Share

Chapter 6

Author: Asayake
last update Last Updated: 2025-07-22 12:17:05

Wajah Isela terangkat, berusaha untuk tetap tenang meski jantungnya berdebar kencang dan kaki gemetar lemas seperti jelly.

Isela datang hanya untuk menegur, tapi pria itu membalasnya dengan cara yang kejam, menghadapkan langsung dirinya pada anjing besar yang siap menerkam.

Geraman rendah dan hembusan napas panas anjing itu memperparah ketakutan Isela.

“Aku datang untuk bicara denganmu, bukan untuk mati,” bisik Isela nyaris putus asa, “singkirkan anjingmu, aku mohon.”

“Tidak mau,” tolak Jach menikmati ketakutan gadis dihadapannya seperti seekor kelinci yang terpojokkan.

“Dia tidak akan menggigit kan?” tanya Isela lagi dengan napas tersengal.

Jach menggeleng. “Hanya mengoyak.”

Isela tercekat kaget. Dengan tangan gemetar dan sisa-sisa keberaniannya, Isela memutuskan untuk melepas kacamatanya, dan melemparkannya sejauh mungkin untuk mengalihkan perhatian anjing itu.

Kilatan cahaya kaca yang terlempar langsung menarik perhatian anjing besar itu. Hewan itu melesat pergi mengambil benda asing itu, dan pada kesempatan itu juga Isela berlari sekencang mungkin meninggalkan halaman rumah itu.

Jach mendengus kecil, seulas senyum geli muncul di bibirnya saat melihat gadis itu melesat pergi seperti dikejar maut, meninggalkan anjingnya yang kini kebingungan dengan kacamata di mulutnya.

Padahal Jach hanya berniat menggertak sedikit, dia sama sekali tidak menyangka reaksi Isela justru akan seheboh itu.

Isela terus berlari tanpa menoleh ke belakang, melewati gerbang rumah Grayson dengan dada naik turun bernapas kasar. Ada kelegaan yang mengalir perlahan, meski harus membayar harga dengan kehilangan kacamata yang begitu berarti baginya.

Jika ada kesempatan, Isela pasti akan mengambil kembali kacamata itu..

Suara derak pintu gerbang yang baru ditutup terdengar, gadis itu menengok ke belakang untuk melihat gerbang yang dibuka kembali oleh seorang sopir, membawa masuk sebuah mobil.

Langkah Isela tertahan ditempat, memandangi mobil itu terhenti tidak jauh dari posisinya. Tidak berapa lama, muncul seorang wanita keluar dari balik pintu.

Butuh waktu beberapa detik untuk Isela sadar, bahwa wanita itu adalah Dahlia, isteri Grayson.

Wanita paruh baya yang berparas begitu cantik dalam balutan gaun putih, rambut berkilau terawat, kulit yang terlihat bersinar sehat, bahkan dari jarak beberapa meter, Isela bisa mencium aroma parfum mahal yang lembut menguar dari tubuh wanita itu.

Dahlia, nama itu begitu cocok untuknya.

Dahlia, apa yang terlihat pada dirinya memancarkan sosok wanita yang berkelas dan bermatabat, siapapun yang melihatnya pasti akan menatap kagum dan tertunduk hormat.

Berbanding balik dengan Catelyna yang setiap menjelang malam, telah berkostum tidak senonoh untuk menari di rumah bordil. Tubuhnya dijajakan untuk menjadi objek hiburan, dipandangi penuh nafsu, disentuh tanpa cinta, dan dibayar demi uang untuk bertahan hidup.

Isela menarik napasnya dengan berat, merasakan sesak yang begitu kuat menghadapi kesenjangan dari dua wanita yang hidup saling bertolak belakang.

Kesenjangan antara Catelyna dan Dahlia membuat Isela begitu malu..

Menyadari keberadaan Isela, Dahlia menghampirinya dengan wajah dingin tak terbaca.

“Kau, Isela?” tanya Dahlia dengan suara yang begitu lembut.

