Laysa melirik ke arah Gavin
Sayangnya, Gavin justru terlihat santai. Bahkan, pria itu kini berkata penuh penekanan, “Sudah kukatakan, bukan? Laysa adalah calon istriku.”
Laysa lalu mengeratkan genggamannya di tangan Gavin, mengisyaratkan rasa tidak nyaman. Merasakan itu, Gavin hanya menghela napas panjang.
“Gavin!” Suara Laura mengeras, sambil menangis dia menghampiri Anne lalu memegang tangan wanita paruh baya itu, seolah mengadu. “Bagaimana ini Mommy? Gavin sudah mempermainkanku. Apa salahku padanya?”
Raut wajah Anne semakin merah padam akibat emosinya yang mulai naik. “Bisa-bisanya kau melakukan ini setelah semuanya, apa kau sudah gila?!”
“Hahaha....” tawa Gavin sebelum kembali berkata, "Apakah menikahi gadis yang kuinginkan adalah suatu hal yang gila?'
“Kau—“
Belum sempat Anne berbiacara, Alex--ayahnya--langsung menyela, “Kau harus menjelaskan ini pada daddy, Gav. Kalau tidak, kau akan mendapat hukuman atas permainanmu ini.”
Aura dominasi memancar dari pria tua itu. Dia menatap datar ke arah Gavin dan Laysa, seakan mengisyaratkan apa pun bisa terjadi sesuai kehendaknya. Termasuk, mempertaruhkan masa depan Gavin jika putranya itu memberi jawaban yang tidak sesuai keinginannya.
“Ini bukan sebuah permainan, Daddy. Laysa adalah satu-satunya gadis yang tidak hanya berhasil memikatku, dia juga bisa meyakinkanku bahwa di dunia ini masih terdapat orang yang tulus mencintaiku apa adanya,” bohong Gavin.
Laysa begitu takjub mendengar betapa lancarnya Gavin bertipu muslihat di depan orang tuanya. Bahkan, Gavin menatapnya mesra seakan keduanya sepasang kekasih yang saling mencintai. Jika saja Laysa tidak tahu kebenarannya, bisa saja perempuan ini jatuh pada kebohongan pria ini.
Berbeda dengan Laysa, kedua orang tua Gavin terlihat masih tidak bisa menerima pernyataan Gavin. Mereka tidak tahu asal-usul Laysa.
Anne bahkan terus saja memandang rendah Laysa. “Tidak ada yang tulus menerimamu kecuali Laura, Gav. Mommy bertaruh bahwa dia pasti hanya mengincar hartamu!”
“Sudah seharusnya wanita menilai dari harta yang dimiliki kekasihnya. Mereka berpikir realistis karena tidak hanya memikirkan dirinya sendiri saat sudah menikah. Bukankah Momy juga begitu?” ujar Gavin enteng.
Lelaki itu tampak tenang menghadapi kedua orang tuanya. Tanpa disadari, Laysa yang di sebelahnya sudah pucat pasi karena semakin tertekan. Dia ketakutan kalau-kalau tidak bisa berbuat banyak untuk Gavin atas keterbatasannya ini.
“Kau benar-benar sudah dewasa, ya? Apa begitu besar pengaruh gadis ini untukmu?” tanya Alex dingin.
Namun, Gavin hanya diam saja.
“Gavin!” teriak Anne.
[ Sudah cukup! Jangan diteruskan lagi, tolong berhenti bertengkar karena aku! ] Laysa menggerakkan jemari-jemari lentiknya, berusaha berkomunikasi dengan mereka.
Namun, sepertinya dia sudah salah mengambil tindakan. Hanya Xavier–saudara kembar Gavin–yang mengerti bahasa isyaratnya.
Sisanya, tidak ada yang mengerti maksudnya.
Bahkan, terlihat keterkejutan di mata orang-orang tersebut: “Perempuan pilihan” Gavin ternyata bisu!
Anne mendadak hilang kesabaran. Perempuan itu berdiri menatap tajam Gavin dan Laysa.
