“Duduk di sini, Laysa.” Suara berat Gavin, pria yang duduk di hadapan Laysa, sukses membuat gadis bisu itu ketakutan.
“Jangan begitu takut, aku tidak menggigit,” imbuh pria tersebut seiring menampakkan sebuah seringai menggoda, “tentunya selama kamu menurut padaku.”
Mendengar hal tersebut, seluruh tubuh Laysa merinding, merasa seperti mangsa yang sedang ditarget hewan buas. Dia dengan cepat mendudukkan diri, lalu menundukkan kepala.
Melihat gadis bisu itu menuruti perintahnya, pancaran mata Gavin pun terlihat puas. Dia menyilangkan kakinya, lalu menatap dalam-dalam sosok mungil Laysa.
“Aku tidak ingin basa-basi lagi,” ujar Gavin. “Karena kamu sudah setuju dengan tawaranku tadi malam, maka perjanjian tertulis pun sudah kusiapkan,” jelasnya seraya melemparkan setumpuk dokumen ke atas meja di hadapan Laysa.
Laysa mengernyit. Kemudian, menuliskan sebuah kalimat dalam buku yang dibawanya.
[ Perjanjian apa? Semalam, kamu tidak menyebut soal perjanjian tertulis denganku! ]
“Ini untuk berjaga-jaga kalau suatu hari nanti kau kabur dariku, aku akan mencari dan menuntutmu membayar denda tiga kali lipat dari apa yang kau dapat,” ujar Gavin.
Suaranya memang tidak kencang, tetapi kalimat yang dilontarkannya itu jelas sebuah masalah besar bagi Laysa.
Gavin tahu persis kelemahan gadis itu. Keuangan yang tidak stabil membuatnya tidak ada tempat mencari perlindungan.
Untung saja, Derry–asistennya–cepat mengumpulkan semua informasi tentang Laysa, sehingga Gavin dapat menjebak Laysa sebagai calon istri bayaran baginya.
Sementara itu, Laysa langsung beranjak dari kursinya.
Dia ingin menolak seluruh tawaran yang akan diberikan Gavin. Laysa yakin, apa pun itu pasti akan menyulitkan hidupnya satu hari nanti.
Perempuan itu berusaha melangkah pergi, tapi lengannya sudah terlanjur dipegang oleh Derry yang sigap di dekatnya.
“Kau mau pergi ke mana? Kau tahu? Tidak ada seorang pun yang akan bisa lolos jika sudah berurusan denganku,” ujar Gavin sangat tenang.
Laysa dipaksa duduk kembali ke kursinya.
Sesudah itu, dia disodorkan sebuah map berisi perjanjian pra nikahnya dengan Gavin.
“Bacalah itu secepatnya, aku tidak punya banyak waktu berada di tempat ini!” perintah Gavin.
Laysa mengambil mapnya ragu-ragu, dia bahkan belum membuka itu dalam waktu hampir satu menit.
Sampai akhirnya, Derry sendiri yang turun tangan membukakan mapnya untuk Laysa.
Perlahan, Laysa memperhatikan kontrak yang diberikan.
Ada nama Gavin dan Laysa tertera jelas di sana, berikut poin-poin perjanjian mereka.
Salah satu isi perjanjian itu menyebutkan bahwa Gavin berhak atas Laysa selama satu tahun pernikahan mereka.
Gavin juga menuntut seorang anak dari Laysa. Jika tidak kunjung hamil dalam batas waktu satu tahun, maka perjanjian batal dan Laysa hanya akan mendapat setengah dari harga uang yang diberikan nantinya.
Tunggu, berapa bayarannya? Tiga juta dolar? Besar sekali ….
Apakah Gavin sedang ingin menjebaknya? Sungguh, mengerikan sekali membayangkannya.
[ Aku tidak mau! ] putus Laysa pada akhirnya lewat tulisan di buku yang dibawanya. Kemudian, dia melempar tatapan tajamnya kepada Gavin.
“Begitu? Lalu, apa kau lebih suka tinggal di tempat hiburan malam kecil itu?” tanya Gavin bernada santai. “Aku tahu sekarang kau hanya dimanfaatkan untuk menjadi seorang pelayan di tempat itu, tapi apa kau yakin pekerjaanmu akan tetap sama ke depannya?”
Laysa terdiam. Dia memang dijebak sebagai wanita penghibur. Meski tidak melayani hubungan badan seperti yang lain, dia hanya bertugas mengantarkan minuman-minuman yang dipesan oleh tamu di tempat itu.