Isela sedikit mengangkat wajahnya, namun tidak memiliki keberanian untuk menatap. “Benar, Nyonya. Saya Isela, terima kasih atas kemurahan hati Anda mengizinkan saya tinggal disini.”

Dahlia mendekat selangkah, tanpa terduga dia mengangkat dagu Isela dengan ujung telunjuknya.

Dengan malu Isela membalas tatapan Dahlia, membiarkan wanita itu melihat wajahnya, melihat satu matanya yang selalu menjadi bahan ejekan semua orang atas karma ibunya sebagai seorang wanita penghibur.

“Ibu, masuklah,” tegur Avery.

Tanpa bicara sepatah katapun lagi, Dahlia langsung menurunkan tangannya dan berbalik pergi menghampiri Avery.

***

“Tuan Grayson meminta makan malamnya dihidangkan sekarang.”

“Ayo Isela.” Regina memindahkan beberapa piring makanan yang telah disiapkan ke dua troli makanan.

Mengikuti apa yang Regina lakukan, Isela mendorong troli itu dari dapur menuju ruangan makan yang kini terdengar ramai oleh percakapan hangat berbagi canda tawa yang terdengar manis di dengar.

Isela menata piring-piring makanan di meja tanpa berani mengangkat wajahnya sedetikpun meski ia tahu, ada mata yang kini memandanginya dengan tidak bersahabat.

“Aku dengar, pelayan itu akan satu sekolah denganku?” tanya Avery ditengah pekerjaan yang tengah Isela lakukan.

Avery tidak sudi memanggil nama Isela secara langsung meski dia sudah tahu namanya.

Grayson dan Dahlia saling memandang merasakan ketidak sukaan Avery atas ide mereka yang akan menyekolahkan Isela.

“Aku tidak mau satu sekolah dengan pelayan di rumahku sendiri, apa kata teman-temanku nantinya,” ucap Avery lagi dengan tegas mendeklarasikan penolakan.

Isela yang mendengar itu secara langsung hanya bisa mengatupkan bibirnya rapat-rapat tidak bisa berkata apa-apa dan melanjutkan pekerjaannya seolah ucapan itu bukan untuk dirinya.

“Isela tidak akan dibiayai siapapun, melainkan oleh sekolah. Dia akan melakukan tes terlebih dahulu untuk memastikan kelayakannya apakah dia termasuk murid yang bisa menerima beasiswa penuh atau tidak,” jelas Grayson berharap Avery tenang.

“Memangnya Ayah yakin, murid dari sekolah pinggiran seperti dia bisa mendapatkan beasiswa di sekolah bergengsi? Lihat saja matanya, dia lebih cocok masuk sekolah berkebutuhan khusus."

Deg!

Tubuh Isela membeku terhantam hinaan yang harus dia terima didepan semua orang, hinaan terhadap nasib yang telah Tuhan gariskan padanya sejak dilahirkan.

“Jaga bicaramu Avery, usia Isela sama denganmu, tapi dia berada di tingkat kelas yang lebih tinggi darimu,” ucap Grayson.

Raven melihat Isela seketika. "Bagaimana bisa?"

“Isela lompat kelas karena cerdas. Janganlah menilai sesuatu hanya dari apa yang terlihat,” jawab Grayson dengan nasihat yang tidak secara langsung dia sampaikan dengan gamblang pada putri bungsunya.

Alih-alih sadar dengan nasihat ayahnya, Avery memutar matanya enggan mendengarkan. Avery tidak peduli jika Isela akan disekolahkan di tempat lain, namun tidak dengan satu sekolah dengannya!

Sementara itu, Dahlia yang duduk diantara anggota keluarganya memilih diam meski sesekali matanya melihat wajah sedih Isela yang tengah menahan tangisan.

Regina menyentuh punggung tangan Isela dengan ujung jarinya, mengisyaratkan gadis itu agar mundur perlahan dan sedikit membungkuk.

"Selamat menikmati."