“Kau mau menikahi gadis bisu ini, Gavin?! Keterlaluan! Apa yang ada di pikiranmu itu?!” Siapa pun tahu, bahwa perempuan itu sudah sangat marah.
Astaga! Laysa mulai panik, sesekali dia melihat ke belakang, mereka yang berada di sana masih menatap kesal disertai pertengkaran yang tidak bisa dielakkan. Sementara, Gavin terus menggenggam tangannya begitu kuat.
“Jangan hiraukan mereka!” bentak Gavin karena Laysa berusaha keluar dari genggamannya.
Pada akhirnya, Laysa hanya tertunduk takut meski sebenarnya dia merasakan nyeri di pergelangan tangannya.
****Laysa terkejut saat Gavin menarik paksa dirinya dari kediaman keluarga pria tersebut. Namun, dia lebih terkejut lagi mengetahui bahwa Gavin membawa dirinya ke tempat hiburan malam yang ramai diperbincangkan kalangan atas.
Sungguh, Laysa merasa tidak nyaman!
Datang ke tempat maksiat ini, hanya mengingatkannya akan dirinya sebelum bertemu Gavin. Saat itu, banyak lelaki yang menginginkan Laysa terbaring di tempat tidur tanpa pakaian.
Tidak! Itu tidak boleh terjadi lagi.
Laysa ingin sekali pergi dari sini, berlari bahkan kabur jauh menghindarinya, tapi genggaman tangan Gavin sangat erat mengajaknya berjalan melewati kerumunan orang.
[ Jangan bawa aku ke sini, tolong. Aku ingin pulang, Gav. ] Laysa akhirnya memohon kepada Gavin dengan cara memegang lengan lelaki itu, menatapnya penuh berharap Gavin akan mengerti keadaannya.
Sayangnya, Gavin malah menatap Laysa tajam. Dia tidak mengerti apa yang dikatakan perempuan itu.
“Jangan menatapku seperti itu, kau akan lebih aman bersamaku."
Lelaki itu kemudian mengusap wajah kasar.
Saat melihat kursi kosong di sebuah tempat, dengan cepat, dia menarik lengan Laysa untuk mengajaknya duduk di sana. Meski Gavin tahu Laysa terpaksa mengikutinya, dia tidak peduli. Sebab di rumah, si brengsek Xavier akan terus menggoda gadis ini tanpa sepengetahuannya.
Gavin pun memesan minuman untuk dirinya, lalu mengecek ponselnya sebentar.
“Sepertinya, kita tidak akan pulang malam ini.”
[ Apa? Kenapa?! ] Laysa bertanya-tanya dari raut wajah terkejutnya saat menatap betapa santainya Gavin mengucapkan hal itu.
Namun, Gavin tidak memberi sepatah kata pun hingga minuman pesanannya datang. Jangankan rasa takut Laysa, lelaki benar-benar tidak mengerti saat Laysa berbicara padanya dalam bahasa isyarat.
Laysa akhirnya terpaksa hanya menemani Gavin. Dia tidak ikut meminum alkohol atau makanan apa pun.
Benar-benar, hanya menyaksikan lelaki yang tengah menghadapi sebuah masalah besar itu. Ya, Laysa berpikir demikian karena teringat pertengkaran Gavin dengan ibunya.
Untuk menghindari rasa bosan, Laysa memegang liontin peninggalan orang tuanya dan menatap foto kecil dalam kalung liontin itu.
“Momy dan daddy,” batin Laysa, “Mereka pasti menginginkan aku hidup dan menemukan kebahagiaan suatu hari nanti, walau entah kapan itu.”
Perempuan itu tanpa sadar menghela napas.
Namun, saat kembali menoleh ke arah Gavin, Laysa begitu terkejut melihat keadaan pria tersebut.
[ Sudah cukup, Gav! Kau sudah mabuk. ] Laysa memberi isyarat dengan menahan pergerakan tangan Gavin yang memegang gelas berisi minumannya.
