“Kau terlihat semakin menarik, apa ada yang sudah membeli tubuhmu ini?” Lucas kembali berbicara. Kali ini, jelas sekali dia menyelipkan hinaan di perkataannya.
Mendengar ucapan Lucas, rasa takut dalam tubuh Laysa berganti menjadi amarah.
Plak!Sebuah tamparan keras dilayangkan Laysa di pipi lelaki itu.
“Kau masih saja seperti anjing liar. Tapi, aku malah semakin tertarik. Itu membuatku sangat penasaran denganmu.” Lucas menyeringai lebar sambil memegang pipinya. Ditariknya lengan Laysa agar mengikuti langkahnya. Sungguh, dia merasa tertantang dengan perempuan ini?
Sementara itu, Laysa yang tidak bisa berbicara itu pun, hanya bisa berontak keras.
Sayangnya, tak ada satu pun yang menolongnya. Semua sibuk dengan kegiatan masing-masing, termasuk Gavin yang keberadaannya cukup jauh dari tempat Laysa berdiri.Tubuh Laysa ditarik tak tentu, sampai dirinya mendapati bahwa mereka telah keluar tempat hiburan malam tersebut.
Melihat Lucas yang tidak waspada seperti sebelumnya, Laysa melihat kesempatan untuk lari.
Dengan cepat, Laysa menginjak kaki Lucas, lalu memukul wajahnya dengan tas.
Lelaki itu spontan melepas pegangannya, hingga Laysa mengambil kesempatan untuk berlari secepat mungkin.
“Dasar kurang ajar! Jangan lari dariku, dasar kau gadis sialan!” teriak Lucas sanga kasar sambil mengejar Laysa.
Laysa yang semula merasa sudah aman, tiba-tiba dikejutkan oleh dua orang berbadan tegap menghadangnya.
“Bagus!” teriak Lucas dari belakang. Seketika, Laysa menyadari situasinya. Kedua orang di hadapannya adalah anak buah dari Lucas yang biasa menemaninya pergi.
Dengan cepat, tangan Laysa kini digenggam erat di belakang, hingga tubuhnya ditempelkan ke badan mobil sampai benar-benar tidak bisa bergerak.“Masukkan dia ke dalam mobil!” perintah Lucas lagi kepada kedua orang itu.
******
Semua terjadi begitu cepat. Tubuh Laysa kini sudah ditarik ke sebuah mobil berwarna putih.
“Kau benar-benar menguji kesabaranku sejak dulu, Manis. Tapi sekarang kau tidak akan pernah bisa lari lagi,” desis Lucas kesal. Lelaki itu bahkan tidak sadar bahwa jas hitamnya telah tertinggal entah di mana.
Laysa kemudian mundur ke belakang, hingga punggungnya mentok ke pintu mobil. Dia menangis ketakutan, seakan tidak ada jalan keluar lagi untuknya. Embusan napasnya yang berbau alkohol menyeruak.
“Seseorang ... siapa saja! Tolong aku dari orang ini. Aku takut sekali .... ” Laysa semakin menangis pilu dan berteriak sebisanya, meski tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Apa yang akan terjadi padanya nanti?
“Kurang ajar!” Pintu mobil itu mendadak terbuka lebar diiringi suara teriakan seorang pria. Tak lama, tubuh Lucas menyingkir dari hadapan Laysa dengan paksa.
Lelaki itu ditarik oleh seseorang dari arah luar dan mendapatkan bogem mentah bertubi-tubi di seluruh tubuh terutama wajahnya.Laysa sendiri masih sibuk menangis. Dia tidak sanggup melihat apa yang terjadi di luar sana karena saking takutnya.
Hingga beberapa menit berlalu, seseorang datang menghampiri dan membuka pintu mobil di sampingnya. Kedua mata Laysa yang terhalang oleh butiran air mata itu melihat seorang lelaki berdiri di sampingnya dengan tegap.