Kedua pelayan itu akhirnya undur diri meninggalkan ruangan makan.

"Jangan terlalu diambil hati, nona Avery sangat dimanja semua orang sejak kecil, karena itu sifatnya juga menjadi semena-mena karena merasa selalu dilindungi. Kau tidak sakit hati kan?" tanya Regina.

Isela tersenyum menghibur diri. "Saya baik-baik saja.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Isela: Putri yang Terbuang   Chapter 87

    “Ada undangan untukmu.”Sebuah amplop berwarna hijau terbingkai simpul putih sudah berada di tangan. Dalam satu tarikan, simpul yang mengikat itu terlepas. Amplop itu terbuka, berisikan sebuah undangan agar Jach datang di pesta pernikahan Audrey dan Dante yang akan berlangsung dua hari lagi.Jach akan menghadirinya, jika bisa mungkin bersama Isela. Bukan untuk membuktikan bahwa hatinya telah berlabuh pada perempuan lain, melainkan sebagai bentuk penghormatan atas hubungan lamanya dengan Audrey yang kini telah berakhir dengan menemukan jalannya masing-masing.“Bungamu,” seorang wanita menyerahkan bucket bunga mawar merah yang telah dipesan.“Terima kasih.” Jach memutuskan pergi meninggalkan tempat itu dengan seikat bunga mawar ditangan.Hari ini, Jach memiliki janji bertemu dengan Isela.Michaelin telah mengantarkannya ke tempat yang sudah Jach perintahkan untuk sedikit memolesnya.Jach tahu, Isela tidak perlu berusaha untuk bisa terlihat cantik. Tapi pada kenyataannya, berlian sa

  • Isela: Putri yang Terbuang   Chapter 86

    Lembayung sore memancar di langit barat, cahayanya menembus kaca dan jendela, menyebar lembut ke seluruh ruangan.Isela menyisir rambutnya panjangnya, membiarkannya tergerai lurus menyapu punggung. Lalu dikenakannya sepasang sepatu cantik yang tersimpan di rak. Sore ini, Isela akan bertemu Jach untuk memenuhi janji yang sempat terucap semalam.Isela tidak ingin melewatkannya karena mungkin, ini pertemuan terakhir mereka jika minggu ini Isela menyelesaikan urusan sekolahnya.Uang cek yang telah Dahlia berikan telah berhasil Isela cairkan dan tersimpan di buku tabungan. Esok, setelah Isela memiliki handphone, dia akan mendaftarkan dirinya lagi sebagai pasien yang membunuhkan donor mata.Satu persatu masalah sedikit terselesaikan, hanya tinggal menunggu hati Catelyna luluh, lalu mereka bisa pergi untuk membuka lembaran baru karena ditempat ini tidak ada rumah yang bersedia menjadi tempat mereka pulang.Bagi Isela, kebahagiaan dan keselamatan Catelyna sama berharganya dengan mimpinya u

  • Isela: Putri yang Terbuang   Chapter 85

    “Aku berhenti disini.” “Kenapa berhenti disini?” tanya Berry ragu untuk menepikan mobilnya. “Aku mau main dulu Berry,” jawab Isela berdusta. Pada akhirnya Berry menepikan mobilnya dan menurunkan Isela ditengah hiruk pikuk ibukota. Dengan energy yang kembali terisi penuh setelah sepanjang perjalanan tidur, Isela tidak membuang waktunya untuk pergi ke dinas social tempat ibunya berada. Hari ini, Isela harus memastikan Catelyna dalam keadaan aman, setelahnya, Isela akan pergi ke bank memeriksa keaslian cek yang dberikan Dahlia. Meski terlihat tidak tahu malu, Isela akan tetap mencairkan uangnya dan memindahkannya ke dalam tabungan pribadi untuk mempermudah semua kepentingan biaya operasinya. Mencari donor mata tidaklah mudah, membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk menanti. Namun dengan adanya uang, setidaknya Isela bisa pergi ke negara manapun yang memiliki donor untuknya. Dengan langkah sedikit terpincang-pincang itu Isela menelusuri bahu jalanan yang kini ramai. D