Sayangnya, Gavin yang sudah dipengaruhi alkohol, justru menepis tangan Laysa. Dia tetap menenggak minumannya sampai habis.
Laysa kembali terdiam. Namun, tangannya sibuk merogoh tas dan mengeluarkan sebuah buku serta pulpen, berharap pria itu dapat memahami maksudnya.
Malangnya, Gavin malah membuang bukunya saat tulisan itu selesai.
[ Kau membuang bukuku? Bagaimana nanti kita bisa berkomunikasi? ] Laysa marah dengan bahasa isyaratnya.
Tidak peduli apakah pria angkuh dan keras kepala itu mengerti, Laysa terus menggerutu.
Segera, perempuan itu lalu beranjak dari kursinya, hendak mencari buku yang dilempar Gavin. Dia malu kalau harus meminta tolong kepada asisten Gavin. Terlebih, hanya untuk membeli buku baru.
“Di mana bukunya? Dia benar-benar lelaki paling menyebalkan. Kenapa aku harus terikat dengannya?” Laysa membatin sambil terus mencari bukunya yang hilang di antara kerumunan orang.
Beberapa orang melihatnya dengan heran. Namun, Laysa tidak peduli dan terus melangkah, sampai dia melihat bukunya tergolek di samping kaki seorang lelaki.
Laysa pun segera menyambar buku itu dengan senyum lebar.Sayangnya, itu hanya berlangsung sesaat karena lengannya tiba-tiba digenggam erat oleh seseorang.
“Kita bertemu lagi, Manis.”
Tubuh Laysa merinding ngilu. Lelaki paruh baya gemuk ini adalah Lucas, si genit pelanggan tetap hiburan malam yang tidak henti menggodanya.
“Gavin!” Hanya nama pria itu yang dapat diteriakan Laysa dalam hati. Tidak! Apa yang harus dilakukannya sekarang? Laysa merasa terjebak keadaan yang sangat sulit.
“Kau terlihat semakin menarik, apa ada yang sudah membeli tubuhmu ini?” Lucas kembali berbicara. Kali ini, jelas sekali dia menyelipkan hinaan di perkataannya. Mendengar ucapan Lucas, rasa takut dalam tubuh Laysa berganti menjadi amarah. Plak! Sebuah tamparan keras dilayangkan Laysa di pipi lelaki itu. “Kau masih saja seperti anjing liar. Tapi, aku malah semakin tertarik. Itu membuatku sangat penasaran denganmu.” Lucas menyeringai lebar sambil memegang pipinya. Ditariknya lengan Laysa agar mengikuti langkahnya. Sungguh, dia merasa tertantang dengan perempuan ini? Sementara itu, Laysa yang tidak bisa berbicara itu pun, hanya bisa berontak keras. Sayangnya, tak ada satu pun yang menolongnya. Semua sibuk dengan kegiatan masing-masing, termasuk Gavin yang keberadaannya cukup jauh dari tempat Laysa berdiri. Tubuh Laysa ditarik tak tentu, sampai dirinya mendapati bahwa mereka telah keluar tempat hiburan malam tersebut. Melihat Lucas yang tidak waspada seperti sebelumnya, Laysa me
Dugaan Laysa tepat sasaran. Saat Gavin tersadar dari mabuknya, dia begitu marah saat menyadari Laysa tidak terlihat di mana pun. Dia bahkan memeriksa rekaman cctv di sekitar area tempat hiburan malam hingga tempat parkir. Namun, yang ditemukan hannyalah Laysa begitu ketakutan diseret paksa oleh seorang lelaki tidak dikenal. Gavin marah sekali mengetahui gadisnya dibawa oleh orang asing. Terlebih, saat melihat Xavier datang menyelamatkan Laysa semalam, tetapi tidak mengabarkan apa pun padanya. “Di mana pria itu, Derry?” tanya Gavin kepada asistennya ketika mereka menuju ke sebuah bar–tempat Lucas berada. Gavin dipenuhi emosi dan ingin menyiksa lelaki bertubuh gempal tersebut. Saat menemukan Lucas tampak duduk di sebuah sofa dan bersenang-senang bersama kawannya, Gavin semakin emosi. “Seret dia ke hadapanku!” perintah Gavin segera pada beberapa bodyguard yang sengaja diajaknya. Mereka langsung mematuhi perintah Gavin. Lucas ditarik paksa dari sofa, hingga tidak bisa banyak