“Tenanglah, semuanya sudah aman, Laysa.” Hanya satu kalimat itu yang keluar dari mulut penyelamatnya. Menghirup aroma parfum dan melihat model pakaian lelaki itu, Laysa seketika menyadari bahwa pria ini adalah Xavier.
Tubuh Laysa seketika melayang terangkat oleh kedua lengan kokoh lelaki itu. Tanpa sadar, dua tangannya sudah memeluk erat leher Xavier. Sungguh, dia begitu takut.
*** [ Terima kasih .... ] Laysa menggerakkan jemari lentiknya saat Xavier menyodorkan segelas susu hangat di atas meja.Kini, Laysa telah berada di sebuah rumah cukup besar yang katanya tidak pernah ditempati lelaki itu selama beberapa bulan terakhir akibat pekerjaannya di luar kota.
Sekarang Laysa sudah jauh lebih tenang. Tidak ada lagi tangisan yang meluncur di pipinya.
Pembawaan Xavier yang lembut cukup mempengaruhi perasaannya. Mereka sudah berbicara sangat banyak dalam mobil hingga sedikit banyak Laysa menaruh prasangka baik kepada Xavier.
“Tidak perlu berterima kasih. Ini hanya segelas minuman,” balas pria itu santai.
[ Bukan itu, tapi aku berterima kasih karena kau sudah menyelamatkanku. Aku berhutang budi padamu.] Laysa menggerakkan jemarinya lagi, lelaki itu tersenyum tipis.
“Baiklah, anggap saja begitu.”
[ Kenapa kau ada di sana? Apa kau juga sering ke tempat itu? ] tanya Laysa.
“Tidak,” balas Xavier cepat.
[ Sungguh? ]
“Kau tidak percaya?”
Laysa terdiam, dia berpikir hanya sedikit lelaki di kota ini yang tidak tertarik dengan tempat semacam itu.
Melihat reaksi Laysa, pria itu tersenyum. “Aku tidak pernah mengunjungi tempat semacam itu, aku lebih tertarik mendatangi tempat di mana anak-anak bisa tersenyum dan tertawa bebas tanpa beban. Di sana kebahagiaan yang sesungguhnya bisa kudapat.”
[ Tempat seperti apa itu? Apa panti asuhan? ]
Xavier hanya tersenyum tipis menandakan pertanyaan Laysa barusan adalah sebuah jawaban tepat baginya.
Laysa terdiam, setitik kekagumannya muncul untuk lelaki dewasa ini. Ternyata, dia berbeda dari orang kaya lainnya. Mengapa bisa sifat Xavier berbeda sekali dengan Gavin yang notabenenya saudara kembarnya sendiri?
“Ah, ya. Sebenarnya, aku masih penasaran apa hubunganmu dengan Gavin. Apa benar kalian berdua saling mencintai? Aku hanya ingin memastikan itu karena aku tahu sifat adikku.”
Pertanyaan Xavier yang mendadak membuat Laysa gugup. Apakah dia harus mengatakan yang sesungguhnya?
[ Aku tidak bisa mengatakannya karena ini menyangkut kehidupan pribadiku, ] jawab Laysa pada akhirnya dengan bahasa isyarat.
“Begitu rupanya.” Xavier kelihatan kecewa dengan jawaban Laysa. “Tapi, aku merasa itu bukan sesuatu hal yang baik. Aku mengetahui sifat asli adikku luar dalam, dia tidak akan bertindak tanpa pemikiran panjang.”
Laysa terdiam. Sepertinya, Xavier sendiri sudah bisa menebak-nebak isi pikiran Gavin.
“Apa kau ingin menghindarinya?” tanya Xavier.
[ Apa bisa? ] tanya Laysa ragu.
“Kenapa tidak?”
Laysa kembali terdiam. Jika saja ada hal yang bisa membuatnya terbebas dari Gavin, dia pasti akan melakukan itu.