“Jadi, bagaimana? Apa kau ingin terus menjadi seorang budak untuk lelaki tua di luar sana, atau ikut denganku dan menjadi nyonya besar dalam istana megah milikku?” ujar Gavin.
Laysa menghela napas berat, Gavin lagi-lagi menyombongkan diri dengan kalimat menyebalkan itu. Meski berat, tetapi apa yang dikatakan Gavin benar. Bukankah lebih baik berada di dalam genggaman Gavin dibandingkan kumpulan lelaki yang tidak dikenalnya–yang bisa saja menjerumuskan hidupnya ke jurang lebih dalam?
Laysa pun kembali menulis. “Baiklah, aku menyetujui ini. Tapi, kau harus menepati janjimu, atau aku akan membawa ini ke muka umum.”
Gavin pun memberikan kode agar Laysa cepat menandatangani itu.
Semua terjadi begitu cepat, Gavin bahkan kini telah merengkuh pinggang Laysa dan menatap gadis itu cukup intens. Bahkan, dia tersenyum miring.
“Aku bukan seorang yang suka mengingkari janji,” lalu berbisik, “Tapi, ingatlah, Lays. Kau sudah menyerahkan seluruh hidupmu padaku. Jadi, bersiaplah.”
****
Laysa kini berada di rumah mewah keluarga Gavin. Dia sudah dibalut dengan pakaian luar biasa mahal dan make-up paripurna dari stylist pilihan Gavin. Sayangnya, Laysa merasa bagaikan alien di sini.Dia ingin segera kabur. Namun, dia tidak berdaya. Gavin telah membelinya dengan harga mahal dan dia tidak bisa mengganti rugi sama sekali.
“Perkenalkan, dia Laysa. Gadis pilihanku sendiri dan pastinya akan kunikahi,” kata Gavin tanpa ragu.
Seketika, semua orang kembali menatap Laysa. Mereka begitu terkejut saat mendengar pernyataan Gavin.
Raut wajah kesal tak mereka sembunyikan. Laysa juga baru menyadari bahwa ada Xavier di sini. Pria yang dikenalnya sebagai dermawan untuk para disabilitas itu bahkan menatapnya tajam! Mengapa dia ada di sini? Apakah dia keluarga Gavin.
"Jangan tatap terlalu lama saudara kembarku, Dear," bisik Gavin mendadak di telinganya.
Tubuh Laysa meremang. Segera, dia menundukkan pandanganya. Dia merasa bahwa situasi ini menyesakkan. Bahkan, obat penenang yang dikonsumsi tadi seakan tidak bereaksi.
Rasanya, Laysa ingin menangis. Bila dia bisa, dia ingin melepaskan diri dari situasi ini. Namun, Gavin telah membelinya dengan harga mahal.
Dari mana gadis yatim piatu dan bisu sepertinya, mengganti uang sebanyak itu?
“Apa maksudmu, Gav? Kita akan menikah sebentar lagi! Bisa-bisanya, kamu membawa gadis lain dan memperkenalkannya sebagai gadis pilihanmu!” Nada kecewa keluar dari Laura, perempuan yang seharusnya menikahi Gavin.
Sontak membuat Laysa meremas tangannya gusar.
“Kamu jangan main-main dengan Momy, Gav. Siapa sebenarnya gadis ini?!” Kini, Anne–ibu dari Gavin–bertanya dengan kesal.
Perempuan paruh baya itu bahkan seakan ingin menelan Laysa hidup-hidup.