Laysa belum berhenti menangis, tetapi dia tetap berusaha membuka lembaran bukunya dengan satu tangan lain untuk menunjukkan sesuatu kepada Gavin. [ Hidup dan tubuhku sudah menjadi milikmu, bahkan aku tidak bisa memikirkan hidup di luar sana lagi karenamu. Jika aku diberi dua pilihan sekali pun, aku akan kembali padamu. Karena hidup denganmu lebih baik dari pada menyodorkan nyawa dengan percuma di luar sana. ] Seketika semua terasa hening. Gavin yang semula ingin sekali mengeluarkan kalimat kasar dengan kemarahan terbesarnya, mendadak luluh setelah membaca isi tulisan buku Laysa. Gadis itu putus asa, Gavin tahu. Namun, yang membuatnya tersentuh adalah ketika Laysa mempercayakan hidupnya secara tidak langsung. “Derry, tolong tunggu di luar.” Gavin memberi kode kepada Derry, hingga lelaki itu mengerti dan meninggalkannya berdua saja bersama Laysa. Gadis itu masih tampak menangis. Sisa-sisa ketakutan terlihat jelas di depan mata. Gavin pun melonggarkan pegangan tangannya, lalu m
Laysa telah kembali dan segera menyerahkan minuman yang diteguk cepat oleh Gavin.Anehnya, pria bertampren itu tiba-tiba melempar gelas ke lantai. Tatapan datarnya seakan meluapkan kekesalan. "Kenapa Gavin mendadak berubah begini? Kesalahan apa yang kulakukan?" batin Laysa.[ Kenapa kau melihatku begitu? ] Laysa akhirnya menggunakan bahasa isyaratnya. Dia tidak sempat mengambil buku di atas tempat tidur. Toh, Gavin akhir-akhir ini mulai memahami ucapannya. Entah dari mana pria itu belajar....“Apa yang kau lakukan kemarin dengan Xavier, apa dia menyentuhmu?” tanya Gavin pada akhirnya. Meski Laysa berada di genggamannya, entah kenapa dia selalu mengingat perempuan ini sempat berada di kediaman Xavier. Ini bukan rasa cemburu. Ini seperti merasa tidak rela barangmu disentuh oleh orang lain.Ya! Itu lebih tepat.Gavin lalu menatap tajam perempuannya itu.Tentu saja, Laysa langsung menggelengkan kepala. Dia benar-benar tidak berbuat apa-apa. “Jangan membohongiku!” Suara Gavin mengeras,
Gavin lalu mencengkeram kasar tangan gadis itu, lalu berbisik, “Berani sekali kau menamparku! Ingatlah, kau hanya seorang gadis yang kubayar, Lays. Tidak lebih dari itu! Kau harus menyadari di mana menempatkan posisimu walau kita akan menikah.” Ucapannya tersebut sudah cukup membuat tekanan yang dialami Laysa semakin dalam. Dia menangis tersedu-sedu, meratapi kehidupannya yang tidak pernah bertemu dengan bahagia. Gavin pun melepas cengkeramannya cukup keras, hingga tubuh Laysa terempas ke kasur. Kemudian beranjak dari sana dengan angkuh dan tidak memedulikan apa pun tentang Laysa. Gavin sangat kesal, karena ternyata gadis itu sama seperti gadis kebanyakan yang mudah terlena dengan uang dan fisik seorang lelaki. *** Sebelum Gavin pulang ke rumah, semuanya terlihat baik-baik saja. Suasana hatinya selalu baik, apalagi ketika membaca tulisan pengakuan dari Laysa. Dia pikir, rencananya akan berjalan dengan lancar, mendapatkan seorang istri yang mudah disetir ke arah mana pun tanpa