  • Isela: Putri yang Terbuang   Chapter 84

    Disaat semua orang berkumpul menunggu kabar Derec yang tengah ditangani. Isela memutuskan pergi dengan kondisi kaki yang telah terobati.Isela ingin kembali ke ibukota hari ini juga, perasaannya tidak tenang dan dilanda ketakutan.Saat dalam perjalanan ke rumah sakit, Dahlia yang ikut serta mendampingi, diam-diam berbisik padanya, menyampaikan sebuah ancaman menakutkan.“Kau sudah mendapatkan uang untuk biaya operasi matamu, sekarang pilihan ada di tanganganmu Isela. Jika kau mengaku sebagai anakku dan Grayson, kau tidak hanya akan menerima kebencianku seumur hidupmu, kau juga harus membayarannya dengan nyawa Catelyna yang saat ini ada di dinas social. Atau pilihan kedua, bungkam selamanya, lalu pergi keluar negeri tanpa menunjukan diri lagi, jalani hidup yang sesuai dengan kelasmu bersama Catelyna.”Uang sudah ada di tangan Isela, akselerasi sekolahnya telah diterima. Isela hanya perlu bertahan kurang dari satu minggu lagi untuk bisa angkat kaki dari kediaman Dahlia.Sesuai dengan ap

  • Isela: Putri yang Terbuang   Chapter 83

    “Ibu..”Dahlia terbelalak dengan wajah pucat pasinya, seluruh darah dinadinya membeku memenjarakan tubuhnya untuk berdiri terpaku menghadapi ketakutan yang begitu hebat sampai membuatnya lupa bagaimaca cara untuk bersuara.Ketegangan di ruangan itu meresap ke setiap inci udara, menjalar hingga ke kulit. Semua orang saling berpandangan, masing-masing membawa perasaan yang berbeda di dalam dada.Menyadari bahwa situasi buruk akan terjadi, Isela menghapus kasar air matanya dengan kasar, terburu-buru mengambil cek senilai $200.000 yang tergeletak di atas rerumputan dan segera memasukannya ke dalam saku.Derap langkah dan napas terengah tidak beraturan terdengar, Dahlia mundur selangkah, ia menggeleng dengan mata berkaca-kaca dicekik oleh ketakutan.“Ibu.. ibu katamu?” tanya Derec mendekat dengan langkah tertatih memegang erat tongkat, matanya gemetar hebat memandangi Isela dan Dahlia dengan tatapan tidak percaya setelah menyaksikan apa yang terjadi dengan mata kepalanya sendiri.Mendenga

  • Isela: Putri yang Terbuang   Chapter 82

    Riven menjinjing seember besar ikan yang telah didapatkanya dari memancing. Dilihatnya Isela tengah duduk sendiri di sebrang dapur dengan senyuman berseri terukir dibibirnya.Riven meninggalkan embernya dan menghampiri Isela. “Kau terlihat senang sekali,” celetuk Riven penasaran.Senyuman Isela kian lebar bersama suara tawa yang samar-samar. “Nyonya Marizawa memberikan aku sepatu es sakting,” ceritanya berantusias mengeluarkan kembali kotak sepatu dari dalam tasnya dan menunjukannya kepada Riven.Isela berceloteh tentang jantungnya yang berdebar kencang saat menerima hadiah dari Marizawa. Isela terlihat sangat bersemangat sekaligus malu-malu menceritakan ruangan Marizawa yang sebagiannya sudah pernah dia lihat di televisi.Alis Riven sedikit terangkat bersama senyuman. “Itu sepatu yang dirancang khusus dan memiliki nilai sejarahnya, kau tidak akan menemukannya di toko manapun.”“Kau tidak marah kan?” tanya Isela berhati-hati, Isela tidak mau hadiah yang diterimanya menimbulkan kecem

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status