Laysa melirik ke arah Gavin Sayangnya, Gavin justru terlihat santai. Bahkan, pria itu kini berkata penuh penekanan, “Sudah kukatakan, bukan? Laysa adalah calon istriku.” Laysa lalu mengeratkan genggamannya di tangan Gavin, mengisyaratkan rasa tidak nyaman. Merasakan itu, Gavin hanya menghela napas panjang. “Gavin!” Suara Laura mengeras, sambil menangis dia menghampiri Anne lalu memegang tangan wanita paruh baya itu, seolah mengadu. “Bagaimana ini Mommy? Gavin sudah mempermainkanku. Apa salahku padanya?” Raut wajah Anne semakin merah padam akibat emosinya yang mulai naik. “Bisa-bisanya kau melakukan ini setelah semuanya, apa kau sudah gila?!” “Hahaha....” tawa Gavin sebelum kembali berkata, "Apakah menikahi gadis yang kuinginkan adalah suatu hal yang gila?' “Kau—“ Belum sempat Anne berbiacara, Alex--ayahnya--langsung menyela, “Kau harus menjelaskan ini pada daddy, Gav. Kalau tidak, kau akan mendapat hukuman atas permainanmu ini.” Aura dominasi memancar dari pria tua itu. Dia
“Kau terlihat semakin menarik, apa ada yang sudah membeli tubuhmu ini?” Lucas kembali berbicara. Kali ini, jelas sekali dia menyelipkan hinaan di perkataannya. Mendengar ucapan Lucas, rasa takut dalam tubuh Laysa berganti menjadi amarah. Plak! Sebuah tamparan keras dilayangkan Laysa di pipi lelaki itu. “Kau masih saja seperti anjing liar. Tapi, aku malah semakin tertarik. Itu membuatku sangat penasaran denganmu.” Lucas menyeringai lebar sambil memegang pipinya. Ditariknya lengan Laysa agar mengikuti langkahnya. Sungguh, dia merasa tertantang dengan perempuan ini? Sementara itu, Laysa yang tidak bisa berbicara itu pun, hanya bisa berontak keras. Sayangnya, tak ada satu pun yang menolongnya. Semua sibuk dengan kegiatan masing-masing, termasuk Gavin yang keberadaannya cukup jauh dari tempat Laysa berdiri. Tubuh Laysa ditarik tak tentu, sampai dirinya mendapati bahwa mereka telah keluar tempat hiburan malam tersebut. Melihat Lucas yang tidak waspada seperti sebelumnya, Laysa me
Dugaan Laysa tepat sasaran. Saat Gavin tersadar dari mabuknya, dia begitu marah saat menyadari Laysa tidak terlihat di mana pun. Dia bahkan memeriksa rekaman cctv di sekitar area tempat hiburan malam hingga tempat parkir. Namun, yang ditemukan hannyalah Laysa begitu ketakutan diseret paksa oleh seorang lelaki tidak dikenal. Gavin marah sekali mengetahui gadisnya dibawa oleh orang asing. Terlebih, saat melihat Xavier datang menyelamatkan Laysa semalam, tetapi tidak mengabarkan apa pun padanya. “Di mana pria itu, Derry?” tanya Gavin kepada asistennya ketika mereka menuju ke sebuah bar–tempat Lucas berada. Gavin dipenuhi emosi dan ingin menyiksa lelaki bertubuh gempal tersebut. Saat menemukan Lucas tampak duduk di sebuah sofa dan bersenang-senang bersama kawannya, Gavin semakin emosi. “Seret dia ke hadapanku!” perintah Gavin segera pada beberapa bodyguard yang sengaja diajaknya. Mereka langsung mematuhi perintah Gavin. Lucas ditarik paksa dari sofa, hingga tidak bisa banyak
Laysa belum berhenti menangis, tetapi dia tetap berusaha membuka lembaran bukunya dengan satu tangan lain untuk menunjukkan sesuatu kepada Gavin. [ Hidup dan tubuhku sudah menjadi milikmu, bahkan aku tidak bisa memikirkan hidup di luar sana lagi karenamu. Jika aku diberi dua pilihan sekali pun, aku akan kembali padamu. Karena hidup denganmu lebih baik dari pada menyodorkan nyawa dengan percuma di luar sana. ] Seketika semua terasa hening. Gavin yang semula ingin sekali mengeluarkan kalimat kasar dengan kemarahan terbesarnya, mendadak luluh setelah membaca isi tulisan buku Laysa. Gadis itu putus asa, Gavin tahu. Namun, yang membuatnya tersentuh adalah ketika Laysa mempercayakan hidupnya secara tidak langsung. “Derry, tolong tunggu di luar.” Gavin memberi kode kepada Derry, hingga lelaki itu mengerti dan meninggalkannya berdua saja bersama Laysa. Gadis itu masih tampak menangis. Sisa-sisa ketakutan terlihat jelas di depan mata. Gavin pun melonggarkan pegangan tangannya, lalu m
