lagi sebagai pasien yang membunuhkan donor mata.Satu persatu masalah sedikit terselesaikan, hanya tinggal menunggu hati Catelyna luluh, lalu mereka bisa pergi untuk membuka lembaran baru karena ditempat ini tidak ada rumah yang bersedia menjadi tempat mereka pulang.Bagi Isela, kebahagiaan dan keselamatan Catelyna sama berharganya dengan mimpinya u
“Aku berhenti disini.” “Kenapa berhenti disini?” tanya Berry ragu untuk menepikan mobilnya. “Aku mau main dulu Berry,” jawab Isela berdusta. Pada akhirnya Berry menepikan mobilnya dan menurunkan Isela ditengah hiruk pikuk ibukota. Dengan energy yang kembali terisi penuh setelah sepanjang perjalanan tidur, Isela tidak membuang waktunya untuk pergi ke dinas social tempat ibunya berada. Hari ini, Isela harus memastikan Catelyna dalam keadaan aman, setelahnya, Isela akan pergi ke bank memeriksa keaslian cek yang dberikan Dahlia. Meski terlihat tidak tahu malu, Isela akan tetap mencairkan uangnya dan memindahkannya ke dalam tabungan pribadi untuk mempermudah semua kepentingan biaya operasinya. Mencari donor mata tidaklah mudah, membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk menanti. Namun dengan adanya uang, setidaknya Isela bisa pergi ke negara manapun yang memiliki donor untuknya. Dengan langkah sedikit terpincang-pincang itu Isela menelusuri bahu jalanan yang kini ramai. D
Disaat semua orang berkumpul menunggu kabar Derec yang tengah ditangani. Isela memutuskan pergi dengan kondisi kaki yang telah terobati.Isela ingin kembali ke ibukota hari ini juga, perasaannya tidak tenang dan dilanda ketakutan.Saat dalam perjalanan ke rumah sakit, Dahlia yang ikut serta mendampingi, diam-diam berbisik padanya, menyampaikan sebuah ancaman menakutkan.“Kau sudah mendapatkan uang untuk biaya operasi matamu, sekarang pilihan ada di tanganganmu Isela. Jika kau mengaku sebagai anakku dan Grayson, kau tidak hanya akan menerima kebencianku seumur hidupmu, kau juga harus membayarannya dengan nyawa Catelyna yang saat ini ada di dinas social. Atau pilihan kedua, bungkam selamanya, lalu pergi keluar negeri tanpa menunjukan diri lagi, jalani hidup yang sesuai dengan kelasmu bersama Catelyna.”Uang sudah ada di tangan Isela, akselerasi sekolahnya telah diterima. Isela hanya perlu bertahan kurang dari satu minggu lagi untuk bisa angkat kaki dari kediaman Dahlia.Sesuai dengan ap
“Ibu..”Dahlia terbelalak dengan wajah pucat pasinya, seluruh darah dinadinya membeku memenjarakan tubuhnya untuk berdiri terpaku menghadapi ketakutan yang begitu hebat sampai membuatnya lupa bagaimaca cara untuk bersuara.Ketegangan di ruangan itu meresap ke setiap inci udara, menjalar hingga ke kulit. Semua orang saling berpandangan, masing-masing membawa perasaan yang berbeda di dalam dada.Menyadari bahwa situasi buruk akan terjadi, Isela menghapus kasar air matanya dengan kasar, terburu-buru mengambil cek senilai $200.000 yang tergeletak di atas rerumputan dan segera memasukannya ke dalam saku.Derap langkah dan napas terengah tidak beraturan terdengar, Dahlia mundur selangkah, ia menggeleng dengan mata berkaca-kaca dicekik oleh ketakutan.“Ibu.. ibu katamu?” tanya Derec mendekat dengan langkah tertatih memegang erat tongkat, matanya gemetar hebat memandangi Isela dan Dahlia dengan tatapan tidak percaya setelah menyaksikan apa yang terjadi dengan mata kepalanya sendiri.Mendenga
Riven menjinjing seember besar ikan yang telah didapatkanya dari memancing. Dilihatnya Isela tengah duduk sendiri di sebrang dapur dengan senyuman berseri terukir dibibirnya.Riven meninggalkan embernya dan menghampiri Isela. “Kau terlihat senang sekali,” celetuk Riven penasaran.Senyuman Isela kian lebar bersama suara tawa yang samar-samar. “Nyonya Marizawa memberikan aku sepatu es sakting,” ceritanya berantusias mengeluarkan kembali kotak sepatu dari dalam tasnya dan menunjukannya kepada Riven.Isela berceloteh tentang jantungnya yang berdebar kencang saat menerima hadiah dari Marizawa. Isela terlihat sangat bersemangat sekaligus malu-malu menceritakan ruangan Marizawa yang sebagiannya sudah pernah dia lihat di televisi.Alis Riven sedikit terangkat bersama senyuman. “Itu sepatu yang dirancang khusus dan memiliki nilai sejarahnya, kau tidak akan menemukannya di toko manapun.”“Kau tidak marah kan?” tanya Isela berhati-hati, Isela tidak mau hadiah yang diterimanya menimbulkan kecem