“Apa kau punya orang tua atau rumah yang bisa kau tuju?”
Laysa menggelengkan kepala sambil berbahasa isyarat. [Tidak ada]
Lelaki itu menghela napas tipis. “Kalau begitu tinggallah di sini sampai masalah Gavin dan orang tua kami selesai. Aku tidak akan memberitahu siapa pun tentang keberadaanmu.”
Mendengar tawaran itu, Laysa seakan diberi penerangan di sebuah jalanan gelap yang akhir-akhir ini menakutinya. Apa dia harus menerima tawaran itu? Tapi bagaimana dengan Gavin nanti jika menyadari calon istrinya menghilang?
“Maafkan aku karena terus merepotkanmu dalam segala hal. Padahal kau sangat tulus membantuku,” ujar Laysa melalui gerak jemarinya di depan kamera layar ponsel. Dia mencoba berbicara kepada Xavier yang menelepon kembali untuk memastikan apa Laysa sudah matang dengan keputusannya.“Kau tahu tidak ada orang tulus di dunia ini, Lays? Aku melakukannya karena aku menyukaimu, aku berharap bisa menjadi bagian dari hidupmu setelah kita saling mengenal satu sama lain lebih jauh. Tapi faktanya kau memilih kembali bersama Gavin, sudah jelas aku sedang patah hati sekarang,” ujar Xavier.Laysa terdiam, sekilas dia menoleh ke arah Gavin yang sudah terlelap bersama mimpinya. Dia tetap tidak bisa melihat lelaki lain selain Gavin, hanya Gavin yang ada dalam hati dan pikiran seorang Laysa Florensia. Entah kenapa hal itu bisa terjadi, padahal hanya sedikit kebaikan Gavin yang dia ingat. Namun, Xavier? Mungkin saja kebaikannya tidak pernah terhitung, mereka pun bisa saja saling mel
“Aku tidak mati, Lays. Kenapa kau menangis begini?” tanya Gavin lagi seraya mengusap punggung Laysa, lembut. Kalau Laysa bisa berbicara, mungkin dia akan langsung menjawab pertanyaan Gavin. Faktanya, wanita itu membutuhkan waktu untuk menulis pada sebuah buku kecil yang sering dibawanya ke mana-mana.“Teganya kau berkata begitu, dasar boddoh!”Gavin tersenyum kecil melihat umpatan Laysa pada bukunya. “Lihatlah siapa yang mengomel ini, hmh?” Dia merapikan rambut Laysa yang sedikit berantakkan saat berbicara.Laysa ingin memukul dadda Gavin, tetapi terhenti karena mengingat sakit yang lelaki itu alami. Setelah Laysa cukup tenang, Gavin baru menggenggam tangannya agar mereka bisa berbicara lebih nyaman.“Aku pikir kau tidak akan kembali padaku, Lays. Kau selalu mengatakan bahwa kau menderita selama berada di dekatku. Ini seperti sebuah keajaiban untuk orang sepertiku yang telah banyak melakukan kesalahan padamu,” ujar Gavin bernada lembut.