Seketika Gavin teringat lagi saudara kembarnya. Pasti ini adalah ulah Xavier yang sengaja mengundang mereka ke sini. “Tidak perlu. Aku akan menemui mereka,” ujar Gavin. “Tapi, Tuan. Itu sangat berisiko tinggi untuk Anda.” “Aku bisa mengatasi ini, Derry. Siapkan saja mobilnya di depan.” Gavin membenarkan jas hitamnya, lalu berjalan tegas menuju area luar rumah sakit tempat para awak media itu berada. “Baik, Tuan.” Derry pun segera melaksanakan perintah tuannya, seraya mengikuti langkah Gavin dan Laysa. Namun, hati lelaki tua itu tak terlalu tenang. *** “Apa Anda bisa menjelaskan kedatangan Anda ke rumah sakit ini, Tuan?” tanya salah seorang dari media massa. Laysa dan Gavin seperti semut yang disodorkan makanan manis. Ada banyak kamera, begitu pun pertanyaan untuk keduanya. “Lalu siapa gadis yang ada di samping Anda ini? Apa benar dia adalah calon istri Anda?” tanya yang lainnya. “Saya hanya mengantarnya memeriksa kesehatan,” jawab Gavin. “Ya, dia adalah calon istri saya. Kal
“Tapi yang aku cintai itu kamu, Gav! Mana bisa aku mencintai lelaki lain walau wajah kalian serupa? Dia bukan dirimu,” sela Laura dengan tegas. “Apa yang kau cintai dari diriku?” “Semuanya, semua yang kau miliki.” Laura menjawab pertanyaan Gavin secepatnya. “Tapi yang kumiliki hanya harta dan kekuasaan, itu artinya kau tidak benar-benar mencintaiku.” Gavin tersenyum miring, seakan puas telah menjebak Laura dengan pertanyaan tersebut. “Gavin—“ “Gadis yang ingin kau nikahi sekarang adalah seorang cacat, Gav! Dia bahkan tidak bisa berbicara, atau membela dirinya lagi. Apa yang kau banggakan darinya? Cinta saja tidak cukup, dunia kita bukan untuk main-main. Momy membutuhkan menantu yang bisa mengimbangi keluarga kita dalam segi apa pun,” sela Anne yang masih penasaran dengan keputusan putranya. Ucapan Anne membuat Gavin geram. “Apa salahnya jika dia cacat? Apa dia tidak berhak memiliki cinta dariku?” “Omong kosong apa yang kau katakan ini?!” Mendadak suara Anne mengeras, menatap Ga
“Kalau kau bersedia, aku akan menikahimu dan kau akan mendapat kedudukan yang sama dengan Laysa. Hanya saja, tidak akan ada pernikahan mewah di antara kita berdua. Kau dan aku hanya akan mendatangkan saksi secukupnya, bagaimana?” “Apa kau tidak pernah memikirkan perasaanku, Gav? Selama ini aku selalu saja menuruti keinginanmu, tapi sekarang kau malah menawarkan sebuah jurang untukku. Bagaimana bisa aku menerima ini?” ujar Laura. Gavin mendengar suara gadis ini tidak lagi sekeras sebelumnya, menggantikan itu dengan untaian kalimat kekecewaan disertai pertanyaan untuk Gavin sendiri. Apa Gavin tersentuh? Sungguh, dia bukan seorang yang mudah ditaklukkan menggunakan sebuah kalimat indah apalagi sederhana, lemah lembut, atau pelan bahkan kasar sekalipun. Sekalinya dia berkeyakinan tidak, itu adalah keputusan akhir tanpa ada yang bisa mengusiknya. “Kalau kau ingin berada dalam pikiranku, jadilah seperti apa yang kuinginkan,” ujar Gavin pelan dan menegaskan kembali perkataan sebelum-seb