Memasuki trimester akhir kehamilannya, Kania mulai merasakan rasa was-was yang sulit dijelaskan. Meski dokter menyatakan bahwa kandungannya dalam kondisi sehat dan stabil, tetap saja perasaan cemas sebagai seorang ibu tidak bisa diabaikan begitu saja. Ada kekhawatiran tersembunyi di balik senyumnya setiap kali ia menatap perut yang semakin membesar.Ia tahu betul bahwa menjadi ibu bukan hal yang mudah. Terlebih, ia sudah memiliki dua anak luar biasa—Narendra yang dewasa sebelum waktunya dan Nayaka yang ceria namun sering membuat pusing dengan ulahnya yang tak terduga.Beberapa malam terakhir, Kania mulai kesulitan tidur. Kadang ia hanya bisa berbaring sambil menatap langit-langit kamar, sesekali menarik napas panjang untuk menenangkan pikirannya. Namun Rafasya, lelaki yang tak pernah lelah mencintainya, selalu setia di samping. Hampir setiap dua jam sekali, Rafasya terbangun hanya untuk memeriksa kondisi istrinya dan memijat kakinya perlahan, memberikan kenyamanan di tengah malam yang
Malam itu, setelah makan malam bersama, Rafasya dan Kania akhirnya memutuskan untuk memberitahu anak-anak mereka tentang kabar bahagia yang selama ini mereka rahasiakan.“Nayaka, Narendra,” panggil Kania sambil duduk di sofa, tangannya menggenggam tangan Rafasya erat.Dua anak itu pun mendekat, duduk bersila di karpet. Nayaka terlihat ceria seperti biasa, sedangkan Narendra tampak tenang dan penuh rasa ingin tahu.“Ada kabar penting dari Mama dan Papa,” ucap Rafasya dengan senyum lebar.“Apa, Pa?” tanya Nayaka dengan mata berbinar.Kania menatap anak-anaknya penuh cinta, lalu menaruh tangan di perutnya yang mulai sedikit membuncit. “Mama hamil lagi, Nak … kalian bakal punya adik.”Nayaka langsung berseru, “YA AMPUN SERIUS?? WAAAAHH!! AKU PUNYA ADIK LAGI!!!” Ia pun melompat-lompat kegirangan, suaranya membahana di seluruh ruangan.Rafasya ikut bersorak dan bertepuk tangan, bahkan sampai berdiri dan mengangkat Nayaka berputar-putar. “Yesss! Tambahan pasukan lagi! Hidup jadi makin seru!”
Bu Ria, Bu Susi, dan Tante Vita benar-benar merasa sangat bahagia mendengar kabar bahwa Kania kembali mengandung. Berbeda dengan kehamilan sebelumnya, kali ini mereka semua terlihat lebih kalem dan bijak. Tidak ada yang berlebihan dalam menyambut berita itu, tapi justru itulah yang membuat suasana terasa hangat dan dewasa. Mereka tahu betul betapa pentingnya menjaga emosi dan suasana hati Kania, terutama karena ia masih menyimpan trauma kehilangan sebelumnya.Beberapa minggu berlalu, kehamilan Kania berjalan lancar. Tidak ada mual berlebihan, tidak juga ngidam aneh-aneh seperti dulu saat mengandung Nayaka. Tapi suatu hari, saat Kania dan Rafasya hendak menjemput Narendra dan Nayaka dari sekolah, keinginan aneh itu datang juga."Sayang, aku mau makan di kondangan," ucap Kania tiba-tiba saat mereka berhenti di lampu merah.Rafasya mengernyitkan dahi, menoleh heran. “Kondangan? Emangnya kita ada undangan hari ini?”Kania menggeleng polos. “Nggak ada, sih. Tapi aku pengin aja makan nasi k
Malam itu, Nadira pulang ke rumah dengan langkah pelan. Pikirannya masih dipenuhi obrolan dengan Kania. Perasaan haru dan bahagia bercampur dengan getir yang selama ini berusaha ia pendam. Setelah meletakkan tas dan mengganti pakaian, ia berjalan ke ruang tengah, menemukan Adrian sedang membaca di sofa sambil mengenakan kacamata tipisnya.Adrian menoleh dan tersenyum lembut, “Sudah pulang? Tumben larut.”Nadira berjalan mendekat, duduk di samping suaminya dan menyandarkan kepala di bahunya. “Aku tadi habis dari rumah Kania.”Adrian mengusap lembut rambut istrinya. Ia tahu, Kania adalah pelabuhan emosi Nadira, sahabat yang selalu menjadi tempat pulang bagi hati yang lelah.Beberapa menit terdiam, Nadira akhirnya berkata dengan suara pelan, “Na hamil lagi dan kembar.”Adrian diam sejenak. “Kamu baik-baik aja?” tanyanya hati-hati.Nadira mengangguk, meski matanya mulai berkaca-kaca. “Aku senang, serius. Tapi aku juga capek, Yan Capek pura-pura nggak apa-apa. Capek berusaha dan gagal teru
Hari demi hari berlalu dalam kehangatan keluarga kecil itu. Kania menikmati waktu bersama anak-anaknya, membagi tawa dan kasih sayang, sementara Rafasya, meski sibuk, selalu menyempatkan diri pulang lebih awal saat bisa. Segalanya terasa tenang hingga suatu hari, kabar tak terduga datang menghentak.Pagi itu, Rafasya tengah rapat dengan salah satu mitra bisnisnya ketika ponselnya berdering. Wajahnya langsung berubah tegang saat melihat nama rumah sakit tertera di layar."Pak Rafasya, mohon maaf mengganggu. Ibu Kania tadi mendadak pingsan saat sedang istirahat di ruang dokter. Saat ini beliau sudah dalam penanganan."Tanpa pikir panjang, Rafasya langsung meninggalkan ruang rapat, melesat ke mobil, dan menyetir dengan perasaan campur aduk. Khawatir. Panik. Cemas. Ia bahkan hampir tidak bisa bernapas dengan tenang sepanjang perjalanan.Setibanya di rumah sakit, Rafasya langsung menuju ruang observasi. Begitu melihat Kania sudah sadar, tubuhnya seperti kehilangan beban berat. Ia mendekat,
Malam mulai merambat pelan saat Kania keluar dari pintu utama rumah sakit. Langit sudah menggelap, tapi jalanan masih ramai oleh orang-orang yang baru pulang kerja, sama seperti dirinya. Dengan langkah pelan namun mantap, ia menuju mobil yang dikendarai oleh supir pribadi keluarga. Di dalam mobil, Kania hanya diam sambil memandang keluar jendela-lelah terasa, tapi rindunya jauh lebih kuat.Begitu sampai di rumah, lampu teras sudah menyala hangat. Pintu depan terbuka perlahan, dan suara riuh kecil terdengar dari dalam. Begitu Kania melangkah masuk, pemandangan yang membuat dadanya menghangat langsung menyambut."MAAA!" teriak Nayaka, berlari kecil dan langsung memeluk kaki ibunya sambil membawa mainan robot di tangan. "Aku tadi makan dua kali, nggak nangis, terus belajar sama Kakak!" celotehnya cepat, wajahnya penuh semangat.Tak jauh dari Nayaka, Narendra berdiri lebih tenang, lalu berjalan mendekat dan mengecup tangan ibunya. "Selamat datang, Bu Dokter. Kamu capek?" tanyanya dengan n