“Biarkan saja, aku tidak pernah peduli. Mereka malah menguntungkan buatku, karena dengan begini, Laysa akan tahu kalau aku semakin dekat dengan Gavin.”Laura mendekat ke arah Gavin, lalu menyentuh wajah pucat lelaki yang kerap menolak keberadaannya itu. Dia langsung berangkat dari rumah saat mendengar Gavin masuk rumah sakit. “Biarkan momy yang mengurus wanita itu, Laura. Kau fokus saja kepada Gavin. Dulu dia pernah menyukaimu, sekarang pun dia akan menyukaimu lagi jika kau terus berada di dekatnya,” ujar Anne.Laura hanya mengangguk pelan.“Jangan menyentuh wajahku, karena aku tidak mengizinkannya.”Laura dan Anne menoleh bersamaan saat suara pelan Gavin mencuat. Lelaki itu bahkan sudah membuka kedua mata seraya menyingkirkan tangan Laura dari wajahnya.“Kau sudah bangun, Gav. Sejak tadi momy ada di sini dan mengkhawatirkanmu, kau hampir saja membuat momy mati dengan keadaanmu sekarang,” ujar Anne. Dia tersenyum saa
“Kau berpikir begitu?”“Karena kau adalah seorang yang sama licik sepertiku, aku bisa melihatnya kalau kau ikut campur atas tersebarnya berita ini.” Gavin mencengkeram kerah kemeja Xavier, tetapi saudaranya itu tampak tidak terpengaruh.“Kalaupun itu tanggapanmu, terserah. Yang jelas kau tidak akan pernah berhak menentukan hidup Laysa lagi, kau akan hancur karena keserakahanmu, Gav. Sayang sekali kau telah menyia-nyiakan berlian demi batu kerikil.”Xavier berkata, sesudah itu menyingkirkan cengkeraman Gavin dengan tenaga sedikit kuat. Setelahnya, dia pun menggenggam tangan Laysa terang-terangan di hadapan Gavin agar dia bisa melanjutkan rencana seperti pada awalnya, yaitu membawa Laysa pergi dari rumah tersebut dan meninggalkan seluruh pemberian Gavin.Debar jantung Laysa semakin kencang, melihat Gavin juga memegang lengannya agar Xavier tidak bisa membawanya dari sana. Dia sangat takut dua bersaudara itu akan berkelahi karenanya lagi.
Setelah hampir satu jam aktivitas siang mereka. Napas Laysa masih sedikit terengah karena Gavin sudah mendapat apa yang diinginkannya. Bahkan lelaki itu belum mau menjaga jarak dari Laysa dan memilih merapatkan tubuh mereka selama mungkin di atas tempat tidur. “Kau masih sama seperti saat kita sering melakukannya. Aku berharap ada bayi kecil yang tumbuh dari rahimmu secepatnya setelah ini,” puji Gavin seraya mengeccup bahu polos Laysa dengan lembut. Laysa menggeliat kecil menyingkirkan bibbir Gavin darinya. Dia kesal karena lelaki ini terus saja semena-mena terhadap orang lain. Padahal Laysa berencana ingin mengakhiri ini, lalu bagaimana jika dia hamil lagi? Musnah sudah kesempatannya menghindari Gavin. “Jangan menghindariku, Laysa.” Gavin sedikit bergerak untuk mengarahkan tubuh Laysa padanya. Dia pun berada tepat di atas tubuh wanita itu agar lebih mudah baginya mendapat jawaban dari Laysa. “Aku sudah tahu penyebab kita kehilangan anak,
Laysa duduk termenung seraya memperhatikan berita di sebuah acara televisi. Di sana, dia dapat melihat para wartawan sedang mendatangi rumah Gavin dan mencari informasi yang ingin mereka dapatkan. Namun, sepertinya usaha mereka hanya sia-sia saja karena Gavin tidak muncul sama sekali.Orang-orang di rumah Gavin menutup akses, bahkan pihak rumah sakit yang menangani Laysa hanya bicara seperlunya saja. Gavin tampak tertutup dan tidak ingin kehidupan pribadinya menjadi konsumsi publik kali ini.“Aku harus cepat pergi dari rumah ini, aku tidak akan pernah bisa melupakannya jika seperti ini terus.” Laysa bergumam dalam hati. Rumah yang ditempatinya sekarang masih milik Gavin, itu artinya mereka masih bisa bertemu suatu hari nanti, atau secepatnya. Walau beberapa minggu ini Gavin tidak memunculkan batang hidungnya di hadapan Laysa, kemungkinan itu masih bisa terjadi. Laysa tidak ingin perasaannya berubah lagi, rasa cinta yang hanya tinggal sedikit ini tid