Laysa telah kembali dan segera menyerahkan minuman yang diteguk cepat oleh Gavin.Anehnya, pria bertampren itu tiba-tiba melempar gelas ke lantai. Tatapan datarnya seakan meluapkan kekesalan. "Kenapa Gavin mendadak berubah begini? Kesalahan apa yang kulakukan?" batin Laysa.[ Kenapa kau melihatku begitu? ] Laysa akhirnya menggunakan bahasa isyaratnya. Dia tidak sempat mengambil buku di atas tempat tidur. Toh, Gavin akhir-akhir ini mulai memahami ucapannya. Entah dari mana pria itu belajar....“Apa yang kau lakukan kemarin dengan Xavier, apa dia menyentuhmu?” tanya Gavin pada akhirnya. Meski Laysa berada di genggamannya, entah kenapa dia selalu mengingat perempuan ini sempat berada di kediaman Xavier. Ini bukan rasa cemburu. Ini seperti merasa tidak rela barangmu disentuh oleh orang lain.Ya! Itu lebih tepat.Gavin lalu menatap tajam perempuannya itu.Tentu saja, Laysa langsung menggelengkan kepala. Dia benar-benar tidak berbuat apa-apa. “Jangan membohongiku!” Suara Gavin mengeras,
Gavin lalu mencengkeram kasar tangan gadis itu, lalu berbisik, “Berani sekali kau menamparku! Ingatlah, kau hanya seorang gadis yang kubayar, Lays. Tidak lebih dari itu! Kau harus menyadari di mana menempatkan posisimu walau kita akan menikah.” Ucapannya tersebut sudah cukup membuat tekanan yang dialami Laysa semakin dalam. Dia menangis tersedu-sedu, meratapi kehidupannya yang tidak pernah bertemu dengan bahagia. Gavin pun melepas cengkeramannya cukup keras, hingga tubuh Laysa terempas ke kasur. Kemudian beranjak dari sana dengan angkuh dan tidak memedulikan apa pun tentang Laysa. Gavin sangat kesal, karena ternyata gadis itu sama seperti gadis kebanyakan yang mudah terlena dengan uang dan fisik seorang lelaki. *** Sebelum Gavin pulang ke rumah, semuanya terlihat baik-baik saja. Suasana hatinya selalu baik, apalagi ketika membaca tulisan pengakuan dari Laysa. Dia pikir, rencananya akan berjalan dengan lancar, mendapatkan seorang istri yang mudah disetir ke arah mana pun tanpa
Seketika Gavin teringat lagi saudara kembarnya. Pasti ini adalah ulah Xavier yang sengaja mengundang mereka ke sini. “Tidak perlu. Aku akan menemui mereka,” ujar Gavin. “Tapi, Tuan. Itu sangat berisiko tinggi untuk Anda.” “Aku bisa mengatasi ini, Derry. Siapkan saja mobilnya di depan.” Gavin membenarkan jas hitamnya, lalu berjalan tegas menuju area luar rumah sakit tempat para awak media itu berada. “Baik, Tuan.” Derry pun segera melaksanakan perintah tuannya, seraya mengikuti langkah Gavin dan Laysa. Namun, hati lelaki tua itu tak terlalu tenang. *** “Apa Anda bisa menjelaskan kedatangan Anda ke rumah sakit ini, Tuan?” tanya salah seorang dari media massa. Laysa dan Gavin seperti semut yang disodorkan makanan manis. Ada banyak kamera, begitu pun pertanyaan untuk keduanya. “Lalu siapa gadis yang ada di samping Anda ini? Apa benar dia adalah calon istri Anda?” tanya yang lainnya. “Saya hanya mengantarnya memeriksa kesehatan,” jawab Gavin. “Ya, dia adalah calon istri saya. Kal
“Tapi yang aku cintai itu kamu, Gav! Mana bisa aku mencintai lelaki lain walau wajah kalian serupa? Dia bukan dirimu,” sela Laura dengan tegas. “Apa yang kau cintai dari diriku?” “Semuanya, semua yang kau miliki.” Laura menjawab pertanyaan Gavin secepatnya. “Tapi yang kumiliki hanya harta dan kekuasaan, itu artinya kau tidak benar-benar mencintaiku.” Gavin tersenyum miring, seakan puas telah menjebak Laura dengan pertanyaan tersebut. “Gavin—“ “Gadis yang ingin kau nikahi sekarang adalah seorang cacat, Gav! Dia bahkan tidak bisa berbicara, atau membela dirinya lagi. Apa yang kau banggakan darinya? Cinta saja tidak cukup, dunia kita bukan untuk main-main. Momy membutuhkan menantu yang bisa mengimbangi keluarga kita dalam segi apa pun,” sela Anne yang masih penasaran dengan keputusan putranya. Ucapan Anne membuat Gavin geram. “Apa salahnya jika dia cacat? Apa dia tidak berhak memiliki cinta dariku?” “Omong kosong apa yang kau katakan ini?!” Mendadak suara Anne mengeras, menatap Ga